BAB
10 – JATUH CINTA PADA TATAPAN KE SERATUS
Sepulang kuliah, Delana
mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak ia pensiun dari dunia game, ia mulai
merasa jenuh dengan kesehariannya.
“Ngapain ya? Masak,
udah. Beres-beres, udah,” gumam Delana.
Delana merebahkan
tubuhnya ke atas kasur. “Biasanya, Chilton ngajak aku ngegame. Sekarang dia
udah nggak nge-game lagi. Aku jadi gabut banget.” Delana menelungkupkan
tubuhnya. Ia menopang dagu dengan tangannya. Kemudian berbaring kembali.
“Asli! Aku kayak orang
gila kayak gini terus!” Delana bangkit dari tidurnya, ia berjalan perlahan
menuju meja riasnya.
Dengan malas, Delana
meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja rias. Ia duduk sambil memangku
wajah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya sibuk membuka beranda salah satu
media sosial facebook.
“Wah, kayaknya perlu
dicoba nih,” gumam Delana saat melihat lowongan kerja di salah satu akun teman
facebooknya.
Tanpa pikir panjang, ia
langsung menghubungi nomor yang tertera di lowongan tersebut.
“Halo ... selamat sore
...!” sapa seseorang dari ujung sana.
“Selamat sore. Ini
bener nomer Media Belajar?” tanya Delana.
“Iya, benar. Ada yang
bisa dibantu?”
“Saya mau nanyain soal
lowongan kerja jadi guru les. Apakah masih ada?” tanya Delana.
“Masih, Mbak. Mbaknya
mau ngelamar?”
“Iya. Gimana cara
ngirim lamarannya? Diantar langsung atau lewat email?” tanya Delana.
“Lebih baik diantar
langsung saja, Mbak.”
“Oke. Alamatnya sesuai
dengan iklan itu, ya?” tanya Delana.
“Iya, Mbak.”
“Jam berapa tutup
kantornya?”
“Jam lima kami sudah
tutup.”
Delana melirik jam
dinding yang ada di kamarnya. “Oke, setengah jam lagi saya ke sana,” ucap
Delana.
“Iya, Mbak.”
“Makasih, ya! Selamat
sore!”
“Sore.”
Delana mematikan
panggilan teleponnya. Ia membuka laci meja riasnya untuk mengambil beberapa
berkas persyaratan lamaran.
Setelah memastikan
semuanya lengkap, ia langsung bergegas keluar dari rumah. Ia pergi ke tempat
fotokopi terdekat dan langsung menuju ke alamat yang tertera dalam lowongan
pekerjaan sebagai guru les di salah satu lembaga kursus.
Sesampainya di tempat
les, Delana tidak langsung mendapatkan pekerjaan sampingan yang dia inginkan.
Ia masih harus menjalani tes tertulis dan wawancara bersama beberapa orang yang
juga ikut melamar menjadi guru les.
Ia harus pulang ke
rumah dan menunggu kabar selanjutnya dari admin tempat kursus tersebut apakah
ia diterima sebagai guru les atau tidak.
Delana berharap ia bisa
diterima di tempat les itu. Bukan karena dia tak punya uang, tapi ia ingin ada
kegiatan yang lebih bermanfaat untuknya daripada sekedar bermain game online.
***
“Ayah, aku mau kerja
ya!” tutur Delana saat ia sedang makan malam bersama keluarga kecilnya.
Ayah Delana langsung
mengangkat kepalanya. “Buat apa? Uang jajan dari ayah masih kurang?” tanya
Harun.
Delana menggelengkan
kepala. “Uang jajan dari ayah itu lebih dari cukup.”
“Terus, kenapa mau
kerja?”
“Biar ada kegiatan aja.
Jenuh banget di rumah. Bryan juga mulai sibuk dengan kegiatannya sampe sore.
Aku gabut banget di dalam rumah sendirian.”
“Kuliah kamu gimana?”
“Ya, tetep kuliah,
dong. Aku cuma jadi guru les tiap sore. Jadi, aku ngajarnya setelah pulang
kuliah.”
“Oh, gitu? Baiklah.
Selama itu positif, jalani saja. Tapi ingat, kamu harus bisa bagi waktu kamu
dengan baik!”
“Siap,
Ayah!” Delana tersenyum bahagia karena ayahnya mengijinkannya untuk bekerja di
salah satu tempat kursus.
“Di
mana tempatnya?” tanya Harun.
“Media
Belajar.”
“Daerah
mana?”
“Prapatan.”
“Lumayan
jauh juga, ya?” tutur Harun. “Mulai kapan kerjanya?”
“Belum
tahu. Masih nunggu kabar. Aku belum tahu bakal keterima atau enggak.”
“Keterima,
dong! Anak Ayah!” ucap Harun dengan bangga.
“Aamiin.”
“Emangnya kakak bisa
ngajar?” tanya Bryan.
“Bisa, lah,” sahut
Delana percaya diri.
“Ngajarin Bryan aja
nggak pernah,” celetuk Bryan.
“Yee ... males ngajarin
kamu, mah.”
“Sudah, jangan
bertengkar!” sergah Harun. “Kakak kamu lagi belajar mengajar, kenapa nggak
disupport?”
“Iya. Aku support.
Semoga aja murid-murid kakak betah ya diajarin sama kakak.”
“Aaamiin ...!”
***
Sehari kemudian, Delana
mendapat kabar kalau ia diterima sebagai guru les di Media Belajar. Ia senang
sekali karena ia akan mengajar anak-anak SD. Ia meloncat-loncat kegirangan di
atas kasurnya.
Sore hari sepulang
kuliah, Delana melangkahkan kakinya sangat antusias saat pergi mengajar ke
tempat les pertama kalinya.
“Selamat sore ...!”
sapa Delana pada teman kerja yang lainnya.
“Sore ...!” sahut
mereka bersamaan.
Delana langsung
menghadap ke meja resepsionis.
“Ibu Delana?” tanya
resepsionis tersebut.
Delana menganggukkan
kepala.
“Hari ini, Ibu dapet
jadwal mengajar di kelas itu!” Petugas jaga menunjukkan kelas yang akan dipakai
oleh Delana mengajar pertama kalinya.
Setelah petugas jaga
memberitahukan ruangan yang akan ia ajar, ia langsung memasuki ruang kelas
tempat ia akan mengajar.
“Selamat sore ...!”
sapa Delana saat ia memasuki ruang belajar. Ada 20 anak sekolah dasar yang akan
belajar bersamanya.
“Sore, Bu...!”
“Panggil kakak aja, ya!” pinta
Delana. “Perkenalkan, nama saya Delana. Panggil aja kakak Dela ya!” pinta
Delana sembari tersenyum manis pada murid-murid yang baru saja ia temui.
“Iya, Kak Dela ...!”
seru murid-murid berbarengan.
“Hari ini ... jadwal
les pelajaran apa, hayo?” tanya Delana ceria.
“Matematika, Kak!”
jawab murid-murid serempak.
“Bener banget!” sahut
Delana ceria. “Kalau ketemu sama kakak, artinya kalian akan belajar berhitung,”
lanjutnya. “Siapa di sini yang sudah hapal perkalian satu sampai sepuluh?”
tanya Delana.
Salah satu murid yang
paling buntal mengangkat tangannya. “Saya, Bu. Eh!? Kak.”
“Oh ya? Siapa nama
kamu?” tanya Delana.
“Ilham.”
“Oke, Ilham maju!”
pinta Delana. “Kita akan nge-game sambil belajar matematika.” Delana mengajak
Ilham untuk segera maju ke depan.
Ilham berjalan perlahan
dan berdiri di depan kelas sesuai dengan intruksi dari Delana.
“Yang lain, akan kakak
bagi per kelompok. Satu kelompok tiga orang ya!” pinta Delana.
Semua mengangguk setuju
dan ada juga yang sibuk mencari teman kelompok yang sesuai keinginan mereka.
“Oke. Sekarang kalian
berdiri sesuai dengan kelompoknya masing-masing,” lanjut Delana.
Semua murid mengikuti
intruksi dari Delana dengan senang hati. Mereka bermain salah satu games
sembari berhitung. Semua terlihat riang sambil belajar berhitung Matematika.
Setelah dirasa cukup
mengajak murid-muridnya bermain game seru. Delana akhirnya memulai materi
pelajaran matematika dengan buku yang sudah sesuai kurikulum sekolah.
***
Delana tersenyum riang
sembari masuk ke dalam rumah. Ia bahagia sekali bisa memberikan pelajaran
tambahan untuk anak-anak. Kenapa tidak ia lakukan ini dari dulu? Mengajar
anak-anak ternyata seru dan tawa mereka sungguh membuat Delana rindu.
Karena hari ini adalah
hari pertama Delana mengajar di tempat
les dan dia sangat gembira, ia memutuskan akan berjalan-jalan sebentar di
sepanjang jalan seberang kampus yang selalu ramai dipadati pengunjung saat malam
hari.
Delana melangkahkan
kakinya menyusuri trotoar. Ia melihat beberapa cafe sudah terhiasi lampu-lampu
yang indah. Selanjutnya, ada deretan pedagang kaki lima yang menyuguhkan aneka
makanan nusantara. Mulai dari sate ayam sampai mie aceh. Kota ini memang terdiri
dari beragam suku, sehingga kuliner pun beragam. Mulai dari jajanan tradisional
khas nusantara sampai makanan western dan timur tengah.
Kali ini, Delana
memilih untuk membeli sate ayam. Ia duduk di kursi plastik sembari menunggu
sate pesanannya selesai dibakar.
“Kamu, kok, di sini?”
tanya Chilton yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Delana.
“Lagi pengen makan sate
ayam.” Delana tersenyum ke arah Chilton. “Kamu sendiri, ngapain di sini?” tanya
Delana.
“Cari makan.” Chilton
mengelus-elus perutnya. “Abisnya, dapet makan gratis cuma pagi doang.”
Delana spontan menoleh
ke arah Chilton dengan dahi berkerut. “Maksudnya? Minta dianterin makan pagi
siang sore, gitu?” dengus Delana.
“Yah ... siapa tahu ada
yang baik hati mau nganterin makan pagi siang malam,” tutur Chilton sambil
tertawa kecil.
“Hmm ...” Delana
menatap Chilton sambil menopang dagu dengan tangan kirinya.
“Kenapa?” tanya Chilton
menahan tawa. “Bukan kamu yang aku maksud. Masih banyak cewek yang mau ngasih
aku makan pagi siang malam,” lanjutnya.
Delana menghela napas.
Ia mencoba lebih bersabar menghadapi Chilton yang seringkali membuatnya kesal
dan ingin sekali berhenti mengejar cinta cowok itu. Tapi, ia tak ingin menyerah
begitu saja. Ia ingin membuktikan kalau ia layak menjadi kekasih Chilton. “Ya,
aku tahu itu,” tutur Delana lirih sembari menundukkan kepala. Ia ingin menangis
karena Chilton tak menganggapnya spesial hingga saat ini.
“Tadi sore ke mana aja?
Aku telponin nggak aktif terus.” Chilton menatap Delana.
“Eh!?” Delana balas menatap
Chilton. Ia sendiri lupa kalau ponselnya ia nonaktifkan sejak mulai mengajar di
tempat lesnya.
Chilton mengernyitkan
dahinya melihat ekspresi wajah Delana. “Kamu kok malah bingung gitu?”
“Eh!? Enggak.” Delana
meringis ke arah Chilton. “Aku lupa kalo dari tadi sore hp kunonaktifkan.”
Chilton berdecak kesal.
“Masih mending kalo hape kehabisan baterai atau apa. Ini hape dinonaktifkan dan
nggak sadar? Emangnya kamu sama sekali nggak pengen ngubungin siapa atau
dihubungi sama siapa?”
“Siapa? Nggak ada juga
yang hubungi aku.”
“Bisa aja kan, ayah
kamu telpon karena ada hal penting.”
“Hmm ...” Delana
melirik ke atas. “Iya, juga sih. Tapi, sejauh ini kayaknya nggak ada, deh. Kalo
ayah nggak bisa hubungi aku, paling dia telpon ke telpon rumah. Lagian ayah
juga udah tahu kalau aku mulai ngajar sore tadi.”
“Ngajar?” tanya
Chilton.
Delana tersenyum
sembari menyambut pesanan sate yang sudah disodorkan oleh penjualnya.
“Iya. Aku sekarang
ngajar di salah satu tempat kursus gitu. Lumayan sih buat ngisi waktu luang
daripada nggak ngapa-ngapain. Aku ngajar anak-anak SD. Mereka tuh lucu banget!”
ucap Delana gemas.
“Kamu sekarang jadi
guru les?” tanya Chilton meyakinkan.
Delana mengangguk
pasti. Ia menyuap satu buah potongan daging sate ayam. “Semenjak kita offline
ngegame, aku bete banget. Nggak tahu mau ngapain. Kebetulan ada lowongan kerja
ngeles. Ya udah, aku langsung coba ngelamar dan keterima,” tutur Delana. “Aku seneng
banget karena ini pertama kali aku ngajar dan murid-murid aku tuh seru, lucu,
asyik, bikin aku lupa sama semuanya.”
“Oh, ya? Tempat lesnya
yang di mana?” tanya Chilton.
“Di Media Belajar.”
“Media Belajar yang di
mana?” tanya Chilton.
“Yang di daerah Prapatan
itu loh.”
“Prapatan?” Chilton
mengernyitkan dahinya.
Delana menganggukkan
kepala.
“Aku baru tahu di sana
ada tempat les. Di mananya, ya?” tanya Chilton.
“Agak masuk ke dalam
gang gitu, sih. Tapi, tempatnya lumayan luas dan nyaman.”
Chilton
mengangguk-anggukkan kepala sambil berpikir. “Jadi guru les kayaknya asyik
banget,” gumamnya.
“Kamu mau?” tanya
Delana.
“Emang boleh?” tanya
Chilton balik.
“Hmm ... aku masih
kurang tahu juga sih, hehehe.”
“Mmh ... kalo aku main
ke sana boleh?”
“Boleh banget, main
aja! Sekalian aja bikin lamaran buat jadi guru les di sana.”
“Emang masih ada
lowongan?”
“Ya ... masukin lamaran
aja dulu. Ntar kalo udah ada lowongan pasti dipanggil kan?”
“Hmm ....boleh juga.
Jam berapa kamu ke tempat kerja?” tanya Chilton.
“Jam empat sore.”
“Berapa lama
ngajarnya?” tanya Chilton.
“Satu jam lebih,” jawab
Delana. “Aku sampe rumah sekitar jam enaman gitu.”
“Ya udah, besok aku
ikut ke tempat ngajar kamu, ya!” pinta Chilton.
Delana menganggukkan
kepala.
“Nanti aku nyusul.
Soalnya jam empat aku ada janji ketemu sama temen sebentar.”
“Oke.” Delana tersenyum
kecut. Ia mulai curiga dengan kata ‘temen’ yang keluar dari mulut Chilton.
Temmen cowok atau cewek?
Delana menghela napas
agar perasaannya menjadi lebih baik. Ia menyadari kalau dirinya bukan
siapa-siapa. Walau ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia memang
cemburu.
“Kamu kenapa?” tanya
Chilton.
“Eh!? Nggak papa.”
“Kamu sering banget
tiba-tiba berubah. Kenapa, sih?” tanya Chilton lagi.
Delana ingin sekali
memaki Chilton. Tidak tahukah kalau dia sangat menyebalkan?
“Mau nambah lagi
satenya?” tanya Chilton yang melihat Delana sedang menghabiskan tusukan sate
terakhirnya.
Delana menggelengkan
kepalanya. “Udah kenyang.”
“Serius? Aku traktir,
deh.”
“Please, deh. Kamu mau
traktir di saat aku sudah kenyang?” dengus Delana.
Chilton tertawa kecil.
“Aku balik dulu, ya!”
pamit Delana. Ia meletakkan piring satenya. “Berapa, Paklek?” tanya Delana pada
penjual sate.
“Lima belas ribu,
Mbak.”
Delana langsung
memberikan selembar uang dua puluh ribuan. Setelah mendapatkan uang kembalian,
ia bergegas pergi meninggalkan Chilton yang tidak menyahut ucapannya sama
sekali.
Delana menghela napas
sebelum ia memantapkan langkahnya meninggalkan Chilton. Ia berharap kalau cowok
itu masih menahannya untuk mengajak bicara. Ia ingin menoleh ke belakang untuk
memastikan Chilton menatapnya atau tidak. Tapi jika ia melakukan itu, artinya
ia meminta cowok itu menahannya. Akhirnya, Delana terus melangkahkan kakinya
sampai ke depan rumah tanpa menoleh ke belakang walau hanya sekali.
Chilton tertawa kecil
memandang tubuh Delana yang mulai menjauh darinya. Hilang di antara kerumunan
orang.
“Paklek, ini!” Chilton
menyodorkan selembar uang lima puluh ribu pada pedagang sate dan langsung
bergegas pergi secepatnya.
“Angsulnya, Mas!” seru
pedagang sate tersebut.
“Ambil, aja!” teriak
Chilton. Ia berlari secepatnya mengejar Delana. Bukan untuk menyapa cewek itu,
hanya untuk memastikan kalau dia pulang dalam keadaan baik-baik saja dan tidak
ada satu orang pun yang mengganggunya di perjalanan pulang. Sebagai laki-laki,
naluri untuk melindungi seseorang selalu hadir tanpa diminta. Terlebih melihat
perempuan dalam keadaan yang seharusnya bisa ia jaga, walau tak terlihat.
***
Keesokan harinya,
Chilton menyusul Delana ke tempat lesnya. Semua perempuan di tempat mengajar
Delana terpesona. Bahkan, mereka tak berkedip saat Chilton masuk ke dalam
kantor tersebut.
“Wah ... ganteng
banget! Dia siapa?” tanya salah satu admin yang berada di meja resepsionis.
“Iya. Kayaknya jodoh
aku,” celetuk guru yang lain.
“Yee ... nyadar diri!”
sahut teman lainnya.
“Selamat sore ...!”
sapa Chilton pada tiga orang wanita yang sedang bergosip di meja resepsionis.
“Sore ...!” sahut
mereka serempak.
“Saya mau tanya. Apa
benar di sini ada lowongan kerja sebagai guru les?” tanya Chilton.
“Ada!” Tanpa pikir
panjang, ketiga cewek itu langsung mengiyakan pertanyaan Chilton.
Chilton menyodorkan map
berisi berkas persyaratan sebagai pelamar kerja. “Saya mau ngelamar jadi guru
les.”
Admin resepsionis
langsung menyambar map tersebut. “Oke, Mas. Masnya diterima.”
“Eh!? Langsung
diterima?” tanya Chilton bingung. “Gimana
bisa diterima? Berkas lamaran dibuka aja belum,” batin Chilton sembari
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ketiga cewek itu
menganggukkan kepalanya tanpa berkedip.
Chilton geleng-geleng
kepala melihat tingkah cewek-cewek aneh yang sudah biasa ia temui. “Ada
pengajar yang namanya Delana?” tanya Chilton lagi.
“Ada.” Mereka bertiga
masih menganggukkan kepala tanpa mengedipkan matanya.
“Ruangannya di mana?”
tanya Chilton.
Ketiga cewek itu
serempak menunjuk pintu yang tak jauh dari tempat mereka. Eits ... wait!
Sepertinya itu bukan tiga cewek, hanya ada satu orang cewek dan dua perempuan
setengah baya. Seharusnya mereka sudah punya anak usia remaja. Tapi, masih saja
terpesona dengan cowok ganteng.
Chilton berjalan
perlahan menuju pintu ruangan tempat Delana mengajar. Ia membuka pintu tersebut
dan langsung menyapa murid-murid Delana.
“Hai ... selamat sore!”
sapa Chilton.
“Sore, Kakak!” sahut
murid-murid bersamaan.
“Apa kabar kalian hari
ini?” tanya Chilton.
“Baik!”
“Ya sudah, lanjutin
belajarnya!” pinta Chilton. Ia tak segera pergi, justru bersandar di kusen
pintu. Ia memerhatikan cara Delana mengajar. Ia sangat ramah, ceria dan cocok
sekali mengajar anak-anak sekolah dasar yang memiliki banyak keceriaan. Delana
memiliki energi positif setiap kali bertemu dengan siapa saja. Dan di hadapan
anak-anak, ia terlihat lebih bersinar.
Guru les yang lain
berbisik ketika melihat Chilton menunggu Delana.
“Siapanya Dela?”
“Nggak tahu.”
“Jangan-jangan
pacarnya.”
“Bisa jadi. Duh, seneng
banget bisa punya pacar ganteng kayak gitu.”
Chilton sesekali
melirik ke arah wanita yang terlihat sedang bergosip. Satu hal yang paling ia
benci dari perempuan adalah sibuk bergosip membicarakan orang lain.
“Kak, kakak ganteng itu
siapa? Pacarnya, ya?” tanya salah satu murid Delana.
“Sst ...!” Delana
menutup mulut dengan jemari telunjuknya. “Masih kecil, nggak boleh ngomong
pacar-pacaran!”
Chilton tertawa kecil
mendengar ucapan anak-anak yang masih terlihat begitu polos.
Seisi kelas Delana
tiba-tiba menjadi riuh. Delana akhirnya harus menenangkan semuanya.
Usai mengajar, Delana
langsung menarik Chilton keluar dari tempat kerjanya.
“Kamu udah jadi
ngelamar kerjanya?” tanya Delana.
“Udah.”
“Terus?” Delana menatap
Chilton cemas.
“Diterima, dong!”
“Serius?”
Chilton menganggukkan
kepala.
“Cepet banget langsung
keterima?”
Chilton mengedikkan
bahunya. “Entah, berkas lamaran baru aku kasih langsung diterima.”
“Seriusan? Berarti
nggak ikut tes dan wawancara?”
Chilton menganggukkan
kepala sembari melangkahkan kaki menuju mobilnya.
“Enak banget!” celetuk
Delana mengikuti langkah Chilton.
“Iya. Aku juga nggak
ngerti.”
“Kayaknya mereka
terpesona sama kamu, deh. Makanya mereka langsung nerima kamu kerja.”
“Sepertinya begitu.”
Chilton menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pergi. “Tapi, pas mereka tahu
kalo aku jemput kamu. Kayaknya mereka bakal berubah pikiran.”
“Iih .. ya, nggak dong!
Namanya udah diterima ya nggak bisa main batalin gitu aja,” cerocos Delana.
“Kapan mulai ngajar?” lanjutnya.
“Besok lusa.”
“Ngajar SD juga?”
“Belum tahu. Ntar coba
aku tanya lewat telepon, deh!”
“Udah dapet nomer
adminnya?” tanya Delana.
“Udah.”
“Kamu enak banget sih?
Pengen apa-apa tinggal ngomong doang, semua orang akan berusaha mewujudkan maunya
kamu,” celetuk Delana.
“Cowok ganteng mah
gitu.” Chilton membanggakan dirinya sendiri.
“Iya, kali. Kalo gitu,
besok lusa kita berangkat ke tempat lesnya bareng aja ya?” pinta Delana.
“Boleh.” Chilton
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kamu biasa berangkat jam berapa?” tanyanya.
“Jam tiga sore aku udah
siap.”
“Oke. Aku jemput kamu
jam setengah empat, ya!” pinta Chilton.
Delana menganggukkan
kepala. Ia tersenyum senang karena akhirnya ia bisa lebih sering bersama
Chilton di kelas les. Sebab ia tahu kalau ia tak mungkin satu kelas dengan
Chilton di kampusnya. Jelas-jelas Chilton adalah kakak tingkatnya. Dengan
mengajar di tempat les bersama, artinya Delana punya waktu yang semakin banyak
untuk bersama dengan Chilton.
Chilton mengantarkan
Delana sampai di depan rumahnya.
“Mampir dulu!” pinta
Delana.
“Nggak usah. Sudah
sore. Aku mau mandi,” sahut Chilton.
“Oke, deh.” Delana
membuka safety belt dan bergegas keluar dari mobil. “Sampai ketemu besok.”
Chilton tersenyum
sembari menganggukkan kepala. Ia langsung bergegas pergi menginggalkan rumah
Delana menuju Gunung Dubs, ia ingin sekali bercerita pada mamanya kalau ia akan
mengajar les. Namun, sampai malam hari Mamanya belum juga pulang ke rumah.
Chilton mengurungkan
niatnya untuk bercerita langsung pada mamanya. Ia memilih menyimpannya sampai
mamanya punya waktu makan malam bersamanya.
Malam hari, sembari
menikmati indahnya kota dari balkon belakang rumahnya, Chilton melakukan
panggilan video pada Delana.
“Selamat malam ibu guru
yang cantik!” sapa Chilton begitu panggilannya tersambung.
Delana mengernyitkan
dahinya melihat Chilton terlihat sangat ceria. Ia jauh berbeda dengan Chilton
yang pertama kali ia kenal. Cowok pendiam dan dingin itu, ternyata punya sisi
lucu dan humoris yang tidak diketahui oleh banyak orang.
“Selamat malam juga
calon pak guru. Belum tidur?” tanya Delana.
“Belum. Aku di rumah
Gunung Dubs.”
“Hmm ... terus?” Delana
sudah merasa kalau Chilton akan memamerkan pemandangan kota dari atas balkon
rumahnya.
Chilton tertawa jahil
melihat ekspresi wajah Delana.
“Kamu mau pamerin aku
lagi?” dengus Delana.
“Iya, nih. Bagus, kan?”
“Hmm ... aku mau
tidur!” seru Delana sembari membenamkan wajahnya ke dalam bantal.
“Nggak mau lihat?”
tanya Chilton.
“Nggak! Aku ngantuk!”
Chilton cekikikan. Ia
tahu kalau Delana ingin sekali bisa melihat keindahan kota dari atas ketinggian
Gunung Dubs. “Ya udah, tidur!” tutur Chilton. “Selamat malam. Selamat
dirindukan murid-murid yang lucu!” lanjutnya.
“Hmm ... iya. Selamat
juga buat kamu karena akan menjadi kakak guru yang paling mempesona.”
Chilton tertawa lebar.
“Makasih!”
Mereka mengakhiri
panggilan videonya dan terlelap bersama mimpi masing-masing. Delana dengan
harapannya bisa mendapatkan hati Chilton seutuhnya. Chilton dengan keinginan
kecilnya untuk bisa mengajak Delana menikmati indahnya malam dari atas balkon
rumahnya.
Cinta ... terkadang
tumbuh dari tatapan pertama. Tapi, banyak juga cinta yang baru tumbuh dari
tatapan yang keseratus bahkan seribu. Tak peduli seberapa banyak waktu yang
harus ia habiskan untuk menumbuhkan cinta. Delana berharap, suatu hari nanti
Chilton akan memilihnya dengan tulus.
.png)
0 komentar:
Post a Comment