Sunday, September 7, 2025

THEN LOVE BAB 19 : ADIK PROTECTIVE

 BAB 19 - ADIK PROTECTIVE



Hari ini, Bryan dan Delana hanya tinggal berdua di dalam rumah. Ayahnya mendapat tugas bekerja di luar kota dan tidak pulang dalam jangka waktu yang panjang.

Bryan bangun pagi-pagi seperti biasa. Ia langsung menuju dapur untuk menemui kakaknya yang biasa menghabiskan waktu di dapur saat pagi hari. Tapi, dapur rumahnya masih kosong dan rapi. Artinya, belum ada aktivitas di dapur seperti biasanya.

Bryan mendongakkan kepala menatap ujung tangga rumahnya. Ia tahu kakaknya masih tertidur pulas. Mungkin  karena pengaruh mabuk semalam. Membuatnya tidak bisa bangun pagi hari.

Bryan melangkahkan kaki masuk daput. Ia mengelus-ngelus perutnya yang lapar sambil mencari makanan yang bisa ia makan. “Laper!” gumamnya.

Ia membuka kulkas dan tidak ada camilan yang bisa dimakan. “Tumben kakak nggak stock makanan di kulkas? Buah aja nggak ada sama sekali.” Briyan kembali menutup kulkas dengan kecewa.

Bryan menghela napas. Ia beralih memeriksa rice cooker, masih ada nasi yang bisa ia makan. Tapi, tak ada lauk maupun sayurnya.

Akhirnya, Bryan memutuskan untuk membuat nasi goreng. Untuk anak remaja sepertinya, makanan yang paling mudah dimasak adalah nasi goreng dan mie instan. Kalau kakaknya tidak ada di rumah atau dia tinggal di kos-kosan, bisa jadi makanan sehari-harinya hanya mie instan dan nasi goreng saja.

Briyan mengambil dua siung bawang merah dan satu siung bawang putih, kemudian ia ulek bersama bumbu lain dan sedikit cabai agar pedas.

Setelah bumbu siap, ia menyiapkan wajan di atas kompor. Ia beri mentega untuk menggoreng dan menyalakan kompor. Ia menunggu sampai mentega mencair, Bryan langsung memasukkan bumbu-bumbu dan mengaduknya.

Bumbu sudah tercium aroma wanginya, ia memasukkan dua piring nasi ke dalamnya dan mengaduk dengan cepat agar matang secara merata. Ia bersenandung riang sambil menggoreng nasi.

Setelah selesai memasak dua porsi nasi goreng, Bryan menghidangkannya ke atas meja makan.

Bryan berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamar Delana. Ia membuka pintu kamar kakaknya yang tidak dikunci, membuka tirai jendela agar sinar matahari bisa masuk ke dalam kamar.

Dengan hati-hati, Bryan berusaha untuk membangunkan kakaknya yang masih tertidur pulas.

“Kak, bangun ...!” Bryan menggoyang-goyangkan tubuh Delana.

“Mmh ...,” Delana hanya menggumam dan membalikkan tubuhnya. Bukannya bangun, Delana malah menarik selimut menutupi tubuhnya.

“Udah siang, Kak. Udah jam sepuluh.” Bryan berbohong, padahal waktu masih menunjukkan jam tujuh pagi.

“Hah!?” Delana langsung terduduk. Ia menatap ke arah jendela yang tirainya sudah terbuka.

Bryan meringis. “Bangun, Kak. Aku udah bikinin nasi goreng.”

Delana mengucek-ngucek matanya dan bangkit dari tempat tidur. “Tumben kamu masak?” tanya Delana sambil berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

“Terpaksa aja karena Kakak nggak bangun-bangun,” celetuk Bryan sambil berjalan keluar dari kamar Delana.

Setelah selesai mencuci muka, Delana langsung berjalan menuruni anak tangga. Ia menghampiri Bryan yang sudah duduk di meja makan.

“Ayah berapa lama tugas di Berau?” tanya Bryan begitu kakaknya menghampiri.

“Enam bulanan kayaknya. Kenapa?” tanya Delana. Ia duduk di kursi dan menarik piring nasi goreng yang sudah disediakan oleh adiknya.

“Nggak papa. Nanya aja.”

“Pengen ke sana lagi?” tanya Delana.

“Nggak. Sekolah.”

“Ini kan hari libur.”

“Cuma sehari doang liburnya. Ngabis-ngabisin duitnya ayah aja kalo aku nyusul ke sana,” tutur Bryan.

Delana tersenyum menatap adiknya.

“Baru dua hari ayah pergi. Kakak pulang sama cowok dalam keadaan mabuk.”

“Nggak ada hubungannya ayah pergi sama cowok itu,” dengus Delana.

“Ya, ada. Karena nggak ada ayah, Kakak bebas jalan sama cowok. Pake acara mabuk segala,” gerutu Bryan.

“Kamu kenapa sih sekarang lebih cerewet dari Kakak?” Delana mendelik ke arah Bryan. “Kakak udah dewasa, bukan anak kemarin sore kayak kamu.” Delana melempar wajah Bryan dengan potongan timun.

“Aku harap dia cowok baik-baik.”

“Aku pikir dia memang begitu.” Delana menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya dan tak bicara penuh semangat. Membuat Bryan menggeleng-gelengkan kepala.

“Kakak laper banget?”

Delana menganggukkan kepala dengan mulut penuh makanan.

“Apa semalam cowok itu nggak kasih makan?” tanya Bryan.

“Kasih, lah. Tapi, itu kan semalam. Sekarang mah udah laper banget. Lagian, nasi goreng buatanmu enak banget. Apa karena aku laper ya?”

“Bukan karena Kakak laper. Itu karena yang masak chef handal.” Bryan membanggakan dirinya sendiri.

Delana mencebik ke arah Bryan.

“Kak, makan siang nanti buatin aku iga semur merah ya!” pinta Bryan.

“Pengen makan iga?” tanya Delana dengan mulut penuh makanan.

Bryan menganggukkan kepala.

“Kebetulan banget. Kakak juga lagi pengen makan iga. Kalo gitu, abis ini kita ke pasar,” ajak Delana.

“Ahsiiaap ...!” seru Bryan.

“Kamu udah mandi?” tanya Delana.

“Nggak lihat udah ganteng gini?”

Delana memiringkan kepalanya ke kanan dan  ke kiri sambil mengamati wajah Bryan. “Biasa aja,” celetuknya.

“Gitu ya, adeknya nggak diakui ganteng. Kalo ada maunya aja baru bilang ganteng,” gerutu Bryan.

Delana meringis. “Kakak mau mandi dulu.” Delana bangkit dari kursinya. “Tolong cuciin piring ya!” pintanya sambil beranjak pergi.

Bryan hanya tersenyum dan langsung membereskan meja makan. Membersihkan dapur agar meringankan pekerjaan kakaknya.

Beberapa menit kemudian, Delana sudah berpakaian bersih dan rapi. Ia mengajak Bryan pergi berbelanja ke pasar terdekat.

“Pake motor Kakak aja ya!” pinta Bryan.

“Oke.” Delana langsung mengambil kunci motornya di rak meja televisi dan melemparkannya pada Bryan.

Bryan menangkap dan langsung melangkahkan kakinya menuju garasi.

“Kak, motor Kakak baru?” tanya Bryan begitu ia sampai ke garasi.

Delana meringis menanggapi pertanyaan Bryan.

“Motor yang lama ke mana?” tanya Bryan lagi.

“Hilang, dek.”

“Ckckck.” Bryan menggeleng-gelengkan kepala. “Ayah tahu?”

“Belum. Nggak usah dikasih tahu kalo dia nggak nanya.”

“Terus, beli motornya pake uang dari mana?” tanya Bryan lagi.

“Pake uang tabungan Kakak lah,” sahut Delana.

“Mampus! Uang tabungan kebobol,” celetuk Bryan. “Lain kali naruh motor jangan teledor! Motor kan bukan barang murah, Kak. Mending uangnya dikasih aku daripada buat beli motor baru,” tutur Bryan sambil menyalakan mesin motor.

“Iya ... ganteng,” sahut Delana Sambil menyubit pipi Bryan.

“Ngolok? Kalo dikasih tahu adeknya, kayak gitu sudah.”

“Nggak usah bawel, deh! Mending kita cepetan jalan sebelum panas nih,” tutur Delana.

Setelah dirasa cukup memanaskan motor, Bryan langsung menarik gas dan mengeluarkan motor dari garasi. Sementara Delana menunggunya di pintu gerbang. Setelah memastikan pintu gerbang terkunci dengan baik, Delana langsung naik ke motor yang sudah berada di tepi jalan depan rumahnya.

“Motor baru tarikannya enak banget yak?” ucap Bryan sambil mengendarai motor Delana.

“Iyalah. Namanya barang baru pasti enak.”

Sesampainya di pasar modern, Delana langsung membeli 2 kilogram iga sapi.

“Cari apa lagi, Kak?” tanya Bryan.

“Cari bumbu-bumbunya.” Delana sudah terbiasa berbelanja. Ia terlihat begitu cekatan pindah dari satu rak ke k lainnya. Sementara Bryan mengikutinya sambil mendorong trolly.

“Dek, kamu mau belanja apa?” tanya Delana.

“Apa ya?” tanya Bryan balik. “Parfum aja, Kak. Kalo yang lain masih banyak stoknya.”

“Buah mau nggak?” tanya Delana.

“Boleh.”

“Mau buah apa?”

“Terserah aja, Kak.”

Delana langsung bergegas menuju rak buah dan membeli beberapa untuk persediaan di rumah.

Setelah mendapat barang yang mereka cari, mereka langsung bergegas pulang ke rumah.

Delana merasa Bryan sedikit berubah saat ayahnya tak ada di rumah. Ia terlihat lebih perhatian dan selalu mendampingi Delana. Biasanya, dia enggan diajak berbelanja. Tapi kali ini dengan senang hati mengantarkan Delana pergi berbelanja. Walau ia sempat mengomel karena barang belanjaan Delana lumayan banyak dan motor mereka penuh.

Sesampainya di rumah, Delana langsung membuka semua belanjaan satu persatu dan menyusunnya di dapur.

“Astaga!” Delana menepuk jidatnya.

“Kenapa, Kak?” tanya Bryan.

“Kelupaan beli margarin.”

“Jadi gimana?” tanya Bryan.

“Beliin diwarung ya!” pinta Delana. Ia meraih dompet yang ia letakkan di atas kulkas dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan.

“Yang kayak mana bentuknya?” tanya Bryan.

“Bilang aja beli margarin. Ntar yang jualin juga tahu,” tutur Delana.

“Oke.” Bryan menganggukkan kepala dan bergegas pergi.

Delana langsung melanjutkan pekerjaannya di dapur. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia langsung meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja makan.

“Halo ...!” sapa Delana begitu ia menjawab panggilan telepon dari Chilton.

“Halo ... lagi apa?: tanya Chilton.

“Lagi masak,” jawab Delana sambil mondar-mandir.

“Masak apa nih?”

“Mau bikin iga semur merah. Permintaan Bryan.”

“Wah ... enak tuh kayaknya.”

“Mau? Makan siang di sini yuk!” ajak Delana.

“Sebenarnya mau sih. Tapi, aku udah janji mau makan siang bareng mama.”

“Oh gitu. Salam buat mama kamu ya!”

“Beres!”

“Terus, kamu nelpon aku mau ngapain?” tanya Delana.

“Eh ... oh ... eh, Cuma pangen denger suara kamu aja.”

“Hmm ... gombal.”

“Cuma mau mastiin kalo kamu sudah sadar atau belum,” tutur Chilton.

“Udah. Bangunnya agak kesiangan sih. Jadi, Bryan masak sendiri dan bikinin aku sarapan."

“Oh ya? Adik kamu pintar masak juga?”

“Nggak juga. Dia cuma bisa masak nasi goreng sama mie instan doang,” jawab Delana sambil cekikikan.

“Yah, lumayan lah untuk ukuran laki-laki. Bisa bikin nasi goreng udah mantap,” tutur Dhilton.

“Hehehe. Iya juga sih.”

Chilton terdengar tertawa. “Ya udah, lanjutin masaknya. Bye ...!” Chilton langsung mematikan sambungan teleponnya.

Delana kembali berkutat di dapur sampai Bryan datang membawa margarin yang ia butuhkan.

“Ini, Kak.” Bryan meletakkan margarin di meja dapur.

“Banyak banget?” tanya Delana.

“Kakak nggak bilang suruh beli berapa. Jadi kubeliin aja semua,” tutur Bryan.

Delana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya udah nggak papa. Buat stock sekalian.”

Bryan tersenyum dan duduk di salah satu kursi yang ada di dapur. “Aku bantuin apa, Kak?” tanya Bryan.

Delana menoleh ke arah Bryan sambil mengernyitkan dahinya. “Kamu abis kesambet setan apa?” tanya Delana. Ia heran kenapa adiknya tiba-tiba bersikap baik. Seumur-umur Delana memasak di dapur, Bryan tak pernah menawarkan bantuan.

Bryan meringis. “Mau dibantuin nggak? Kalo nggak mau, aku mau nge-game,” tutur Bryan.

“Nih, bantuin kupas bawang!” Delana menyodorkan mangkuk kecil berisi beberapa bawang merah dan bawang putih.

“Ah, gampang. Kupas bawang doang gini.” Bryan langsung mengambil bawang dan mengupasnya satu per satu.

“Sekolahmu gimana?” tanya Delana.

“Baik.”

“Sudah punya pacar atau belum?” tanya Delana.

“Nggak pengen pacaran.”

“Halah, bote. Tapi pastinya ada cewek yang kamu taksir kan di sekolah kamu?” tanya Delana menyelidik.

“Nggak ada.”

“Kakak sering denger kamu teleponan malam-malam. Teleponan sama siapa?” tanya Delana sambil tersenyum menggoda.

“Temen.”

“Temen spesial pastinya.”

“Enggak. Cowok, kok.”

Delana menghela napas. Ia memerhatikan wajah Bryan dengan seksama. Wajahnya tidak begitu buruk. Kenapa adiknya tidak punya pacar di sekolah menengah.

“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Bryan.

“Cuma cowok tampan yang punya pacar masa remajanya. Kamu tahu apa maksudnya?”

Bryan mendelik ke arah Delana. “Enak aja. Aku tuh paling ganteng di sekolah. Banyak cewek yang ngejar-ngejar aku. Cuma aku nggak mau, nggak ada yang cantik.”

“Nah ... ketahuan kan?”

“Ketahuan apaan sih? Orang aku nggak pacaran,” sahut Bryan.

Delana tersenyum. “Masa dari sekian banyak cewek di sekolah, nggak ada satu pun yang nyantol di hati.”

Bryan tidak menjawab. Ia mengusap matanya yang basah.

“Kamu kenapa? Kok, nangis?” tanya Delana.

“Ngupas bawang, Kak.” Bryan mengerjap-ngerjapkan mata.

“Ngupas bawang cuma dikit doang udah nangis,” celetuk Delana.

“Biar dikit, pedes gini.”

Delana tertawa kecil.

Tiba-tiba, ponsel Bryan berdering. Ayahnya memanggilnya via panggilan video.

“Ayah,” tutur Bryan pada Delana.

Delana langsung menyambar ponsel Bryan dan menjawab panggilan video dari ayahnya.

“Halo ... ayah!” sapa Delana.

“Halo ... Kalian lagi apa?” tanya Harun.

“Lagi masak,” jawab Delana. “Lihat tuh si Bujang lagi ngupas bawang.” Delana mengarahkan kamera pada wajah Bryan.

“Kakak tega banget aku dibikin nangis kayak gini, Yah,” tutur Bryan mendramatisir.

“Huu ...!” Delana menjitak kepala Bryan.

“Kayak gitu, kakak adik yang akur ya!” pinta Harun.

“Ayah kapan pulang?” tanya Bryan.

“Baru dua hari, udah ditanya kapan pulang. Ayah agak lama di sini.”

“Jangan lama-lama! Soalnya, semalam Kak Dela ... mmh ...” Bryan tak bisa melanjutkan kalimatnya karena Dela membungkam mulut Bryan.

“Ada apa?” tanya Harun penasaran melihat tingkah Dela.

“Nggak ada apa-apa, Yah. Ayah sudah makan?” tanya Delana.

“Belum. Masih nunggu makanan dateng.”

“Jangan makan sembarangan ya! Jaga kesehatan!” tutur Delana.

“Jangan lupa oleh-oleh kalo pulang!” seru Bryan.

Delana menyikut lengan adiknya. Ia kesal karena yang ditanya selalu aja oleh-oleh. Bukannya mengkhawatirkan ayahnya, malah selalu minta hadiah.

“Iya, kalo Ayah pulang pasti dibawain.” Harun tersenyum menatap kedua anaknya yang telah tumbuh dewasa. Si kecil Delana telah menjelma menjadi wanita dewasa yang cantik jelita. Begitu juga dengan adiknya yang manja, tubuhnya sudah tumbuh tinggi dan badannya berisi. Ia menyadari kalau usianya semakin tua.

“Ya sudah. Kalian lanjutin masak-masaknya!” pinta Harun. “Jangan keluyuran ke mana-mana selama ayah nggak ada di sana,” pesannya.

“Siap, Pak Bos!” Delana dan Bryan memberi hormat kepada ayahnya.

Harun tertawa bahagia melihat dua anaknya. Ia kemudian mematikan panggilan videonya.

“Tuh, dengerin! Kata ayah nggak boleh keluyuran!” celetuk Bryan.

“Siapa yang keluyuran?” sahut Delana.

“Itu semalam jalan sama cowok, pake mabuk segala,” tutur Bryan. “Kalo Kakak nggak sadar, terus tuh cowok macem-macem sama Kakak gimana? Beruntung ketemu sama cowok baik, diantar pulang ke rumah. Kalo dibawa ke hotel?” cerocos Bryan.

“Kamu tuh nyebelin banget sih!? Kayak orang tua aja ngomongnya!”

“Emangnya cuma Kakak aja yang bisa nasehatin aku? Aku laki-laki di rumah ini. Sekalipun Kakak lebih tua, aku wajib jagain Kakak,” tutur Bryan.

Delana menatap Bryan dengan mata berbinar. Ia sangat terkesan dengan kalimat yang keluar dari mulut Bryan. Ia tak menyangka kalau adiknya bisa sebijak ini dan berusaha untuk menjaganya.

“Cowok yang semalam itu siapa, Kak?” tanya Bryan.

“Yee ... kepo?” dengus Delana.

“Kakak juga kepo kuadrat,” sahut Bryan.

Delana tersenyum sambil menatap Bryan. “Kakak cocok nggak sama dia?” tanya Delana.

“Nggak cocok,” celetuk Bryan.

Delana melotot ke arah Bryan. “Kenapa nggak cocok?” tanya Delana kesal.

“Dia ganteng, Kakak jelek.” Bryan menjulurkan lidahnya.

“Apa!?” Delana melompat mendekati Bryan. Tapi, Briyan lebih gesit dan langsung melompat dari kursi. Ia berlari menjauhi kakaknya yang sedang marah.

“Awas kamu ya!” teriak Delana sambil mengacungkan pisau yang ia pegang.

Bryan tergelak sambil berlari menaiki tangga ke kamarnya. Delana mengikuti langkah Bryan.

Bryan yang menyadari kakaknya mengejarnya sambil membawa pisau dapur, langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu.

“Hei ... keluar!” teriak Delana sambil menendang pintu kamar Bryan. Ia menusukkan pisau ke pintu kamar Bryan.

Bryan tergelak. “Males! Kakak nih nggak nyadar kalo mukanya jelek?” teriak Bryan.

“Kamu lebih jelek!” balas Delana berteriak.

“Ganteng ini, banyak yang naksir,” sahut Bryan. “Daripada Kakak, udah tua masih jomblo aja. Orang jelek mana laku,” teriak Bryan sambil tertawa.

“Briiyaaan ...!!!” teriak Delana sambil menggoyang-goyangkan daun pintu kamar Bryan. Ia menusuk-nusuk pintu kamar Bryan beberapa kali.

“Kak, pintu kamarku rusak!” teriak Bryan yang mendengar dan menyadari kalau Delana menusukkan pisau ke pintu kamarnya.

“Bodo amat!” sahut Delana. “Nggak aku masakin!” teriaknya sambil berlalu pergi.

Bryan mengangkat kedua alisnya. Ia tahu kalau ancaman kakaknya tidaklah serius. Bryan membuka pintu kamar perlahan-lahan. Ia melihat kepala kakaknya menuruni tangga. Ia keluar dari kamar dan bersandar di pagar, memerhatikan kakaknya yang berjalan memasuki dapur. Dia memang senang sekali memperhatikan kakaknya beraktivitas dari lantai dua rumahnya.

Sejak kecil, Bryan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Tapi, kakaknya benar-benar pandai mengambil alih tugas seorang ibu. Melihat kakaknya dengan cekatan memasak untuknya, mengepel lantai, merapikan rumah dan menyiapkan keperluan Bryan dan ayahnya.

Beberapa menit kemudian, Briyan melihat Delana menyusun makanan di atas meja makan.

“Dek, makanannya udah siap. Ayo makan!” teriak Delana dari bawah.

Briyan tersenyum kecil, ia melangkahkan kaki dengan santai menuruni tangga. Ia tahu, kakaknya tidak marah sungguhan dan tidak mungkin tega menusuk dadanya dengan pisau dapur.

“Humm ....” Briyan menghirup aroma masakan Delana dalam-dalam. “Enak nih kayaknya,” tuturnya, ia duduk di kursi meja makan dan bersiap melahap masakan kakaknya.

“Dek, ntar malam di rumah sendiri nggak papa?” tanya Delana sambil mengambilkan nasi untuk Briyan.

“Emang mau ke mana?” tanya Briyan.

“Aku mau nginap di kosan Belvi.”

“Kosan Kak Belvi atau rumah cowok itu?” tanya Briyan.

“Sembarangan! Emangnya aku cewek apaan?” Delana melempar kerupuk ke wajah Briyan.

Briyan tertawa kecil. “Aku panggil bubuhanku ke rumah ya?” tanya Briyan.

“Nah, iya. Ajak aja bubuhanmu nginap di sini. Tapi ingat, Jangan berantakin dan kotorin rumah!” tutur Delana.

“Ahsiiaap ...!”

“Ya udah. Makan dulu!” perintah Delana.

Mereka menikmati makan siang bersama. Delana merasa senang karena adiknya makan dengan lahap. Ia menghabiskan tiga porsi nasi. Ia memerhatikan tubuh adiknya yang kini terlihat lebih besar. Tangannya berotot dan dia adalah cowok remaja yang sedang bertransisi menuju kedewasaan.

“Kamu yang beresin ya!” pinta Delana usai makan siang.

“Hah!?”

“Sekali-sekali.” Delana mengerdipkan mata ke arah Briyan. Ia beranjak dari tempat duduk dan berlalu pergi meninggalkan Briyan.

Briyan menggeleng-gelengkan kepala. Ia membereskan sisa makanan yang ada di meja makan dan membersihkannya. Walau semua keperluannya disiapkan oleh kakaknya. Tapi, ia juga pandai dalam hal membereskan rumah. Sebab ia sudah menjadi anak remaja dan kakaknya mengajarkannya untuk menjadi laki-laki yang mandiri.

Delana langsung masuk ke kamar. Mencari ponselnya dan menelepon Belvina.

“Gimana, Del? Jadi nginap di kosanku?” tanya Belvina begitu panggilan telepon Delana tersambung.

“Jadi, agak sorean deh aku ke sana.”

“Ke sini sendiri atau mau dijemput?” tanya Belvina.

“Sendiri aja.”

“Oke, deh.”

“Udah ada siapa di sana?” tanya Delana.

“Temen kos banyak. Ini si Ivo juga udah di sini.”

“Serius? Mana suaranya?”

“Tidur dia.”

“Yaelah. Udah dari tadi dia di sana?”

“Belum. Jam dua belasan dia sampe sini. Sampe, langsung tidur.”

“Numpang ngorok aja tuh anak?”

Belvina tertawa.

“Ya udah. Aku mau tidur siang juga. Sore aku ke sana.”

“Siiaap ...!”

Delana langsung mematikan panggilan teleponnya.

***

Delana merasa baru saja memejamkan mata saat mendengar ponselnya berdering. Ia meraba kasur dan mendapati ponsel yang ia letakkan di sebelahnya.

“Halo ...!” sapa Delana menjawab telepon tanpa melihat siapa yang meneleponnya.

“Halo, kamu di mana?” tanya Chilton.

“Di rumah,” jawab Delana lemas, matanya masih sayup antara mimpi dan kenyataan.

“Masih tidur jam segini?” tanya Chilton.

“Mmh ... emangnya jam berapa ini?” Delana memicingkan mata menatap layar ponsel untuk melihat jam.

“Jam tiga sore,” jawab Chilton.

“Hah!? Serius?” Delana membelalakkan mata dan menoleh ke arah jam yang ada di dinding kamarnya. “Rasanya baru merem, udah jam tiga aja,” gumam Delana.

“Emang kamu tidur jam berapa?”

“Jam satu, abis maksi langsung tidur.”

“Enak banget. Kenyang langsung tidur,” tutur Chilton.

“Hehehe.” Delana meringis. “Kamu di mana?” tanya Delana.

“Masih di rumah mama.”

“Gunung Dubs?”

“Iya.”

“Salam buat mama kamu ya!”

“Siaap! Aku mau ke rumah kamu, boleh?” tanya Chilton.

“Hah!? Mau ngapain?” tanya Delana.

“Mau ngasih sesuatu.”

“Apa tuh?”

“Ada, deh. Kalo dikasih tahu, jadinya nggak surprise dong.”

“Oh. Aku mau ke kosan Belvi. Ketemu di sana aja, gimana?”

“Hmm ... boleh, deh. Sampe jam berapa kamu di sana?”

“Nginap.”

“Oke, deh. Ntar aku nyusul ke kosan Belvi. Eh, tapi kosannya di mana ya?” tanya Chilton.

“Nggak jauh dari kampus. Ntar aku share location kalo udah sampe sana.”

“Oh, deket aja? Sip lah.”

“Oke.”

Mereka terdiam beberapa saat. Delana tidak tahu harus bicara apa begitupun sebaliknya.

“Mmh ... udah dulu ya. Aku mau mandi.” Delana akhirnya berbicara sekaligus berpamitan karena tidak tahu lagi akan membicarakan apa.

“Oke.” Chilton langsung mematikan sambungan teleponnya.

Dengan langkah lunglai dan mata setengah terpejam. Ia berjalan menuju kamar mandi. Kemudian bersiap pergi ke kosan Belvina.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas