Thursday, August 14, 2025

THEN LOVE BAB 9 – SUP AYAM SPESIAL

 

BAB 9 – SUP AYAM SPESIAL

 


Semua orang berhamburan keluar dari gedung teater begitu pemutaran film berakhir. Tapi, Delana tak segera beranjak dari tempat duduknya.

“Nggak pulang?” tanya Chilton.

“Bentar. Mau lihat behind the scene.” Delana masih saja menatap layar film sambil tertawa kecil melihat cuplikan-cuplikan lucu di balik layar.

Chilton hanya memerhatikan Delana yang terlihat begitu antusias melihat cuplikan di balik layar. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menontonnya.

“Ayo, kita pulang!” seru Delana begitu cuplikan film di balik layar sudah habis.

Chilton bangkit dari tempat duduk, melangkahkan kaki menuruni anak tangga bersama Delana yang juga berjalan di sisinya.

“Aku suka banget filmnya. Tahun depan, kita nonton lagi, yuk!” ajak Delana.

Chilton mengernyitkan dahinya. “Emangnya itu film masih diputer lagi tahun depan?”

“Ya, nggak lah.”

“Lah? Terus? Kenapa ngajak nonton lagi?” tanya Chilton.

“Nonton film Disney live action yang lain, lah.” Delana meringis.

“Iya, kalo ada.”

“Ada.”

“Tahu dari mana?” tanya Chilton sembari keluar dari pintu.

“Dari channel youtube official Disney. Udah ada beberapa film yang dijadwalkan sampai dua tahun ke depan.”

“Wow ...! Serius?” tanya Chilton.

“Iya.” Delana tersenyum penuh keyakinan. Mereka berjalan menyusuri koridor dan keluar menuju deretan outlet penjualan.

“Chil, kita main ke Time Zone, yuk!” ajak Delana.

Chilton melihat jam di pergelangan tangannya. “Udah malem ini, emangnya masih buka?” tanya Chilton.

“Hmm ... iya, juga sih.” Delana memerhatikan beberapa toko yang sudah mulai tutup. “Kamu, sih. Ngajak nontonnya ambil jam paling malam!” celetuk Delana.

“Emang jadwalnya begitu,” sahut Chilton.

“Ya udah, kita cari makan aja. Aku laper banget!”

“Di mana?” tanya Chilton.

“Cabe Merah masih buka, nggak ya?” tanya Delana.

“Nggak tahu.”

“Kita lewatin, kok. Kalo masih buka, kita makan di sana aja!” tutur Delana.

Mereka menyusuri jalan untuk keluar dari gedung mall.

Saat sampai di depan restoran Cabe Merah, Delana mendesah kecewa. “Yah, udah tutup,” tuturnya lemas.

“Ya udah ... kita cari makan di tempat lain aja!” tutur Chilton.

“Restoran lain juga pasti udah tutup jam segini. Aku laper banget!”

“Hmm ... ada beberapa restoran yang buka 24 jam, kok.” Chilton meraih lengan Delana dan berjalan lebih cepat menuju parkiran.

“Chil, aku bukan anak kecil. Nggak usah dituntun kayak gini juga, kali!” gerutu Delana.

“Kamu jalannya lambat banget!” Chilton tak peduli, ia terus berjalan sembari menarik lengan Delana. Mau tak mau Delana harus mempercepat langkahnya mengimbangi langkah Chilton.

“Aw ...!” Delana tersungkur ke lantai karena kakinya saling bertautan saat ia mempercepat langkahnya. “Jangan narik aku cepet banget!”

Chilton melepas genggamannya. Ia tertawa kecil melihat Delana terduduk di lantai.

“Malah diketawain! Bukannya ditolongin!” celetuk Delana kesal.

Chilton mengulurkan tangannya. Delana menyambut uluran tangan Chilton dan bangkit berdiri.

Delana mendengus kesal dengan sikap Chilton. Mereka melanjutkan perjalanan. Chilton masih memegangi tangan Delana kembali, tapi ia memperlambat langkah kakinya.

“Eh, aku mau lihat-lihat dulu!” seru Delana melihat outlet aksesoris yang masih buka.”

Chilton mengikuti permintaan Delana yang menariknya menuju outlet aksesoris di dekat pintu keluar.

“Ada Bunny Hat lucu!” seru Delana. “Mbak, aku boleh coba yang itu?” Delana menunjuk Bunny Hat berbentuk kelinci. Karyawan tersebut langsung mengambilkan barang yang ditunjuk Delana.

“Sama yang pokemon, itu dong!” Delana memakai Bunny Hat di kepalanya dan memencet tombol yang membuat telinga kelinci naik turun. Ia menggeleng-gelengkan kepala di hadapan Chilton, membuat Chilton tertawa melihatnya.

“Pake yang ini!” Delana memakaikan Bunny Hat berkarakter pokemon di kepala Chilton.

Chilton menoleh ke kanan dan ke kiri, ia melihat beberapa orang yang melintas memerhatikan mereka.

“Coba dipencet!” pinta Delana sambil memencet tombol Bunny Hat. “Iih .. lucu!” seru Delana kegirangan.

“Berapaan ini, Mbak?” tanya Delana.

“Sembilan puluh ribu, Mbak,” jawab penjaga outlet yang terlihat sedang menyimpun barang-barang jualannya.

“Udah mau tutup ya?” tanya Delana sembari mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Ia menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada karyawan tersebut.

“Iya, Mbak. Sudah malam.”

Delana tersenyum. “Makasih ya, Mbak!” Ia membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi sambil menarik lengan Chilton.

“Mbak, angsulannya!” seru karyawan penjaga outlet.

Delana menepuk jidatnya. “Lupa!” Ia berbalik dan mengambil uang kembalian yang diberikan oleh karyawan tersebut.

Karyawan tersebut tersenyum menanggapinya.

Delana dan Chilton keluar menuju parkiran mengenakan Bunny Hat. Ini pertama kalinya Chilton mengenakan aksesoris lucu dan terlihat begitu konyol. Tapi, ia tidak protes sama sekali. Ia hanya tersenyum saat melihat cewek di sampingnya itu bisa tertawa bahagia. Di dekat Delana, sikap jaim dan cool-nya itu seperti ikut melebur bersama tawa ceria gadis itu.

“Kamu nggak dimarahin ayahmu kalo pulangnya malam gini?” tanya Chilton.

“Enggak. Aku udah kasih tahu ayah, kok. Ayah juga masih lembur di kantor.”

“Jam segini?”

Delana menganggukkan kepalanya.

Chilton menyalakan mesin mobil begitu mereka sudah duduk di dalamnya. Ia langsung keluar dari parkiran yang sudah tak begitu ramai.

“Kamu mau makan apa?” tanya Chilton.

“Mmh ... sate ayam aja, deh.”

“Oke. Bungkus aja ya! Aku takut terlalu malam ngantar kamu pulang. Nggak enak sama ayah kamu.”

Delana menganggukkan kepalanya. Chilton langsung berhenti begitu melihat tukang sate yang ada di pinggir jalan. Ia membeli dua porsi dan langsung kembali ke dalam mobil.

“Aku antar sampai depan rumah, ya!” pinta Chilton.

“Eh!? Nggak usah! Antar sampai depan gang aja!” sahut Delana.

“Kenapa? Ini sudah malam.”

“Nggak enak aja ngerepotin kamu.”

“Nggak, kok. Aku antar kamu sampe depan rumah.”

Delana tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kursi dan tanpa sadar ia terlelap begitu saja.

“Del, bangun ...!” Chilton menepuk lembut pipi Delana saat ia sudah memasuki gang rumah Delana.

“Eh!?” Delana gelagapan dan menegakkan tubuhnya. “Aku ketiduran?” tanyanya.

Chilton tersenyum. “Rumah kamu yang mana?” tanya Chilton.

“Duh, aku kok bisa ketiduran sih!?” gumam Delana.

Chilton tersenyum. “Nggak, papa. Emang udah malam. Udah jamnya tidur.”

Delana tersenyum. “Sorry!”

“Rumah kamu yang mana?” tanya Chilton sembari menjalankan mobilnya perlahan.

“Maju lagi sedikit!” pinta Delana sembari melihat jalanan di depannya yang lengang.

“Itu, rumah putih sebelah kiri.” Delana menunjuk rumah megah bercat putih dengan pagar besi berwarna keemasan.

Chilton langsung menepikan mobilnya perlahan.

“Masuk dulu, yuk!” ajak Delana.

“Nggak usah. Ini sudah malam.”

“Nggak papa. Kita makan sate bareng!” ajak Delana sembari mengangkat kantong plastik berisi sate.

Chilton tersenyum. “Beneran, nggak papa?”

Delana menganggukkan kepalanya. “Sambil nunggu ayah pulang.” Ia bergegas turun dari mobil, berjalan menuju pintu gerbang rumahnya. Ia membuka kunci gembok dan membuka lebar-lebar pintu gerbang rumahnya agar mobil Chilton bisa masuk ke pekarangan rumahnya. Ia melambaikan tangan, memberi kode pada Chilton agar memasukkan mobilnya.

Chilton langsung menuruti permintaan Delana. Ia memarkirkan mobilnya. Delana kembali menutup pintu gerbang tanpa menguncinya.

“Tunggu sini, ya!” pinta Delana, ia meminta Chilton untuk menunggu di kursi teras. Ia segera membuka pintu rumahnya dan berlari ke dapur. Kemudian kembali membawa dua buah piring dan dua gelas minuman hangat.

“Kamu sendirian kalo malam kayak gini?” tanya Chilton mengedarkan pandangannya ke sekeliling pekarangan rumah Delana.

“Nggak. Ada Bryan di dalam, kayaknya dia sudah tidur.”

“Bryan?”

“Adikku.”

“Oh.” Chilton mengangguk-anggukkan kepalany.

“Makan, yuk!” ajak Delana begitu ia membuka bungkusan sate dan menyajikannya di atas piring.

“Taman rumah kamu rapi banget. Ada yang ngurusin?” tanya Chilton.

“Ada. ART aku di sini cuma dari subuh sampai sore aja. Bantu bersih-bersih dan nyuci. Kalau masak, masih aku kerjain sendiri.”

“Kamu tuh mandiri banget, ya?” Chilton menatap Delana kagum.

“Huft, mau gimana lagi? Aku menjaga ayah dan Bryan semenjak Bunda sudah nggak ada. Jadi, semuanya aku kerjain sendiri.”

“Kamu punya pembantu, tapi masih dikerjain sendiri.”

“Iya. Soalnya, aku nggak mau kasih makan sembarangan buat ayah,” sahut Delana dengan mulut penuh makanan. “Ayah tuh kerjaannya banyak. Sering lembur. Jadi, aku harus perhatiin asupan makanan buat ayah biar ayah sehat terus.”

“Tapi, kalo ayah kamu makan di luar gimana? Misalnya lembur gini, nggak ada yang masakin, kan?” tanya Chilton.

“Iya, sih. Tapi, ayah sudah ngerti kok pilih makanan yang baik buat dia. Beda sama Bryan yang makannya masih sembarangan.”

Chilton tersenyum. Mereka menikmati sate di teras rumah sambil bercengkerama menunggu ayah Delana pulang. Namun, sampai sate mereka habis, ayah Delana tak kunjung pulang. Bahkan ia masih di kantor saat Delana menelponnya.

Akhirnya, Chilton berpamitan karena waktu sudah semakin malam.

 

***

 

Chilton mendribling bola basket di lapangan. Hampir semua cewek selalu menontonnya di pinggir lapangan setiap kali Chilton bermain basket. Sama halnya seperti yang dilakukan Delana.

Kali ini, tak banyak cewek yang meneriaki Chilton seperti biasanya karena ada Delana yang menunggunya di sisi lapangan. Kedekatan mereka sudah menjadi rahasia umum dan tidak ada satu pun yang berani mengganggu kedekatan mereka. Terlebih, Chilton memang tak begitu ramah dengan cewek lain kecuali Delana.

Chilton tersenyum menatap Delana yang duduk di tepi lapangan. Ia kemudian menghampiri Delana saat ia sedang beristirahat.

“Minum?” Delana menyodorkan satu botol air mineral ke arah Chilton. Tanpa pikir panjang, Chilton langsung menyambar botol minum tersebut.

“Uhuk ... uhuk ...!” Chilton terdengar batuk, tapi itu bukan karena tersedak. Sepertinya ia terserang flu karena kurang istirahat. “Makasih, ya!” Chilton menyodorkan kembali botol minum yang isinya tinggal setengah.

“Kamu sakit?” tanya Delana memerhatikan wajah Chilton.

“Nggak. Tapi, kayaknya mau kena flu.” Chilton menggosok ujung hidung dengan punggung jarinya.

“Aku carikan obat dulu, ya!” Delana bergegas bangkit dari duduknya. Tapi, Chilton menahannya untuk tidak pergi.

“Aku baik-baik aja. Kamu tetep di sini!” pinta Chilton.

“Tapi ...”

“Aku baik-baik aja!” Chilton meninggikan suaranya.

Delana menghela napas. Ia sama sekali tak berani melawan saat Chilton mulai meninggikan nada suaranya. Ia memilih untuk diam sementara Chilton melanjutkan bermain basket. Delana terus memerhatikan Chilton yang sesekali terdengar bersin. Ia sangat terganggu dengan suara bersin itu. Rasanya, ia ingin berlari ke apotik untuk membelikannya obat flu.

Usai bermain basket. Chilton kembali menghampiri Delana yang masih duduk di sisi lapangan menunggunya.

“Kamu nggak papa panas-panasan kayak gini? Nunggu di sana kan bisa.” Chilton menunjuk birai yang ada di bawah pohon dengan dagunya.

“Nggak papa.”

“Ntar kamu hitam. Nggak cantik lagi!” celetuk Chilton.

Delana langsung menangkupkan telapak tangan ke wajahnya. “Apa iya kulitku menghitam?” bisiknya dalam hati.

Chilton tertawa kecil melihat sikap Delana. “Kita duduk di sana aja!” ajak Chilton sambil berlari ke bawah pohon rindang agar terhindar dari sengat matahari.

Delana mengikuti langkah Chilton perlahan. Ia duduk di samping Chilton yang masih bersin beberapa kali di sampingnya. Ia sedikit khawatir dengan kondisi kesehatan cowok itu. Terlebih, beberapa hari belakangan ini ia sering begadang, menghabiskan waktunya untuk bermain game online.

“Kamu yakin baik-baik aja?” tanya Delana kemudian.

Chilton mengangguk. “Aku baik-baik aja. Emangnya kenapa?” tanya Chilton.

“Aku harap kamu bakal baik-baik aja.”

“Don’t worry! Aku cowok, sering olahraga. Jadi, memulihkan kesehatan bukan hal yang sulit.”

Delana tersenyum. Ia berharap, esok hari keadaan Chilton menjadi lebih baik lagi.

***

Sepulang kuliah, Delana berkeliling ke pasar tradisional untuk mencari bahan baku membuat sup ayam kampung untuk Chilton.

“Paklek, ayam jagonya berapa harganya?” tanya Delana pada penjual ayam kampung yang ada di pasar.

“Yang besar ini dua ratus ribu, Mbak,” jawab penjual sembari menunjukkan ayam jago berukuran besar.

“Hmm ... kalo yang ini?” tanya Delana sembari menunjuk ayam yang ukurannya lebih kecil.

“Yang ini seratus dua puluh saja, Mbak.”

“Hmm ... saya ambil yang kecil saja, Paklek,” tutur Delana. “Saya mau cari sayuran sama bumbu dulu. Saya titip di sini dulu ayamnya. Nanti saya ambil kalo saya udah selesai belanja. Boleh kan?” tanya Delana.

“Boleh.” Penjual ayam itu tersenyum sembari menimang-nimang ayam yang akan dibeli oleh Delana.

Delana menundukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia berjalan ke lapak sayuran untuk membeli kentang, wortel dan sayuran lainnya.

Setelah mendapatkan beberapa sayuran pilihannya, ia berpindah ke lapak lain untuk membeli bumbu-bumbu.

Setelah semua ia rasa cukup, ia kembali ke penjual ayam. Membeli satu ekor ayam dan membawanya pulang dengan sepeda motor yang ia bawa.

Sepanjang perjalanan, ia tersenyum senang karena kali ini ia memasak khusus untuk Chilton yang sedang sakit. Pastinya akan berbeda saat ia sedang sehat. “Semoga, dia suka masakanku,” bisik Delana dalam hatinya.

Sesampainya di rumah, ia langsung meletakkan kantong plastik di dapur.

“Astaga!” Delana menepuk dahinya. “Kenapa nggak minta potongkan sekalian ayamnya?” Delana mengangkat ayam jago yang berusaha melepaskan diri dari tangannya.

Delana meletakkan ayam tersebut di dekat pintu dapur. Ia berlari keluar dari rumah dan mengetuk pintu tetangganya.

“Assalamu’alaikum ...!” sapa Delana.

“Wa’alaikumussalam ...”

“Pakde ada?” tanya Delana pada wanita setengah baya yang membukakan pintu untuknya.

“Ada,” jawab wanita itu. “Pak, ada Dela!” teriaknya.

“Ya.” Terdengar suara sahutan dari dalam, tak lama kemudian pakde yang dipanggil Delana pun muncul.

“Ada apa, Mbak Dela?” tanya laki-laki setengah baya itu.

“Bisa potongkan ayam?” tanya Delana balik.

“Ayam apa?”

“Ayam kampung.”

“Bisa.”

“Makasih, Pakde.” Delana tersenyum senang. “Ayamnya aku bawa ke sini atau pakde yang ke rumah?” tanya Delana.

“Sembarang aja.”

Delana mengetuk-ngetuk dagunya sebagai tanda berpikir. “Aku bawa ke sini aja, deh!” tuturnya. Ia berlari masuk ke rumahnya dan keluar dengan membawa ayam jantan.

“Huft ... drama ayam jago!” celetuk Delana sambil menenteng ayam jago yang sudah dipotongkan oleh tetangganya. “Aku terlalu seneng sampe lupa minta potongkan di pasar.” Delana mengomel pada dirinya sendiri.

Delana menyalakan kompor, merebus air panas untuk merendam ayam agar mudah ia bersihkan. Semuanya harus ia kerjakan sendiri karena pembantunya hanya bertugas membersihkan rumah dari pagi hingga sore. Sisanya, harus bisa ia kerjakan seorang diri.

“Bikin apa, Kak?” tanya Bryan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Delana.

“Eh ... kamu, dek. Baru pulang sekolah?” tanya Delana sembari menyabuti bulu ayam kampung.

“Iya. Abis ekskul basket. Kakak masak apa?” tanya Bryan sembari mengamati isi dapur yang berantakan seperti kapal pecah. Tak biasanya kakaknya memasak sekacau ini.

“Kakak lagi mau coba bikin sup ayam kampung. Katanya, bagus untuk meredakan flu.”

“Ayah sakit?” tanya Bryan.

Delana menggelengkan kepala.

“Kakak yang sakit?”

Delana menggeleng lagi.

“Jadi, buat siapa?” tanya Bryan.

“Buat kita semua!” jawab Delana ceria.

“Nggak ada yang sakit.”

Delana menghela napasnya. “Sup ini, bukan cuma untuk orang sakit. Yang sehat juga boleh makan,” tuturnya sembari menatap adiknya. “Kamu mendingan cepetan mandi, ganti baju, tidur!” perintah Delana. “Daripada gangguin kakak aja!” celetuknya.

“Jam segini disuruh tidur? Mending main ML, lah.”

“Terserahmu aja, lah! Yang penting jangan ganggu kakak!” sergah Delana.

“Ahsiiaap ...! Kalo udah masak panggil aku ya!” seru Bryan sambil ngeloyor pergi.

“Malas!” sahut Delana.

Delana kembali berkutat dengan bahan makanan yang akan ia buatkan khusus untuk Chilton esok pagi.

Ia menghela napas lega saat kuah kaldu ayam kampung sudah masak. Ia tinggal menambahkan sayuran dan bumbu-bumbu penyedap. Delana memutuskan untuk beristirahat lebih cepat dan akan bangun lebih pagi untuk melanjutkan membuat sup ayam kampung agar tetap fresh dan segar saat ia menghidangkan untuk Chilton.

 

***

“Hai, kamu udah di sini aja,” sapa Chilton saat melihat Delana duduk di kursi taman.

Delana tersenyum riang. “Iya. Mau lihat kamu lari pagi.”

“Aku rasa, kamu salah satu penguntit terbaik.” Chilton tergelak.

Delana mencebik ke arah Chilton.

 

Hatchiiim ...!

Hatchiiim ...!

Hatchiiim ...!

 

Chilton bersin beberapa kali di depan Delana.

“Kamu masih flu?” tanya Delana.

“Iya. Tapi nggak papa, kok.”

“Kamu nggak minum obat?” tanya Delana.

Chilton menggelengkan kepala. “Ntar juga sembuh sendiri.”

“Tapi, kayaknya flu kamu makin parah, deh.” Delana mengamati wajah Chilton.

Chilton tersenyum ke arah Delana.

 

Hatchiiim ...!

 

Chilton menutup mulut dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.

“Tuh, kan? Sakit kamu makin parah gini.” Delana terlihat mulai panik. “Kenapa nggak istirahat aja di asrama? Masih maksain lari pagi,” cerocos Delana.

“Biar enakan badan kalo olahraga.”

“Tapi, kamu kan lagi sakit.”

“Cuma flu doang.”

Delana menghela napas. Ia menyodorkan kotak bekal yang ukurannya lebih besar dari biasanya.

Chilton mengernyitkan dahinya. “Aku lagi nggak enak makan, kamu bawain makanan sebanyak ini?” tanya Chilton.

“Kalau lagi sakit, harus makan yang banyak biar cepet sehat.” Delana membuka tutup kotak bekal itu dan membuat asap panas keluar dari dalamnya.

Chilton menghirup aroma masakan itu dalam-dalam. Ia menikmati aroma yang begitu menggoda di hidungnya. Ia langsung mengintip isi kotak bekal tersebut. Isinya tidak terlalu banyak tapi tempatnya terlihat besar. Mungkin, karena kotak ini bisa menjaga makanan di dalamnya tetap panas.

“Ayo, cobain!” pinta Delana sembari menyodorkan sendok untuk Chilton.

Chilton tersenyum sembari mengambil sendok dari tangan Delana. Ia menyeruput satu sendok kuah sup yang dibuat Delana. Ia merasa kerongkongannya menghangat, menjalar ke seluruh tubuhnya. “Enak ...!” ucapnya.

“Syukur deh, kalo kamu suka.” Delana tersenyum riang.

“Kamu kasih apa? Kok, anget ya di badan?” tanya Chilton.

“Ada, deh.” Delana tak ingin memberitahu satu pun bumbu yang ia masukkan ke dalam sup ayam kampung tersebut.

“Aku sering makan sup ayam kayak gini,” tutur Chilton. “Tapi, ini rasanya lebih gurih. Ayamnya juga enak, nggak hambar kayak biasanya.”

“Iya. Itu karena pakai ayam spesial.”

“Spesial? Ayam apa emangnya?” tanya Chilton.

“Ada, deh.”

“Dari tadi, ada deh mulu!” celetuk Chilton sembari melahap makanan yang dibawakan Delana.

Delana meringis menanggapi ucapan Chilton.

“Eh, yang kenyel-kenyel ini apa, sih?” tanya Chilton sembari mengunyah salah satu makanan yang terasa kenyal di mulut.

“Hayo, tebak! Apa itu?” tanya Delana balik.

“Hadeh, males banget main tebak-tebakan. Apalagi soal makanan beginian ya nggak tahu sama sekali. Tahunya makan doang,” gumam Chilton.

“Hmm ... itu namanua makaroni,” sahut Delana.

“Eh!? Makaroni bukannya camilan yang digoreng terus dijual di warung-warung itu?” tanya Chilton.

“Itu makaroni goreng.”

“Beda sama ini?” tanya Chilton.

“Beda. Itu direbus.”

“Yaelah ... cuma beda cara masaknya doang,” celetuk Chilton.

“Beda cara masak, beda rasa kan?” tanya Delana sembari menatap Chilton yang hampir menghabiskan sup ayam kampung buatan Delana.

“Hmm ... iya juga sih.”

Delana tersenyum.

“Bagi resep dong!” pinta Chilton.

“Buat apa?”

“Aku pengen bikin sendiri.”

“Emang bisa masak?”

“Bisa. Sedikit.”

“Ya sudah. Kalo kamu pengen makan sup ini lagi, kamu bisa hubungi aku!” Delana mengerdipkan salah satu matanya.

“Berapa satu porsinya?” tanya Chilton.

“Hmm ... berapa ya?” tanya Delana sambil melipat kedua tangannya di dada.

Chilton menatap Delana serius.

“Aku nggak mau dibayar pake duit.”

“Terus ... mau dibayar pake apa?”

“Pake ... hmm ... nanti aja. Aku baru mau bilang ke kamu di saat aku bener-bener butuh. Yang kemarin aja, kamu belum penuhi permintaanku.”

Chilton mengernyitkan dahinya. “Permintaan apa?” tanyanya.

“Emang aku belum ungkapin permintaan aku. Masih aku tabung dulu. Siapa tahu aja akan berguna suatu saat nanti,” tutur Delana. “Artinya, aku punya dua permintaan yang harus bisa kamu penuhi. Nanti. Saat aku mulai mengucapkan permintaan itu.”

“Hmm .. baiklah!”

Delana tersenyum sembari memainkan kedua alisnya.

“Kalo gitu, kasih tahu aku ... kamu pakai ayam jenis apa?” tanya Chilton.

Delana memutar bola matanya. “Masih ditanya lagi? Itu rahasia!” Delana menjulurkan lidahnya ke arah Chilton.

“Dasar, kamu ya?” Chilton mengacak ujung rambut Delana.

“Dasar apa?” tanya Delana balik.

“Sekolah dasar.”

Mereka tertawa terbahak-bahak.

Delana tersenyum. Ia sengaja tak memberitahu Chilton soal resep masakan yang ia buat. Dia ingin, Chilton hanya mencarinya jika ingin memakan sup ayam kampung spesial buatannya.

 

                                                                                                   

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas