BAB 25 - NOSTALGIA MASA SMA
Delana menatap dirinya
di depan cermin. Ia kini sedikit berubah dari penampilannya ketika SMA yang
selalu berambut pendek. Rambutnya sudah tumbuh panjang, membuatnya terlihat
seperti wanita sungguhan. Tapi, ada rasa sedih di hatinya. Sepertinya, penampilannya
masih kurang baik untuk memikat hati Chilton.
Delana membalikkan
tubuhnya dan berbaring di atas ranjang. Wajahnya lesu, matanya sayu tak
bersemangat. Ia masih kepikiran dengan sikap Chilton yang tiba-tiba berubah.
Entah kenapa, ia takut kehilangan hari-hari yang pernah mereka lalui bersama.
“Kak, aku boleh pinjam
laptop?” Bryan tiba-tiba masuk ke dalam kamar Delana.
“Eh!?” Delana
mendongakkan kepala, menatap Bryan yang sudah berdiri di tepi ranjangnya.
“Mau pinjam laptop,
boleh?” tutur Bryan lagi.
“Oh. Ambil aja!”
perintah Delana.
“Di mana?” tanya Bryan.
“Di laci situ!” Delana
menunjuk laci yang ada di bawah meja riasnya.
Bryan langsung membuka
laci dan mencari laptop milik kakaknya. Ia mengeluarkan beberapa kotak yang
tersusun rapi, namun ia tak juga menemukan laptop milik kakaknya.
“Nggak ada, Kak,” tutur
Bryan sambil celingukan.
“Hah!? Coba di laci
satunya!” pinta Delana.
Bryan langsung membuka
laci-laci lain untuk mencari laptop kakaknya.
“Jangan dihambur nah,
dek!” pinta Delana sembari melihat kota-kotak barang miliknya yang di dalam
laci sudah berhamburan di luar.
“Mana laptopnya?” seru
Bryan.
“Duh, aku lupa naruh.”
Delana bangkit dari tempat tidurnya. Ia langsung berjalan menuju lemari pakaian
dan mencari tas laptop miliknya. “Ini nah, dek.” Delana menunjukkan tas
laptopnya berada di laci lemari pakaian.
“Yang jelas kalo ngasih
tau!” celetuk Bryan. Ia langsung mengambil laptop milik kakaknya dan bergegas
keluar dari kamar.
“Eh, beresin dulu
barang-barang kakak!” pinta Delana.
“Iya. Nanti!” serunya
sambil berlari pergi.
“Iih ... Dasar!” umpat
Delana. Ia melangkahkan kaki mendekati barang-barangnya yang berhambur dan
merapikannya satu per satu.
Matanya tiba-tiba
tertuju pada sebuah kotak berwarna hitam dengan pita merah di tengahnya. Ia
tertegun sesaat, tapi kemudian membuka kotak itu. Kotak kecil itu berisi
kenangan selama tiga tahun di masa SMA bersama seseorang yang pernah mengisi
hari-harinya dengan keindahan.
***
Delana melangkahkan
kaki tak bersemangat, ia sedih karena nilai yang ia miliki hanya mampu
membuatnya masuk ke kelas reguler. SMA Heksa adalah sekolah menengah yang cukup
bergengsi karena memiliki murid yang cerdas dan hampir semua muridnya sukses di
berbagai bidang setelah lulus.
Karena sudah terkenal
sebagai sekolah yang memiliki siswa cerdas, SMA Heksa membagi kelas menjadi
kelas unggulan dan kelas reguler.
“Hai, kenapa lesu
banget?” sapa Atma yang sudah berada di samping Delana. Atma adalah teman baik
Delana karena mereka dulunya satu sekolah ketika SMP.
“Aku nggak masuk kelas
unggulan,” jawab Delana lesu. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kelas.
“Nggak usah sedih! Aku
juga masuk kelas reguler, kok.”
“Serius?”
Atma menganggukkan
kepala.
“Aravin gimana?” tanya
Delana.
“Dia di kelas unggulan.
Kamu tahu lah, dia nggak mungkin masuk kelas reguler kayak kita.”
Delana tersenyum. Ia
senang karena salah satu teman baiknya ada yang masuk kelas unggulan di salah
satu sekolah ternama di kota ini.
“Hei ... ngomongin
apaan? Serius banget!” Aravin menepuk bahu Atma.
“Eh, panjang umur!”
seru Atma. “Dari mana?”
“Dari TU.”
“Ngapain?”
“Bayar pendaftaran
ulang.”
“Oh.”
“Udah pada makan?”
tanya Aravin.
Atma menggelengkan
kepala.
“Ngantin yuk!” ajak
Aravin.
“Ayo!” sahut Atma
dengan senang hati.
Delana masih bergeming
di tempatnya.
“Ayo, aku traktir!” Aravin
menarik lengan Delana den mengajaknya pergi ke kantin sekolah.
Delana terpaksa
mengikuti langkah Atma dan Aravin. Mereka menikmati sarapan di kantin sekolah.
***
“Hai ... bungas!” sapa
Aravin saat Delana sedang duduk di kantin seorang diri.
“Kok, bungas?”
Aravin tersenyum.
“Karena kamu cantik.”
Delana mengangkat kedua
alisnya, kemudian tersenyum manis ke arah Aravin.
“Sendirian aja?” tanya
Aravin sambil celingukan.
Delana menganggukkan
kepala.
“Temen kamu mana?”
tanya Aravin.
“Kamu sendiri, temenmu
mana?”
“Yaelah, ditanya malah
balik nanya.”
Delana tersenyum kecil
menanggapi ucapan Aravin.
“Nggak papa kan kalo
aku panggil kamu bungas?” tanya Aravin.
Delana tersenyum.
“Nggak papa.”
“Syukur, deh. Aku bisa
nikmatin senyuman kamu.”
“Sejak kapan kamu jadi
tukang gombal?”
Aravin cekikikan. Ia
memang sengaja membual di depan Delana hanya untuk menghibur Delana. Toh,
candaan seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
“Woi ...!” teriak Atma
sambil menepuk bahu Aravin.
“Kampret! Jantungku mau
copot, cuk!” maki Aravin sambil mengelus-elus dadanya.
Delana hanya tersenyum
menatap Atma yang sudah duduk di hadapannya.
“Ma, kamu udah ngerjain
tugas biologi?” tanya Delana.
“Hah!? Tugas?” tanya
Atma memastikan ia tidak salah dengar.
“Iya. Tugas biologi.”
“Belum kayaknya.”
“Kok, kayaknya sih?”
Atma menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. “Belum bisa mastiin. Aku sendiri lupa.”
“Iih ... dasar
pemalas!”
“Tugas yang mana sih?”
tanya Aravin.
“Tugas yang disuruh
meneliti tentang alat reproduksi.”
“Oh. Itu mah gampang.
Ntar aku ajarin.”
“Beneran?” tanya Delana
pada Aravin.
“Emangnya mukaku
kelihatan kayak orang main-main?”
“Hehehe ... enggak
sih.”
“Ya udah. Ntar pulang
sekolah, kita ketemu di sini lagi.”
“Hah!? Pulangan?
Bukannya kita udah nggak di sini kalo pulang sekolah?”
“Kitanya masih tetap
ada. Palingan penjualnya aja yang udah pulang.”
“Terus ngapain kita
masih ke sini? Horor banget!”
Aravin tersenyum ke
arah Delana. “Apanya yang horor? Siang bolong gini.”
“Berduaan di sini horor
banget.”
“Siapa bilang
berduaan?”
“Terus?”
“Ada Atma.”
“Ah, aku tetap nggak
nyaman. Ketemu di tempat lain aja!”
“Di perpustakaan
gimana?” Atma menimpali.
“Perpustakaan mana?”
“Perpustakaan kota.”
“Wah, boleh juga tuh.”
“Oke, pulang sekolah
kita ke sana!” tutur Aravin.
***
Setelah pulang sekolah,
Delana, Chilton dan Atma bersama-sama pergi ke perpustakaan kota untuk belajar
bersama. Delana merasa lebih nyaman belajar di perpustakaan kota karena
tempatnya lumayan asyik dan menyenangkan. Sesekali ia menatap kolam pemancingan
yang ada di belakang bangunan gedung perpustakaan. “Asyik banget pada mancing,”
gumam Delana.
Aravin menyikut lengan
Atma sambil menunjuk Delana yang sedang mengintip beberapa orang yang sedang
memancing di kolam belakang.
“Mancing yuk!” ajak
Atma.
Aravin menoleh ke arah
Atma dan menatapnya selama beberapa detik. “Serius?” tanya Aravin.
“Seriuslah.”
“Nggak bawa pancing,”
bisik Aravin.
“Gampang. Sewa aja.”
“Sewa di mana? Kayaknya
mereka bawa pancingan sendiri-sendiri,” tutur Aravin sambil celingukan.
Atma juga ikut
memerhatikan orang-orang yang sedang duduk di gazebo sambil memancing. Ia
mengedarkan pandangannya, mencari tempat yang bisa jadi kios alat pancing yang
mereka cari.
“Iya. Nggak ada toko
pancingnya,” tutur Atma.
“Sempet nggak kalo
beli?” tanya Aravin sambil melihat jam yang ada di ponselnya.
“Eh, sempat-sempat,
Vin. Kita beli aja dulu. Sekalian beli umpannya.”
“Kamu aja yang pergi!”
pinta Aravin.
“Kok, gitu?”
Aravin mengeluarkan
dompet dari saku celananya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Atma.
“Beliin dah! Aku sama Dela tunggu di sini.”
Atma menghela napas
panjang. “Apa boleh buat?” Ia segera bergegas keluar dari gedung Perpustakaan
Kota dan melajukan sepeda motornya menuju pasar klandasan untuk mencari alat
pancing.
“Atma ke mana?” tanya
Delana saat menyadari saat Atma keluar
dari gedung perpustakaan.
“Mau beli pancingan.”
“Buat apa?”
“Buat dandan. Ya buat
mancing lah!” sahut Aravin.
“Mau mancing di mana
emangnya?”
“Di situ.” Aravin
menunjuk kolam dengan dagunya.
“Serius?”
“Tiga rius!”
“Aku ikut ya!” pinta
Delana.
Aravin menganggukkan
kepala.
Beberapa menit
kemudian, Atma muncul dengan membawa ransel berisi peralatan memancing lengkap.
Mereka terlihat sangag senang dan sama-sama pergi memancing di kolam yang ada
di dekat gedung perpustakaan kota tersebut.
Delana merasa senang
karena mendapat ikan beberapa kali. Sementara Atma mulai kesal karena umpan
miliknya tak kunjung mendapatkan ikan.
“Nggak hoki nih aku,”
celetuk Atma.
Delana tergelak karena
ia yang paling banyak mendapatkan ikan.
“Del, main teka-teki
yuk!” ajak Atma.
“Halah .. alasan aja.
Padahal sudah males nunggu pancingan nggak dapet-dapet ikan.”
“Daripada bete.
Mendingan main tebak-tebakan.”
“Oke. Kamu duluan!”
pinta Delana.
“Ikan apa yang bisa
nyanyi?” tanya Atma.
“Ii kan Fauzi,” jawab
Delana.
“Kok, tahu sih?”
celetuk Atma.
Delana hanya tersenyum.
Teka-teki yang diberikan Atma, sudah sering sekali ia dengar.
“Kamu, Vin!” pinta
Atma.
“Apa?” tanya Aravin
yang masih fokus dengan pancingnya.
“Kasih teka-teki!
Hadeh, nggak masuk ternyata,” keluh Atma karena Aravin tidak masuk ke dalam
pembicaraan mereka dan masih fokus dengan pancingnya.
“Ayam apa yang bisa
bertelur di gunung, di lembah, di kandang buaya, pokoknya di semua tempat?”
tanya Aravin.
Atma dan Delana saling
menatap. Mereka belum pernah mendengar teka-teki yang dilontarkan oleh Aravin.
“Ayam ajaib!” seru
Atma.
“Salah.”
“Apa ya?” Delana
berpikir mencari jawaban.
“Ah, nyerah-nyerah!”
seru Atma.
“Jawabannya apa?” tanya
Delana penasaran. Ia dan Atma menatap Aravin dengan serius.
“Ayam betina.”
Atma dan Delana saling
menatap begitu mendengar jawaban Aravin. Mereka langsung tergelak.
“Anjiiiirr ...!” umpat
Atma sambil tertawa.
“Nyebelin kan kalo dia
yang ngasih teka-teki,” celetuk Delana.
Aravin tertawa sambil
menatap kedua sahabatnya itu. “Emang bener kan? Mana ada ayam jantan bertelur.”
“Ya, ya, ya.” Atma dan
Delana mengangguk-anggukkan kepala.
“Giliran kamu, Del!”
seru Atma.
“Males, ah.” Delana
mengedikkan bahunya.
“Eh!? Culas!” teriak
Atma. “Harus kasih teka-teki dong!”
“Udah kehabisan stock
teka-teki lucu,” sahut Delana.
“Teka-teki gombal aja!”
pinta Atma.
“Aku tuh orangnya
jujur, nggak suka ngegombal,” celetuk Delana.
“Iih ... kugigit juga
kamu!” Atma geram dengan sikap Delana.
“Gigit aja!” Delana
menjulurkan lidahnya ke arah Atma.
Atma langsung menarik
lengan Delana dan terjadi sedikit pergulatan.
“Eh ... eh. Sudah,
jangan berantem!” seru Aravin menarik tubuh Delana ke dalam dekapannya. “Biar
aku aja yang ngasih teka-teki lagi, gimana?” tanya Aravin pada Atma.
“Ya sudah kalo gitu,”
tutur Atma mengalah. Delana kembali duduk di tempatnya.
“Kenapa burung bangau
terbang ke selatan saat musim dingin?” tanya Aravin.
“Aish, Vin.” Atma
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ngasih teka-teki yang bener.
Jangan ilmiah banget kayak gitu! Otak kita pas-pasan gini,” celetuknya.
“Loh? Gampang itu,”
sahut Aravin sambil tertawa.
“Yah, kita mana tau
terbang ke selatan karena apa? Apa perlu kutanya dulu burung bangaunya?” tanya
Atma.
Delana dan Aravin
tertawa mendengar ucapan Atma.
“Tanyain dah!” seru
Delana.
“Eh, kamu kan harus
jawab juga. Kenapa jadi mihak Aravin?” ucap Atma kesal.
Delana menjulurkan
lidahnya, mengolok Atma.
Atma geram. Ia
mengepalkan tangan dan mengeratkan gigi-giginya menahan emosi.
“Udah, jangan berantem
terus!” tutur Aravin. “Nyerah ya?” tanya Aravin pada Atma dan Delana.
Atma menganggukkan
kepalanya. “Nyerah aku.”
“Jawabannya ....”
Aravin menatap dua sahabatya bergantian. “Burung bangau terbang ke selatan saat
musim dingin karena kalo jalan kaki kejauhan.”
“Setan!” umpat Atma. Ia
kesal karena ia pikir jawabannya adalah jawaban akademik.
Delana dan Aravin
tertawa menatap Atma. Mereka menghabiskan waktu bersenda gurau di tepi kolam. Masa-masa
remaja yang tidak akan pernah terlupakan.
***
“Hei, bungas!” sapa
Aravin saat Delana sedang berdiri di depan mading sekolah.
“Hei ...!” balas Delana
menoleh ke arah Aravin yang sudah berdiri di sampingnya.
“Besok pagi jogging
bareng di Lapmer yuk!” ajak Aravin.
“Sama siapa aja?” tanya
Delana.
“Di sana kan banyak
juga orang jogging.”
“Mmh ... iya juga sih.
Atma nggak ikutan?” tanya Delana.
“Belum aku ajakin.
Nggak tahu dia bisa atau nggak.”
“Ajakin, dah! Ntar aku
ajak Belvi sama Ivo juga.”
“Oke, deh.”
“Jam berapa?” tanya
Delana.
“Jogging ya pagi lah.
Kalo bisa jam enam udah di sana. Kalo agak siang, udah panas. Ntar gosong,”
sahut Aravin.
Delana tertawa
mendengar ucapan Aravin. “Laki-laki takut behitam.”
Aravin hanya tertawa
kecil menanggapi ucapan Delana.
Keesokan harinya,
Delana dan kawan-kawan lainnya sudah berkumpul di Lapangan Merdeka. Seperti
biasa, tempat ini selalu ramai saat weekend. Banyak yang jogging pada pagi
hari. Ada yang berlatih bola. Ada yang sedang melakukan aktivitas penggalangan
dana. Ada beberapa komunitas yang sengaja berkumpul tiap hari minggu. Ada juga
yang sekedar jalan-jalan untuk berburu salome.
“Del, mau salome?”
tanya Belvina saat mereka sudah selesai jogging.
Delana menjulurkan
kakinya sambil duduk di trotoar, Aravin juga melakukan hal yang sama di
sampingnya. “Mau. Sama es ya!” pinta Delana. Ia merogoh uang di sakunya dan
memberikannya pada Belvina.
“Kamu mau, nggak?” Atma
bertanya pada Aravin.
“Mau. Beliin ya!” pinta
Aravin.
“Sip!” Atma
mengacungkan jempolnya ke arah Aravin. Ia kemudian berjalan beriringan bersama
Belvina dan Ivona mencari penjual salome favorite mereka.
“Aku pengen es kelapa,”
tutur Ivona.
“Kita beli salome
dulu,” sahut Belvina karena penjual salome dan es kelapa berjarak lumayan jauh.
“Iya. Tadi si Dela
nitip es apa ya?” tanya Ivona.
“Nggak tahu. Nggak
ngomong. Es sembarang aja dia mah. Yang penting es.”
“Ya udah. Beliin es
kelapa aja semua. Nanti kalo beda-beda dan dia pengen es kelapa juga gimana?
Daripada balik lagi, kan capek,” tutur Ivona.
“Iya, deh.” Belvina
menghentikan langkahnya di depan penjual salome.
“Paklek, salomenya yang
sepuluh ribu dua, campur ya!” tutur Belvina pada penjual salome.
“Pedes apa nggak?”
tanya penjual salome.
“Pedes,” jawab Belvina.
“Punyaku yang manis
aja, Paklek. Sepuluh ribu juga,” tutur Ivona sambil menyodorkan selembar uang
sepuluh ribuan.
“Aku beli yang tahu aja
sepuluh ribu. Sama satu lagi yang pentol kecil sepuluh ribu, nggak usah pake
yang telur puyuh,” tutur Atma.
“Pedes atau enggak?”
tanya penjual tersebut.
“Pedes.”
Penjual salome tersebut
langsung membungkus salome sesuai pesanan masing-masing.
Setelah membeli salome,
Ivona, Belvina dan Atma melangkahkan kakinya menuju penjual es kelapa dan
memesan enam bungkus es kelapa.
“Satunya buat siapa?”
tanya Belvina heran, karena mereka hanya berlima.
“Buat aku,” jawab Ivona
sambil meringis.
“Astaga! Kecil aja
badannya, makannya banyak,” celetuk Atma.
Ivona mencebik sambil
meninju bahu Atma.
Atma tertawa kecil. Ia
melihat ke sekeliling dan kebetulan ada dua cewek yang melintas di dekat
mereka. “Hai ...!” goda Atma.
“Hai ...!” balas dua
cewek tersebut sambil melambaikan tangannya ke arah Atma. Cewek itu terus
menatap ke arah Atma sampai tidak melihat jalanan yang ada di depannya dan
menabarak orang yang sedang berjalan. “Sorry!” ucap mereka berbarengan.
Atma tertawa kecil
melihat adegan dua cewek itu.
“Iseng banget sih!?”
celetuk Ivona.
Atma tergelak. “Cuma
mau ngetes aja. Gantengku masih awet kan?” ucap Atma penuh percaya diri.
Belvina dan Ivona
mendengus ke arah Atma. Atma memang tampan, hampir semua perempuan menyukainya.
Tapi, tingkahnya sangat menyebalkan. Dia seringkali menggoda cewek-cewek di
sekolah atau di manapun hanya untuk membuktikan pada semua orang kalau dia
adalah cowok tampan yang digandrungi banyak cewek.
Sementara tiga temannya
asyik mencari makanan, Delana dan Aravin duduk berdua sambil bercerita tentang
sekolah mereka dan keseharian mereka di rumah.
Delana merogoh isi
tasnya dan memberikan kotak bekal kepada Aravin. “Aku lagi belajar bikin kue,
cobain deh!” pinta Delana.
“Oh ya?” Aravin
tersenyum menatap Delana dan langsung membuka kotak bekal pemberian Delana. Ia
melihat kue cokelat mungil berbentuk doraemon. Aravin mengambil satu buah dan
melahapnya. “Enak!” pujinya.
Delana tersenyum. Ia
senang karena masakannya mendapat pujian. Ia makin semangat untuk mencoba
menu-menu baru.
“Kamu seneng masak?”
tanya Aravin.
Delana menganggukkan
kepala.
Aravin menatap Delana
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Aku pikir, cewek tomboy kayak kamu
nggak seneng masak.”
Delana meringis. “Aku
udah biasa masak sendiri dari aku masih SMP. Di rumah, ceweknya cuma aku doang.
Lagian, siapa lagi yang mau masakin buat keluarga? Masa pembantu mulu? Ntar
yang dipuji-puji sama ayah, masakannya pembantu terus,” tutur Delana.
Aravin tergelak
mendengar ucapan Delana. “Bagus banget kalo cewek suka masak. Aku suka.”
“Eh!?”
“Eh, lihat deh!” Aravin
menunjuk ke tengah lapangan. Seseorang sedang mengulur layangan yang terus
memanjang. Dalam satu tali, ada banyak layangan yang tersusun seperti ular naga
yang sedang terbang. “Gimana caranya bisa bikin kayak gitu?” gumam Aravin.
Delana menoleh ke arah
yang ditunjuk oleh Aravin. “Ya, bisa. Tinggal bikin aja!” sahut Delana.
“Kalo yang nggak
terbiasa bikin, nggak bisa terbang seimbang kayak gitu. Apalagi layangannya
banyak,” tutur Aravin. Wajahnya tepat berada di belakang kepala Delana. Mereka
sama-sama menatap layangan yang membumbung tinggi ke langit.
“Iya juga ya? Kalo ada
satu aja layangan yang nggak imbang, pasti udah jatuh tuh semuanya,” tutur
Delana.
“Keren ya?”
“Iya.”
“Keren mana sama aku?”
tanya Aravin sambil tersenyum.
Delana langsung memutar
kepalanya ke arah Aravin. Ia tertegun karena wajah Aravin begitu dekat
dengannya.
Aravin menatap manik
mata Delana. Ia bisa melihat bayangan wajahnya sendiri di antara sinar-sinar
mata Delana. Mata yang begitu tulus memberikan kasih sayang untuk orang-orang
di sekitarnya. Mata yang begitu meneduhkan dan membuatnya nyaman berlama-lama
tenggelam di dalamnya.
“Woy ...! Malah behimat
beduaan di sini!” seru Atma yang tiba-tiba muncul.
Delana dan Aravin
gelagapan mendengar teriakan Atma.
“Nih!” Atma menyodorkan
salome ke arah Aravin dan langsung duduk di sampingnya.
Sementara Ivona
meletakkan bungkusan es kelapa ke depan Delana. Ia dan Belvina duduk bersila di
depan Delana dan Aravin.
“Kok, duduk di situ?”
tanya Delana.
“Lebih nyaman aja kalo
kita ngobrol berhadapan,” tutur Belvina.
Delana tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Eh, abis jogging,
kakinya jangan ditekuk!” tegur Aravin.
“Oh, iya. Lupa.” Ivona
menepuk jidatnya. Ia dan Belvina memilih saling bersandar dan menjulurkan kedua
kakinya.
“Del, ntar kalo udah
lulus sekolah, kamu mau lanjut kuliah di mana?” tanya Belvina.
Delana mengedikkan
bahunya. “Kamu sendiri mau ke mana?”
“Aku mah di sini-sini
aja. Nggak usah jauh-jauh. Nggak kuat biayanya kalo harus pulang pergi pas
kangen sama kamu, eeaak ...”
Delana dan yang lainnya
tergelak mendengar candaan Belvina.
“Kamu, Vo? Mau lanjut
ke mana?” tanya Belvina sambil menggoyangkan pundaknya yang menjadi sandaran
pundak Ivona.
“Belum tahu juga.
Diterimanya di mana, di situ sudah aku kuliah.”
“Kita barengan aja
gin!” pinta Belvina.
“Delana emang mau
kuliah di dalam kota? Katanya dia mau lanjut ke luar pulau? Cari kampus yang
lebih bagus,” tutur Ivona.
“Iya, juga ya?” Belvina
terlihat berpikir. “Eh, kamu mau lanjut ke mana?” tanya Belvina pada Aravin.
“Ke Jakarta,” jawab
Aravin penuh percaya diri.
“Mmh ... iya sih. Kamu
kan pinter. Pasti bisa masuk universitas bergengsi di Ibukota,” tutur Belvina.
“Aku nggak ditanya?”
tanya Atma.
“Nggak usah! Kamu mah
udah kelihatan masa depannya bakal di sini-sini aja,” sahut Ivona.
“Yee ... nanti kalo aku
bisa masuk ke Harvard University, kalian kaget,” celetuk Atma.
“Huu ...!” Ivona
melempar wajah Atma dengan daun kering yang jatuh di jalanan.
“Harvard? Di Untri aja
belum tentu keterima,” celetuk Belvina sambil mencebik.
“Ngoloknya kamu, Bel!”
Atma menimpuk kepala Belvina dengan handuk kecil yang ia pegang.
“Au ... sakit, Ma!”
Belvina menyerbu ke arah Atma untuk balas memukul. Namun, Atma langsung bangkit
dan menghindari serangan Belvina.
Delana, Aravin dan
Ivona tertawa melihat adegan kejar-kejaran antara Belvina dan Atma. Keduanya
sama-sama saling mengejek dan tidak ada yang mau mengalah.
“Udah, ah. Capek aku
ngeladenin cowok gila kayak kamu!” celetuk Belvina, ia kembali duduk di dekat
Ivona.
“Kamu yang gila!” Atma
menjulurkan lidahnya.
“Iih ... kamu kalo sama
aku pengolokan banget!” Belvina melepas sepatunya dan bersiap melemparkan ke
arah Atma.
“Dia kalo sama Delana
nggak bisa ngelawan. Giliran sama Belvi, ngece!” celetuk Aravin.
“Yah, beda kelas lah.”
“Iya, emang beda kelas.
Aku kelas sepuluh B, kamu kelas sepuluh D,” celetuk Delana.
Semuanya tertawa
mendengar ucapan Delana kecuali Atma.
“Bukan itu maksudku!”
Atma menggaruk kepalanya kesal. “Aku kalo ngomong sama Dela atau Aravin, pasti
kalah mulu,” gumamnya.
“Kepok!” umpat Belvina.
Mereka terus bercanda,
walau sering dibuat kesal tapi mereka bahagia. Ejekan yang mereka lontarkan
adalah ejekan yang menunjukkan kasih sayang dan kebersamaan sebagai seorang
sahabat.
.png)
0 komentar:
Post a Comment