BAB 17 - GADIS KAYA YANG MANDIRI
Chilton melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Beberapa kali ia memeriksa ponselnya untuk memastikan Delana sudah membalas pesannya atau belum. Ia melempar ponsel itu ke atas kasur dengan kesal. Kemudian meraih remote televisi yang ia letakkan di atas kasur. Belum sampai ia menyalakan televisi, ponselnya berdering.
Dengan cepat, Chilton menyambar ponselnya dan tersenyum senang karena Delana meneleponnya.
“Halo ...!” sapa Chilton begitu menjawab teleponnya.
“Halo ... lagi di mana?” tanya Delana.
“Di rumah mama. Kenapa?”
“Nggak papa. Tadi, kamu nanyain aku kenapa?”
“Eh!? Ya, nggak papa. Pengen tanya aja.”
“Aneh banget,” celetuk Delana.
“Hehehe. Kamu ke mana aja? Kok, baru balas WA-ku?”
“Beresin kamar.”
“Seharian?” tanya Chilton.
“Iya. Abis dicat ulang dindingnya.”
“Kamu ngecat sendiri?”
“Nggak, lah. Ada tukang.”
“Yang ngerjain tukang, kenapa kamu yang sibuk sampe nggak aktif nomernya?”
“Aku bikinin cemilan buat tukangnya. Terus, aku ngatur ulang posisi furniture kamar aku. Ini juga baru selesai.”
“Oh.”
“Cuma oh?”
“Maunya apa?”
“Maunya ... kamu temenin aku ke showroom. Bisa nggak?” tanya Delana.
“Showroom? Mau beli mobil?”
“Beli motor.”
“Ke dealer kali.”
“Oh, iya. Emangnya apa sih bedanya showroom sama dealer?” tanya Delana.
“Beda!”
“Apa bedanya?”
“Showroom belum tentu ada dealernya. Kalo dealer, biasa udah ada showroom. Showroom buat mamerin produk doang.”
“Oh, gitu? Ya udah, temenin aku ya! Kayaknya kamu lebih paham soal ginian.”
“Oke. Kapan?” tanya Chilton.
“Besok kali ya? Hari ini pasti libur,” jawab Delana.
“Bisa. Jam berapa?”
“Pulang kuliah aja, gimana?” tanya Delana.
“Oke. Pulang kuliah aku jemput.”
“Sip! Tunggu aku depan gang aja ya!” pinta Delana.
“Kenapa? Aku bisa jemput kamu ke rumah.”
“Nggak papa. Biar cepet aja.”
“Oh, ya udah. Kalo emang maunya gitu.”
“Hehehe ... makasih ya!” ucap Delana. “Aku mau mandi dulu.”
“Belum mandi?”
“Belum. Kan aku bilang baru kelar beresin kamar. Belum mandi lah.”
Chilton tertawa kecil. “Ya udah, mandi gih! Bau tau!”
“Emang kecium sampe sana?”
“Banget!”
“Halah ... palingan itu kamu sering membayangkan aku ada di deket kamu terus kan?” goda Delana.
“Eh!? Pede amat ngomong gitu.”
“Hehehe ... bercanda. Aku mandi dulu, ya! Bye ...!” Delana mematikan sambungan teleponnya.
***
Keesokan harinya, Delana melenggang masuk ke kelas dengan sumringah. Ia langsung duduk di kursinya.
Ivona yang ada di sampingnya mengerutkan kening melihat Delana masuk kelas sambil bersenandung riang.
“Bahagia banget? Abis nge-date sama Chilton?” tegur Ivona.
“Nggak. Tapi mau!” sahut Delana gemas.
“Idih, centil amat!” celetuk Belvina yang duduk di belakang Delana.
“Sewot!” Delana mencebik ke arah Belvi. Belvi hanya tertawa menanggapinya.
“Pulang kuliah, aku mau jalan sama dia,” tutur Delana berbisik.
“Bukannya biasa juga jalan bareng ke tempat kalian ngajar?” tanya Belvina.
“Ini beda. Bukan ke tempat ngajar,” tutur Delana.
“Terus kemana?” tanya Ivona penasaran.
“Mau cari motor.”
“Motormu?” tanya Belvina.
Delana menganggukkan kepala.
“Mau ganti motormu yang hilang itu, Del?” tanya Ivona.
“Iya.”
“Terus pihak kantor kamu gimana? Nggak ada tanggung jawab sama sekali sama motormu yang hilang itu?” tanya Ivona.
Delana menggelengkan kepala. “Biar aja, lah. Aku juga nggak mau ribut.”
“Gitu memang kalo jadi orang kaya. Motor ilang, tinggal beli lagi. Coba kalo kita, ngilangin motor bisa-bisa nggak dikasih uang jajan lima tahun,” celetuk Belvina.
Delana dan Ivona tertawa mendengar ucapan Belvina. Mereka langsung memperbaiki posisi duduk ketika dosen memasuki kelas.
Setelah mata kuliah selesai, Delana langsung berlari keluar kelas. Ia tidak ingin Chilton menunggunya terlalu lama.
Delana menghentikan langkahnya saat ia sampai di gerbang masuk kampus. Dengan santai Chilton duduk di atas motor yang ia parkir di depan pintu gerbang. Delana ingin tertawa melihat kelakuan Chilton. Tapi, ia tahan karena Chilton terus menatapnya.
Delana melangkahkan kaki menghampiri Chilton. “Kamu ngapain parkir motor di sini? Ngehalangin orang mau lewat,” sapa Delana begitu ia sampai di depan Chilton.
“Ngehalangin gimana? Masih lebar gini,” jawab Chilton sembari menunjukkan gerbang kampus yang lebarnya lebih empat kali panjang motornya.
Delana tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak malu dilihatin banyak orang?”
“Aku udah biasa dilihatin banyak orang.” Chilton tersenyum membanggakan diri. “Ayo naik!” pintanya pada Delana agar segera naik ke atas motor miliknya.
“Aku?” Delana menunjuk dirinya sendiri. “Aku jalan kaki aja.”
“Naik atau aku nggak temenin kamu cari motor?” ancam Chilton.
Delana menghela napas. “Rumah aku deket, jalan kaki nyampe.”
“Oke, kalo gitu. Aku nggak bisa nemenin kamu pergi.” Chilton menyalakan mesin motornya dan mengopel gas tinggi.
“Iya, iya. Aku naik!” Delana menahan lengan Chilton dan langsung bergegas menaiki motornya.
Chilton tersenyum penuh kemenangan dan mengantarkan Delana pulang ke rumah.
“Kamu udah mandi?” tanya Delana begitu mereka sampai di depan rumah.
“Udah.”
“Kalo gitu, kamu tunggu di teras ya! Aku mau mandi dulu,” pinta Delana.
Chilton menganggukkan kepala. “Jangan lama-lama! Keburu dealernya tutup.”
“Apaan, masih jam dua gini,” sahut Delana.
“Yah, siapa tahu aja mandinya sampe jam enam sore,” celetuk Chilton cekikikan.
Delana mencebik ke arah Chilton. Ia bergegas masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap berangkat menuju tempat penjualan motor.
Beberapa menit kemudian, Delana sudah siap dan langsung keluar dari rumah menghampiri Chilton.
“Dek, Kakak berangkat dulu ya!” teriak Delana pada Bryan yang sedang makan siang sendirian.
“Ya.” Terdengar suara Bryan menyahut dari dalam rumah.
“Dah siap?” Chilton langsung bangkit dari tempat duduknya begitu Delana keluar dari pintu rumahnya.
Delana menganggukkan kepala. Mereka langsung bergegas pergi bersama mencari tempat penjualan sepeda motor yang akan mereka datangi.
“Chil, kita ke dealer mana?”
“Yang di MT Haryono aja.”
Delana mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
“Kamu mau cari motor apa?” tanya Chilton saat mereka masih di perjalanan.
“Motor yang sama.”
“Yang ilang kemarin?” tanya Chilton.
“Iya.”
“Kenapa nggak cari motor yang keluaran baru?”
“Nanti ayah nanyain kalau aku ambil motor baru,” jawab Delana.
“Hah!? Ayahmu belum tahu kalau motormu hilang?” tanya Chilton terkejut.
“Belum.”
“Gimana caranya dia nggak tahu, motor nggak ada di rumah.”
“Ayah pulang kerja selalu malam. Dia nggak perhatikan motorku.”
“Adik kamu nggak nanyain?”
“Enggak. Tapi, kayaknya dia udah curiga.”
“Kenapa kamu nggak jujur sama orang rumah?” tanya Chilton.
“Aku bukan nggak jujur. Nggak ada yang tanya, jadi aku pikir nggak perlu ngomong.”
“Jadi nunggu ditanyain baru kamu ngomong kalo motormu hilang?”
Delana menganggukkan kepala. “Iya.”
Chilton terdiam. Ia tak bertanya lagi sampai mereka sampai di halaman parkir dealer yang mereka tuju.
Delana turun dari motor Chilton dan melepas helmnya. Chilton langsung mengambil helm dari tangan Delana dan meletakkan di atas motornya.
Dari dalam toko terlihat SPG sudah berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Chilton dan Delana.
“Selamat sore ... selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” SPG cantik itu tersenyum manis ke arah Delana dan Chilton.
Chilton memasang senyum paling manis yang ia punya dan membuat para SPG tak berkedip menatapnya.
Delana menyubit pinggang Chilton untuk menghentikan aksi centilnya. “Kenapa kayak gitu sih!?” dengusnya kesal.
“Udah, lihat aja nanti!” bisik Chilton sembari memeluk pinggang Delana mesra.
Beberapa pelanggan cewek hampir berteriak melihat Chilton memperlakukan Delana begitu mesra. Semua mata iri melihat dua pasangan yang sangat serasi.
“Bisa lihat brosur scoopy?” tanya Chilton pada SPG.
“Eh!? Bisa, Mas.” Cewek cantik Sales Promotion Girls tersebut terlihat gugup. Ia terburu-buru mencari brosur yang ada di atas meja dan menjatuhkan beberapa barang yang ada di atas meja.
Delana mulai kesal dengan sikap Chilton yang mulai tebar pesona, bisa saja cewek- cewek itu nekat mengejar Chilton. Itu artinya, dia harus punya banyak pesaing untuk mendapatkan cinta Chilton.
Chilton tersenyum menerima brosur dari tangan SPG. Ia memeluk pinggang Delana dan mengajaknya duduk di kursi tunggu sembari melihat-lihat brosur yang ada di tangan Chilton.
“Kamu mau yang mana?” tanya Chilton menyodorkan brosur ke hadapan Delana.
Delana mengambil brosur dari tangan Chilton dan meneliti produk yang tertera satu per satu.
“Kok, nggak ada sih?” Delana membolak-balik brosur beberapa kali.
“Apanya?”
“Motor yang warnanya sama kayak punyaku.”
“Itu kan cuma gambar contoh. Langsung tanya aja! Siapa tahu masih ada.” Chilton menunjuk meja resepsionis.
“Temenin!” pinta Delana.
“Aku rasa perempuan lebih mudah mengambil perhatian laki-laki,” tutur Chilton sembari menatap cowok setengah baya yang duduk di balik meja resepsionis.
“Ish, males banget. Emangnya aku cewek apaan!?” tutur Delana kesal.
“Biar bisa dikasih harga miring lah,” sahut Chilton.
“Apa aku kelihatan kayak orang susah sampe harus godain om-om cuma buat dapetin harga motor lebih murah? Selisihnya paling cuma lima ratus ribuan aja.”
Chilton tersenyum menatap Delana. Delana memang cewek berkelas. Ia tidak mungkin mau menggoda laki-laki hanya untuk mendapatkan diskon dari barang yang ia inginkan. “Ayo!” Chilton menggenggam tangan Delana untuk berjalan ke meja resepsionis.
“Ya, Mas. Ada yang bisa dibantu?” tanya laki-laki setengah baya itu. “Silakan duduk!” Ia mempersilakan Chilton dan Delana duduk di depannya.
“Saya cari motor scoopy, yang warna biru putih masih ada?” Chilton mengedarkan pandangannya menatap deretan motor scoopy yang hanya berwarna merah, hitam dan cokelat.”
“Wah ... kosong, Mas. Adanya yang warna itu aja!” Laki-laki itu menunjuk deretan motor scoopy yang dilihat oleh Chilton.
“Gimana?” tanya Chilton pada Delana.
“Cari di dealer lain dulu, gimana?” tanya Delana balik. Ia tetap ingin motor yang sama dengan motornya yang hilang.
“Di sini pusatnya sih, Mbak. Kalo di sini nggak ada, di cabang lain juga nggak ada,” tutur petugas resepsionis.
Delana menghela napas. Ia menimbang-nimbang untuk mengambil sepeda motor berbeda atau mencari sepeda motor bekas pakai yang merk dan modelnya sama.
Chilton menatap wajah Delana. Menunggu gadis itu mengambil keputusan. “Gimana?” tanya Chilton karena Delana tak kunjung memberikan jawaban.
Delana menggigit bibir bawahnya. “Aku bingung.”
“Ck, ngapain bingung sih? Udah di sini juga,” celetuk Chilton. “Mending kamu ambil aja motor yang ada. Kalo ayah atau adik kamu nanyain, jawab jujur aja. Toh, nggak ada yang mau juga kehilangan sepeda motor ‘kan?”
“Hmm ... iya sih.” Delana memutar bola matanya menghadap ke langit-langit. “Iya, deh.”
“Nah, gitu! Daripada ribet.” Chilton langsung memperbaiki posisi duduknya menghadap meja. “Kena berapa scoopy-nya?” tanya Chilton.
“Cash atau kredit?”
Chilton menoleh ke arah Delana, memberi isyarat agar Delana memberikan jawaban.
“Cash,” sahut Delana.
“Kalo cash, kena segini Mas.” Laki-laki setengah baya itu menyodorkan kertas daftar harga.
“Nggak bisa kurang?” tanya Chilton.
“Nggak bisa, Mas. Udah pas.”
“Ini cash, loh. Masa nggak bisa kurang?”
“Hmm ... bisa, Mas. Tapi, nggak banyak?”
“Berapa?”
“Cuma bisa kurang lima ratus aja.”
“Itu sudah sama STNK dan BPKB kan?” tanya Chilton.
“Iya.”
“Gimana?” tanya Chilton pada Delana.
“Iya, deh. Aku ambil yang ini aja.”
“Uang kamu cukup?” tanya Chilton berbisik.
Delana menganggukkan kepala.
Chilton masih terus melakukan negosiasi dengan bos dealer tersebut agar bisa mendapat harga murah. Ia tak menyerah begitu saja sampai akhirnya ia bisa mendapat harga paling murah. “Oke, deh. Kita ambil scoopy.”
Laki-laki itu terlihat sumringah mendapatkan pembeli baru.
“Kita bisa lihat-lihat dulu, kan?” tanya Chilton.
Laki-laki itu mengangguk dan mempersilakan dengan senang hati.
Delana dan Chilton pergi berjalan-jalan untuk memilih motor yang akan mereka beli. Setelah menjatuhkan pilihannya, Delana langsung melakukan transaksi jua beli motor pada saat itu juga.
“Bisa diantar ke rumah kan?” tanya Delana setelah selesai membayar biaya pembelian sepeda motor.
“Bisa, Mbak. Alamatnya sesuai dengan data ini kan?” tanya karyawan dealer yang melayani.
“Iya,” jawab Delana sambil tersenyum.
“Oke. Udah selesai kan? Kita pulang yuk!” ajak Chilton sembari mengedarkan pandangannya. Sebenarnya ia sudah tak nyaman dengan beberapa SPG yang menatapnya centil. Ada yang sengaja berjalan mondar-mandir sambil membusungkan dada agar terlihat menggoda.
“Ayo!” sahut Delana sambil menganggukkan kepalanya.
Chilton merangkul Delana dan langsung keluar dari dealer. Ia sempat melambaikan tangan dan tersenyum pada SPG yang ada di dalam, membuat mereka histeris karena Chilton memang sangat tampan.
“Ehem ...!” Delana berdehem melihat kelakuan Chilton. Tak biasanya Chilton bersikap genit seperti ini.
“Cemburu?” tanya Chilton sembari menyolek dagu Delana.
Delana mengerucutkan bibirnya. “Siapa sih yang nggak cemburu kalo gebetannya godain cewek lain?” batinnya.
“Jangan merengut gitu! Aku cuma bercanda aja sama mereka.”
“Bercandanya nggak lucu. Kalo mereka naksir beneran sama kamu gimana?”
“Biasa aja. Banyak cewek yang naksir sama aku,” celetuk Chilton. Ia mengambil helm Delana yang ia letakkan di atas motornya. “Tapi cuma kamu yang bikin aku nyaman.” Chilton memasangkan helm Delana dan membantu menguncinya.
Delana tersenyum senang. Hatinya berbunga-bunga karena Chilton memberinya banyak harapan. Sampai kapan pun, ia akan tetap mencintai cowok yang ada di depannya saat ini. Sebab hanya dia yang mampu membuat Delana selalu bahagia.
“Ayo, naik!” pinta Chilton yang sudah menyalakan mesin motornya.
Delana tersenyum, ia menaiki motor Chilton. “Kita cari makan dulu ya!” pintanya.
“Mau makan di mana?” tanya Chilton.
“Di Ocean’s.”
Chilton langsung menoleh ke belakang begitu mendengar nama tempat makan yang disebutkan oleh Delana. “Itu restoran mahal.”
“Tenang. Aku yang traktir. Anggap aja tanda terima kasih karena kamu udah nemenin aku beli motor. Jadi dapet potongan harga yang lumayan, hehehe.”
“Ke sana pake motor, nggak papa?” tanya Chilton.
“Emangnya ada larangan ke sana nggak boleh pake motor?”
“Ya, nggak sih. Tapi, yang parkir di sana mobil semua. Masa iya kita pake motor. Ntar dikira nggak bisa bayar.”
“Nggak lah. Mau jalan kaki ke sana pun bisa. Nggak penting kendaraannya, yang penting isi dompetnya,” tutur Delana.
“Ck, aku nggak pede masuk ke sana bawa motor, bawa cewek pula,” celetuk Chilton.
“Kenapa sih? Aku pede aja.”
“Gengsi kita sebagai laki-laki.” Chilton membelokkan motornya ke arah jalan Ahmad Yani saat ia sampai di simpang lampu merah Plaza Balikpapan.
“Loh? Kita mau ke mana? Ocean’s di depan!” teriak Delana menunjuk ke arah Pasar Klandasan.
“Ke rumah Mama. Aku ambil mobil dulu.”
“Astaga ...! Ngapain ribet sih? Tinggal maju dikit aja kita udah sampe. Malah muter ke Gunung Dubs lagi kan jauh, Chil.”
“Nggak, sebentar aja.” Chilton menambah kecepatan motornya. Membuat Delana langsung memeluknya erat-erat.
“Kalo kamu malu mau ke sana pake motor, kita makan bakso aja yang deket sini. Jadi, nggak usah ribet ambil mobil,” seru Delana.
Chilton tak menghiraukan seruan Delana. Ia terus melajukan motornya melewati jalan Tanjung Pura.
“Tunggu sini!” pinta Chilton begitu mereka sampai di halaman rumah. Ia segera masuk ke dalam rumah untuk membuka garasi mobil.
“Chil, aku rasa kita nggak perlu kayak gini deh. Nggak harus makan di sana kalo emang kamu nggak bisa,” tutur Delana saat Chilton mendorong motornya ke dalam garasi.
“Nggak papa. Aku juga mau ke sana minum bir.” Chilton menurunkan standar motor dan membuka kunci mobilnya.
“Serius?” tanya Delana sembari mengamati wajah Chilton.
Chilton tersenyum lebar menanggapi tatapan Delana. “Tiga rius!”
“Senyumnya kayak nggak ikhlas gitu,” celetuk Delana.
Chilton tertawa kecil. “Udah, ayo masuk!” pinta Chilton sembari membukakan pintu mobil untuk Delana.
Delana tersenyum, ia melangkahkan kaki perlahan dan memasuki mobil Chilton.
Chilton membungkukkan badannya menatap Delana yang sudah duduk di dalam mobil. Ia tersenyum sembari mengusap ujung kepala Delana, kemudian menutup pintu mobil. Ia berjalan menuju pintu kemudi, menyalakan mesin mobil dan mengeluarkan mobilnya dari garasi secara perlahan.
Setelah mobilnya berada di tepi jalan. Chilton keluar dari mobil untuk mengunci garasi dan pintu pagar rumahnya. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan bergegas melajukan mobilnya ke arah jalan Jenderal Sudirman.
Sepuluh menit kemudian, mobil Chilton sudah terparkir di depan Ocean’s Resto. Chilton ingin membukakan pintu untuk Delana, tapi cewek itu sudah membuka pintu sendiri untuknya. Ia tersenyum menatap Delana yang terlihat sangat mandiri dan tidak manja. Tapi, entah kenapa nalurinya ingin selalu memanjakan gadis itu tanpa diminta.
Chilton menggenggam erat tangan Delana memasuki ruang restoran, membuat perasaan Delana berbunga-bunga.
Delana semakin yakin kalau hubungan mereka akan berlanjut ke jenjang yang lebih baik lagi. Rasanya, ia ingin melompat-lompat ke sana kemari untuk mengungkapkan kebahagiaannya saat ini.
“Kita di belakang aja ya!” pinta Chilton, ia mengajak Delana duduk di salah satu meja dengan pemandangan pantai yang indah. Semilir angin pantai mengajak rambut indah Delana menari-nari bahagia, senada dengan senyum bahagia yang terlukis di bibirnya.
“Kamu mau makan apa?” tanya Chilton. Ia menepuk tangan memanggil waitres yang kebetulan berada tak jauh dari mereka.
Dengan sopan, pelayan tersebut menghampiri Chilton dan menanyakan menu apa yang akan mereka pesan.
“Aku mau kepiting,” tutur Delana.
Chilton memesan beberapa makanan yang ada di dalam daftar menu. Ia juga memesan satu botol bir untuk dinikmati bersama Delana.
“Kamu sering ke sini?” tanya Chilton sembari menunggu pesanan makanan mereka datang.
“Nggak juga. Kalo diajak sama Ayah aja sesekali. Aku kan jarang makan di luar.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepala. Ia tahu kalau Delana pintar memasak dan jarang sekali makan di luar. Tapi, pilihan tempat makannya adalah tempat-tempat berkelas.
Tak berapa lama, pesanan mereka pun datang.
“Chil, makasih ya udah anterin aku cari motor. Kalo gak ada kamu, mungkin aku gak bisa dapet diskon.”
Chilton tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menatap makanan yang sudah terhidang di atas meja sambil memegangi perutnya yang keroncongan.
“Laper ya? Mari makan ...!” seru Delana ceria.
Chilton tertawa kecil melihat Delana dengan semangat melahap kepiting pesanannya. Kemudian mereka asyik menikmati hidangan tanpa bersuara.
“Mau minum?” Chilton meraih botol bir yang yang sudah tersedia di atas meja.
“Eh!? Biar aku aja yang nuangin!” Delana menyambar botol bir tersebut, ia bangkit dan menuangkannya ke dalam gelas kosong yang ada di depan Chilton. Kemudian menuangkan ke gelas yang ada di depannya sendiri.
“Cheers ...!” Delana duduk sambil mengangkat gelas miliknya.
Chilton tertawa kecil, ia mengangkat gelas bir miliknya dan menyentuhkannya pada gelas Delana. Kemudian mereka menikmati bir bersama sambil menatap lautan yang indah.
“Del ...!” panggil Chilton.
“Ya,” sahut Delana menoleh.
“Kamu pernah ke sini sebelumnya sama orang lain selain ayah kamu?” tanya Chilton.
“Maksudnya pacar?” tanya Delana.
“Ya ... sejenis itu.”
“Aku belum pernah punya pacar.”
Chilton mengernyitkan dahinya menatap Delana. “Orang yang nggak pernah pacaran bisa memberikan perhatian untuk orang lain seperti sudah profesional dalam berpacaran.
“Profesonal apaan?”
Chilton tertawa kecil. “Dari cara kamu ngasih perhatian, dari cara kamu bersikap udah nunjukkin kalo kamu terlatih dalam hal memberikan kasih sayang.”
“Oh .. itu? Mungkin karena aku terbiasa merawat ayah dan Bryan dari kecil.” Delana tersenyum ke arah Chilton.
“Aku tahu rasanya seperti apa. Kita sama. Kamu besar tanpa seorang ibu dan aku besar tanpa seorang ayah,” tutur Chilton perlahan.
“Sudahlah. Aku nggak mau bahas soal ginian. Cuma bikin aku sedih,” sahut Delana.
Chilton tertawa kecil sambil menatap Delana. Cewek yang selalu ceria mengisi hari-harinya saat ini. Ia tidak tahu bagaimana carnaya berterima kasih pada gadis yang menciptakan keindahan dalam harinya.
“Del, makasih ya!” ucap Chilton.
“Untuk apa?” tanya Delana.
“Hmm ... untuk traktirannya,” jawab Chilton. Sebenarnya, ia ingin mengatakan kalau ia berterima kasih atas cinta yang diberikan Delana untuknya.
“Ah, biasa aja. Cuma traktir makan doang,” tutur Delana sambil tertawa. “Nggak ada bedanya sama aku bawain kamu sarapan setiap pagi.”
Chilton tertawa kecil. Ia menatap wajah Delana yang ikut berkilauan tertimpa cahaya matahari yang memantul dari lautan. Indah, satu kata yang bisa ia ungkapkan untuk sosok wanita yang bersamanya saat ini.
.png)
0 komentar:
Post a Comment