Wednesday, September 10, 2025

THEN LOVE BAB 25 : NOSTALGIA MASA SMA

 BAB 25 - NOSTALGIA MASA SMA



Delana menatap dirinya di depan cermin. Ia kini sedikit berubah dari penampilannya ketika SMA yang selalu berambut pendek. Rambutnya sudah tumbuh panjang, membuatnya terlihat seperti wanita sungguhan. Tapi, ada rasa sedih di hatinya. Sepertinya, penampilannya masih kurang baik untuk memikat hati Chilton.

Delana membalikkan tubuhnya dan berbaring di atas ranjang. Wajahnya lesu, matanya sayu tak bersemangat. Ia masih kepikiran dengan sikap Chilton yang tiba-tiba berubah. Entah kenapa, ia takut kehilangan hari-hari yang pernah mereka lalui bersama.

“Kak, aku boleh pinjam laptop?” Bryan tiba-tiba masuk ke dalam kamar Delana.

“Eh!?” Delana mendongakkan kepala, menatap Bryan yang sudah berdiri di tepi ranjangnya.

“Mau pinjam laptop, boleh?” tutur Bryan lagi.

“Oh. Ambil aja!” perintah Delana.

“Di mana?” tanya Bryan.

“Di laci situ!” Delana menunjuk laci yang ada di bawah meja riasnya.

Bryan langsung membuka laci dan mencari laptop milik kakaknya. Ia mengeluarkan beberapa kotak yang tersusun rapi, namun ia tak juga menemukan laptop milik kakaknya.

“Nggak ada, Kak,” tutur Bryan sambil celingukan.

“Hah!? Coba di laci satunya!” pinta Delana.

Bryan langsung membuka laci-laci lain untuk mencari laptop kakaknya.

“Jangan dihambur nah, dek!” pinta Delana sembari melihat kota-kotak barang miliknya yang di dalam laci sudah berhamburan di luar.

“Mana laptopnya?” seru Bryan.

“Duh, aku lupa naruh.” Delana bangkit dari tempat tidurnya. Ia langsung berjalan menuju lemari pakaian dan mencari tas laptop miliknya. “Ini nah, dek.” Delana menunjukkan tas laptopnya berada di laci lemari pakaian.

“Yang jelas kalo ngasih tau!” celetuk Bryan. Ia langsung mengambil laptop milik kakaknya dan bergegas keluar dari kamar.

“Eh, beresin dulu barang-barang kakak!” pinta Delana.

“Iya. Nanti!” serunya sambil berlari pergi.

“Iih ... Dasar!” umpat Delana. Ia melangkahkan kaki mendekati barang-barangnya yang berhambur dan merapikannya satu per satu.

Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna hitam dengan pita merah di tengahnya. Ia tertegun sesaat, tapi kemudian membuka kotak itu. Kotak kecil itu berisi kenangan selama tiga tahun di masa SMA bersama seseorang yang pernah mengisi hari-harinya dengan keindahan.

 

***

Delana melangkahkan kaki tak bersemangat, ia sedih karena nilai yang ia miliki hanya mampu membuatnya masuk ke kelas reguler. SMA Heksa adalah sekolah menengah yang cukup bergengsi karena memiliki murid yang cerdas dan hampir semua muridnya sukses di berbagai bidang setelah lulus.

Karena sudah terkenal sebagai sekolah yang memiliki siswa cerdas, SMA Heksa membagi kelas menjadi kelas unggulan dan kelas reguler.

“Hai, kenapa lesu banget?” sapa Atma yang sudah berada di samping Delana. Atma adalah teman baik Delana karena mereka dulunya satu sekolah ketika SMP.

“Aku nggak masuk kelas unggulan,” jawab Delana lesu. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kelas.

“Nggak usah sedih! Aku juga masuk kelas reguler, kok.”

“Serius?”

Atma menganggukkan kepala.

“Aravin gimana?” tanya Delana.

“Dia di kelas unggulan. Kamu tahu lah, dia nggak mungkin masuk kelas reguler kayak kita.”

Delana tersenyum. Ia senang karena salah satu teman baiknya ada yang masuk kelas unggulan di salah satu sekolah ternama di kota ini.

“Hei ... ngomongin apaan? Serius banget!” Aravin menepuk bahu Atma.

“Eh, panjang umur!” seru Atma. “Dari mana?”

“Dari TU.”

“Ngapain?”

“Bayar pendaftaran ulang.”

“Oh.”

“Udah pada makan?” tanya Aravin.

Atma menggelengkan kepala.

“Ngantin yuk!” ajak Aravin.

“Ayo!” sahut Atma dengan senang hati.

Delana masih bergeming di tempatnya.

“Ayo, aku traktir!” Aravin menarik lengan Delana den mengajaknya pergi ke kantin sekolah.

Delana terpaksa mengikuti langkah Atma dan Aravin. Mereka menikmati sarapan di kantin sekolah.

 

***

“Hai ... bungas!” sapa Aravin saat Delana sedang duduk di kantin seorang diri.

“Kok, bungas?”

Aravin tersenyum. “Karena kamu cantik.”

Delana mengangkat kedua alisnya, kemudian tersenyum manis ke arah Aravin.

“Sendirian aja?” tanya Aravin sambil celingukan.

Delana menganggukkan kepala.

“Temen kamu mana?” tanya Aravin.

“Kamu sendiri, temenmu mana?”

“Yaelah, ditanya malah balik nanya.”

Delana tersenyum kecil menanggapi ucapan Aravin.

“Nggak papa kan kalo aku panggil kamu bungas?” tanya Aravin.

Delana tersenyum. “Nggak papa.”

“Syukur, deh. Aku bisa nikmatin senyuman kamu.”

“Sejak kapan kamu jadi tukang gombal?”

Aravin cekikikan. Ia memang sengaja membual di depan Delana hanya untuk menghibur Delana. Toh, candaan seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka.

“Woi ...!” teriak Atma sambil menepuk bahu Aravin.

“Kampret! Jantungku mau copot, cuk!” maki Aravin sambil mengelus-elus dadanya.

Delana hanya tersenyum menatap Atma yang sudah duduk di hadapannya.

“Ma, kamu udah ngerjain tugas biologi?” tanya Delana.

“Hah!? Tugas?” tanya Atma memastikan ia tidak salah dengar.

“Iya. Tugas biologi.”

“Belum kayaknya.”

“Kok, kayaknya sih?”

Atma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Belum bisa mastiin. Aku sendiri lupa.”

“Iih ... dasar pemalas!”

“Tugas yang mana sih?” tanya Aravin.

“Tugas yang disuruh meneliti tentang alat reproduksi.”

“Oh. Itu mah gampang. Ntar aku ajarin.”

“Beneran?” tanya Delana pada Aravin.

“Emangnya mukaku kelihatan kayak orang main-main?”

“Hehehe ... enggak sih.”

“Ya udah. Ntar pulang sekolah, kita ketemu di sini lagi.”

“Hah!? Pulangan? Bukannya kita udah nggak di sini kalo pulang sekolah?”

“Kitanya masih tetap ada. Palingan penjualnya aja yang udah pulang.”

“Terus ngapain kita masih ke sini? Horor banget!”

Aravin tersenyum ke arah Delana. “Apanya yang horor? Siang bolong gini.”

“Berduaan di sini horor banget.”

“Siapa bilang berduaan?”

“Terus?”

“Ada Atma.”

“Ah, aku tetap nggak nyaman. Ketemu di tempat lain aja!”

“Di perpustakaan gimana?” Atma menimpali.

“Perpustakaan mana?”

“Perpustakaan kota.”

“Wah, boleh juga tuh.”

“Oke, pulang sekolah kita ke sana!” tutur Aravin.

 

***

 

Setelah pulang sekolah, Delana, Chilton dan Atma bersama-sama pergi ke perpustakaan kota untuk belajar bersama. Delana merasa lebih nyaman belajar di perpustakaan kota karena tempatnya lumayan asyik dan menyenangkan. Sesekali ia menatap kolam pemancingan yang ada di belakang bangunan gedung perpustakaan. “Asyik banget pada mancing,” gumam Delana.

Aravin menyikut lengan Atma sambil menunjuk Delana yang sedang mengintip beberapa orang yang sedang memancing di kolam belakang.

“Mancing yuk!” ajak Atma.

Aravin menoleh ke arah Atma dan menatapnya selama beberapa detik. “Serius?” tanya Aravin.

“Seriuslah.”

“Nggak bawa pancing,” bisik Aravin.

“Gampang. Sewa aja.”

“Sewa di mana? Kayaknya mereka bawa pancingan sendiri-sendiri,” tutur Aravin sambil celingukan.

Atma juga ikut memerhatikan orang-orang yang sedang duduk di gazebo sambil memancing. Ia mengedarkan pandangannya, mencari tempat yang bisa jadi kios alat pancing yang mereka cari.

“Iya. Nggak ada toko pancingnya,” tutur Atma.

“Sempet nggak kalo beli?” tanya Aravin sambil melihat jam yang ada di ponselnya.

“Eh, sempat-sempat, Vin. Kita beli aja dulu. Sekalian beli umpannya.”

“Kamu aja yang pergi!” pinta Aravin.

“Kok, gitu?”

Aravin mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Atma. “Beliin dah! Aku sama Dela tunggu di sini.”

Atma menghela napas panjang. “Apa boleh buat?” Ia segera bergegas keluar dari gedung Perpustakaan Kota dan melajukan sepeda motornya menuju pasar klandasan untuk mencari alat pancing.

“Atma ke mana?” tanya Delana saat  menyadari saat Atma keluar dari gedung perpustakaan.

“Mau beli pancingan.”

“Buat apa?”

“Buat dandan. Ya buat mancing lah!” sahut Aravin.

“Mau mancing di mana emangnya?”

“Di situ.” Aravin menunjuk kolam dengan dagunya.

“Serius?”

“Tiga rius!”

“Aku ikut ya!” pinta Delana.

Aravin menganggukkan kepala.

Beberapa menit kemudian, Atma muncul dengan membawa ransel berisi peralatan memancing lengkap. Mereka terlihat sangag senang dan sama-sama pergi memancing di kolam yang ada di dekat gedung perpustakaan kota tersebut.

Delana merasa senang karena mendapat ikan beberapa kali. Sementara Atma mulai kesal karena umpan miliknya tak kunjung mendapatkan ikan.

“Nggak hoki nih aku,” celetuk Atma.

Delana tergelak karena ia yang paling banyak mendapatkan ikan.

“Del, main teka-teki yuk!” ajak Atma.

“Halah .. alasan aja. Padahal sudah males nunggu pancingan nggak dapet-dapet ikan.”

“Daripada bete. Mendingan main tebak-tebakan.”

“Oke. Kamu duluan!” pinta Delana.

“Ikan apa yang bisa nyanyi?” tanya Atma.

“Ii kan Fauzi,” jawab Delana.

“Kok, tahu sih?” celetuk Atma.

Delana hanya tersenyum. Teka-teki yang diberikan Atma, sudah sering sekali ia dengar.

“Kamu, Vin!” pinta Atma.

“Apa?” tanya Aravin yang masih fokus dengan pancingnya.

“Kasih teka-teki! Hadeh, nggak masuk ternyata,” keluh Atma karena Aravin tidak masuk ke dalam pembicaraan mereka dan masih fokus dengan pancingnya.

“Ayam apa yang bisa bertelur di gunung, di lembah, di kandang buaya, pokoknya di semua tempat?” tanya Aravin.

Atma dan Delana saling menatap. Mereka belum pernah mendengar teka-teki yang dilontarkan oleh Aravin.

“Ayam ajaib!” seru Atma.

“Salah.”

“Apa ya?” Delana berpikir mencari jawaban.

“Ah, nyerah-nyerah!” seru Atma.

“Jawabannya apa?” tanya Delana penasaran. Ia dan Atma menatap Aravin dengan serius.

“Ayam betina.”

Atma dan Delana saling menatap begitu mendengar jawaban Aravin. Mereka langsung tergelak.

“Anjiiiirr ...!” umpat Atma sambil tertawa.

“Nyebelin kan kalo dia yang ngasih teka-teki,” celetuk Delana.

Aravin tertawa sambil menatap kedua sahabatnya itu. “Emang bener kan? Mana ada ayam jantan bertelur.”

“Ya, ya, ya.” Atma dan Delana mengangguk-anggukkan kepala.

“Giliran kamu, Del!” seru Atma.

“Males, ah.” Delana mengedikkan bahunya.

“Eh!? Culas!” teriak Atma. “Harus kasih teka-teki dong!”

“Udah kehabisan stock teka-teki lucu,” sahut Delana.

“Teka-teki gombal aja!” pinta Atma.

“Aku tuh orangnya jujur, nggak suka ngegombal,” celetuk Delana.

“Iih ... kugigit juga kamu!” Atma geram dengan sikap Delana.

“Gigit aja!” Delana menjulurkan lidahnya ke arah Atma.

Atma langsung menarik lengan Delana dan terjadi sedikit pergulatan.

“Eh ... eh. Sudah, jangan berantem!” seru Aravin menarik tubuh Delana ke dalam dekapannya. “Biar aku aja yang ngasih teka-teki lagi, gimana?” tanya Aravin pada Atma.

“Ya sudah kalo gitu,” tutur Atma mengalah. Delana kembali duduk di tempatnya.

“Kenapa burung bangau terbang ke selatan saat musim dingin?” tanya Aravin.

“Aish, Vin.” Atma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ngasih teka-teki yang bener. Jangan ilmiah banget kayak gitu! Otak kita pas-pasan gini,” celetuknya.

“Loh? Gampang itu,” sahut Aravin sambil tertawa.

“Yah, kita mana tau terbang ke selatan karena apa? Apa perlu kutanya dulu burung bangaunya?” tanya Atma.

Delana dan Aravin tertawa mendengar ucapan Atma.

“Tanyain dah!” seru Delana.

“Eh, kamu kan harus jawab juga. Kenapa jadi mihak Aravin?” ucap Atma kesal.

Delana menjulurkan lidahnya, mengolok Atma.

Atma geram. Ia mengepalkan tangan dan mengeratkan gigi-giginya menahan emosi.

“Udah, jangan berantem terus!” tutur Aravin. “Nyerah ya?” tanya Aravin pada Atma dan Delana.

Atma menganggukkan kepalanya. “Nyerah aku.”

“Jawabannya ....” Aravin menatap dua sahabatya bergantian. “Burung bangau terbang ke selatan saat musim dingin karena kalo jalan kaki kejauhan.”

“Setan!” umpat Atma. Ia kesal karena ia pikir jawabannya adalah jawaban akademik.

Delana dan Aravin tertawa menatap Atma. Mereka menghabiskan waktu bersenda gurau di tepi kolam. Masa-masa remaja yang tidak akan pernah terlupakan.

 

***

 

“Hei, bungas!” sapa Aravin saat Delana sedang berdiri di depan mading sekolah.

“Hei ...!” balas Delana menoleh ke arah Aravin yang sudah berdiri di sampingnya.

“Besok pagi jogging bareng di Lapmer yuk!” ajak Aravin.

“Sama siapa aja?” tanya Delana.

“Di sana kan banyak juga orang jogging.”

“Mmh ... iya juga sih. Atma nggak ikutan?” tanya Delana.

“Belum aku ajakin. Nggak tahu dia bisa atau nggak.”

“Ajakin, dah! Ntar aku ajak Belvi sama Ivo juga.”

“Oke, deh.”

“Jam berapa?” tanya Delana.

“Jogging ya pagi lah. Kalo bisa jam enam udah di sana. Kalo agak siang, udah panas. Ntar gosong,” sahut Aravin.

Delana tertawa mendengar ucapan Aravin. “Laki-laki takut behitam.”

Aravin hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Delana.

 

Keesokan harinya, Delana dan kawan-kawan lainnya sudah berkumpul di Lapangan Merdeka. Seperti biasa, tempat ini selalu ramai saat weekend. Banyak yang jogging pada pagi hari. Ada yang berlatih bola. Ada yang sedang melakukan aktivitas penggalangan dana. Ada beberapa komunitas yang sengaja berkumpul tiap hari minggu. Ada juga yang sekedar jalan-jalan untuk berburu salome.

“Del, mau salome?” tanya Belvina saat mereka sudah selesai jogging.

Delana menjulurkan kakinya sambil duduk di trotoar, Aravin juga melakukan hal yang sama di sampingnya. “Mau. Sama es ya!” pinta Delana. Ia merogoh uang di sakunya dan memberikannya pada Belvina.

“Kamu mau, nggak?” Atma bertanya pada Aravin.

“Mau. Beliin ya!” pinta Aravin.

“Sip!” Atma mengacungkan jempolnya ke arah Aravin. Ia kemudian berjalan beriringan bersama Belvina dan Ivona mencari penjual salome favorite mereka.

“Aku pengen es kelapa,” tutur Ivona.

“Kita beli salome dulu,” sahut Belvina karena penjual salome dan es kelapa berjarak lumayan jauh.

“Iya. Tadi si Dela nitip es apa ya?” tanya Ivona.

“Nggak tahu. Nggak ngomong. Es sembarang aja dia mah. Yang penting es.”

“Ya udah. Beliin es kelapa aja semua. Nanti kalo beda-beda dan dia pengen es kelapa juga gimana? Daripada balik lagi, kan capek,” tutur Ivona.

“Iya, deh.” Belvina menghentikan langkahnya di depan penjual salome.

“Paklek, salomenya yang sepuluh ribu dua, campur ya!” tutur Belvina pada penjual salome.

“Pedes apa nggak?” tanya penjual salome.

“Pedes,” jawab Belvina.

“Punyaku yang manis aja, Paklek. Sepuluh ribu juga,” tutur Ivona sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan.

“Aku beli yang tahu aja sepuluh ribu. Sama satu lagi yang pentol kecil sepuluh ribu, nggak usah pake yang telur puyuh,” tutur Atma.

“Pedes atau enggak?” tanya penjual tersebut.

“Pedes.”

Penjual salome tersebut langsung membungkus salome sesuai pesanan masing-masing.

Setelah membeli salome, Ivona, Belvina dan Atma melangkahkan kakinya menuju penjual es kelapa dan memesan enam bungkus es kelapa.

“Satunya buat siapa?” tanya Belvina heran, karena mereka hanya berlima.

“Buat aku,” jawab Ivona sambil meringis.

“Astaga! Kecil aja badannya, makannya banyak,” celetuk Atma.

Ivona mencebik sambil meninju bahu Atma.

Atma tertawa kecil. Ia melihat ke sekeliling dan kebetulan ada dua cewek yang melintas di dekat mereka. “Hai ...!” goda Atma.

“Hai ...!” balas dua cewek tersebut sambil melambaikan tangannya ke arah Atma. Cewek itu terus menatap ke arah Atma sampai tidak melihat jalanan yang ada di depannya dan menabarak orang yang sedang berjalan. “Sorry!” ucap mereka berbarengan.

Atma tertawa kecil melihat adegan dua cewek itu.

“Iseng banget sih!?” celetuk Ivona.

Atma tergelak. “Cuma mau ngetes aja. Gantengku masih awet kan?” ucap Atma penuh percaya diri.

Belvina dan Ivona mendengus ke arah Atma. Atma memang tampan, hampir semua perempuan menyukainya. Tapi, tingkahnya sangat menyebalkan. Dia seringkali menggoda cewek-cewek di sekolah atau di manapun hanya untuk membuktikan pada semua orang kalau dia adalah cowok tampan yang digandrungi banyak cewek.

Sementara tiga temannya asyik mencari makanan, Delana dan Aravin duduk berdua sambil bercerita tentang sekolah mereka dan keseharian mereka di rumah.

Delana merogoh isi tasnya dan memberikan kotak bekal kepada Aravin. “Aku lagi belajar bikin kue, cobain deh!” pinta Delana.

“Oh ya?” Aravin tersenyum menatap Delana dan langsung membuka kotak bekal pemberian Delana. Ia melihat kue cokelat mungil berbentuk doraemon. Aravin mengambil satu buah dan melahapnya. “Enak!” pujinya.

Delana tersenyum. Ia senang karena masakannya mendapat pujian. Ia makin semangat untuk mencoba menu-menu baru.

“Kamu seneng masak?” tanya Aravin.

Delana menganggukkan kepala.

Aravin menatap Delana dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Aku pikir, cewek tomboy kayak kamu nggak seneng masak.”

Delana meringis. “Aku udah biasa masak sendiri dari aku masih SMP. Di rumah, ceweknya cuma aku doang. Lagian, siapa lagi yang mau masakin buat keluarga? Masa pembantu mulu? Ntar yang dipuji-puji sama ayah, masakannya pembantu terus,” tutur Delana.

Aravin tergelak mendengar ucapan Delana. “Bagus banget kalo cewek suka masak. Aku suka.”

“Eh!?”

“Eh, lihat deh!” Aravin menunjuk ke tengah lapangan. Seseorang sedang mengulur layangan yang terus memanjang. Dalam satu tali, ada banyak layangan yang tersusun seperti ular naga yang sedang terbang. “Gimana caranya bisa bikin kayak gitu?” gumam Aravin.

Delana menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Aravin. “Ya, bisa. Tinggal bikin aja!” sahut Delana.

“Kalo yang nggak terbiasa bikin, nggak bisa terbang seimbang kayak gitu. Apalagi layangannya banyak,” tutur Aravin. Wajahnya tepat berada di belakang kepala Delana. Mereka sama-sama menatap layangan yang membumbung tinggi ke langit.

“Iya juga ya? Kalo ada satu aja layangan yang nggak imbang, pasti udah jatuh tuh semuanya,” tutur Delana.

“Keren ya?”

“Iya.”

“Keren mana sama aku?” tanya Aravin sambil tersenyum.

Delana langsung memutar kepalanya ke arah Aravin. Ia tertegun karena wajah Aravin begitu dekat dengannya.

Aravin menatap manik mata Delana. Ia bisa melihat bayangan wajahnya sendiri di antara sinar-sinar mata Delana. Mata yang begitu tulus memberikan kasih sayang untuk orang-orang di sekitarnya. Mata yang begitu meneduhkan dan membuatnya nyaman berlama-lama tenggelam di dalamnya.

“Woy ...! Malah behimat beduaan di sini!” seru Atma yang tiba-tiba muncul.

Delana dan Aravin gelagapan mendengar teriakan Atma.

“Nih!” Atma menyodorkan salome ke arah Aravin dan langsung duduk di sampingnya.

Sementara Ivona meletakkan bungkusan es kelapa ke depan Delana. Ia dan Belvina duduk bersila di depan Delana dan Aravin.

“Kok, duduk di situ?” tanya Delana.

“Lebih nyaman aja kalo kita ngobrol berhadapan,” tutur Belvina.

Delana tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Eh, abis jogging, kakinya jangan ditekuk!” tegur Aravin.

“Oh, iya. Lupa.” Ivona menepuk jidatnya. Ia dan Belvina memilih saling bersandar dan menjulurkan kedua kakinya.

“Del, ntar kalo udah lulus sekolah, kamu mau lanjut kuliah di mana?” tanya Belvina.

Delana mengedikkan bahunya. “Kamu sendiri mau ke mana?”

“Aku mah di sini-sini aja. Nggak usah jauh-jauh. Nggak kuat biayanya kalo harus pulang pergi pas kangen sama kamu, eeaak ...”

Delana dan yang lainnya tergelak mendengar candaan Belvina.

“Kamu, Vo? Mau lanjut ke mana?” tanya Belvina sambil menggoyangkan pundaknya yang menjadi sandaran pundak Ivona.

“Belum tahu juga. Diterimanya di mana, di situ sudah aku kuliah.”

“Kita barengan aja gin!” pinta Belvina.

“Delana emang mau kuliah di dalam kota? Katanya dia mau lanjut ke luar pulau? Cari kampus yang lebih bagus,” tutur Ivona.

“Iya, juga ya?” Belvina terlihat berpikir. “Eh, kamu mau lanjut ke mana?” tanya Belvina pada Aravin.

“Ke Jakarta,” jawab Aravin penuh percaya diri.

“Mmh ... iya sih. Kamu kan pinter. Pasti bisa masuk universitas bergengsi di Ibukota,” tutur Belvina.

“Aku nggak ditanya?” tanya Atma.

“Nggak usah! Kamu mah udah kelihatan masa depannya bakal di sini-sini aja,” sahut Ivona.

“Yee ... nanti kalo aku bisa masuk ke Harvard University, kalian kaget,” celetuk Atma.

“Huu ...!” Ivona melempar wajah Atma dengan daun kering yang jatuh di jalanan.

“Harvard? Di Untri aja belum tentu keterima,” celetuk Belvina sambil mencebik.

“Ngoloknya kamu, Bel!” Atma menimpuk kepala Belvina dengan handuk kecil yang ia pegang.

“Au ... sakit, Ma!” Belvina menyerbu ke arah Atma untuk balas memukul. Namun, Atma langsung bangkit dan menghindari serangan Belvina.

Delana, Aravin dan Ivona tertawa melihat adegan kejar-kejaran antara Belvina dan Atma. Keduanya sama-sama saling mengejek dan tidak ada yang mau mengalah.

“Udah, ah. Capek aku ngeladenin cowok gila kayak kamu!” celetuk Belvina, ia kembali duduk di dekat Ivona.

“Kamu yang gila!” Atma menjulurkan lidahnya.

“Iih ... kamu kalo sama aku pengolokan banget!” Belvina melepas sepatunya dan bersiap melemparkan ke arah Atma.

“Dia kalo sama Delana nggak bisa ngelawan. Giliran sama Belvi, ngece!” celetuk Aravin.

“Yah, beda kelas lah.”

“Iya, emang beda kelas. Aku kelas sepuluh B, kamu kelas sepuluh D,” celetuk Delana.

Semuanya tertawa mendengar ucapan Delana kecuali Atma.

“Bukan itu maksudku!” Atma menggaruk kepalanya kesal. “Aku kalo ngomong sama Dela atau Aravin, pasti kalah mulu,” gumamnya.

“Kepok!” umpat Belvina.

Mereka terus bercanda, walau sering dibuat kesal tapi mereka bahagia. Ejekan yang mereka lontarkan adalah ejekan yang menunjukkan kasih sayang dan kebersamaan sebagai seorang sahabat.

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas