BAB 16 - DIHANCURKAN OLEH MASA LALU
Chilton melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia tersenyum kecil sembari memainkan kunci motor dengan tangannya. Ia tenggelam dalam perasaan bahagianya hingga tak melihat mamanya yang sudah duduk di meja makan menunggunya. Ia berlalu begitu saja hingga membuat mamanya menggelengkan kepala.
“Dari mana?” tanya Astria yang melihat puteranya melintas, melewati meja makan yang berada di dapur dan tak menyadari kalau mamanya ada di dalam rumah.
Chilton menghentikan langkahnya, ia mundur beberapa langkah dan menengok ke arah dapur.
“Mama?” Chilton membelokkan langkahnya memasuki dapur.
“Kamu dari mana? Kelihatan bahagia banget?” Astria menatap Chilton sambil tersenyum penuh arti.
“Dari tempat ngajar.” Chilton melangkahkan kaki mendekati mamanya, ia meletakkan kunci motor di atas meja, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke kursi.
“Ketemu sama siapa di sana? Kelihatannya seneng banget?”
“Eh!? Biasa aja. Ketemu sama temen-temen kerja seperti biasa.”
“Apa ketemu temen biasa bisa sebahagia itu?” tanya Astria menggoda.
“Ah, Mama. Masak apa nih?” tanya Chilton mengalihkan pembicaraan. Ia mengamati makanan yang sudah tersaji di atas meja makan.
“Hmm ... mau ngalihin pembicaraan?” dengus Astria. “Kamu udah jadian sama dia?” tanya Astria setengah berbisik.
“Enggak.” Chilton menggelengkan kepala, ia langsung menyomot perkedel jagung yang tersaji di meja.
“Hmm ...” Astria mengangguk-anggukkan kepala, kemudian ia menunjuk syal yang ada di leher Chilton dengan dagunya. “Itu ... pake syal siapa?”
“Eh!?” Chilton menatap syal yang masih melingkar di lehernya. “Oh, ini punya Delana.”
“Ciyeee ...!”
“Apaan sih, Ma!?”
“Mama seneng aja, akhirnya anak Mama udah laku.”
“Laris, Ma. Ganteng ini!”
“Tapi belum punya pacar.”
“Eh!?”
“Pasti dia perhatian banget sama kamu. Sampe dikasih syal, biar nggak kedinginan.”
“Halah ... ini cuma dipinjamin aja. Besok aku cuci dan balikin ke dia.”
“Yah, walau cuma ngasih pinjam. Artinya dia udah perhatian banget sama kamu.”
“Cuma ngasih pinjem kayak gini masa perhatian?” celetuk Chilton sembari melepas syal yang melingkar di lehernya.
“Iya, dong. Itu kan biar kamu nggak kedinginan dan nggak sakit.”
Chilton tertawa kecil menatap syal yang ia letakkan di atas meja.
“Biasanya, kalo di film-film gitu si cowoknya yang ngasih pinjem jaket biar ceweknya nggak kedinginan. Ini malah ceweknya yang ngasih syal ke cowok biar nggak kedinginan,” tutur Astria menggoda sambil cekikikan.
“Korban film,” celetuk Chilton.
“Lah? Biasanya kan gitu. Waktu mama pacaran, pacar mama yang ngasih pinjem jaketnya biar nggak kedinginan.”
“Dia udah pake sweeter hangat. Masa mau aku kasih pinjem jaket lagi?” sahut Chilton.
“Kamu sendiri nggak pake jaket,” celetuk Astria.
Chilton nyengir. “Ketinggalan di asrama.”
“Gimana kalo dia nggak pake jaket? Kamu mau biarin dia kedinginan malam-malam gini?”
“Dia udah pake jaket, Ma.”
“Seandainya enggak?”
“Aku beliin aja jaket di toko. Banyak toko buka,” jawabnya santai.
Astria menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya.
“Dia itu beda sama yang lain,” ucap Chilton.
“Itu yang bikin kamu tertarik sama dia?”
“Aku nggak tertarik.”
Astria menghela napas. “Kalau nggak tertarik, kenapa sering jalan bareng?” tanya Astria.
“Ya ...” Chilton memutar bola matanya. “Dia yang ngajak, aku nggak bisa nolak.”
“Apa termasuk nggak bisa nolak perasaannya dia?” tanya Astria.
Chilton mengedikkan bahunya. “Kalo yang itu belum tahu. Kita baru aja kenal. Aku nggak mau buru-buru.”
“Jangan kasih harapan kalo kamu nggak suka sama dia. Itu lebih menyakitkan buat perempuan daripada ditolak cintanya!” tutur Astria.
“Aku nggak ngasih harapan.”
“Kenapa sering jalan bareng dia?”
“Aku nyaman aja.”
Astria tersenyum senang mendengar ucapan Chilton. Ia sangat senang dengan Delana, anak yang baik, ceria dan penyayang. “Jadi, udah jadian sama dia?”
“Hah!? Mana ada. Cuma temen.”
“Lebih dari temen juga nggak papa. Mama suka sama dia. Anaknya baik, ramah, penyayang dan bisa menghidupkan suasana.”
Chilton tersenyum kecil. “Ya, aku tahu. Dia juga suka sama aku.”
“Kalo gitu, kenapa nggak pacaran?”
“Apa aku harus pacarin semua cewek yang suka sama aku?” tanya Chilton balik.
Astria tersenyum menyelidik. Memang tidak mungkin ia meminta Chilton berpacaran dengan wanita yang menyukainya. Anaknya terlihat tampan dan memesona, ia rasa banyak wanita yang ingin menjadi kekasihnya.
“Ya udah, makan dulu! Kamu sudah makan atau belum?” Astria menyodorkan piring kosong ke depan Chilton.
“Belum.”
“Jalan sama cewek nggak ngasih makan?” tanya Astria lagi.
“Ngasih, lah. Emangnya aku kelihatan kere banget apa? Dianya yang nggak mau diajak makan,” sahut Chilton sewot.
“Cewek mah emang gitu. Biar laper ngomongnya kenyang karena gengsi.”
“Aku rasa dia bukan tipe cewek begitu.”
“Oh ya? Kenapa nggak mau diajak makan?’
Chilton mengedikkan bahunya. “Udah beli jagung rebus sama kacang. Dia juga nggak begitu suka makanan di luar. Dia lebih suka masakan rumah.”
Astria tertawa kecil. “Kenapa nggak diajak ke sini lagi? Biar makan malam bareng sekalian.”
Chilton menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sama sekali tidak kepikiran mengajak Delana mampir ke rumahnya. Padahal, tempat les dan rumah Chilton jaraknya tak begitu jauh.
“Kamu udah tahu banyak tentang dia, gitu juga sebaliknya. Kenapa nggak jadian aja, sih? Mama geregetan lihat kalian,” ucap Astria.
Chilton tersenyum kecil. “Nggak semudah itu. Aku juga belum yakin dia suka beneran sama aku atau enggak. Bisa jadi, dia suka sama aku cuma karena ganteng doang. Yang lain, belum tentu dia suka.”
“Apa selama ini ada yang dia nggak suka dari kamu? Mama rasa dia suka semua. Termasuk sikap cuek dan dinginmu itu.”
Chilton tertawa kecil membayangkan wajah Delana yang tetap sabar saat ia mengomel atau memarahi cewek itu. “Dia itu sabar banget,” celetuk Chilton. “Mau ngelakuin apa aja buat aku. Dia nggak malu ngelakuin itu. Padahal, aku sering marah dan dia tetep sabar. Bingung aku, hatinya dia itu terbuat dari apa?”
Astria tersenyum menatap mata anaknya. “Banyak cewek cantik di dunia ini. Tapi nggak banyak yang hatinya cantik. Mama lihat, dia tulus sama kamu.”
“Mama tahu dari mana?” tanya Chilton.
“Kita sama-sama perempuan.”
Chilton menghela napas. “Memang cuma wanita yang bisa mengerti wanita. Aku nggak paham sama sekali.”
Astria tertawa kecil. “Kalau kata anak zaman sekarang, kamu tuh nggak peka.”
Chilton menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak ingin membuat mamanya terus-menerus mengajukan pertanyaan, terlebih tentang Delana. Tapi entah kenapa ia merasa nyaman bercerita tentang gadis itu pada mamanya. Satu hal yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya.
“Ya udah, kita makan dulu!” pinta Astria.
Chilton menganggukkan kepala dan mulai menyantap makanan yang sudah dihidangkan oleh mamanya.
“Kuliahmu gimana?” tanya Astria.
“Baik.”
“Kapan ujian semester?”
“Belum tahu.”
“Uang kuliah udah dibayar?”
“Udah.”
“Besok kuliah?”
“Libur.”
Astria menghela napas. Ia seringkali bingung harus bertanya apa pada anaknya sendiri. Sebab, Chilton sering menjawab pertanyaan dari mamanya sesingkat mungkin. Hal ini membuat Astria begitu menyadari perbedaan yang terjadi pada anaknya. Chilton jarang sekali bicara. Tapi, ia bisa bercerita banyak bila mamanya membahas soal Delana.
“Kapan jadian?” tanya Astria mencoba mengetes reaksi Chilton.
“Eh!?” Chilton langsung mendongakkan kepala menatap mamanya. Sendok yang ia suapkan masih ada di dalam mulutnya. Cepat-cepat ia menyuap makanan ke dalam mulutnya. “Mama apaan sih!?” celetuk Chilton dengan mulut penuh makanan.
Astria tertawa kecil. “Kamu tuh, kalo ditanya yang lain jawabnya cuek amat. Giliran ditanya Delana, ceritanya banyak sambil senyum-senyum,” goda Astria.
Chilton menahan tawa. “Kalo mama ngolok terus, aku pulang ke asrama nih,” tutur Chilton.
“Yah, gitu aja ngambek.”
Chilton tergelak melihat ekspresi wajah mamanya yang tiba-tiba berubah jadi murung.
“Kamu ngerjain Mama?” dengus Astria.
“Enggak,” jawab Chilton menahan tawa. Ia senang sekali menjahili mamanya saat mereka sedang bersama.
“Dasar!” celetuk mamanya sembari membereskan bekas makan mereka yang sudah habis.
“Mama beneran suka sama dia?” tanya Chilton sambil tersenyum senang.
“Emang Mama kelihatan main-main?”
“Doain ya Ma! Semoga cewek yang Mama suka bisa jadi jodohku,” tutur Chilton.
“Aamiin,” sahut Astria. “Mama harap, kamu tidak akan salah memilih dan tidak mengecewakan Mama.”
Chilton tersenyum menatap mamanya yang sibuk membereskan meja makan dan dapurnya. Untuk seorang laki-laki, ia akan melakukan apa pun untuk bisa membahagiakan wanita yang ia cintai. Dia tidak akan menjadi pecundang jika semua itu untuk mamanya. Perempuan yang telah banyak berjuang dan berkorban untuknya.
***
Astria membereskan dapur usai makan malam bersama Chilton. Ia mencuci piring sambil terus tersenyum melihat perubahan anaknya. Entah kenapa, ia merasakan kebahagiaan kedekatan anaknya dengan Delana.
Astria menatap langit dari jendela dapurnya. Tiba-tiba, bayangan masa lalu berkelebat di pelupuk matanya. Bayangan kisah kelam masa SMA-nya.
“Aku hamil ...,” Astria terisak di sudut ruangan.
“Apa? Hamil?” Cowok berseragam SMA itu mendelik ke arah Astria.
Astria menganggukkan kepala perlahan. Matanya basah, ia tidak sendiri tidak menyangka kalau ia harus mengandung di usianya yang masih belia. Hanya untuk membuktikan rasa cintanya pada laki-laki yang ia sukai, ia harus rela mengorbankan tubuhnya dan juga masa depannya.
“Aargh ...!” Cowok itu berteriak sambil meninju dinding yang ada di sebelah kepala Astria. “Gugurin anak itu!” bisiknya sembari menatap tajam mata Astria. Ia merapatkan gigi-giginya, matanya merah menahan amarah.
Astria menggelengkan kepala sambil menatap iba pada cowok itu. Ia tidak ingin membunuh janin yang ada dalam perutnya. Ia tahu telah melakukan dosa, tapi membunuh anak yang tak bersalah adalah hal yang paling biadab. Sedang anak itu adalah buah cintanya sendiri, buah dari waktu yang ia gunakan untuk bersenang-senang bersama cowok yang ia cintai tanpa memikirkan masa depan.
“Kita masih sekolah. Apa kamu pikir aku siap jadi bapak? Hah!?” Cowok itu semakin geram karena Astria menolak menggugurkan kandungannya.
“Aku nggak mau bunuh anak ini. Ini anak kita. Kenapa kamu tega banget mau bunuh anak kita?” Astria terisak.
“As, aku nggak siap nikah. Kita masih sekolah. Kamu pikir itu anak mau hidup pake apa? Mau dikasih makan batu?”
“Kita pasti bisa hidupin anak ini, gimana pun caranya. Please ... Nikahin aku!” Astria mengenggam tangan cowok itu.
Cowok itu langsung menepiskan tangan Astria. Ia menatap tajam mata Astria yang hanya berjarak lima sentimeter dari matanya. Tangan kanannya menangkap rahang Astria dan menekannya erat. “Aku mau kamu gugurin bayi itu! Aku nggak mau keluarga aku tahu soal ini.”
“Sakit ...,” rintih Astria saat rahangnya ditekan sangat erat oleh cowok itu.
“Gugurin ...!” teriak cowok itu lagi, ia terus memaksa Astria untuk menggugurkan kandungannya.
Astria menggelengkan kepala perlahan. Air matanya semakin basah saat melihat cowok yang ia cintai berubah menjadi monster yang menakutkan. Dia lupa bahwa mereka pernah menjalani hari-hari indah bersama. Lalu, ketika buah cinta itu hadir ... tak membuat cowok itu semakin romantis. Justru menjadi monster yang siap melukai Astria saat itu juga.
“Aku nggak akan bunuh dia. Aku bakal ngerawat anak ini, sekalipun tanpa kamu,” tutur Astria lirih sembari memeluk perutnya sendiri. Ia takut, pacarnya akan nekat melukai anak yang ada di dalam janinnya itu.
Cowok itu melirik perut Astria yang belum terlihat membuncit. “Bagus!” Cowok itu melepaskan rahang Astria. “Jangan bilang sama siapa pun kalau anak itu anak aku! Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi,” bisik cowok itu dan berlalu pergi meninggalkan Astria begitu saja.
Astria menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan terisak. Ia tidak tahu harus bagaimana menjalani hidupnya. Masa remajanya kini terenggut. Tapi, ia begitu mencintai anak yang ada di dalam rahimnya dan bertekad kuat akan melakukan apa pun demi buah hatinya. Meski semua harus ia jalani sendiri. Sebab, ini semua kesalahan yang ia perbuat dan ia harus rela menerima akibat dari perbuatannya sendiri.
Perasaan Astria hancur lebur. Ditinggalkan oleh cowok yang ia cintai dalam keadaan hamil. Kisah-kisah manis dan janji-janji manis pacarnya membuatnya terus terisak dan merasakan sakit yang lebih sakit daripada ditusuk belati.
Hari itu, menjadi hari yang paling kelam bagi Astria. Tapi juga menjadi hari yang baru untuknya. Ia memilih berhenti sekolah dan pindah ke luar kota. Jauh dari keluarga dan berusaha menghidupi anaknya seorang diri.
Astria memilih kota Balikpapan sebagai tempatnya memulai hidup baru. Ia mencari pekerjaan sambilan. Apa saja ia kerjakan demi bisa menghidupi dirinya sendiri dan calon bayi dalam perutnya.
Uang yang ia dapat dari bekerja sambilan, ia sisihkan sedikit demi sedikit untuk memulai sebuah bisnis kecil-kecilan.
Ia juga tak menyangka kalau usahanya terus berkembang dan kini ia bisa menghidupi anaknya dengan baik. Memberikan fasilitas yang baik untuk anak laki-laki satu-satunya.
Astria awalnya bekerja di salah satu rumah makan. Dia punya hobi membuat kerjainan tangan. Dari hobinya, ia sedikit demi sedikit memulai bisnis penjualan barang kerajinan dan bahan-bahan untuk membuat kerajinan tangan. Seiring dengan perkembangan bisnisnya, ia merambah ke dunia fashion dan hiburan. Tentunya, bukan hal yang mudah bagi Astria menjalani semua itu seorang diri. Terlebih, ia juga harus membagi waktu untuk anaknya.
Hari ini, Kehidupannya sudah jauh lebih baik dari kehidupannya belasan tahun lalu. Sebab, usahanya sudah berjalan dengan baik dan ia bisa meluangkan waktu untuk anaknya. Setidaknya, ia bisa melihat bagaimana putranya merasakan jatuh cinta pada seorang perempuan. Walau ia seringkali tidak bisa menyaksikan bagaimana puteranya tumbuh menjadi dewasa.
Astria mencoba tersenyum, walau matanya terus basah karena mengingat masa lalu membuatnya terus terluka. Menjadi single mom sejak SMA sampai puteranya duduk di bangku kuliah tentunya tidak mudah. Andai tak ada Chilton dalam hidupnya, mungkin ia tidak akan sekuat ini.
“Mama kenapa?” Tiba-tiba Chilton merangkul Astria dari belakang.
“Eh!?” Astria mengusap air matanya. “Nggak papa. Kamu belum tidur?” tanya Astria. Ia membalikkan tubuhnya menatap Chilton.
“Aku benci apa pun yang bikin Mama nangis.”
“Kenapa? Mama nangis bukan karena sedih. Mama menangis karena bahagia. Mama punya seorang anak yang sangat istimewa dalam hidup Mama.” Astria mengusap rambut Chilton perlahan. Ia menatap lekat mata anaknya yang kini tumbuh menjadi laki-laki dewasa.
“Mama masih tidak percaya kalau Chilton kecilnya Mama sekarang sudah menjadi laki-laki dewasa.” Astria tidak bisa menahan air matanya jatuh ketika menatap Chilton, satu-satunya harta paling berharga yang ia punya saat ini.
Chilton langsung memeluk erat tubuh mamanya. “Sekalipun itu air mata bahagia, aku nggak mau lihat Mama nangis. Karena aku tetap nggak bisa bedain air mata bahagia dan kesedihan. Mama bisa bohongi semua orang, tapi jangan bohongi aku! Aku sayang sama Mama.”
“Mama juga sayang banget sama kamu,” tutur Astria terisak.
“Please, jangan nangis Ma!” Chilton melepas pelukannya dan mengusap air mata mamanya.
Astria tersenyum. “Mama bahagia punya kamu dalam hidup Mama.”
Chilton membalas senyum mamanya dan memeluknya erat.
***
“Ma, nggak kerja?” Chilton mengernyitkan dahinya saat melihat mamanya masih duduk santai di depan televisi. Sementara, waktu sudah menunjukkan jam delapan pagi dan seharusnya sudah berada di kantor.
“Enggak. Belum nggak ada jadwal meeting. Kerjaan bisa Mama pantau dari rumah,” jawab Astria sambil tersenyum. “Kamu nggak kuliah?”
Chilton tak langsung menjawab, ia duduk di samping mamanya sambil meraih snack yang tersedia di atas meja. “Libur.”
“Oh iya, Mama lupa.”
Chilton tersenyum. Ia mengambil ponsel dari saku celana. Ia mengirimkan pesan pada Delana. “Di mana?” tanya Chilton via Whatsapp.
Astria menghela napas melihat sikap anaknya. “Ehem ... mamanya dicuekin karena hp,” celetuknya.
Chilton tersenyum dan langsung merangkul mamanya. “Ma ...!” panggilnya lirih.
“Apa?”
“Mama pernah jatuh cinta?” tanya Chilton.
Astria menatap wajah anaknya. “Kenapa tanyanya begitu? Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang?”
“Jawab dulu pertanyaanku!” pinta Chilton.
“Kalo Mama nggak pernah jatuh cinta, gimana bisa ada kamu?” sahutnya sambil tersenyum.
Chilton tertawa kecil menanggapi ucapan mamanya. Ia sudah mengerti maksud dari ucapan mamanya.
“Kamu lagi jatuh cinta?” tanya Astria lagi.
Chilton tersenyum, melepas tangannya dari pundak Astria. “Enggak.”
“Yang bener?”
“Bener.”
“Yang kemarin kamu ajak ke sini, siapa?”
“Temen.”
“Temen apa demen?”
“Temen, Ma.”
“Temen spesial?”
“Belum.”
“Kalo belum, berarti mau?”
Chilton tertawa kecil menanggapi pertanyaan mamanya. Kalau sudah menyangkut soal Delana, sepertinya mamanya yang lebih bernafsu mendengar cerita tentang cewek itu.
“Mama tahu, kamu lagi jatuh cinta dan nggak mau mengakuinya.”
“Mama tahu dari mana? Aku nggak lagi jatuh cinta.”
“Orang yang lagi jatuh cinta, nggak ditunjukkan secara verbal juga sudah kelihatan.” Astria berusaha menahan senyum.
“Eh!? Masa sih? Kelihatan dari mananya?” tanya Chilton.
“Banyak.”
Chilton mengangkat kedua alisnya sembari menatap mamanya. “Contohnya?”
“Kamu lebih banyak tersenyum akhir-akhir ini,” jawab Astria.
Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Apa benar aku jatuh cinta?” batinnya dalam hati. Ia sendiri tidak tahu apakah ia jatuh cinta pada Delana. Ia hanya merasa nyaman berada di dekat Delana. Tidak ada keinginan lebih untuk menjadikannya seorang pacar.
“Kamu nggak sadar lagi jatuh cinta?” tanya Astria menyelidik.
“Aku nggak jatuh cinta,” sahut Chilton mengelak.
“Nggak usah ngeles, deh! Mama tahu kamu lagi jatuh cinta. Jangan-jangan ... kamu juga nggak sadar jatuh cintanya sama siapa?”
“Iya, ganteng gini. Siapa yang nggak mau,” sahut Chilton percaya diri.
“Bukan soal siapa yang mau dan nggak mau. Ini soal perasaan kamu, bukan mereka.”
Chilton tersenyum kecil. “Lihat aja nanti!”
Astria tersenyum menatap puteranya. “Dengan siapapun kamu, jadilah laki-laki yang bertanggung jawab!” pesan Astria.
Chilton hanya tersenyum menanggapi pesan mamanya. “Mama nggak pengen nikah?” tanya Chilton.
Astria menghela napas dalam-dalam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan dari anaknya. Ia sendiri masih belum yakin apakah ia bisa menjalani hidupnya dengan orang lain. Melihat wajah anaknya saja sudah cukup membuatnya bahagia dan bersemangat.
Chilton menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas panjang. Ia merentangkan tangannya di punggung sofa sembari mengangkat satu kaki ke atas kaki satunya lagi. “Karena kita lagi sama-sama libur, gimana kalau kita jalan bareng?”
“Tumben ngajak Mama jalan?”
“Sekali-sekali.”
“Mau ke mana emangnya?”
“Sembarang Mama.”
“Hmm ... sepertinya Mama perlu ke salon, sudah lama nggak memanjakan diri.”
“Ayo!”
“Serius? Mau nungguin?”
Chilton menganggukkan kepala.
“Oke. Mama siap-siap dulu.”
Drrt ... Drrt ... Drrt ...!
Tiba-tiba ponsel Astria yang ia letakkan di meja bergetar. Ia langsung meraih dan melihat panggilan telepon dari kantornya.
“Pagi, ada apa?” tanya Astria saat ia menekan menu answer.
“....”
“Apa? Oke, saya ke sana sekarang.” Astria langsung menutup telepon dan bangkit dari tempat duduknya.
Astria menatap wajah Chilton yang tak lagi mau menatapnya. “Sayang, maafin Mama ya! Lain kali, kita bisa jalan bareng. Mama harus ke kantor sekarang.”
Chilton menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah mamanya. Ia tidak marah, walau sedikit kecewa. Ia tahu mamanya sangat sibuk. Sejak dulu sudah bekerja keras untuk menghidupinya.
Chilton melirik ke arah mamanya yang terlihat terburu-buru berangkat ke tempat kerja. Entah kenapa, ia melihat mamanya seperti Delana. Perempuan yang energik, ceria dan tidak pernah mengeluh sekalipun ia kelelahan. Dua wanita yang hampir sama hadir dalam hidupnya. Walau mereka tak sama persis. Tapi setiap kali ia melihat mamanya, ia teringat pada Delana. Cewek yang selama ini dengan tulus memberikan banyak perhatian untuknya.
Karena di rumah sendirian, Chilton memilih untuk kembali ke kamarnya. Ia menaiki anak tangga menuju kamar. Tapi, langkahnya terhenti ketika melihat pintu balkon terbuka. Ia memilih melangkahkan kaki ke balkon, menikmati pemandangan kota dari atas balkon rumahnya.
Menikmati waktu seorang diri sudah menjadi hal biasa bagi Chilton. Pemikirannya beranjak dewasa begitu cepat. Membuatnya sulit bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sifatnya yang pendiam juga membuat teman-teman kampusnya enggan mendekati. Ia menatap layar ponsel, menunggu pesan balasan dari Delana. Sebab pesan Whatsappnya hanya ada lambang satu checlist. Itu artinya, ponsel Delana dalam keadaan tidak aktif. Satu hal yang membuat ia kesal adalah menunggu lama Delana membalas pesannya.
.png)
0 komentar:
Post a Comment