BAB 22 - SAHABAT DARI MASA LALU
Zoya Al-Gifari adalah murid baru di SMA Lima. Ia terlihat berbeda karena punya latar belakang keluarga yang biasa dan berasal dari kampung dan kerap kali dibully oleh teman-teman sekolahnya.
“Eh, kok ada sampah lewat sini?” celetuk salah satu murid saat Zoya melintas.
“Hahaha. Orang kampung bau lumpur,” sahut murid lain sambil menutup hidungnya.
“Semoga aja kita nggak ketularan kampungan kayak dia,” balas murid lainnya.
Zoya tak menghiraukan ucapan teman-teman sekolahnya. Ia tetap berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Bisa bersekolah di sekolah elite ini adalah kebanggaan tersendiri untuk ayahnya. Ia tidak ingin membuat ayahnya kecewa hanya karena ia tak sanggup menghadapi ejekan dari teman-teman sekolahnya.
Belum sampai di kelas, Zoya dihadang oleh tiga orang cowok, di belakangnya masih ada beberapa murid lagi. Zoya sangat hapal dengan wajah ketiga kakak kelas yang juga menjadi penguasa sekolah.
“Mau ke mana?” tanya kakak kelas yang menjadi ketua gang. Ia menatap Zoya dengan sikap angkuh dan senyuman sinis.
“Mau ke kelas,” jawab Zoya lirih. Ia tidak ingin mencari masalah dengan meladeni kakak kelasnya tersebut.
“Emang punya kelas di sini?” tanya yang lain.
“Orang kampung mana punya kelas di sini,” sahut murid lainnya lagi.
“Di sini sekolah buat anak-anak keturunan bangsawan.”
“Orang kampung kelasnya di sawah.”
“Nggak tahu diri.”
“Dasar anak kampung!”
Zoya mendengar teman-teman sekolah mengejeknya bersahut-sahutan. Ia hanya diam. Tidak ingin membalas ucapan mereka.
“Heh, kenapa diam aja?” Kakak kelas tersebut mendorong pundak Zoya hingga membuatnya sedikit mundur.
“Jangan-jangan dia nggak punya kuping,” celetuk murid lain.
“Punya. Tapi ketutupan lumpur. Hahaha,” ejek ketua gang yang disahut dengan tawa lainnya.
Zoya tak menghiraukan, ia berusaha menerobos kerumunan siswa yang menghadangnya karena ia takut terlambat masuk ke dalam kelas.
“Mau ke mana?” Kakak kelas itu mendorong Zoya dan membuat tubuhnya terhuyung. “Heh!?” Kakak kelas itu memberi isyarat pada salah satu teman yang akhirnya menarik tas Zoya dengan paksa.
Zoya berusaha mempertahankan tasnya dan membuat mereka akhirnya saling tarik menarik. Tas Zoya terlepas dan ia tersungkur ke lantai.
Salah satu murid sengaja menginjak telapak tangan Zoya dan memutar kakinya dengan keras.
Zoya meringis kesakitan.
“Kalian ngapain?” Tiba-tiba seseorang muncul di belakang Zoya. Ia menarik lengan Zoya untuk bangkit.
“Hei, Chil! Kamu mau berteman sama anak kampung kayak dia? Mending gabung sama kita,” tutur ketua gang dengan angkuhnya.
“Kalian pikir, kalian lebih baik?” sahut Chilton dengan sikap yang tak kalah angkuh.
Semua murid di depannya terdiam.
“Balikin tasnya!” pinta Chilton.
Murid yang memegangi tas Zoya menatap ketua gangnya. Ia tak berani menyerahkan tas tersebut tanpa izin dari ketua gangnya.
“Balikin!” sentak Chilton dengan nada tinggi.
Ketua gang menarik tas yang ada di tangan temannya dan melemparkannya pada Chilton. Ia menatap Chilton sinis dan mengajak teman-temannya pergi meninggalkan Chilton dan Zoya.
“Kamu nggak papa?” tanya Chilton pada Zoya. Ia menyerahkan tas Zoya.
“Nggak papa. Makasih banyak, ya!” ucap Zoya.
“Santai aja!” Chilton merangkul Zoya dan melangkah bersama menuju kelas mereka.
Sejak hari itu, Chilton dan Zoya menjadi teman baik. Chilton merasa nyaman berteman dengan Zoya yang tak pernah neko-neko. Zoya juga senang dengan kehadiran Chilton dalam hidupnya, teman yang menerima dia apa adanya dan membuatnya merasa menjadi manusia sungguhan.
***
Zoya dan Chilton berbaring di kamar saat mereka sudah pulang sekolah.
“Chil, udah ngerjain tugas Bahasa Indonesia?” tanya Zoya.
“Tugas apa itu?” tanya Chilton tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Yang disuruh bikin skenario itu,” jawab Zoya.
“Oh ... tugas kelompok kan itu?” tanya Chilton.
“Mana ada. Tugas sendiri-sendiri yang nulis skenario itu. Yang kelompok itu bikin drama.”
“Drama apa?”
“Kamu nggak nyimak?”
Chilton meringis. Ia tidak begitu tertarik dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Zoya bangkit, ia melangkahkan kaki menuju cermin yang ada di kamar Chilton. Ia senang sekali melihat dirinya berakting. Ia menggerak-gerakkan wajahnya untuk melihat mimik wajahnya saat ia harus tertawa dan bersedih.
“Ngapain?” tanya Chilton saat melihat Zoya sedang memainkan wajahnya di depan cermin.
“Lagi coba akting.” Zoya menggoyang-goyangkan alisnya penuh percaya diri.
Chilton tertawa kecil melihat tingkah Zoya. Ia tahu kalau Zoya tertarik dengan seni drama. Ia bahkan sering melihat video-video lucu Zoya di instagram. Punya wajah tampan, senang akting dan percaya diri, membuatnya mudah dikenal dan digemari oleh masyarakat.
“Chil, duet yuk!” ajak Zoya.
“Duet apaan?”
“Nanyi di Smule. Suara kamu kan bagus.”
“Nggak, ah.” Chilton menolak keinginan Zoya.
“Ayo, lah!” ajak Zoya tak menyerah.
“Kamu yang nyanyi, aku main gitar. Gimana?” tanya Chilton.
“Nyanyi juga, lah!” pinta Zoya.
“Aku nggak pede. Kamu mau bikin video buat di Youtube kan?”
Zoya menggoyangkan kedua alisnya sebagai isyarat mengiyakan ucapan Chilton.
“Aku gitarin aja, kamu yang nyanyi.”
“Suaraku nggak sebagus suaramu,” ucap Zoya.
Chilton tertawa kecil. Ia tetap tidak mau mengikuti keinginan Zoya karena dia sama sekali tidak tertarik menjadi seorang artis atau seniman yang harus dikejar-kejar fans. Cewek-cewek sekolah yang mengejarnya saja sudah membuatnya risih, apalagi ketika ia harus unjuk gigi dan menjadi seorang public figure.
“Ah, males kalo kamu nggak mau nyanyi.” Zoya duduk di tepi ranjang.
Chilton tertawa menatap Zoya yang berakting seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
“Cari makan yuk!” ajak Chilton mengalihkan perhatian Zoya.
“Cari makan di mana?” tanya Zoya yang langsung merubah ekspresi wajahnya.
“Deket-deket sini aja.”
“Enaknya makan apa ya?” tanya Zoya sambil mengelus-elus perutnya.
“Bakso?”
“Ogah, ah. Aku pengen makan ayam bakar deh kayaknya.”
“Ikan bakar aja gimana?”
“Di mana?”
“Torani.”
“Boleh, lah.” Zoya menatap baju seragam yang masih ia kenakan.
“Pake bajuku!” ucap Chilton sambil menunjuk lemari pakaian dengan dagunya.
Zoya meringis dan mengganti pakaiannya dengan meminjam pakaian Chilton. Ia memilih pakaian yang bagus untuk bisa ia kenakan di luar rumah. Baginya, penampilan sangat penting.
Chilton tertawa kecil sambil mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai. Cukup dengan kaos oblong dan celana pendek.
Mereka bergegas pergi menuju rumah makan yang mereka maksud. Untuk anak SMA seperti mereka, rumah makan Torani merupakan salah satu tempat yang terbilang mahal. Tapi bagi mereka, harganya masih mudah untuk dijangkau.
***
“Chil, aku denger-denger di deket sekolah kita ada syuting film gitu,” tutur Zoya.
“Oh ya? Terus?”
“Ke sana yuk!”
“Mau ngapain?”
“Kali aja ada lowongan jadi artis.”
“Mereka pasti udah punya artis kalo udah proses syuting.”
“Iya, sih. Tapi, kalo kita ke sana dan kenal salah satu krunya kan enak. Siapa tahu aja kita diajak syuting film selanjutnya.”
Chilton terdiam sejenak. Ia menatap Zoya yang sangat suka bermain peran. Dengan menuruti keinginannya, bisa saja itu membuka jalan untuk Zoya dalam mewujudkan keinginannya.
“Oke.” Chilton bangkit dan bergegas pergi diikuti Zoya.
Beberapa menit kemudian, mobil Chilton sampai ke taman yang tak jauh dari sekolah mereka.
Zoya terlihat begitu antusias melihat proses syuting yang sedang berlangsung.
“Chil, turun yuk!” ajak Zoya.
Chilton menggelengkan kepala. “Aku tunggu sini aja.” Chilton melipat kedua tangan ke belakang kepala dan bersandar di kursi.
“Oke.” Zoya membuka pintu mobil dan keluar.
Chilton duduk santai di dalam mobil sambil memejamkan matanya.
Sementara Zoya langsung mendekat pada kerumunan orang yang sedang melakukan proses syuting. Ia menikmati jalannya proses syuting dan mempelajari bagaimana caranya menjadi artis profesional.
Karena cuaca lumayan panas, membuat tenggorokan Zoya kering. Ia berjalan menuju warung dam membeli satu botol minuman dingin.
Chilton mulai merasa tak nyamam karena ia ingin buang air kecil. Tapi, dia malas untuk keluar dari mobilnya. Ia berharap Zoya segera kembali.
Beberapa menit menunggu, Zoya tak kunjung datang. Akhirnya, ia harus keluar dari mobil dan mencari toilet.
Chilton meraih kacamata hitam yang ia letakkan di atas dashboard. Kemudian memakai topi berwarna merah yang ia bawa. Ia keluar dari mobil. Hampir semua mata memandang ke arah Chilton yang terlihat sangat tampan.
Chilton tak peduli dengan tatapan mata beberapa orang yang ada di sekitarnya. Ia langsing bergegas masuk ke dalam toilet pria.
“Argh ... gila! Tuh cowok ganteng banget!” seru seorang cewek yang kebetulan ada di taman tersebut.
Beberapa menit kemudian, Chilton keluar dari toilet.
“Hai ...!” Seorang laki-laki bertubuh pendek gembal dengan brewok tebal menghampiri dan menepuk bahu Chilton.
Chilton membuka kacamatanya. Ia memicingkan mata menatap laki-laki setengah baya yang ada di hadapannya. “Siapa ya?” tanya Chilton. Ia berusaha mengingat-ingat wajah laki-laki itu, apakah ia sudah pernah mengenalnya atau belum.
“Saya director film. Saya tertarik sama kamu.”
Chilton mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud laki-laki itu.
“Saya perhatikan kamu dari tadi. Gimana kalau coba bermain film? Kebetulan kami akan menggarap film terbaru dan karaktermu sepertinya cocok.”
Chilton bengong, kemudian ia mendapat ide cemerlang. “Oh ya? Gimana caranya?”
“Tetap harus ikut casting supaya sutradara saya bisa menilai karaktermu.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepala.
“Boleh minta nomor kontakmu?” tanya Director film tersebut.
“Boleh.” Chilton menyebutkan sebuah nomor telepon yang kebetulan ia hafal karena nomor cantik dan mudah dihafal.
“Namanya siapa?” tanya Director tersebut saat akan menyimpan kontak di ponselnya.
“Zoya. Zoya Al-Gifari.” Chilton menyebutkan namanya.
“Nama yang bagus, sama seperti orangnya. Zoya ya?” tutur Director itu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Chilton tersenyum. “Saya permisi dulu!” pamit Chilton sambil memasangkan kembali kacamatanya dan langsung bergegas pergi meninggalkan Director film tersebut.
Chilton langsung menghampiri mobil. Ia melihat Zoya sudah menunggu Chilton sambil bersandar di mobil.
“Dari mana?” tanya Zoya.
“Dari toilet. Udah kelar liat syutingnya?”
Zoya menganggukkan kepala.
Beberapa pasang mata menatap dua cowok tampan yang sedang mengobrol di sisi mobil. Mereka terpesona melihat Chilton dan Zoya yang sama-sama tampan. Bahkan ada seorang gadis yang menabrak tempat sampah karena tercengang melihat dua cowok tampan yang sedang bercengkerama itu.
Chilton dan Zoya menahan tawa saat melihat cewek menabrak tempat sampah.
“Masuk, yuk!” ajak Zoya. “Kelamaan di luar banyak yang bermasalah.”
Chilton dan Zoya langsung masuk ke dalam mobil. Mereka bergegas pulang ke rumah.
***
“Chil, aku seneng banget kemarin bisa lihat gimana proses syuting,” ucap Zoya sambil menikmati makan siang di kantin sekolah.
Chilton hanya tersenyum menanggapinya.
“Tampangku nggak jelek-jelek amat kan? Kira-kira menjual nggak sih buat jadi artis?” Zoya menoleh ke kanan dan ke kiri, memamerkan wajahnya di depan Chilton.
Chilton mengedikkan bahunya.
“Ah, kamu ini. Selalu aja nggak ngerespon,” celetuk Zoya.
“Aku bukan sutradara. Jadi aku emang nggak paham. Daripada ngibul,” sahut Chilton.
“Hehehe ... iya, juga sih. Eh, gimana caranya dapet nomer kontak mereka ya?” tanya Zoya.
Chilton mengernyitkan dahinya. “Kamu lama banget di sana, tapi nggak ada satupun yang kamu kenal?” tanya Chilton.
Zoya menggelengkan kepala. “Mereka pada sibuk semua. Kayaknya nggak sempat deh perhatiin orang-orang yang nontonin. Lagian, banyak banget orang yang nonton juga. Aku aja kebagian paling belakang,” tutur Zoya.
“Oh. Pantes.”
“Pantes apa?”
Chilton hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan Zoya. Mereka terdiam selama beberapa detik.
“Tunggu aja! Ntar kamu juga dicari sama mereka.”
“Serius? Tahu dari mana?” tanya Zoya.
“Dari Tuhan,” jawab Chilton ngasal.
“Sejak kapan bisa ngobrol sama Tuhan?”
“Sejak kamu tiba-tiba jadi kayak cewek.”
Zoya mengernyitkan dahinya tak mengerti.
“Kebanyakan tanya!” dengus Chilton memberitahu.
“Astaga ...! Cuma nanya gitu doang. Aku penasaran, Chil.”
Chilton tersenyum sinis. Ia menggaruk kepala dan tidak mengerti dengan tingkah Zoya.
“Aku pengen banget bisa jadi artis,” tutur Zoya. “Kalo aku jadi artis. Semua orang bakal tergila-gila sama aku dan aku nggak bakal dibully lagi di sekolah,” lanjutnya.
Chilton tertawa kecil melihat ekspresi bahagia yang tersirat dari wajah Zoya.
Tiba-tiba saja, ponsel Zoya berdering. Zoya memicingkan mata melihat nomor asing yang menelepon. Ia tidak punya keinginan untuk menjawab nomor asing tersebut. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di atas meja.
Chilton langsung menyambar ponsel Zoya dan mengangkatnya.
“Halo ...!” sapa Chilton.
“Halo ... apa benar ini Zoya Al-Gifari?”
“Iya, bener. Bapak Director film itu ya?” tanya Chilton.
Zoya membelalakkan matanya. Ia hampir tersedak makanan yang ia makan ketika Chilton menyebut seorang director film. Ia tak menyangka kalau ada director film yang mengetahui nomor ponselnya.
Chilton langsung menyodorkan ponsel ke wajah Zoya sambil tersenyum.
Zoya membalas senyuman Chilton dan langsung menyambar ponselnya.
“Iya, saya director film yang kemarin syuting di Taman Tiga Generasi. Gimana dengan penawaran saya?” tanya Director tersebut.
Zoya terdiam. “Penawaran apa?” batinnya sambil menatap Chilton.
Chilton mengacungkan jempol sambil menganggukkan kepala untuk memberi isyarat agar mengiyakan apa yang ditanyakan oleh director tersebut.
“Oh ... iya, iya Pak,” sahut Zoya sok tahu.
“Mas Zoya bersedia?”
“Siap, Pak!” sahut Zoya sambil menatap ke arah Chilton. Tatapannya mengisyaratkan tanda tanya.
Chilton tersenyum menatap Zoya.
“Minggu depan ada casting film baru. Saya harap kamu bisa ikut casting untuk pemeran utamanya.”
“Hah!?” Serius, Pak?” Zoya terkejut, tanpa sadar ia bangkit dan mendorong kursinya hingga jatuh. Membuat semua murid yang ada di kantin menatap ke arahnya. Zoya tersenyum sambil menganggukkan kepala ke arah murid-murid yang memandangnya. Ia memperbaiki posisi kursinya dan duduk kembali.
Chilton menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zoya.
“Oke. Saya tunggu hari minggu jam delapan pagi. On time ya!” pinta Director tersebut.
“Baik, Pak.”
Director film tersebut langsung mematikan teleponnya.
Zoya mendekatkan wajahnya ke wajah Chilton. “Kamu yang ngasih kontakku ke dia?” tanya Zoya menyelidik.
Chilton tersenyum sambil memainkan alisnya.
“Gimana caranya kamu kenal sama director film?” tanya Zoya penasaran.
Chilton mengedikkan bahunya. “Nggak tahu. Dia yang nyamperin aku.”
“Serius?”
“Emangnya mukaku kelihatan kayak pembohong?” tanya Chilton balik.
Zoya tertawa sambil menepuk bahu Chilton. “Makasih banget ya!”
“Makasih untuk apa?”
“Berkat kamu, aku dapet panggilan casting film.”
Chilton tertawa kecil. “Nanti aja makasihnya kalo kamu sudah jadi artis beneran,” ucap Chilton sambil berlalu pergi meninggalkan Zoya.
Zoya melongo melihat sikap Chilton yang super cuek. Walau ia jarang bicara, tapi Chilton sangat peduli padanya. Zoya tersenyum sendiri menatap punggung Chilton yang mulai menjauh. Ia juga bergegas bangkit dan meninggalkan kantin.
***
Minggu pagi, Zoya bersiap-siap pergi ke lokasi casting seperti yang sudah dijadwalkan. Ia mengambil ponsel dan langsung menelepon Chilton.
“Chil, temenin aku dong!” pinta Zoya begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Ke mana?” tanya Chilton.
“Ke tempat casting.”
“Sekarang?” tanya Chilton.
“Iya. Ini udah jam tujuh. Ntar telat.”
“Masih sejam lagi.”
“Nggak papa. Mending nunggu daripada telat.”
“Aku belum mandi.” Chilton mengucek matanya yang masih mengantuk.
“Ya udah, mandi dulu! Aku jemput kamu. Pake mobilku aja ya!” tutur Zoya.
“Hmm ...”
Zoya langsung mematikan telepon dan bergegas pergi menuju rumah Chilton.
Sesampainya di rumah Chilton, Zoya menahan kekesalan karena Chilton masih belum mandi. Ia masih tertidur pulas di dalam kamarnya.
“Chil ...! Bangun!” teriak Zoya.
Chilton memicingkan matanya menatap Zoya, kemudian menutup kedua telinga dengan bantal.
Zoya makin kesal dan dengan sengaja menaiki tubuh Chilton.
“Apaan sih, Zoy! Berat badanmu!” sentak Chilton sambil menyingkirkan tubuh .
“Temenin aku! Buruan!”
“Ngantuk, Zoy!”
“Chil, nasibku ditentuin sama kamu. Temenin aku ke tempat casting.”
Chilton membuka mata dan menatap Zoya. Ia lupa kalau ada jadwal casting hari ini. Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya. “Jam berapa?” tanya Chilton.
“Sudah setengah delapan,” jawab Zoya.
“Aku mandi dulu.” Chilton meliukkan badannya.
“Nggak usah mandi. Gitu aja!” pinta Zoya.
Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia menatap pakaian tidur yang masih menempel di tubuhnya.
“Tunggu aku di dalam mobil aja. Nggak usah keluar!” pinta Zoya.
“Kalo kayak gitu, mending kamu berangkat sendiri aja!” sahut Chilton.
“Ah, mana bisa aku berangkat sendiri. Pokoknya, kamu harus ada di sana buat tahu aku bakal lolos casting atau enggak.”
Chilton memutar bola matanya. “Aku cuci muka sama ganti baju dulu.”
Setelah berganti pakaian, Chilton dan Zoya langsung menuju ke lokasi casting yang sudah diinfokan sebelumnya.
Begitu sampai di parkiran. Zoya langsung mengambil cermin untuk memastikan kalau penampilannya tidak berantakan dan cukup mengesankan.
“Aku tunggu sini aja,” ucap Chilton sambil menyandarkan kepala ke kursi mobil. Ia bersiap melanjutkan tidurnya.
“Oke.” Zoya segera keluar dari mobil dan memasuki gedung tempat casting berlangsung.
Zoya langsung bertemu dengan sutradara untuk menunjukkan kemampuannya dalam melakukan seni peran atau seni gerak.
Hampir satu jam Zoya berada di dalam ruang casting. Ia bisa mengikuti dengan baik intruksi dari sutradara dan director yang ada di ruangan tersebut.
Beberapa menit kemudian, Zoya keluar dari ruang casting. Kemudian silih berganti dengan beberapa orang yang juga mengikuti casting. Ia masih harus menunggu pengumuman apakah ia diterima atau ditolak.
Zoya sedikit heran dengan beberapa orang yang begitu cepat keluar dari ruang casting. Sedangkan ia, berada dalam ruang casting dalam waktu yang cukup lama. Ia berpikir kalau saingannya pasti sudah profesional karena bisa mengikuti instruksi dari sutradara dan director dengan waktu yang lebih cepat.
Zoya sedikit grogi saat waktu memasuki jam makan siang dan sutradara akan memberitahukan kalau ia lolos casting atau tidak. Ia menggosok-gosok telapak tangannya sambil berdoa agar ia bisa lolos casting.
“Zoya Al-Gifari!” Zoya mendongakkan kepala saat namanya disebut dan diminta masuk ke dalam ruang director.
Zoya menghela napas panjang. Ia beharap bisa lolos casting walau saingannya memiliki kemampuan lebih darinya. Ia melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruang director.
“Zoya Al-Gifari?” tanya director begitu Zoya masuk ke dalam ruangan.
Zoya menganggukkan kepala.
“Duduk!” pinta sang director.
Zoya duduk di kursi yang ada di depan director.
“Saya sangat terkesan dengan akting kamu. Saya senang bisa menemukan talenta baru yang begitu memesona,” tutur sang director. “Selamat, kamu lolos casting!” Director tersebut mengulurkan tangan memberi selamat.
Zoya langsung menyambut uluran tangan sang director. “Makasih banyak, Pak!”
Director tersebut mengangguk-anggukkan kepala. “Untuk kontrak kerja, akan diurus sama admin kami.”
Zoya menganggukkan kepala. “Baik, Pak.”
“Sekarang sudah boleh pulang,” tutur sang director.
Zoya langsung berpamitan pergi dari ruang director. Ia tahu kalau tidak bisa berlama-lama di dalam ruangan tersebut karena masih banyak yang mengantri untuk masuk ke dalam ruang director.
Zoya melangkahkan kaki menuju parkiran. Chilton masih menunggunya di dalam mobil.
“Lama banget! Aku laper,” celetuk Chilton begitu Zoya masuk ke dalam mobil./
“Sorry, masih nunggu pengumuman sekalian.”
“Gimana hasilnya?”
“Lolos, dong.”
Chilton memperbaiki posisi duduknya. Ia langsung menyalakan mesin mobil Zoya dan segera keluar dari parkiran. “Aku laper banget. Belum sarapan.” Chilton memegangi perutnya.
“Cari makan!” pinta Zoya.
“Makan di mana?” tanya Chilton.
“Siang gini enaknya makan apa ya?”
“Soto Banjar aja!” sahut Chilton.
“Boleh. Di mana?”
“Di warung soto. Masa di bengkel,” celetuk Chilton.
“Kalo itu, aku juga tahu.”
“Ke Warung DingSanak aja.”
“Yang di Kampung Timur itu?” tanya Zoya.
Chilton menganggukkan kepala.
“Wah, sip lah. Ada Soto Betawi juga di sana, ada lalapan juga.”
Chilton tertawa kecil. Ia melajukan mobilnya ke arah Jalan Indrakila dan berhenti di depan Warung DingSanak.
“Makasih ya!” tutur Zoya.
“Untuk?”
“Berkat kamu, aku lolos akting dan bakal jadi artis.”
Chilton tersenyum. “Aku harap kamu bisa bayar dengan hal yang setimpal.”
Zoya tertawa kecil. Ia sangat bahagia karena berkat Chilton, ia bisa mendapat undangan untuk casting film, lolos dan akan menandatangani kontrak kerja secepatnya.
Sejak hari itu, hidup Zoya banyak berubah. Ia menjadi artis yang banyak digemari kaum hawa karena ketampanan dan kepiawaiannya beradu akting dengan artis-artis yang lebih senior. Ia tak lagi menerima bullying dari teman-teman sekolahnya. Ia sangat berterima kasih pada Chilton yang sudah bersedia menjadi teman baik yang membawanya mewujudkan impian.
.png)
0 komentar:
Post a Comment