“Sore,
Ayah!” sapa Yeriko begitu ia masuk ke kamar rawat ayah mertuanya. Sejak Adjie
sadar, ia selalu menyempatkan diri menjenguk di rumah sakit setiap kali pulang
kerja.
“Sore.
Yuna mana?” tanya Adjie.
“Yuna
nggak ikut. Saya baru pulang kerja.”
“Oh.
Baguslah. Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan sama kamu.”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Apa
Yuna, bicara sama kamu soal masa lalunya?”
Yeriko
mengangguk pasti.
“Ayah
tahu, kalian saling mencintai. Sekarang, kamu menjadi satu-satunya orang
terdekat Yuna. Pastinya, kamu tidak ingin dia terluka, kan?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Sebenarnya,
Ayah ingat semuanya. Hanya saja, Ayah tertidur terlalu lama. Ayah tidak tahu
apa yang terjadi pada Yuna selama belasan tahun belakangan ini. Apa dia hidup
dengan baik?”
Yeriko
menghela napas, ia tersenyum kecil menatap Adjie. “Dia selalu terlihat
baik-baik aja dan ceria. Tapi, aku tahu kalau dia sudah melewati banyak
kesulitan.”
“Apa
kalian sudah saling mengenal sejak lama?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Saya menikahi Yuna saat kami baru kenalan selama
seminggu. Semuanya, terjadi secara kebetulan dan … akhirnya, saya sangat
mencintai dia.”
“Ayah
percaya kalau kamu sangat mencintai dia. Dia anak yang baik. Seharusnya, dia
bisa hidup dengan baik.”
“Ayah
tenang aja. Sekarang, dia hidup dengan sangat baik.”
“Terima
kasih, kamu sudah menjaga Yuna dengan baik.”
“Sudah
kewajiban saya sebagai suami.”
“Oh
ya, bagaimana dengan kehidupan dia sebelumnya. Apa Rudi dan keluarganya
memperlakukan dia dengan baik? Apa dia mendapatkan pendidikan yang layak?”
“Pendidikan
dia sangat baik. Dia lulusan Bisnis Management di Melbourne University. Dia
juga sempat bekerja di perusahaan yang sebelumnya adalah milik kalian. Saya
memintanya berhenti bekerja karena dia sudah hamil.”
“Huft,
aku sudah melewatkan banyak hal. Dia sangat kecil dan lemah. Bagaimana dia
melewati itu semua? Bekerja di perusahaan yang seharusnya menjadi miliknya.”
“Ayah,
cuma Ayah yang tahu penyebab kecelakaan itu. Apakah itu kecelakaan yang sudah
direncanakan?”
“Ayah
nggak tahu. Semuanya sudah berlalu. Lupakan saja!”
“Gimana
bisa melupakan gitu aja? Aku sudah melakukan penyelidikan soal kecelakaan
sebelas tahun lalu. Apa ada hubungannya dengan pemindahan saham di hari
sebelumnya?”
Adjie
berpikir sejenak. Kemudian ia menggelengkan kepala. “Nggak perlu diselidiki
lagi!” pintanya.
Yeriko
menatap wajah Adjie. Ia semakin penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Semakin kasus ini ditutupi, semakin membuatnya penasaran.
“Sudahlah.
Nggak perlu mengungkit masa lalu. Yang penting, Yuna bisa menjalani masa depan
dengan tenang dan damai. Itu semua sudah cukup.”
“Ayah,
ada banyak hal yang harus aku lakukan. Terutama, ini berkaitan dengan Yuna.”
“Kalau
ingin membuatnya bahagia. Jangan ungkit soal masa lalu dia!” pinta Adjie. “Ayah
sudah ikhlas menerima semua ini. Jangan bilang ke dia kalau sebenarnya, ingatan
Ayah tidak bermasalah!” pinta Adjie.
“Kenapa,
Yah? Bukannya akan lebih baik kalau Yuna tahu. Dia pasti merasa sangat
bahagia.”
“Aku
mengkhawatirkan keadaannya jika tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lagipula, aku
ingin tahu beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini.”
Yeriko
mengangguk. Ia mengerti apa yang akan direncanakan oleh Adjie.
Adjie
menepuk-nepuk bahu Yeriko. “Ajak Ayah jalan-jalan di taman!” pintanya.
Yeriko
mengangguk. Ia menarik kursi roda karena Adjie belum kuat berjalan normal
seperti biasanya dan masih harus mendapatkan perawatan intensif untuk
memulihkan tubuhnya.
“Yuna
sangat suka jalan-jalan. Setiap Minggu, aku dan ibunya selalu mengajaknya
jalan-jalan di taman kota. Dia suka sekali mainan dan makanan. Setiap ke taman,
dia akan membeli balon dan sosis kesukaannya. Tangan kirinya memegang balon,
tangan kanannya asyik melahap sosis.” Adjie mengajak Yeriko bercerita sembari
berkeliling di taman rumah sakit.
Yeriko
tertawa kecil. “Sampai sekarang, dia masih suka makanan enak. Setiap kali
melihat dia makan, aku selalu merasa bahagia.”
Adjie
langsung menatap wajah Yeriko. “Nafsu makan dia sangat baik. Kalau tidak
dijaga. Badannya bisa bengkak. Hahaha. Setiap kali dia menangis, satu biji
udang goreng saja sudah bisa membuatnya berhenti menangis.”
Yeriko
tertawa kecil. Ia teringat saat-saat pertama kali mengenal Yuna. Memerhatikan
caranya makan, gaya bicaranya ketika kesal dan rengekan manjanya saat ia
menginginkan sesuatu. Yuna sangat ribut dan merepotkan. Satu hal yang ia benci
dari seorang perempuan. Namun, kebencian itu bisa berubah menjadi rasa cinta
yang begitu besar.
“Yer,
apa dia pernah menangisi Ayah?” tanya Adjie.
“Sering.
Setiap kali dia datang, selalu mengajak Anda bercerita sambil menangis.”
“Aku
merasa bersalah karena sering membuatnya menangis. Aku sendiri tidak bisa
melakukan apa-apa. Aku hanya merasa tertidur selama beberapa hari. Ternyata,
sudah bertahun-tahun.”
“Ayah
tidak perlu merasa bersalah. Yuna sangat senang melihat Ayah sudah sadar. Hal
paling besar yang ia inginkan setiap hari adalah bisa membuat Anda terbangun
dan memanggil namanya.”
Adjie
tersenyum. Ia sangat bangga dengan keadaan Yuna yang sekarang. Puteri
kesayangannya yang manja itu, bisa melewati banyak hal sulit seorang diri.
“Oh
ya, apakah Rudi memperlakukan dia dengan baik?”
“Rudi?
Oom Tarudi?”
Adjie
menganggukkan kepala.
Yeriko
menghela napas sejenak. “Hubungan mereka tidak begitu baik. Bellina, seringkali
menindas Yuna.”
“Ckckck.
Mereka masih saja tidak berubah. Sejak kecil, sering berebut dan berkelahi.
Tapi tetap saja saling menyayangi. Hubungan persaudaraan memang seperti itu.
Kalau jauh dicari, kalau dekat dicakari.”
Yeriko
tersenyum kecil. Ia merasa tidak ada hubungan persaudaraan antara Yuna dan
Bellina. Bellina terlalu kejam memperlakukan istrinya. “Pak Adjie nggak tahu
apa yang sebenarnya terjadi di masa-masa remaja mereka,” batin Yeriko.
“Apa
sampai sekarang, mereka masih suka berebut sesuatu?” tanya Adjie.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Satu minggu sebelum aku menikahi Yuna. Mereka berebut
seorang pria?”
“APA!?”
Yeriko
tersenyum kecil.
“Rebutan
pacar?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Kenapa
mereka masih nggak berubah juga? Yuna, sangat keras kepala. Ia tidak pernah mau
mengalah sama adik sepupunya sendiri.”
“Sebenarnya,
Bellina itu adik atau kakak sepupu Yuna?”
“Secara
usia, lebih tua Bellina satu bulan. Kalau secara silsilah keluarga, dia masih
adiknya Yuna. Anak dari adikku.”
“Oh.”
Yeriko manggut-manggut. “Aku rasa, dia nggak pantas mengalah untuk Bellina.”
“Oh
ya? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka beberapa tahun belakangan
ini?”
Yeriko
menghentikan langkahnya. Ia mengajak Adjie duduk di salah satu kursi taman dan
menceritakan semua hal yang terjadi antara Yuna dan Bellina beberapa tahun
belakangan ini. Termasuk, bagaimana Bellina berusaha mencelakai Yuna.
Adjie
tertegun mendengar cerita-cerita yang keluar dari mulut Yeriko. Ia tidak
menyangka kalau hubungan Yuna dengan saudaranya sangat buruk. Mungkinkah karena
harta yang mereka perebutkan? Bukankah, ia sudah melepaskan dan merelakannya?
Seharusnya, Yuna bisa hidup dengan tenang tanpa tekanan dari keluarganya
sendiri.
Yeriko
sengaja menceritakan semuanya. Ia tak berniat menutupinya dari Adjie. Cepat
atau lambat, semuanya juga akan diketahui oleh Adjie. Ia tidak ingin jika Adjie
terus berpikir bahwa keluarga adiknya sangatlah baik.
((
Bersambung ... ))
Bab-bab
selanjutnya akan sangat mendebarkan soal masa lalu keluarga Linandar, yang
nggak tahan, bisa skip dulu ya ceritanya. Hehehe
Thanks
sudah mendukung cerita ini.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment