BAB
9 – SUP AYAM SPESIAL
Semua
orang berhamburan keluar dari gedung teater begitu pemutaran film berakhir.
Tapi, Delana tak segera beranjak dari tempat duduknya.
“Nggak
pulang?” tanya Chilton.
“Bentar.
Mau lihat behind the scene.” Delana masih saja menatap layar film sambil
tertawa kecil melihat cuplikan-cuplikan lucu di balik layar.
Chilton
hanya memerhatikan Delana yang terlihat begitu antusias melihat cuplikan di
balik layar. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menontonnya.
“Ayo,
kita pulang!” seru Delana begitu cuplikan film di balik layar sudah habis.
Chilton
bangkit dari tempat duduk, melangkahkan kaki menuruni anak tangga bersama
Delana yang juga berjalan di sisinya.
“Aku
suka banget filmnya. Tahun depan, kita nonton lagi, yuk!” ajak Delana.
Chilton
mengernyitkan dahinya. “Emangnya itu film masih diputer lagi tahun depan?”
“Ya,
nggak lah.”
“Lah?
Terus? Kenapa ngajak nonton lagi?” tanya Chilton.
“Nonton
film Disney live action yang lain, lah.” Delana meringis.
“Iya,
kalo ada.”
“Ada.”
“Tahu
dari mana?” tanya Chilton sembari keluar dari pintu.
“Dari
channel youtube official Disney. Udah ada beberapa film yang dijadwalkan sampai
dua tahun ke depan.”
“Wow
...! Serius?” tanya Chilton.
“Iya.”
Delana tersenyum penuh keyakinan. Mereka berjalan menyusuri koridor dan keluar
menuju deretan outlet penjualan.
“Chil,
kita main ke Time Zone, yuk!” ajak Delana.
Chilton
melihat jam di pergelangan tangannya. “Udah malem ini, emangnya masih buka?”
tanya Chilton.
“Hmm
... iya, juga sih.” Delana memerhatikan beberapa toko yang sudah mulai tutup.
“Kamu, sih. Ngajak nontonnya ambil jam paling malam!” celetuk Delana.
“Emang
jadwalnya begitu,” sahut Chilton.
“Ya
udah, kita cari makan aja. Aku laper banget!”
“Di
mana?” tanya Chilton.
“Cabe
Merah masih buka, nggak ya?” tanya Delana.
“Nggak
tahu.”
“Kita
lewatin, kok. Kalo masih buka, kita makan di sana aja!” tutur Delana.
Mereka
menyusuri jalan untuk keluar dari gedung mall.
Saat
sampai di depan restoran Cabe Merah, Delana mendesah kecewa. “Yah, udah tutup,”
tuturnya lemas.
“Ya
udah ... kita cari makan di tempat lain aja!” tutur Chilton.
“Restoran
lain juga pasti udah tutup jam segini. Aku laper banget!”
“Hmm
... ada beberapa restoran yang buka 24 jam, kok.” Chilton meraih lengan Delana
dan berjalan lebih cepat menuju parkiran.
“Chil,
aku bukan anak kecil. Nggak usah dituntun kayak gini juga, kali!” gerutu
Delana.
“Kamu
jalannya lambat banget!” Chilton tak peduli, ia terus berjalan sembari menarik
lengan Delana. Mau tak mau Delana harus mempercepat langkahnya mengimbangi
langkah Chilton.
“Aw
...!” Delana tersungkur ke lantai karena kakinya saling bertautan saat ia
mempercepat langkahnya. “Jangan narik aku cepet banget!”
Chilton
melepas genggamannya. Ia tertawa kecil melihat Delana terduduk di lantai.
“Malah
diketawain! Bukannya ditolongin!” celetuk Delana kesal.
Chilton
mengulurkan tangannya. Delana menyambut uluran tangan Chilton dan bangkit
berdiri.
Delana
mendengus kesal dengan sikap Chilton. Mereka melanjutkan perjalanan. Chilton
masih memegangi tangan Delana kembali, tapi ia memperlambat langkah kakinya.
“Eh,
aku mau lihat-lihat dulu!” seru Delana melihat outlet aksesoris yang masih
buka.”
Chilton
mengikuti permintaan Delana yang menariknya menuju outlet aksesoris di dekat
pintu keluar.
“Ada
Bunny Hat lucu!” seru Delana. “Mbak, aku boleh coba yang itu?” Delana menunjuk
Bunny Hat berbentuk kelinci. Karyawan tersebut langsung mengambilkan barang
yang ditunjuk Delana.
“Sama
yang pokemon, itu dong!” Delana memakai Bunny Hat di kepalanya dan memencet
tombol yang membuat telinga kelinci naik turun. Ia menggeleng-gelengkan kepala
di hadapan Chilton, membuat Chilton tertawa melihatnya.
“Pake
yang ini!” Delana memakaikan Bunny Hat berkarakter pokemon di kepala Chilton.
Chilton
menoleh ke kanan dan ke kiri, ia melihat beberapa orang yang melintas
memerhatikan mereka.
“Coba
dipencet!” pinta Delana sambil memencet tombol Bunny Hat. “Iih .. lucu!” seru
Delana kegirangan.
“Berapaan
ini, Mbak?” tanya Delana.
“Sembilan
puluh ribu, Mbak,” jawab penjaga outlet yang terlihat sedang menyimpun
barang-barang jualannya.
“Udah
mau tutup ya?” tanya Delana sembari mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Ia
menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada karyawan tersebut.
“Iya,
Mbak. Sudah malam.”
Delana
tersenyum. “Makasih ya, Mbak!” Ia membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi
sambil menarik lengan Chilton.
“Mbak,
angsulannya!” seru karyawan penjaga outlet.
Delana
menepuk jidatnya. “Lupa!” Ia berbalik dan mengambil uang kembalian yang
diberikan oleh karyawan tersebut.
Karyawan
tersebut tersenyum menanggapinya.
Delana
dan Chilton keluar menuju parkiran mengenakan Bunny Hat. Ini pertama kalinya
Chilton mengenakan aksesoris lucu dan terlihat begitu konyol. Tapi, ia tidak
protes sama sekali. Ia hanya tersenyum saat melihat cewek di sampingnya itu
bisa tertawa bahagia. Di dekat Delana, sikap jaim dan cool-nya itu seperti ikut
melebur bersama tawa ceria gadis itu.
“Kamu
nggak dimarahin ayahmu kalo pulangnya malam gini?” tanya Chilton.
“Enggak.
Aku udah kasih tahu ayah, kok. Ayah juga masih lembur di kantor.”
“Jam
segini?”
Delana
menganggukkan kepalanya.
Chilton
menyalakan mesin mobil begitu mereka sudah duduk di dalamnya. Ia langsung
keluar dari parkiran yang sudah tak begitu ramai.
“Kamu
mau makan apa?” tanya Chilton.
“Mmh
... sate ayam aja, deh.”
“Oke.
Bungkus aja ya! Aku takut terlalu malam ngantar kamu pulang. Nggak enak sama
ayah kamu.”
Delana
menganggukkan kepalanya. Chilton langsung berhenti begitu melihat tukang sate
yang ada di pinggir jalan. Ia membeli dua porsi dan langsung kembali ke dalam
mobil.
“Aku
antar sampai depan rumah, ya!” pinta Chilton.
“Eh!?
Nggak usah! Antar sampai depan gang aja!” sahut Delana.
“Kenapa?
Ini sudah malam.”
“Nggak
enak aja ngerepotin kamu.”
“Nggak,
kok. Aku antar kamu sampe depan rumah.”
Delana
tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kursi dan tanpa sadar ia terlelap
begitu saja.
“Del,
bangun ...!” Chilton menepuk lembut pipi Delana saat ia sudah memasuki gang
rumah Delana.
“Eh!?”
Delana gelagapan dan menegakkan tubuhnya. “Aku ketiduran?” tanyanya.
Chilton
tersenyum. “Rumah kamu yang mana?” tanya Chilton.
“Duh,
aku kok bisa ketiduran sih!?” gumam Delana.
Chilton
tersenyum. “Nggak, papa. Emang udah malam. Udah jamnya tidur.”
Delana
tersenyum. “Sorry!”
“Rumah
kamu yang mana?” tanya Chilton sembari menjalankan mobilnya perlahan.
“Maju
lagi sedikit!” pinta Delana sembari melihat jalanan di depannya yang lengang.
“Itu,
rumah putih sebelah kiri.” Delana menunjuk rumah megah bercat putih dengan
pagar besi berwarna keemasan.
Chilton
langsung menepikan mobilnya perlahan.
“Masuk
dulu, yuk!” ajak Delana.
“Nggak
usah. Ini sudah malam.”
“Nggak
papa. Kita makan sate bareng!” ajak Delana sembari mengangkat kantong plastik
berisi sate.
Chilton
tersenyum. “Beneran, nggak papa?”
Delana
menganggukkan kepalanya. “Sambil nunggu ayah pulang.” Ia bergegas turun dari
mobil, berjalan menuju pintu gerbang rumahnya. Ia membuka kunci gembok dan
membuka lebar-lebar pintu gerbang rumahnya agar mobil Chilton bisa masuk ke
pekarangan rumahnya. Ia melambaikan tangan, memberi kode pada Chilton agar
memasukkan mobilnya.
Chilton
langsung menuruti permintaan Delana. Ia memarkirkan mobilnya. Delana kembali
menutup pintu gerbang tanpa menguncinya.
“Tunggu
sini, ya!” pinta Delana, ia meminta Chilton untuk menunggu di kursi teras. Ia
segera membuka pintu rumahnya dan berlari ke dapur. Kemudian kembali membawa
dua buah piring dan dua gelas minuman hangat.
“Kamu
sendirian kalo malam kayak gini?” tanya Chilton mengedarkan pandangannya ke
sekeliling pekarangan rumah Delana.
“Nggak.
Ada Bryan di dalam, kayaknya dia sudah tidur.”
“Bryan?”
“Adikku.”
“Oh.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepalany.
“Makan,
yuk!” ajak Delana begitu ia membuka bungkusan sate dan menyajikannya di atas
piring.
“Taman
rumah kamu rapi banget. Ada yang ngurusin?” tanya Chilton.
“Ada.
ART aku di sini cuma dari subuh sampai sore aja. Bantu bersih-bersih dan nyuci.
Kalau masak, masih aku kerjain sendiri.”
“Kamu
tuh mandiri banget, ya?” Chilton menatap Delana kagum.
“Huft,
mau gimana lagi? Aku menjaga ayah dan Bryan semenjak Bunda sudah nggak ada.
Jadi, semuanya aku kerjain sendiri.”
“Kamu
punya pembantu, tapi masih dikerjain sendiri.”
“Iya.
Soalnya, aku nggak mau kasih makan sembarangan buat ayah,” sahut Delana dengan
mulut penuh makanan. “Ayah tuh kerjaannya banyak. Sering lembur. Jadi, aku
harus perhatiin asupan makanan buat ayah biar ayah sehat terus.”
“Tapi,
kalo ayah kamu makan di luar gimana? Misalnya lembur gini, nggak ada yang
masakin, kan?” tanya Chilton.
“Iya,
sih. Tapi, ayah sudah ngerti kok pilih makanan yang baik buat dia. Beda sama
Bryan yang makannya masih sembarangan.”
Chilton
tersenyum. Mereka menikmati sate di teras rumah sambil bercengkerama menunggu
ayah Delana pulang. Namun, sampai sate mereka habis, ayah Delana tak kunjung
pulang. Bahkan ia masih di kantor saat Delana menelponnya.
Akhirnya,
Chilton berpamitan karena waktu sudah semakin malam.
***
Chilton
mendribling bola basket di lapangan. Hampir semua cewek selalu menontonnya di
pinggir lapangan setiap kali Chilton bermain basket. Sama halnya seperti yang
dilakukan Delana.
Kali
ini, tak banyak cewek yang meneriaki Chilton seperti biasanya karena ada Delana
yang menunggunya di sisi lapangan. Kedekatan mereka sudah menjadi rahasia umum
dan tidak ada satu pun yang berani mengganggu kedekatan mereka. Terlebih,
Chilton memang tak begitu ramah dengan cewek lain kecuali Delana.
Chilton
tersenyum menatap Delana yang duduk di tepi lapangan. Ia kemudian menghampiri
Delana saat ia sedang beristirahat.
“Minum?”
Delana menyodorkan satu botol air mineral ke arah Chilton. Tanpa pikir panjang,
Chilton langsung menyambar botol minum tersebut.
“Uhuk
... uhuk ...!” Chilton terdengar batuk, tapi itu bukan karena tersedak.
Sepertinya ia terserang flu karena kurang istirahat. “Makasih, ya!” Chilton
menyodorkan kembali botol minum yang isinya tinggal setengah.
“Kamu
sakit?” tanya Delana memerhatikan wajah Chilton.
“Nggak.
Tapi, kayaknya mau kena flu.” Chilton menggosok ujung hidung dengan punggung
jarinya.
“Aku
carikan obat dulu, ya!” Delana bergegas bangkit dari duduknya. Tapi, Chilton
menahannya untuk tidak pergi.
“Aku
baik-baik aja. Kamu tetep di sini!” pinta Chilton.
“Tapi
...”
“Aku
baik-baik aja!” Chilton meninggikan suaranya.
Delana
menghela napas. Ia sama sekali tak berani melawan saat Chilton mulai
meninggikan nada suaranya. Ia memilih untuk diam sementara Chilton melanjutkan
bermain basket. Delana terus memerhatikan Chilton yang sesekali terdengar
bersin. Ia sangat terganggu dengan suara bersin itu. Rasanya, ia ingin berlari
ke apotik untuk membelikannya obat flu.
Usai
bermain basket. Chilton kembali menghampiri Delana yang masih duduk di sisi
lapangan menunggunya.
“Kamu
nggak papa panas-panasan kayak gini? Nunggu di sana kan bisa.” Chilton menunjuk
birai yang ada di bawah pohon dengan dagunya.
“Nggak
papa.”
“Ntar
kamu hitam. Nggak cantik lagi!” celetuk Chilton.
Delana
langsung menangkupkan telapak tangan ke wajahnya. “Apa iya kulitku menghitam?”
bisiknya dalam hati.
Chilton
tertawa kecil melihat sikap Delana. “Kita duduk di sana aja!” ajak Chilton
sambil berlari ke bawah pohon rindang agar terhindar dari sengat matahari.
Delana
mengikuti langkah Chilton perlahan. Ia duduk di samping Chilton yang masih
bersin beberapa kali di sampingnya. Ia sedikit khawatir dengan kondisi
kesehatan cowok itu. Terlebih, beberapa hari belakangan ini ia sering begadang,
menghabiskan waktunya untuk bermain game online.
“Kamu
yakin baik-baik aja?” tanya Delana kemudian.
Chilton
mengangguk. “Aku baik-baik aja. Emangnya kenapa?” tanya Chilton.
“Aku
harap kamu bakal baik-baik aja.”
“Don’t
worry! Aku cowok, sering olahraga. Jadi, memulihkan kesehatan bukan hal yang
sulit.”
Delana
tersenyum. Ia berharap, esok hari keadaan Chilton menjadi lebih baik lagi.
***
Sepulang
kuliah, Delana berkeliling ke pasar tradisional untuk mencari bahan baku
membuat sup ayam kampung untuk Chilton.
“Paklek,
ayam jagonya berapa harganya?” tanya Delana pada penjual ayam kampung yang ada
di pasar.
“Yang
besar ini dua ratus ribu, Mbak,” jawab penjual sembari menunjukkan ayam jago
berukuran besar.
“Hmm
... kalo yang ini?” tanya Delana sembari menunjuk ayam yang ukurannya lebih
kecil.
“Yang
ini seratus dua puluh saja, Mbak.”
“Hmm
... saya ambil yang kecil saja, Paklek,” tutur Delana. “Saya mau cari sayuran
sama bumbu dulu. Saya titip di sini dulu ayamnya. Nanti saya ambil kalo saya
udah selesai belanja. Boleh kan?” tanya Delana.
“Boleh.”
Penjual ayam itu tersenyum sembari menimang-nimang ayam yang akan dibeli oleh
Delana.
Delana
menundukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia berjalan ke
lapak sayuran untuk membeli kentang, wortel dan sayuran lainnya.
Setelah
mendapatkan beberapa sayuran pilihannya, ia berpindah ke lapak lain untuk
membeli bumbu-bumbu.
Setelah
semua ia rasa cukup, ia kembali ke penjual ayam. Membeli satu ekor ayam dan
membawanya pulang dengan sepeda motor yang ia bawa.
Sepanjang
perjalanan, ia tersenyum senang karena kali ini ia memasak khusus untuk Chilton
yang sedang sakit. Pastinya akan berbeda saat ia sedang sehat. “Semoga, dia suka masakanku,” bisik
Delana dalam hatinya.
Sesampainya
di rumah, ia langsung meletakkan kantong plastik di dapur.
“Astaga!”
Delana menepuk dahinya. “Kenapa nggak minta potongkan sekalian ayamnya?” Delana
mengangkat ayam jago yang berusaha melepaskan diri dari tangannya.
Delana
meletakkan ayam tersebut di dekat pintu dapur. Ia berlari keluar dari rumah dan
mengetuk pintu tetangganya.
“Assalamu’alaikum
...!” sapa Delana.
“Wa’alaikumussalam
...”
“Pakde
ada?” tanya Delana pada wanita setengah baya yang membukakan pintu untuknya.
“Ada,”
jawab wanita itu. “Pak, ada Dela!” teriaknya.
“Ya.”
Terdengar suara sahutan dari dalam, tak lama kemudian pakde yang dipanggil
Delana pun muncul.
“Ada
apa, Mbak Dela?” tanya laki-laki setengah baya itu.
“Bisa
potongkan ayam?” tanya Delana balik.
“Ayam
apa?”
“Ayam
kampung.”
“Bisa.”
“Makasih,
Pakde.” Delana tersenyum senang. “Ayamnya aku bawa ke sini atau pakde yang ke
rumah?” tanya Delana.
“Sembarang
aja.”
Delana
mengetuk-ngetuk dagunya sebagai tanda berpikir. “Aku bawa ke sini aja, deh!”
tuturnya. Ia berlari masuk ke rumahnya dan keluar dengan membawa ayam jantan.
“Huft
... drama ayam jago!” celetuk Delana sambil menenteng ayam jago yang sudah
dipotongkan oleh tetangganya. “Aku terlalu seneng sampe lupa minta potongkan di
pasar.” Delana mengomel pada dirinya sendiri.
Delana
menyalakan kompor, merebus air panas untuk merendam ayam agar mudah ia
bersihkan. Semuanya harus ia kerjakan sendiri karena pembantunya hanya bertugas
membersihkan rumah dari pagi hingga sore. Sisanya, harus bisa ia kerjakan
seorang diri.
“Bikin
apa, Kak?” tanya Bryan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Delana.
“Eh
... kamu, dek. Baru pulang sekolah?” tanya Delana sembari menyabuti bulu ayam
kampung.
“Iya.
Abis ekskul basket. Kakak masak apa?” tanya Bryan sembari mengamati isi dapur
yang berantakan seperti kapal pecah. Tak biasanya kakaknya memasak sekacau ini.
“Kakak
lagi mau coba bikin sup ayam kampung. Katanya, bagus untuk meredakan flu.”
“Ayah
sakit?” tanya Bryan.
Delana
menggelengkan kepala.
“Kakak
yang sakit?”
Delana
menggeleng lagi.
“Jadi,
buat siapa?” tanya Bryan.
“Buat
kita semua!” jawab Delana ceria.
“Nggak
ada yang sakit.”
Delana
menghela napasnya. “Sup ini, bukan cuma untuk orang sakit. Yang sehat juga
boleh makan,” tuturnya sembari menatap adiknya. “Kamu mendingan cepetan mandi,
ganti baju, tidur!” perintah Delana. “Daripada gangguin kakak aja!” celetuknya.
“Jam
segini disuruh tidur? Mending main ML, lah.”
“Terserahmu
aja, lah! Yang penting jangan ganggu kakak!” sergah Delana.
“Ahsiiaap
...! Kalo udah masak panggil aku ya!” seru Bryan sambil ngeloyor pergi.
“Malas!”
sahut Delana.
Delana
kembali berkutat dengan bahan makanan yang akan ia buatkan khusus untuk Chilton
esok pagi.
Ia
menghela napas lega saat kuah kaldu ayam kampung sudah masak. Ia tinggal
menambahkan sayuran dan bumbu-bumbu penyedap. Delana memutuskan untuk
beristirahat lebih cepat dan akan bangun lebih pagi untuk melanjutkan membuat
sup ayam kampung agar tetap fresh dan segar saat ia menghidangkan untuk
Chilton.
***
“Hai,
kamu udah di sini aja,” sapa Chilton saat melihat Delana duduk di kursi taman.
Delana
tersenyum riang. “Iya. Mau lihat kamu lari pagi.”
“Aku
rasa, kamu salah satu penguntit terbaik.” Chilton tergelak.
Delana
mencebik ke arah Chilton.
Hatchiiim
...!
Hatchiiim
...!
Hatchiiim
...!
Chilton
bersin beberapa kali di depan Delana.
“Kamu
masih flu?” tanya Delana.
“Iya.
Tapi nggak papa, kok.”
“Kamu
nggak minum obat?” tanya Delana.
Chilton
menggelengkan kepala. “Ntar juga sembuh sendiri.”
“Tapi,
kayaknya flu kamu makin parah, deh.” Delana mengamati wajah Chilton.
Chilton
tersenyum ke arah Delana.
Hatchiiim
...!
Chilton
menutup mulut dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
“Tuh,
kan? Sakit kamu makin parah gini.” Delana terlihat mulai panik. “Kenapa nggak
istirahat aja di asrama? Masih maksain lari pagi,” cerocos Delana.
“Biar
enakan badan kalo olahraga.”
“Tapi,
kamu kan lagi sakit.”
“Cuma
flu doang.”
Delana
menghela napas. Ia menyodorkan kotak bekal yang ukurannya lebih besar dari
biasanya.
Chilton
mengernyitkan dahinya. “Aku lagi nggak enak makan, kamu bawain makanan sebanyak
ini?” tanya Chilton.
“Kalau
lagi sakit, harus makan yang banyak biar cepet sehat.” Delana membuka tutup
kotak bekal itu dan membuat asap panas keluar dari dalamnya.
Chilton
menghirup aroma masakan itu dalam-dalam. Ia menikmati aroma yang begitu
menggoda di hidungnya. Ia langsung mengintip isi kotak bekal tersebut. Isinya
tidak terlalu banyak tapi tempatnya terlihat besar. Mungkin, karena kotak ini
bisa menjaga makanan di dalamnya tetap panas.
“Ayo,
cobain!” pinta Delana sembari menyodorkan sendok untuk Chilton.
Chilton
tersenyum sembari mengambil sendok dari tangan Delana. Ia menyeruput satu
sendok kuah sup yang dibuat Delana. Ia merasa kerongkongannya menghangat,
menjalar ke seluruh tubuhnya. “Enak ...!” ucapnya.
“Syukur
deh, kalo kamu suka.” Delana tersenyum riang.
“Kamu
kasih apa? Kok, anget ya di badan?” tanya Chilton.
“Ada,
deh.” Delana tak ingin memberitahu satu pun bumbu yang ia masukkan ke dalam sup
ayam kampung tersebut.
“Aku
sering makan sup ayam kayak gini,” tutur Chilton. “Tapi, ini rasanya lebih
gurih. Ayamnya juga enak, nggak hambar kayak biasanya.”
“Iya.
Itu karena pakai ayam spesial.”
“Spesial?
Ayam apa emangnya?” tanya Chilton.
“Ada,
deh.”
“Dari
tadi, ada deh mulu!” celetuk Chilton sembari melahap makanan yang dibawakan
Delana.
Delana
meringis menanggapi ucapan Chilton.
“Eh,
yang kenyel-kenyel ini apa, sih?” tanya Chilton sembari mengunyah salah satu
makanan yang terasa kenyal di mulut.
“Hayo,
tebak! Apa itu?” tanya Delana balik.
“Hadeh,
males banget main tebak-tebakan. Apalagi soal makanan beginian ya nggak tahu
sama sekali. Tahunya makan doang,” gumam Chilton.
“Hmm
... itu namanua makaroni,” sahut Delana.
“Eh!?
Makaroni bukannya camilan yang digoreng terus dijual di warung-warung itu?”
tanya Chilton.
“Itu
makaroni goreng.”
“Beda
sama ini?” tanya Chilton.
“Beda.
Itu direbus.”
“Yaelah
... cuma beda cara masaknya doang,” celetuk Chilton.
“Beda
cara masak, beda rasa kan?” tanya Delana sembari menatap Chilton yang hampir
menghabiskan sup ayam kampung buatan Delana.
“Hmm
... iya juga sih.”
Delana
tersenyum.
“Bagi
resep dong!” pinta Chilton.
“Buat
apa?”
“Aku
pengen bikin sendiri.”
“Emang
bisa masak?”
“Bisa.
Sedikit.”
“Ya
sudah. Kalo kamu pengen makan sup ini lagi, kamu bisa hubungi aku!” Delana
mengerdipkan salah satu matanya.
“Berapa
satu porsinya?” tanya Chilton.
“Hmm
... berapa ya?” tanya Delana sambil melipat kedua tangannya di dada.
Chilton
menatap Delana serius.
“Aku
nggak mau dibayar pake duit.”
“Terus
... mau dibayar pake apa?”
“Pake
... hmm ... nanti aja. Aku baru mau bilang ke kamu di saat aku bener-bener
butuh. Yang kemarin aja, kamu belum penuhi permintaanku.”
Chilton
mengernyitkan dahinya. “Permintaan apa?” tanyanya.
“Emang
aku belum ungkapin permintaan aku. Masih aku tabung dulu. Siapa tahu aja akan
berguna suatu saat nanti,” tutur Delana. “Artinya, aku punya dua permintaan
yang harus bisa kamu penuhi. Nanti. Saat aku mulai mengucapkan permintaan itu.”
“Hmm
.. baiklah!”
Delana
tersenyum sembari memainkan kedua alisnya.
“Kalo
gitu, kasih tahu aku ... kamu pakai ayam jenis apa?” tanya Chilton.
Delana
memutar bola matanya. “Masih ditanya lagi? Itu rahasia!” Delana menjulurkan
lidahnya ke arah Chilton.
“Dasar,
kamu ya?” Chilton mengacak ujung rambut Delana.
“Dasar
apa?” tanya Delana balik.
“Sekolah
dasar.”
Mereka
tertawa terbahak-bahak.
Delana
tersenyum. Ia sengaja tak memberitahu Chilton soal resep masakan yang ia buat.
Dia ingin, Chilton hanya mencarinya jika ingin memakan sup ayam kampung spesial
buatannya.
.png)
0 komentar:
Post a Comment