Friday, August 15, 2025

THEN LOVE BAB 10 : JATUH CINTA PADA TATAPAN KE SERATUS

 

BAB 10 – JATUH CINTA PADA TATAPAN KE SERATUS

 


Sepulang kuliah, Delana mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak ia pensiun dari dunia game, ia mulai merasa jenuh dengan kesehariannya.

“Ngapain ya? Masak, udah. Beres-beres, udah,” gumam Delana.

Delana merebahkan tubuhnya ke atas kasur. “Biasanya, Chilton ngajak aku ngegame. Sekarang dia udah nggak nge-game lagi. Aku jadi gabut banget.” Delana menelungkupkan tubuhnya. Ia menopang dagu dengan tangannya. Kemudian berbaring kembali.

“Asli! Aku kayak orang gila kayak gini terus!” Delana bangkit dari tidurnya, ia berjalan perlahan menuju meja riasnya.

Dengan malas, Delana meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja rias. Ia duduk sambil memangku wajah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya sibuk membuka beranda salah satu media sosial facebook.

“Wah, kayaknya perlu dicoba nih,” gumam Delana saat melihat lowongan kerja di salah satu akun teman facebooknya.

Tanpa pikir panjang, ia langsung menghubungi nomor yang tertera di lowongan tersebut.

“Halo ... selamat sore ...!” sapa seseorang dari ujung sana.

“Selamat sore. Ini bener nomer Media Belajar?” tanya Delana.

“Iya, benar. Ada yang bisa dibantu?”

“Saya mau nanyain soal lowongan kerja jadi guru les. Apakah masih ada?” tanya Delana.

“Masih, Mbak. Mbaknya mau ngelamar?”

“Iya. Gimana cara ngirim lamarannya? Diantar langsung atau lewat email?” tanya Delana.

“Lebih baik diantar langsung saja, Mbak.”

“Oke. Alamatnya sesuai dengan iklan itu, ya?” tanya Delana.

“Iya, Mbak.”

“Jam berapa tutup kantornya?”

“Jam lima kami sudah tutup.”

Delana melirik jam dinding yang ada di kamarnya. “Oke, setengah jam lagi saya ke sana,” ucap Delana.

“Iya, Mbak.”

“Makasih, ya! Selamat sore!”

“Sore.”

Delana mematikan panggilan teleponnya. Ia membuka laci meja riasnya untuk mengambil beberapa berkas persyaratan lamaran.

Setelah memastikan semuanya lengkap, ia langsung bergegas keluar dari rumah. Ia pergi ke tempat fotokopi terdekat dan langsung menuju ke alamat yang tertera dalam lowongan pekerjaan sebagai guru les di salah satu lembaga kursus.

Sesampainya di tempat les, Delana tidak langsung mendapatkan pekerjaan sampingan yang dia inginkan. Ia masih harus menjalani tes tertulis dan wawancara bersama beberapa orang yang juga ikut melamar menjadi guru les.

Ia harus pulang ke rumah dan menunggu kabar selanjutnya dari admin tempat kursus tersebut apakah ia diterima sebagai guru les atau tidak.

Delana berharap ia bisa diterima di tempat les itu. Bukan karena dia tak punya uang, tapi ia ingin ada kegiatan yang lebih bermanfaat untuknya daripada sekedar bermain game online.

***

“Ayah, aku mau kerja ya!” tutur Delana saat ia sedang makan malam bersama keluarga kecilnya.

Ayah Delana langsung mengangkat kepalanya. “Buat apa? Uang jajan dari ayah masih kurang?” tanya Harun.

Delana menggelengkan kepala. “Uang jajan dari ayah itu lebih dari cukup.”

“Terus, kenapa mau kerja?”

“Biar ada kegiatan aja. Jenuh banget di rumah. Bryan juga mulai sibuk dengan kegiatannya sampe sore. Aku gabut banget di dalam rumah sendirian.”

“Kuliah kamu gimana?”

“Ya, tetep kuliah, dong. Aku cuma jadi guru les tiap sore. Jadi, aku ngajarnya setelah pulang kuliah.”

“Oh, gitu? Baiklah. Selama itu positif, jalani saja. Tapi ingat, kamu harus bisa bagi waktu kamu dengan baik!”

“Siap, Ayah!” Delana tersenyum bahagia karena ayahnya mengijinkannya untuk bekerja di salah satu tempat kursus.

“Di mana tempatnya?” tanya Harun.

“Media Belajar.”

“Daerah mana?”

“Prapatan.”

“Lumayan jauh juga, ya?” tutur Harun. “Mulai kapan kerjanya?”

“Belum tahu. Masih nunggu kabar. Aku belum tahu bakal keterima atau enggak.”

“Keterima, dong! Anak Ayah!” ucap Harun dengan bangga.

“Aamiin.”

“Emangnya kakak bisa ngajar?” tanya Bryan.

“Bisa, lah,” sahut Delana percaya diri.

“Ngajarin Bryan aja nggak pernah,” celetuk Bryan.

“Yee ... males ngajarin kamu, mah.”

“Sudah, jangan bertengkar!” sergah Harun. “Kakak kamu lagi belajar mengajar, kenapa nggak disupport?”

“Iya. Aku support. Semoga aja murid-murid kakak betah ya diajarin sama kakak.”

“Aaamiin ...!”

 

***

 

Sehari kemudian, Delana mendapat kabar kalau ia diterima sebagai guru les di Media Belajar. Ia senang sekali karena ia akan mengajar anak-anak SD. Ia meloncat-loncat kegirangan di atas kasurnya.

Sore hari sepulang kuliah, Delana melangkahkan kakinya sangat antusias saat pergi mengajar ke tempat les pertama kalinya.

“Selamat sore ...!” sapa Delana pada teman kerja yang lainnya.

“Sore ...!” sahut mereka bersamaan.

Delana langsung menghadap ke meja resepsionis.

“Ibu Delana?” tanya resepsionis tersebut.

Delana menganggukkan kepala.

“Hari ini, Ibu dapet jadwal mengajar di kelas itu!” Petugas jaga menunjukkan kelas yang akan dipakai oleh Delana mengajar pertama kalinya.

Setelah petugas jaga memberitahukan ruangan yang akan ia ajar, ia langsung memasuki ruang kelas tempat ia akan mengajar.

“Selamat sore ...!” sapa Delana saat ia memasuki ruang belajar. Ada 20 anak sekolah dasar yang akan belajar bersamanya.

“Sore, Bu...!”

Panggil kakak aja, ya!” pinta Delana. “Perkenalkan, nama saya Delana. Panggil aja kakak Dela ya!” pinta Delana sembari tersenyum manis pada murid-murid yang baru saja ia temui.

“Iya, Kak Dela ...!” seru murid-murid berbarengan.

“Hari ini ... jadwal les pelajaran apa, hayo?” tanya Delana ceria.

“Matematika, Kak!” jawab murid-murid serempak.

“Bener banget!” sahut Delana ceria. “Kalau ketemu sama kakak, artinya kalian akan belajar berhitung,” lanjutnya. “Siapa di sini yang sudah hapal perkalian satu sampai sepuluh?” tanya Delana.

Salah satu murid yang paling buntal mengangkat tangannya. “Saya, Bu. Eh!? Kak.”

“Oh ya? Siapa nama kamu?” tanya Delana.

“Ilham.”

“Oke, Ilham maju!” pinta Delana. “Kita akan nge-game sambil belajar matematika.” Delana mengajak Ilham untuk segera maju ke depan.

Ilham berjalan perlahan dan berdiri di depan kelas sesuai dengan intruksi dari Delana.

“Yang lain, akan kakak bagi per kelompok. Satu kelompok tiga orang ya!” pinta Delana.

Semua mengangguk setuju dan ada juga yang sibuk mencari teman kelompok yang sesuai keinginan mereka.

“Oke. Sekarang kalian berdiri sesuai dengan kelompoknya masing-masing,” lanjut Delana.

Semua murid mengikuti intruksi dari Delana dengan senang hati. Mereka bermain salah satu games sembari berhitung. Semua terlihat riang sambil belajar berhitung Matematika.

Setelah dirasa cukup mengajak murid-muridnya bermain game seru. Delana akhirnya memulai materi pelajaran matematika dengan buku yang sudah sesuai kurikulum sekolah.

 

***

 

Delana tersenyum riang sembari masuk ke dalam rumah. Ia bahagia sekali bisa memberikan pelajaran tambahan untuk anak-anak. Kenapa tidak ia lakukan ini dari dulu? Mengajar anak-anak ternyata seru dan tawa mereka sungguh membuat Delana rindu.

Karena hari ini adalah hari pertama Delana mengajar  di tempat les dan dia sangat gembira, ia memutuskan akan berjalan-jalan sebentar di sepanjang jalan seberang kampus yang selalu ramai dipadati pengunjung saat malam hari.

Delana melangkahkan kakinya menyusuri trotoar. Ia melihat beberapa cafe sudah terhiasi lampu-lampu yang indah. Selanjutnya, ada deretan pedagang kaki lima yang menyuguhkan aneka makanan nusantara. Mulai dari sate ayam sampai mie aceh. Kota ini memang terdiri dari beragam suku, sehingga kuliner pun beragam. Mulai dari jajanan tradisional khas nusantara sampai makanan western dan timur tengah.

Kali ini, Delana memilih untuk membeli sate ayam. Ia duduk di kursi plastik sembari menunggu sate pesanannya selesai dibakar.

“Kamu, kok, di sini?” tanya Chilton yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Delana.

“Lagi pengen makan sate ayam.” Delana tersenyum ke arah Chilton. “Kamu sendiri, ngapain di sini?” tanya Delana.

“Cari makan.” Chilton mengelus-elus perutnya. “Abisnya, dapet makan gratis cuma pagi doang.”

Delana spontan menoleh ke arah Chilton dengan dahi berkerut. “Maksudnya? Minta dianterin makan pagi siang sore, gitu?” dengus Delana.

“Yah ... siapa tahu ada yang baik hati mau nganterin makan pagi siang malam,” tutur Chilton sambil tertawa kecil.

“Hmm ...” Delana menatap Chilton sambil menopang dagu dengan tangan kirinya.

“Kenapa?” tanya Chilton menahan tawa. “Bukan kamu yang aku maksud. Masih banyak cewek yang mau ngasih aku makan pagi siang malam,” lanjutnya.

Delana menghela napas. Ia mencoba lebih bersabar menghadapi Chilton yang seringkali membuatnya kesal dan ingin sekali berhenti mengejar cinta cowok itu. Tapi, ia tak ingin menyerah begitu saja. Ia ingin membuktikan kalau ia layak menjadi kekasih Chilton. “Ya, aku tahu itu,” tutur Delana lirih sembari menundukkan kepala. Ia ingin menangis karena Chilton tak menganggapnya spesial hingga saat ini.

“Tadi sore ke mana aja? Aku telponin nggak aktif terus.” Chilton menatap Delana.

“Eh!?” Delana balas menatap Chilton. Ia sendiri lupa kalau ponselnya ia nonaktifkan sejak mulai mengajar di tempat lesnya.

Chilton mengernyitkan dahinya melihat ekspresi wajah Delana. “Kamu kok malah bingung gitu?”

“Eh!? Enggak.” Delana meringis ke arah Chilton. “Aku lupa kalo dari tadi sore hp kunonaktifkan.”

Chilton berdecak kesal. “Masih mending kalo hape kehabisan baterai atau apa. Ini hape dinonaktifkan dan nggak sadar? Emangnya kamu sama sekali nggak pengen ngubungin siapa atau dihubungi sama siapa?”

“Siapa? Nggak ada juga yang hubungi aku.”

“Bisa aja kan, ayah kamu telpon karena ada hal penting.”

“Hmm ...” Delana melirik ke atas. “Iya, juga sih. Tapi, sejauh ini kayaknya nggak ada, deh. Kalo ayah nggak bisa hubungi aku, paling dia telpon ke telpon rumah. Lagian ayah juga udah tahu kalau aku mulai ngajar sore tadi.”

“Ngajar?” tanya Chilton.

Delana tersenyum sembari menyambut pesanan sate yang sudah disodorkan oleh penjualnya.

“Iya. Aku sekarang ngajar di salah satu tempat kursus gitu. Lumayan sih buat ngisi waktu luang daripada nggak ngapa-ngapain. Aku ngajar anak-anak SD. Mereka tuh lucu banget!” ucap Delana gemas.

“Kamu sekarang jadi guru les?” tanya Chilton meyakinkan.

Delana mengangguk pasti. Ia menyuap satu buah potongan daging sate ayam. “Semenjak kita offline ngegame, aku bete banget. Nggak tahu mau ngapain. Kebetulan ada lowongan kerja ngeles. Ya udah, aku langsung coba ngelamar dan keterima,” tutur Delana. “Aku seneng banget karena ini pertama kali aku ngajar dan murid-murid aku tuh seru, lucu, asyik, bikin aku lupa sama semuanya.”

“Oh, ya? Tempat lesnya yang di mana?” tanya Chilton.

“Di Media Belajar.”

“Media Belajar yang di mana?” tanya Chilton.

“Yang di daerah Prapatan itu loh.”

“Prapatan?” Chilton mengernyitkan dahinya.

Delana menganggukkan kepala.

“Aku baru tahu di sana ada tempat les. Di mananya, ya?” tanya Chilton.

“Agak masuk ke dalam gang gitu, sih. Tapi, tempatnya lumayan luas dan nyaman.”

Chilton mengangguk-anggukkan kepala sambil berpikir. “Jadi guru les kayaknya asyik banget,” gumamnya.

“Kamu mau?” tanya Delana.

“Emang boleh?” tanya Chilton balik.

“Hmm ... aku masih kurang tahu juga sih, hehehe.”

“Mmh ... kalo aku main ke sana boleh?”

“Boleh banget, main aja! Sekalian aja bikin lamaran buat jadi guru les di sana.”

“Emang masih ada lowongan?”

“Ya ... masukin lamaran aja dulu. Ntar kalo udah ada lowongan pasti dipanggil kan?”

“Hmm ....boleh juga. Jam berapa kamu ke tempat kerja?” tanya Chilton.

“Jam empat sore.”

“Berapa lama ngajarnya?” tanya Chilton.

“Satu jam lebih,” jawab Delana. “Aku sampe rumah sekitar jam enaman gitu.”

“Ya udah, besok aku ikut ke tempat ngajar kamu, ya!” pinta Chilton.

Delana menganggukkan kepala.

“Nanti aku nyusul. Soalnya jam empat aku ada janji ketemu sama temen sebentar.”

“Oke.” Delana tersenyum kecut. Ia mulai curiga dengan kata ‘temen’ yang keluar dari mulut Chilton. Temmen cowok atau cewek?

Delana menghela napas agar perasaannya menjadi lebih baik. Ia menyadari kalau dirinya bukan siapa-siapa. Walau ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia memang cemburu.

“Kamu kenapa?” tanya Chilton.

“Eh!? Nggak papa.”

“Kamu sering banget tiba-tiba berubah. Kenapa, sih?” tanya Chilton lagi.

Delana ingin sekali memaki Chilton. Tidak tahukah kalau dia sangat menyebalkan?

“Mau nambah lagi satenya?” tanya Chilton yang melihat Delana sedang menghabiskan tusukan sate terakhirnya.

Delana menggelengkan kepalanya. “Udah kenyang.”

“Serius? Aku traktir, deh.”

“Please, deh. Kamu mau traktir di saat aku sudah kenyang?” dengus Delana.

Chilton tertawa kecil.

“Aku balik dulu, ya!” pamit Delana. Ia meletakkan piring satenya. “Berapa, Paklek?” tanya Delana pada penjual sate.

“Lima belas ribu, Mbak.”

Delana langsung memberikan selembar uang dua puluh ribuan. Setelah mendapatkan uang kembalian, ia bergegas pergi meninggalkan Chilton yang tidak menyahut ucapannya sama sekali.

Delana menghela napas sebelum ia memantapkan langkahnya meninggalkan Chilton. Ia berharap kalau cowok itu masih menahannya untuk mengajak bicara. Ia ingin menoleh ke belakang untuk memastikan Chilton menatapnya atau tidak. Tapi jika ia melakukan itu, artinya ia meminta cowok itu menahannya. Akhirnya, Delana terus melangkahkan kakinya sampai ke depan rumah tanpa menoleh ke belakang walau hanya sekali.

Chilton tertawa kecil memandang tubuh Delana yang mulai menjauh darinya. Hilang di antara kerumunan orang.

“Paklek, ini!” Chilton menyodorkan selembar uang lima puluh ribu pada pedagang sate dan langsung bergegas pergi secepatnya.

“Angsulnya, Mas!” seru pedagang sate tersebut.

“Ambil, aja!” teriak Chilton. Ia berlari secepatnya mengejar Delana. Bukan untuk menyapa cewek itu, hanya untuk memastikan kalau dia pulang dalam keadaan baik-baik saja dan tidak ada satu orang pun yang mengganggunya di perjalanan pulang. Sebagai laki-laki, naluri untuk melindungi seseorang selalu hadir tanpa diminta. Terlebih melihat perempuan dalam keadaan yang seharusnya bisa ia jaga, walau tak terlihat.

 

***

 

Keesokan harinya, Chilton menyusul Delana ke tempat lesnya. Semua perempuan di tempat mengajar Delana terpesona. Bahkan, mereka tak berkedip saat Chilton masuk ke dalam kantor tersebut.

“Wah ... ganteng banget! Dia siapa?” tanya salah satu admin yang berada di meja resepsionis.

“Iya. Kayaknya jodoh aku,” celetuk guru yang lain.

“Yee ... nyadar diri!” sahut teman lainnya.

“Selamat sore ...!” sapa Chilton pada tiga orang wanita yang sedang bergosip di meja resepsionis.

“Sore ...!” sahut mereka serempak.

“Saya mau tanya. Apa benar di sini ada lowongan kerja sebagai guru les?” tanya Chilton.

“Ada!” Tanpa pikir panjang, ketiga cewek itu langsung mengiyakan pertanyaan Chilton.

Chilton menyodorkan map berisi berkas persyaratan sebagai pelamar kerja. “Saya mau ngelamar jadi guru les.”

Admin resepsionis langsung menyambar map tersebut. “Oke, Mas. Masnya diterima.”

“Eh!? Langsung diterima?” tanya Chilton bingung. “Gimana bisa diterima? Berkas lamaran dibuka aja belum,” batin Chilton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ketiga cewek itu menganggukkan kepalanya tanpa berkedip.

Chilton geleng-geleng kepala melihat tingkah cewek-cewek aneh yang sudah biasa ia temui. “Ada pengajar yang namanya Delana?” tanya Chilton lagi.

“Ada.” Mereka bertiga masih menganggukkan kepala tanpa mengedipkan matanya.

“Ruangannya di mana?” tanya Chilton.

Ketiga cewek itu serempak menunjuk pintu yang tak jauh dari tempat mereka. Eits ... wait! Sepertinya itu bukan tiga cewek, hanya ada satu orang cewek dan dua perempuan setengah baya. Seharusnya mereka sudah punya anak usia remaja. Tapi, masih saja terpesona dengan cowok ganteng.

Chilton berjalan perlahan menuju pintu ruangan tempat Delana mengajar. Ia membuka pintu tersebut dan langsung menyapa murid-murid Delana.

“Hai ... selamat sore!” sapa Chilton.

“Sore, Kakak!” sahut murid-murid bersamaan.

“Apa kabar kalian hari ini?” tanya Chilton.

“Baik!”

“Ya sudah, lanjutin belajarnya!” pinta Chilton. Ia tak segera pergi, justru bersandar di kusen pintu. Ia memerhatikan cara Delana mengajar. Ia sangat ramah, ceria dan cocok sekali mengajar anak-anak sekolah dasar yang memiliki banyak keceriaan. Delana memiliki energi positif setiap kali bertemu dengan siapa saja. Dan di hadapan anak-anak, ia terlihat lebih bersinar.

Guru les yang lain berbisik ketika melihat Chilton menunggu Delana.

“Siapanya Dela?”

“Nggak tahu.”

“Jangan-jangan pacarnya.”

“Bisa jadi. Duh, seneng banget bisa punya pacar ganteng kayak gitu.”

Chilton sesekali melirik ke arah wanita yang terlihat sedang bergosip. Satu hal yang paling ia benci dari perempuan adalah sibuk bergosip membicarakan orang lain.

“Kak, kakak ganteng itu siapa? Pacarnya, ya?” tanya salah satu murid Delana.

“Sst ...!” Delana menutup mulut dengan jemari telunjuknya. “Masih kecil, nggak boleh ngomong pacar-pacaran!”

Chilton tertawa kecil mendengar ucapan anak-anak yang masih terlihat begitu polos.

Seisi kelas Delana tiba-tiba menjadi riuh. Delana akhirnya harus menenangkan semuanya.

Usai mengajar, Delana langsung menarik Chilton keluar dari tempat kerjanya.

“Kamu udah jadi ngelamar kerjanya?” tanya Delana.

“Udah.”

“Terus?” Delana menatap Chilton cemas.

“Diterima, dong!”

“Serius?”

Chilton menganggukkan kepala.

“Cepet banget langsung keterima?”

Chilton mengedikkan bahunya. “Entah, berkas lamaran baru aku kasih langsung diterima.”

“Seriusan? Berarti nggak ikut tes dan wawancara?”

Chilton menganggukkan kepala sembari melangkahkan kaki menuju mobilnya.

“Enak banget!” celetuk Delana mengikuti langkah Chilton.

“Iya. Aku juga nggak ngerti.”

“Kayaknya mereka terpesona sama kamu, deh. Makanya mereka langsung nerima kamu kerja.”

“Sepertinya begitu.” Chilton menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pergi. “Tapi, pas mereka tahu kalo aku jemput kamu. Kayaknya mereka bakal berubah pikiran.”

“Iih .. ya, nggak dong! Namanya udah diterima ya nggak bisa main batalin gitu aja,” cerocos Delana. “Kapan mulai ngajar?” lanjutnya.

“Besok lusa.”

“Ngajar SD juga?”

“Belum tahu. Ntar coba aku tanya lewat telepon, deh!”

“Udah dapet nomer adminnya?” tanya Delana.

“Udah.”

“Kamu enak banget sih? Pengen apa-apa tinggal ngomong doang, semua orang akan berusaha mewujudkan maunya kamu,” celetuk Delana.

“Cowok ganteng mah gitu.” Chilton membanggakan dirinya sendiri.

“Iya, kali. Kalo gitu, besok lusa kita berangkat ke tempat lesnya bareng aja ya?” pinta Delana.

“Boleh.” Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kamu biasa berangkat jam berapa?” tanyanya.

“Jam tiga sore aku udah siap.”

“Oke. Aku jemput kamu jam setengah empat, ya!” pinta Chilton.

Delana menganggukkan kepala. Ia tersenyum senang karena akhirnya ia bisa lebih sering bersama Chilton di kelas les. Sebab ia tahu kalau ia tak mungkin satu kelas dengan Chilton di kampusnya. Jelas-jelas Chilton adalah kakak tingkatnya. Dengan mengajar di tempat les bersama, artinya Delana punya waktu yang semakin banyak untuk bersama dengan Chilton.

Chilton mengantarkan Delana sampai di depan rumahnya.

“Mampir dulu!” pinta Delana.

“Nggak usah. Sudah sore. Aku mau mandi,” sahut Chilton.

“Oke, deh.” Delana membuka safety belt dan bergegas keluar dari mobil. “Sampai ketemu besok.”

Chilton tersenyum sembari menganggukkan kepala. Ia langsung bergegas pergi menginggalkan rumah Delana menuju Gunung Dubs, ia ingin sekali bercerita pada mamanya kalau ia akan mengajar les. Namun, sampai malam hari Mamanya belum juga pulang ke rumah.

Chilton mengurungkan niatnya untuk bercerita langsung pada mamanya. Ia memilih menyimpannya sampai mamanya punya waktu makan malam bersamanya.

Malam hari, sembari menikmati indahnya kota dari balkon belakang rumahnya, Chilton melakukan panggilan video pada Delana.

“Selamat malam ibu guru yang cantik!” sapa Chilton begitu panggilannya tersambung.

Delana mengernyitkan dahinya melihat Chilton terlihat sangat ceria. Ia jauh berbeda dengan Chilton yang pertama kali ia kenal. Cowok pendiam dan dingin itu, ternyata punya sisi lucu dan humoris yang tidak diketahui oleh banyak orang.

“Selamat malam juga calon pak guru. Belum tidur?” tanya Delana.

“Belum. Aku di rumah Gunung Dubs.”

“Hmm ... terus?” Delana sudah merasa kalau Chilton akan memamerkan pemandangan kota dari atas balkon rumahnya.

Chilton tertawa jahil melihat ekspresi wajah Delana.

“Kamu mau pamerin aku lagi?” dengus Delana.

“Iya, nih. Bagus, kan?”

“Hmm ... aku mau tidur!” seru Delana sembari membenamkan wajahnya ke dalam bantal.

“Nggak mau lihat?” tanya Chilton.

“Nggak! Aku ngantuk!”

Chilton cekikikan. Ia tahu kalau Delana ingin sekali bisa melihat keindahan kota dari atas ketinggian Gunung Dubs. “Ya udah, tidur!” tutur Chilton. “Selamat malam. Selamat dirindukan murid-murid yang lucu!” lanjutnya.

“Hmm ... iya. Selamat juga buat kamu karena akan menjadi kakak guru yang paling mempesona.”

Chilton tertawa lebar. “Makasih!”

Mereka mengakhiri panggilan videonya dan terlelap bersama mimpi masing-masing. Delana dengan harapannya bisa mendapatkan hati Chilton seutuhnya. Chilton dengan keinginan kecilnya untuk bisa mengajak Delana menikmati indahnya malam dari atas balkon rumahnya.

Cinta ... terkadang tumbuh dari tatapan pertama. Tapi, banyak juga cinta yang baru tumbuh dari tatapan yang keseratus bahkan seribu. Tak peduli seberapa banyak waktu yang harus ia habiskan untuk menumbuhkan cinta. Delana berharap, suatu hari nanti Chilton akan memilihnya dengan tulus.

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas