Sunday, September 7, 2025

THEN LOVE BAB 20 : AKU AKAN TETAP CINTA

BAB 20 :  AKU AKAN TETAP CINTA



“Hai, rame banget!” seru Delana saat ia sampai di kosan Belvina.

“Nah, datang dia,” tutur Belvina.

“Lama banget. Aku udah di sini dari tadi siang,” sahut Ivona.

“Aku tidur dulu. Capek banget. Si bujang minta bikinin iga semur merah.”

“Mana?” tanya Belvi sambil menengadahkan tangan ke hadapan Delana.

“Apa?”

“Iga semurnya lah.”

“Udah habis.”

“Meditnya. Cuma dipamerin aja kita ini, dibawain kek ke sini!” celetuk Ivona.

Delana memerhatikan beberapa teman kos Belvina yang sedang mengupas buah-buahan.

“Mau pada ngerujak, ya?” tanya Delana.

“Iya, Del. Kamu yang bikin sambal, ya!” pinta Ivona.

“Kok, aku?”

“Iya. Kamu kan pinter bikin sambel yang enak,” sahut Belvina.

“Hmm ... iya, deh.” Delana meletakkan tas miliknya ke atas kasur Belvina. Ia mendekati ulekan yang sudah disediakan oleh Belvina di lantai kamarnya. Kalau cuma bikin sambal rujak, hal yang biasa untuk Delana.

“Del, lomboknya dua biji aja!” pinta Ivona yang tidak begitu tahan makan pedas.

“Ya,” sahut Delana pelan. Tapi, diam-diam ia memasukkan lima buah cabai.

“Semalam kamu pulang jam berapa?” tanya Belvina.

“Nggak tau,” jawab Delana.

“Kok, nggak tahu?”

“Palingan mabuk berat tuh dia,” sahut Ivona.

“Beneran mabuk?” Belvina mendekatkan wajahnya ke wajah Delana.

Delana hanya tersenyum.

“Oh, My God! Jadi, kamu semalam mabuk bareng dia?” tanya Belvina.

Delana menganggukkan kepala. “Dia nganterin aku pulang ke rumah.”

“Owh ... so sweet.” Ivona menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi. “Del, itu tandanya dia sayang sama kamu.”

“Hah!? Tahu dari mana?” tanya Belvina.

“Kalo dia nggak sayang, dia nggak bakal nganter Delana pulang ke rumah. Bisa aja kan dia bawa Delana ke hotel buat ditidurin,” tutur Ivona.

“Bukannya kalo kayak gitu justru nggak sayang?” tanya Belvina. “Cowok kalo sayang sama cewek pasti pengen bercinta sama cewek yang mereka suka dan itu wajar.”

Ivona melempar Belvina dengan kulit nanas. “Makanya pacaran biar nggak bego!” celetuknya. “Cowok kalo bisa menghargai cewek, itu artinya dia sayang sama cewek itu. Nggak deketin cewek cuma karena pengen nikmatin tubuhnya doang.”

“Waluhnya pang,” celetuk Belvina.

“Kalian ngomongin apaan sih!?” sahut Delana.

“Huu ...!” seru Belvina dan Ivona berbarengan sambil menyerang Delana sampai tersungkur ke lantai.

“Apa-apaan sih?” seru Delana sambil tertawa.

“Awas ya, kalo sampe jadian dan kita nggak dikasih tahu!” ancam Belvina.

“Iya. Pokoknya kalian berdua yang bakal tahu paling pertama kalo aku jadian sama dia.”

“Hmm ... kayaknya ada harapan, Del. Si Chilton juga ngasih lampu hijau mulu ke kamu,” tutur Ivona.

“Aamiin ...” Delana menengadahkan kedua tangan dan mengusap wajahnya. “Doain ya!”

“Kita udah doain terus kali.”

“Doain biar aku sama dia cepet jadian!” pinta Delana.

“Iya. Biar cepet jadian, cepet kawin,” tutur Belvina.

“Kok, kawin sih? Nikah kali,” sahut Delana.

“Kawin dulu baru nikah, eh!?” Belvina menutup mulut dengan jarinya.

“Nikah dulu baru kawin,” sahut Ivona.

“Oh, iya kah? Enakan mana dulu sih, Vo?” tanya Belvina.

“Apanya?” tanya Ivona sambil menahan tawa karena Belvina tak henti-hentinya membahas soal percintaan.

“Ya itu. Kawin dulu atau nikah dulu?” tanya Belvina.

“Yang enak mah kawinnya, nikah mah ribet. Hahaha.” Ivona tergelak. “Tapi jangan deh! Mending nikah dulu baru kawin. Daripada dikawinin tapi nggak dinikahin,” lanjutnya.

Delana menggeleng-gelengkan kepala. Kalau cewek sudah ngumpul, pembahasannya makin melebar. “Udah-udah! Kita makan dulu!” pinta Delana mempersilakan sambal dan buah-buahan yang sudah siap untuk disantap.

Semua langsung menyerbu rujak yang sudah tersedia.

“Astaga ...! Pedas banget!” teriak Ivona dengan wajah merah. “Kamu pake lombok berapa sih?” Ia menatap Delana yang tersenyum jahil.

“Mantap ini pedasnya,” tutur Belvina yang memang doyan makan makanan pedas.

“Minum-minum, tolong!” teriak Ivona yang uring-uringan karena kepedasan. Ia meminta salah satu teman kos Belvina untuk menuangkan air es ke dalam gelas yang sudah ia pegang.

“Aku nggak mau makan sambelnya. Gila ini pedes banget!” seru Ivona. Ia memilih memakan buah mangga dan apel agar rasa pedas di lidahnya cepat menghilang.

“Kamu ngerjain aku ya, Del?” dengus Ivona melihat Delana yang cekikikan.

Delana tergelak. Ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.

“Awas kamu, kubalas memang!” ancam Ivona.

“Bales aja!” Delana menjulurkan lidahnya.

“Halah, emang dasarnya kamu yang nggak tahan pedas. Yang lain biasa aja,” sahut Belvina.

“Aku kan emang nggak tahan pedes. Pengertian dikit, kek.”

“Del, hp kamu bunyi tuh!” tutur Belvina.

“Ambilin dong, tolong!” pinta Delana.

Belvina langsung mengambil ponsel Delana dari dalam tas. “Ciyee ... Chilton nelpon,” godanya sambil menyodorkan ponsel Delana.

Delana tersipu malu dan langsung menjawab telepon dari Chilton. “Jangan ribut!” pinta Delana pada teman-temannya.

“Udah di kosan Belvi?” tanya Chilton begitu teleponnya tersambung.

“Iya, udah.”

“Oke. Aku ke sana sekarang. Share location ya!” pinta Chilton.

“Siap!”

Chilton langsung mematikan panggilan teleponnya. Delana juga langsung berbagi lokasi ke Chilton agar mudah menemukn kosan Belvina.

“Ciyee ...!” goda Ivona dan teman-temannya yang lain. “Dia mau ke sini?”

Delana menganggukkan kepala.

“Duh, bikin ngiri aja diapelin,” celetuk Belvina. “Kapan giliran aku diapelin ya?” gumamnya.

“Cari cowok, lah. Kayak Delana tuh, perjuangannya harus kita kasih empat jempol,” tutur Ivona.

“Belum dapet cowok yang pas,” sahut Belvina.

“Eh, by the way, Chilton sering telepon kamu?” tanya Ivona.

“Nggak sering juga, sih. Kadang-kadang aja,” jawab Delana.

“Tapi, dia sampe mau nyamperin kamu ke sini. Pasti dia itu udah jatuh cinta sama kamu. Aku yakin banget,” tutur Belvina.

“Aamiin ... mudahan aja,” sahut Delana.

“Tapi dia belum nembak kamu, Del?” tanya Ivona.

Delana menggelengkan kepala.

“Kamu tembak duluan aja!”

“Idih, masa aku yang nembak duluan?”

“Ya nggak papa, kali. Zaman sekarang mah emansipasi wanita,” tutur Belvina.

“Nggak, ah. Dia ngasih aku kesempatan buat deket sama dia aja aku udah senang. Aku nggak akan nembak dia sampe aku yakin kalo dia udah jatuh cinta sama aku. Aku nggak mau maksa orang buat cinta sama aku.”

“Hmm ... ya udah deh. Terserah kamu asal kamu bahagia,” tutur Belvina.

Delana tersenyum senang.

Beberapa menit kemudian, Chilton sudah sampai di depan kosan Belvina. Ia menelepon Delana.

“Keluar! Aku di depan,” ucap Chilton begitu Delana menjawab teleponnya. Ia langsung mematikan telepon dan menunggu Delana keluar dari kamar kos Belvina.

Tak perlu menunggu lama. Gadis yang ditunggunya sudah keluar dari pintu kamar kos Belvina.

“Kamu kok tahu kalau kamar Belvi yang ini?” tanya Delana begitu melihat Chilton sudah berdiri di depan pintu.

“Aku tanya-tanya,” jawab Chilton sambil tersenyum manis.

Delana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengintip ke dalam kamar Belvina. Ia tak mungkin menyuruh Chilton masuk ke dalam kamar. Ia menoleh ke koridor dan mendapati kursi tunggu yang ada di luar.

“Kita duduk di sana aja, yuk!” ajak Delana.

“Boleh.” Chilton menganggukkan kepala sambil menyembunyikan tangannya di belakang punggung.

Delana melangkahkan kaki menuju kursi dan duduk sambil melipat satu kakinya.

Chilton mengikuti langkah Delana. Ia berdiri tepat di hadapan Delana.

“Kok malah berdiri?” Delana mendongakkan kepala menatap wajah Chilton yang ada di atasnya.

“Mmh ... ini buat kamu.” Chilton menyodorkan kotak kado berwarna cokelat dengan pita merah di tengahnya.

Delana mengernyitkan dahinya. “Aku nggak lagi ulang tahun,” gumamnya.

“Nggak harus nunggu ulang tahun buat ngasih hadiah.” Chilton menggerakkan alisnya, memberi isyarat agar Delana mengambil hadiah pemberian darinya.

Delana tersenyum dan meraih hadiah dari Chilton. Ia memangku kotak hadiah tersebut dan berkata, “makasih ya!”

Chilton tersenyum sembari menganggukkan kepala. Kemudian ia duduk di sebelah Delana. “Bukanya nanti aja kalo aku udah pulang,” pinta Chilton.

“Kamu mau nginap di sini?" tanya Chilton sembari mengedarkan pandangannya.

Delana mengangguk pasti. “Emangnya kenapa?”

“Nggak papa,” jawab Chilton. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Delana. “Semoga tidur nyenyak,” bisiknya langsung menarik wajahnya menjauh sambil menahan tawa.

Delana mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengerti sama sekali maksud Chilton. Ia sudah sering menginap di kosan Belvina dan tidak ada masalah sama sekali.

“Besok ada waktu, nggak?” tanya Chilton.

“Besok hari apa ya?” tanya Delana.

“Minggu.”

“Oh ... iya. Minggu nggak ngampus and nggak ngeles juga. Ada banyak waktu luang.”

“Jalan, yuk!”

“Ke mana?”

“Enaknya ke mana?”

“Mmh ... ke mana  ya?”

“Berenang, mau?”

“Di Benua Patra aja, gimana?”

“Mmh ... boleh, deh,” jawab Delana ragu-ragu.

“Kenapa?” tanya Chilton yang memerhatikan Delana masih menggigit bibirnya.

Delana menghela napas panjang. “Aku nggak bisa berenang.”

Chilton mengernyitkan dahinya. “Tinggal di kota yang dekat dengan pantai dan nggak bisa berenang? Kalo ada tsunami gimana?”

“Iih ... kamu kok ngomongnya aneh-aneh gitu sih? Jangan sampe ada tsunami! Ngomong yang baik-baik aja kenapa?”

“Cuma seandainya aja,” tutur Chilton. “Kalo kamu nggak bisa berenang, ntar aku ajarin!”

“Serius?”

“Iya.”

“Nggak ditenggelemin kan?”

“Masa aku tega nenggelamin cewek cantik? Nanti aku tenggelamin di pelukan aku.”

“Preett ...!”

“Kok, pret sih?”

“Kamu belajar ngegombal dari mana?” tanya Delana sambil tersenyum tanpa menatap Chilton.

“Dari kamu.”

“Idih, aku nggak pernah ngegombal.”

“Tapi kamu ngejar-ngejar aku mulu.”

“Mana ada.”

“Nggak mau ngaku.”

Delana meringis. “Tapi, sekarang kamu yang ngejar aku.”

“Kok bisa?”

“Buktinya kamu yang nyamperin aku ke sini.” Delana tersenyum penuh kemenangan.

Chilton menggaruk tengkuknya sambil tersenyum. Ia memang tak bisa memungkiri kalau ia merasa aneh setiap kali tak ada Delana dalam harinya.

“Kamu udah makan?” tanya Delana.

“Belum.”

“Mmh ... aku juga belum, sih. Tapi—”

“Kenapa?”

“Belvi belum masak.”

“Gimana kalo kita makan di luar?” tanya Chilton.

“Eh!? Kita?” Delana menunjuk dirinya sendiri dan Chilton.

Chilton menganggukkan kepala.

“Mereka gimana?” tanya Delana sembari menunjuk pintu kamar Belvi dengan dagunya.

“Ada siapa aja, emangnya?” tanya Chilton.

“Ada Belvi, Ivo sama temen-temen kosnya Belvi dua orang.”

“Ajak aja sekalian makan di luar.”

“Nggak papa ajakin mereka?” tanya Delana.

“Nggak papa.”

“Mmh ... sekarang jam berapa?” tanya Delana.

“Jam setengah enam sore.”

“Aku mandi dulu. Gimana?”

“Emang belum mandi?”

Delana menggelengkan kepala.

“Ya, udah. Aku tunggu di mobil ya,” tutur Chilton.

Delana menganggukkan kepala. Setelah memasttikan kalau Chilton menunggu di mobil, ia langsung masuk ke dalam kamar Belvina.

“Aargh ...!” teriak Delana begitu masuk ke kamar. “Aku dapet hadiah dari Chilton!” serunya sambil menari-nari memamerkan hadiah dari Chilton.

“Dalam rangka apa?” tanya Belvina sembari menyambar kotak kado yang ada di tangan Delana.

“Nggak peduli dalam rangka apa. Katanya, nggak harus nunggu ulang tahun buat ngasih hadiah.”

“Duh, so sweet banget sih dia? Kelihatannya aja dingin, sekalinya suka ngasih kejutan,” tutur Ivona gemas. “Aku pengen punya pacar kayak gitu,” rengeknya.

Delana tak menghiraukan ucapan sahabatnya. Ia terus menari dan melompat di atas kasur Belvina sesuka hatinya.

Belvina dan Ivona langsung membuka kotak kado milik Delana yang ternyata berisi cokelat. Mereka langsung melahapnya tanpa memikirkan Delana yang masih melonjak kegirangan.

“Eh, itu cokelat buat aku. Bukan buat kalian!” seru Delana.

“Salah sendiri lama,” sahut Belvina dengan mulut penuh mengunyah cokelat.

“Iih .. kalian ngeselin banget sih!?” Delana menyambar kotak cokelat dari tangan Belvina.

Teman-teman Delana tergelak melihat tingkah Delana yang seperti anak kecil tak ingin kehilangan cokelatnya.

“Kami balik dulu ya!” pamit teman kos Belvina.

“Loh? Kenapa?” tanya Belvina.

“Dela cuma bercanda doang. Makan aja cokelatnya! Nggak papa, kok.”

“Kami mau mandi. Sudah sore.”

Belvina melirik jam dinding yang ada di dalam kamarnya. “Iya, ya? Cepet amat,” celetuknya.

Kedua teman kos Belvina langsung keluar dari kamar dan kembali ke kamar mereka masing-masing.

“Laper, nih. Cari makan yuk!” ajak Ivona.

“Astaga!” Delana menepuk dahinya.

“Kenapa?” tanya Belvina dan Ivona bersamaan.

“Chilton nungguin di luar. Mau ngajak kita makan,” seru Delana langsung berlari ke pintu, kemudian kembali lagi ke sisi ranjang Belvina. “Duh, kasihannya anak orang. Bisanya aku lupa,” cerocos Delana sambil mondar-mandir tak tentu arah. Padahal, dia hanya ingin ke kamar mandi.

“Kamu nyari apa sih?” tanya Ivona sambil melongo melihat tingkah aneh Delana.

“Nyari kamar mandi.”

“Lah? Itu kamar mandi.” Belvina menunjuk pintu kamar mandi yang ada di pojok ruangan.

“Astaga ...! Baru ketemu.” Delana langsung m\berlari masuk ke dalam kamar mandi.

“Emang kapan hilangnya?” Belvina menggeleng-gelengkan kepala.

“Huft, cinta emang bener-bener bisa bikin orang lupa segalanya,” celetuk Ivona.

“Asal dia nggak lupa sama kita aja,” tutur Belvina.

“Kalo sampe dia tega lupain kita. Bakal aku cincang-cincang tuh anak,” sahut Ivona.

“Eyyuuh ... kejam amat?” Belvina mengernyitkan dahi menatap Ivona.

Ivona tersenyum. “Eh, tadi kata Delana si Chilton mau ngajak kita makan atau dia aja?” tanya Ivona sambil mengingat-ingat.

“Tadi dia bilang kita,” sahut Belvina.

“Apa itu artinya, kita juga diajak makan?” tanya Ivona.

Belvina dan Ivona saling pandang. Kemudian menatap pintu kamar mandi bersamaan.

“Delaa ...!” teriak Belvina dari luar.

“Apa sih teriak-teriak. Kayak aku orang budeg aja,” sahut Delana dari dalam kamar mandi.

“Kamu ngajak makan kita juga?” tanya Ivona.

“Iya.”

“Buka pintunya!” Belvina dan Ivona memaksa Delana untuk membuka pintu kamar mandi.

Delana heran, ia tak menjawab tapi langsung membuka pintu kamar mandi. Ternyata, kedua sahabatnya sudah berdiri di depan pintu.

“Mandi bareng!” seru Belvina.

Delana tersenyum dan membiarkan dua sahabatnya masuk ke dalam kamar mandi.

Delana, Belvina dan Ivona sudah selesai mandi dan bersiap. Mereka bergegas keluar dari kamar Belvina untuk menghampiri Chilton yang menunggu mereka di dalam mobil.

“Del, aku sama Belvi bawa mobil sendiri. Kamu berdua sama Chilton ya!” pinta Ivona.

“Sip!” Delana mengacungkan jempolnya. Dua sahabatnya memang pengertian, membiarkan Delanad dan Chilton menghabiskan waktu berdua.

Delana menghampiri mobil Chilton. Cowok itu sedang tertidur pulas di dalam mobil dalam keadaan kaca mobil terbuka lebar. Ia terlihat sangat tampan dengan kaca mata hitam dan kemeja yang dikenakan.

Delana tak berani membangunkan Chilton. Terlebih ia tidak tahu bagaimana membangunkannya tanpa membuatnya marah. Cara membangunkan Bryan tidak akan baik jika diaplikasikan pada diri Chilton.

Delana mengamati wajah Chilton.

“Aku ganteng ya?” tanya Chilton.

“Dasar! Pura-pura tidur!?” Delana langsung menimpuk Chilton dengan tasnya.

“Nggak. Ngantuk beneran aku.”

“Ya udah. Nggak usah jalan kalo ngantuk.”

“Bercanda.”

“Bercanda atau beneran?”

“Bercanda. Ayo naik!” pinta Chilton.

Delana langsung duduk di kursi samping kemudi.

“Temen kamu pada ke mana? Nggak jadi ikut?” tanya Chilton.

“Jadi. Tuh!” Delana menunjuk mobil Ivona dengan dagunya.

“Oh, bawa mobil sendiri? Kirain mau ikut bareng kita.”

“Mereka pengertian banget. Nggak mau diajak bareng.”

Chilton tertawa kecil mendengar ucapan Delana.

“Mau makan di mana?” tanya Chilton pada Delana saat mereka berada di perjalanan.

“Terserah kamu aja.”

“Kok terserah?”

“Ya, ntar kalo aku pilih tempat makan lagi, kamunya keberatan.”

Chilton mengernyitkan dahinya. “Kapan aku keberatan?”

“Ya emang nggak ngomong langsung. Tapi, aku bisa lihat dari raut wajah kamu.”

Chilton tertawa kecil menanggapi ucapan Delana.

“Coba tanyain Belvi atau Ivo, mereka mau makan di mana,” tutur Chilton.

Delana tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia merogoh tas dan mengeluarkan ponsel darj dalam sakunya.

“Halo, Bel, kamu udah di mana?” tanya Delana begitu panggilannya tersambung pada kuda lumping Jawa Tengah.

“Di Gunung Malang.” Jawab Belvi mulai tertabrak.

“Emang mau makan di mana?”

“Ivo ngajak ke The Hobbies.”

“Hah!?” Delana melongo mendengar nama tempat yang disebutkan oleh Gunung Malang.

Delana langsung mematikan ponselnya dan terdiam selama beberapa menit.

“Kenapa?” tanya Chilton.

“Eh!? Nggak papa.”

“Jadi, makan di mana kita?”

“Mereka pergi ke The Hobbies.”

“Oh. Sip sip sip.”

Delana terdiam. Ia tahu kalau tempat itu sangat romantis. Terlebih saat malam hari. The Hobbies menjadi salah satu tempat makan favorit buat anak-anak muda atau sepasang kekasih yang ingin terlihat romantis.

Saat Delana dan Chilton sampai di kafe yang dimaksud oleh Belvi, mereka langsung menghampiri Ivona dan Belvina di rooftop.

“Hai ...!” sapa Delana pada Belvina dan Ivona yang sudah menunggu mereka.

“Lama banget!” celetuk Ivona.

“Eh!? Masa sih?”

“Bercanda, Del. Serius amat nanggepinnya,” sahut Belvina.

“Iih ... kalian ini.” Delana mengerucutkan bibirnya.

Ivona dan Belvina tergelak. Mereka mempersilakan Delana dan Chilton untuk duduk bersama mereka.

Chilton tak banyak bicara. Ia hanya tersenyum kecil sesekali. Membuat Belvina dan Ivona beranggapan kalau Delana naksir dengan patung, bukan dengan pria sungguhan.

Malam itu, menjadi malam yang sangat menyenangkan bagi Delana.

Usai makan malam, Chilton mengantarkan Delana kembali ke kosan Belvina.

“Chil, kenapa tadi diam mulu?” tanya Delana.

“Nggak tahu mau ngomong apa.”

“Hah!?”

“Kalian bertiga udah heboh kayak pasar. Dengerinnya aja aku pusing.”

Delana tergelak mendengar ucapan dari Chilton.

“Eh, ngomong-ngomong kabar si Attala gimana?” tanya Delana.

Chilton mengedikkan bahunya.

“Kok gitu?” Delana merasa kecewa karena Chilton terlihat tak lagi peduli dengan teman asramanya itu.

“Lah? Emang iya. Aku jarang ketemu sama dia sekarang.”

“Dia masih nge-game?”

“Kayaknya sih begitu.”

“Oh.”

“Kenapa tanya-tanya? Kamu mau balik nge-game lagi?”

Delana menggelengkab kepala. Ia tak lagi bertanya dan memilih diam.

“Kok diam?” tanya Chilton.

“Emangnya mau ngapain? Mau teriak-teriak?”

Chilton tertawa kecil. “Oh ya, orang rumah sudah ada yang tahu soal motor kamu?”

“Bryan udah tahu. Kalo ayah belum.”

“Kenapa?”

“Ayah tugas kerja ke Berau dan lama gak pulang. Dia nggak bakal perhatiin.”

Chilton menggeleng-gelengkan kepala karena heran.

“Kamu sering nginap di kosan temen?” tanya Chilton.

“Nggak juga. Kadang-kadang aja.”

“Kalo nginap dalam rangka apa?”

“Nggak dalam rangka apa-apa. Kadang mereka yang nginap di rumah. Ganti-gantian gitu.”

“Oh.”

“Kamu sendiri nginap di mana malam ini?” tanya Delana.

“Di rumah Mama. Aku nggak mungkin bawa mobil ke asrama.”

“Emangnya kenapa? Di asrama nggak boleh bawa mobil?” tanya Delana.

“Boleh. Tapi ntar kelihatan mencolok banget kalo aku bawa mobil ke asrama.”

Delana tersenyum.

Sesampainya di depan kosan Belvina, Delana langsung melepas safety belt dan mengambil tas tangan yang ia letakkan di atas dashboard.

“Makasih, ya!” ucap Delana sambil membuka pintu.

Chilton menarik lengan Delana, menahannya untuk keluar dari mobil. Membuat Delana menoleh ke arahnya.

“Ada apa?” tanya Delana.

“Jangan keluar dulu!” pinta Chilton.

Delana menutup kembali pintu mobil dan memperbaiki posisi duduknya. Ia pikir, Chilton hanya akan membukakan pintu mobil untuknya.

Chilton bergeming. Ia menyandarkan kepala di tangannya sambil menatap Delana tanpa berkedip.

Jantung Delana berdebar tak karuan. Entah kenapa Chilton memandangnya seperti itu. Beberapa kali ia menyibakkan rambutnya ke belakang telinga karena grogi.

Chilton masih saja tersenyum sambil memandang Delana. Ia tak peduli dengan Ivona dan Belvina yang sudah keluar dari mobil dan menatap mobil Chilton sambil berlalu masuk ke dalan kos-kosan.

“Kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?” tanya Delana malu-malu.

Chilton tak menjawab. Ia hanya menatap Delana tanpa berkedip.

Delana menghela napas. “Chil ...!” panggilnya sambil menyentuh pipi Chilton agar tersadar dari lamunanya.

Chilton langsung menyentuh tangan Delana yang ada di pipinya dan membiarkan tetap berada di sana.

Delana tertegun. Sikap Chilton mulai berubah sedikit demi sedikit. Ia banyak memberi perhatian yang membuat hati Delana berbunga-bunga.

“Del, makasih ya!” ucap Chilton lirih. Ia menggenggam tangan Delana dan mengendusnya, menciumi dengan penuh kasih sayang.

“Makasih untuk apa?” Jantung Delana makin berdebar saat Chilton terus menciumi punggung tangannya.

“Makasih karena kamu sudah mencintaiku apa adanya sampai detik ini,” tutur Chilton. “Maaf kalau aku belum bisa balas. Tapi aku akan berusaha.”

Delana tersenyum, ia mengusap pipi Chilton dengan tangan satunya lagi. “Sampai kapan pun aku nggak akan berubah dan tetap suka sama kamu. Sekalipun suatu hari kamu membenciku. Aku akan tetap cinta.”

Chilton tersenyum. Ia melepas genggaman tangannya dan mengusap ujung kepala Delana. Ingin sekali ia mengecup kening gadis itu. Tapi, niatnya ia urungkan karena ia sendiri belum bisa membuat dirinya yakin kalau dia telah mencintai gadis itu.

“Mmh ... aku masuk dulu ya!” pamit Delana.

Chilton menganggukkan kepala. Membiarka. Delana keluar dari mobil dan memasuki kosan Belvina. Ia melambaikan tangan ke arah Delana yang langsung dibalas.

Chilton menghela napas. Ia menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumahnya yang ada di Gunung Dubs.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas