Saturday, September 20, 2025

Ketika Punya Temen Tukang Manfaatin




Pernah nggak sih kamu punya temen yang datang buat manfaatin kita doang?
Giliran kita butuh, eh, dia pura-pura sibuk. Bahkan, pura-pura nggak kenal sama kita.
Gimana perasaan kamu kalo punya temen yang kayak gini?

Rasanya pasti kesel, Gedeg dan pengen ngomel dari Sabang sampe Merauke.

Itulah hal yang aku alami kalau ada temen yang sengaja datang buat manfaatin doang. Bahkan, dongkolnya itu bisa sampe berlarut sekian lama. Setiap lihat wajah atau denger nama orang itu, rasanya udah mual duluan. Pengen banget kalo orang itu enyah dari muka bumi secepatnya.

Tapi ... makin ke sini aku makin sadar. Sikap aku yang gampang dongkol itu cuma bikin penyakit di hati. Akhirnya, aku sendiri yang nggak bisa hidup tenang kalo masih memendam kekesalan sama seseorang.

Aku yakin, setiap orang pasti pernah punya teman “spesial”—bukan karena perhatian atau peduli, tapi karena jagonya memanfaatkan.
Teman macam ini biasanya datang tiba-tiba, tanpa basa-basi, langsung pada inti: “Eh, pinjam uang dulu ya, besok diganti.” atau “Tolong bikinin tugas dong, aku pusing banget nih.” Kadang juga cuma mampir pas butuh tumpangan, minta traktir, atau sekadar curhat panjang lebar lalu menghilang tanpa kabar.

Awalnya, aku sering kesal. Rasanya kayak dijadikan tempat servis berjalan. Aku pun mulai bertanya-tanya dalam hati: Apa aku ini teman, atau sekadar tempat darurat buat mereka?
Bahkan ada masanya aku sampai menghindari chat masuk. Begitu notifikasi muncul dengan nama si teman, aku bisa langsung menebak: “Oke, ini pasti ada maunya lagi.” Dan benar saja, jarang sekali mereka datang hanya untuk sekadar menyapa atau bertanya kabar.

Lucunya, meski sudah tahu polanya, aku masih sering luluh. Alasannya sederhana: aku orangnya nggak enakan. Kalau ditolak, takut mereka sakit hati. Kalau diabaikan, takut dianggap sombong. Akhirnya, meski sambil mendengus dalam hati, aku tetap membantu juga.

Namun, di balik rasa jengkel itu, perlahan aku menemukan sesuatu yang lain. Aku mulai merenung: kenapa ya aku gampang dimanfaatkan? Apakah aku terlalu baik? Atau justru karena aku memang punya sesuatu yang bisa dimanfaatkan? Bukankah itu artinya aku bernilai?

Lama-lama aku belajar melihat dari sisi lain.
Kalau aku sering dijadikan tempat curhat, berarti aku dipercaya.
Kalau aku sering diminta tolong, berarti aku dianggap mampu.
Kalau ada yang datang ke aku saat butuh, berarti aku punya hal yang mereka nggak punya.

Mungkin, ini memang bagian dari peranku di dunia: jadi orang yang memberi manfaat.

Iya, memang capek kadang. Ada saat aku merasa terkuras, merasa tak dianggap balik, atau bahkan merasa diperlakukan tidak adil. Tapi coba bayangkan jika sebaliknya: hidup tanpa ada yang membutuhkan, tanpa ada yang mengingat, tanpa ada yang merasa aku bisa membantu apa pun. Rasanya akan jauh lebih sepi, lebih menyedihkan.

Jadi sekarang, ketika punya teman tukang manfaatin, aku sudah nggak terlalu sakit hati. Aku belajar pasang batas, iya, supaya nggak bablas jadi korban. Tapi di sisi lain, aku juga mulai bisa tersenyum. Karena ternyata, keberadaanku masih berarti. Hidupku masih bisa dipakai, walau mungkin caranya sering bikin aku geleng-geleng kepala.

Pada akhirnya aku sadar, lebih baik hidupku dimanfaatkan orang lain meski kadang bikin kesal daripada hidup tanpa memberi manfaat sama sekali.
Dan dari situ, aku merasa senang. Karena artinya, aku masih punya alasan untuk merasa berharga. 







0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas