Thursday, August 14, 2025

Then Love Bab 5 : Mabar

 

BAB 5 – MABAR

 

Delana akhirnya pergi ke Lapmer untuk jogging bersama Chilton. Ia lupa meminta nomor ponsel Chilton sehingga ia kesulitan mencari keberadaan Chilton sementara warga mulai memadati kawasan Lapmer setiap hari minggu pagi untuk berolahraga atau hanya sekedar jalan-jalan santai.

Delana berlari-lari kecil sembari mengedarkan pandangannya mencari sosok Chilton di antara beberapa cowok yang sedang berlari pagi. Ia mulai bingung karena di Lapmer ada tiga lapangan. Dia tidak tahu pasti kemarin Chilton mengajaknya di lapangan satu, lapangan dua atau lapangan tiga.

Delana berhenti di tepi jalan, tepat di lapangan dua. Ia duduk di atas trotoar sembari meluruskan kakinya. Napasnya tersengal, padahal ia baru berlari sebentar saja.

“Nih!” Chilton tiba-tiba sudah berdiri di depannya sambil menyodorkan sebotol air mineral dingin.

“Kamu ke mana aja sih!? Aku cari dari tadi nggak nemu-nemu,” celetuk Delana kesal sambil menyambar botol minum dari tangan Chilton.

“Kamu aja yang nggak perhatiin bener-bener. Aku lihat kamu dari tadi.”

“Aku udah nyari tau! Banyak cowok-cowok pada jogging, tapi aku nggak lihat kamu.”

“Kamu kalo lihat cowok-cowok ganteng, udah nggak ingat sama aku.”

“Ingat, lah.”

“Ayo jalan lagi!” ajak Chilton.

“Aku capek.”

“Baru lari sebentar udah capek. Kayak gitu kalo nggak pernah olahraga,” gerutu Chilton.

“Iih ... bawel!” Delana mengulurkan tangannya ke arah Chilton. Chilton langsung menarik tangan Delana agar bangkit dari duduknya. Mereka melanjutkan lari pagi bersama.

“Chil, jantung aku berdebar.” Delana menghentikan langkahnya. Ia membungkuk, memegang lututnya sembari mengatur napas.

“Berdiri tegak!” pinta Chilton yang sudah berdiri di hadapannya.

Delana berdiri tegak sesuai intruksi dari Chilton.

“Rentangkan tanganmu!” pinta Chilton. Delana mengikuti sesuai instruksi. “Pejamkan mata, tarik napas dalam-dalam ... trus hembuskan pelan-pelan!”

Pelan-pelan Delana mengikuti intruksi dari Chilton beberapa kali sampai debar jantungnya membaik.

“Kamu tadi nggak pemanasan dulu?” tanya Chilton.

“Hehehe ...” Delana nyengir menanggapi pertanyaan Chilton. Mereka melanjutkan berlari lagi.

Baru sekitar sepuluh meter, Delana kembali berhenti. Ia merasa tubuhnya lemas dan kepalanya pusing.

“Kenapa?” tanya Chilton.

“Kepalaku pusing.”

“Ya udah. Kita jalan santai aja. Kayaknya kamu nggak kuat ya?” Chilton memerhatikan wajah Delana yang terlihat lebih pucat dari biasanya.

“Iya.” Delana menatap Chilton. Ia mengerutkan keningnya karena bayangan tubuh Chilton perlahan menghilang dan semuanya berubah jadi gelap.

“Dela ...!” Chilton menangkap tubuh Delana yang jatuh pingsan.

“Kenapa, Mas?” tanya beberapa orang yang melihat kejadian tersebut.

“Pingsan.” Chilton langsung menggendong Delana. Ia berlari membawa Delana masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit khawatir dengan keadaan jantung Della karena denyut nadinya sangat lemah.

Chilton melajukan mobilnya memasuki halaman rumah sakit Pertamina. Ia langsung membawa Delana ke ruang IGD untuk mendapat penanganan secepatnya.

Chilton menunggu di ruang tunggu sementara dokter melakukan pemeriksaan. Dua puluh menit kemudian, petugas kesehatan keluar.

“Keluarga Delana!” panggil petugas tersebut.

Chilton bangkit dan menghampiri petugas tersebut. Ia diperbolehkan masuk ke ruangan dan melihat keadaan Delana.

“Gimana keadaannya, Dok?” tanya Chilton.

“Nggak papa. Cuma kecapekan aja. Mungkin dia kurang istirahat. Kalau sudah sadar, sudah boleh pulang,” jawab dokter yang melakukan pemeriksaan.

“Jantungnya nggak bermasalah, Dok?” tanya Chilton lagi.

“Nggak masalah. Semuanya baik. Cuma kelelahan.”

“Oke. Terima kasih, Dokter!”

Chilton menunggu Delana sampai sadar dan mengantarnya pulang.

“Sampai sini aja!” pinta Delana begitu Chilton mengantarnya sampai di depan gang rumah.

“Kenapa? Aku bisa antar kamu sampe depan rumah.”

“Nggak usah. Makasih ya!” ucap Delana. “Maaf, aku sudah ngerepotin kamu tadi. Aku—”

“Nggak papa.”

Delana tersenyum sembari melepas safety belt yang mengikat di pinggangnya. “Oh ya, aku boleh minta nomer hapemu?” tanya Delana sebelum ia keluar dari mobil.

Chilton langsung menyebutkan nomor ponselnya dengan cepat.

Delana mengerutkan hidungnya. “Niat ngasih nggak, sih!?”

“Enggak!” Chilton menjulurkan lidahnya.

“Dasar cowok pelit!” celetuk Delana.

Chilton tertawa sembari mengulurkan ponselnya ke arah Delana.

Delana mengerutkan keningnya. “Aku minta nomer hape. Kenapa malah dikasih hape? Kamu baik banget sih?” Delana langsung menyambar ponsel Chilton dengan cepat.

“Eh, siapa juga yang ngasih hape? Itu hape kamu pake buat missed call nomermu! Aku nggak hafal nomerku sendiri,” sahut Chilton sewot.

Delana tertawa kecil. “Cowok emang jarang yang bisa hafal nomer hp-nya sendiri. Paling yang dihapal cuma nomer sepatu sama nomer punggung kesebelasan favorite.”

“Nah, itu tau!”

Delana menekan nomer di ponsel Chilton dan langsung melakukan panggilan. Setelah ponselnya berdering, ia langsung mematikan panggilan dan mengembalikan ponsel Chilton.

“Makasih, ya!” Delana membuka pintu mobil dan langsung keluar. Ia berdiri di trotoar sembari menunggu Chilton menjalankan mobilnya.

Delana melambaikan tangan ke arah mobil Chilton yang mulai menjauh.

 

***

 

“Lagi apa?” Delana mengirim pesan ke Chilton saat ia sedang berkumpul di kamar Belvina.

“Mabar,” balas Chilton singkat.

“Udah makan?”

Pesan Delana tak lagi mendapat balasan dari Chilton. Dua puluh menit kemudian, barulah Chilton membalas pesannya.

“Ini lagi mau keluar cari makan.”

Delana memutar-mutar ponselnya. Ia ingin membalas lagi pesan dari Chilton. Tapi, niatnya ia urungkan karena Chilton akan pergi keluar mencari makan. Pastinya tidak akan membalas pesan dari Delana lagi.

Sejak mendapat nomer ponsel Chilton. Delana sering mengirim pesan pagi, siang, sore malam kepada Chilton.

“Kamu chatting sama siapa, sih? Senyum-senyum terus dari tadi,” tanya Belvi melirik ponsel Delana.

“Ada, deh. Kepo aja deh, kamu.” Delana menutup layar ponsel dengan dadanya.

“Paling chatting sama si pujaan hati,” sahut Ivona.

“Ya iya, lah.” Delana menyambar ucapan Ivona dengan perasaan bangga.

“Eh, Bel ... mabar apaan sih?” tanya Delana.

“Mabar? Main bareng kali, Del.”

“Main game gitu ya?” tanya Delana.

“Iya. Game online, kan bisa main bareng-bareng.”

“Yang gimana sih gamenya?”

“Banyak. Ada ML, PUBG, FF dan lain-lain.”

“Kira-kira dia main apa ya?” tanya Delana.

“Dia siapa?” tanya Belvi.

“Chilton.”

“PUBG kali, Del.” Ivona ikut menyahut.

“Yang kayak gimana tuh game-nya?” tanya Delana.

“Yang tembak-tembakan gitu deh kayaknya,” sahut Ivona.

“Yang gimana sih?” tanya Delana masih penasaran.

“Ini.” Belvi menunjukkan game yang sedang dimainkannya.

“Seru kayaknya tuh.”

“Banget!”

“Pantesan dari kemarin aku tanya dia lagi apa, katanya mabar-mabar mulu. Nggak paham aku, mabar tuh apaan,” gumam Delana.

“Cara mainnya gimana?” tanya Delana pada Belvi.

“Download dulu!” jawab Belvi.

“Terus?” Delana langsung mendownload permainan yang dimaksud Belvi. “Cara mainnya gimana?” tanya Belvi.

“Bentar. Aku masih main, nih. Kamu nonton di youtube aja dulu!” sahut Belvi.

Delana berdecak kesal. Ia kemudian menonton cara bermain terlebih dahulu lewat video youtube.

Ivona memerhatikan dua sahabatnya yang sedang berbaring di atas ranjang sambil bermain game. Ia sama sekali tidak tertarik dengan game apa pun. Ia lebih suka chatting atau teleponan dengan seseorang. Tapi, kali ini ia sibuk membersihkan kukunya dan mengganti warna kuku yang tadinya berwarna pink menjadi warna merah maroon.

“Bel, ajarin aku main!” rengek Delana.

“Bentar, Del. Dikit lagi, nih. Kamu nonton dulu aja cara mainnya!”

“Udah. Tapi, aku masih bingung.”

“Iya, sebentar putri Delana yang yang cantik jelita, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung ...”

“Aku mau ikut main sama Chilton, ntar. Tapi, aku harus tahu dulu cara mainnya. Kalo aku kalahan, mana mau dia main sama aku,” gumam Delana.

“Iya. Main sama yang kalahan mah males. Bawaannya emosi. Ntar kamu ditelan mentah-mentah sama Chilton kalo kalahan.”

“Makanya, ajarin aku, cepet!”

“Iya. Aku invite ya!” tutur Belvi.

Delana akhirnya belajar bermain game dari Belvi. Belvi memang tomboy dan lumayan suka bermain game online.

 

***

Delana menunggu Chilton di taman seperti biasa. Ia tak pernah lupa membawakan sarapan pagi untuk Chilton sebelum jam pelajaran mereka dimulai.

“Sudah lama nunggu?” tanya Chilton.

“Belum.”

Chilton bergeming.

Delana menyodorkan bekal sarapan untuk Chilton. “Kamu nggak jogging?” tanya Delana yang melihat Chilton tidak mengenakan sepatu dan pakaian olahraganya.

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Kesiangan bangunnya.”

“Oh. Begadang lagi?” tanya Delana.

Chilton nyengir menanggapi pertanyaan Delana.

“Kalo begadang ngapain aja sih?” tanya Delana.

“Mabar.”

“Game online?” tanya Delana.

“Iya.”

“Kamu sering begadang main game?” tanya Delana saat Chilton sudah asyik memakan makanan yang dibawakan Delana.

“Kenapa?” tanya Chilton balik.

“Apa pertanyaan harus dijawab dengan pertanyaan?” Delana lumayan kesal setiap kali bertanya harus mendapat jawaban pertanyaan. Baginya, pertanyaan dari pertanyaan adalah salah satu cara untuk mengalihkan pembicaraan agar kita lupa pada topik utama atau pertanyaan yang sebenarnya.

Chilton tersenyum. “Ya. Kadang-kadang.”

“Game apa?” tanya Delana.

“PUBG.”

“Ajakin aku main, dong!” pinta Delana.

Chilton mengerutkan keningnya. Ia pikir, Delana akan marah karena ia menghabiskan waktunya semalaman untuk bermain game. Tapi, cewek satu ini malah minta diajak bermain game bersama.

“Kok, diam? Kamu nggak mau ajak aku main?” tanya Delana.

Chilton tertawa kecil. “Nanti aku invite kalo aku main sama temen-temenku.”

“Seriusan?” tanya Delana dengan mata berbinar.

Chilton menganggukkan kepalanya. “Tapi, ada syaratnya.”

“Apa itu?” tanya Delana.

“Aku nggak suka main sama noob. Aku keluarkan dari permainan kalau sampe kamu noob, ya?”

“Hmm ...” Delana memutar bola matanya. “Oke. Setuju!”

Chilton mengacungkan jempolnya.

“Kalau aku yang menang terus, kamu kasih apa?” tanya Delana.

“Kamu mau apa?” tanya Chilton.

“Nanti aja aku mintanya kalau aku udah menang.”

“Sok jaim!” celetuk Chilton.

Delana mencebik ke arah Chilton. Tingkahnya membuat Chilton gemas dan hampir mencubit bibir mungilnya itu.

 

***

Delana berusaha keras berlatih game agar tidak jadi noob dan bisa masuk squad Chilton. Ia sering tidur larut malam dan menjadikan Belvi sebagai sasaran untuk membantunya berlatih game online. Ia juga sering menonton review beberapa pemain game profesional dari video youtube.

“Bel, help me! Aku knock, aku knock!” teriak Delana. Ia semakin asyik bermain game sambil berteriak-teriak sendiri di dalam kamarnya.

Teriakan-teriakannya mengundang perhatian isi rumah termasuk ayah dan adiknya.

“Kakak kamu ngapain di kamar? Dari kemarin ayah perhatikan, dia teriak-teriak terus. Telponan kok teriak-teriak begitu?” Ayah Delana bertanya pada adik Delana.

“Main PUBG, yah.”

“PUBG?” Harun mengernyitkan dahinya. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan putri kesayangannya itu. Bukannya rajin belajar malah rajin bermain game.

“Dela ...!” teriak Harun dari ruang keluarga. “Delaa ...!”

“Nggak bakal denger, Yah. Kakak pakai earphone.”

“Naik! Panggilin kakak kamu biar dia turun,” pinta Harun.

Bryan bangkit, menaiki anak tangga perlahan dan membuka pintu kamar kakaknya yang sedikit terbuka.

“Ada apa?” tanya Delana tanpa suara ketika melihat adiknya masuk ke dalam kamar.

“Dipanggil ayah.”

“Duh, bentar ya!”

“Cepet, kak! Ayah udah teriak-teriak dari tadi, kakak nggak denger,” ucap Bryan. Ia langsung meninggalkan kakaknya yang masih asyik bermain game.

“Aduh, AFK lagi aku!” seru Delana sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Ia bergegas turun dari kamarnya.

“Lagi apa?” tanya Harun begitu anaknya sudah duduk bersamanya.

“Mmh, lagi main, Yah.”

“Bukannya belajar malah main!?” sentah Ayahnya.

“Sudah, Yah. Aku sudah belajar tadi. Lagian, capek kalo suruh belajar terus. Aku main game cuma hiburan aja pas waktu aku luang,” cerocos Delana. “Daripada aku keluyuran malam-malam, mending aku main game aja kan, Yah?”

Harun menghela napasnya. Ia memang tidak pernah bisa menang berdebat dengan anaknya. Apa pun yang diinginkan Delana, selalu saja ia turuti. Membuat putri kecilnya itu sedikit berani melawan ayahnya. Walau begitu, ia juga tetap menyayangi ayah dan adiknya.

“Ya sudah. Jangan tidur larut malam!” pinta Harun.

“Oke.” Delana menautkan jempol tangan dan jari telunjuknya.

Harun kembali fokus menonton berita yang ada di televisi.

“Udah, Yah?” tanya Delana.

“Udah.”

“Delana boleh balik ke kamar?” tanya Delana hati-hati.

Harun menganggukkan kepalanya.

Delana langsung berlari kembali ke kamarnya. Ia mengambil ponsel dan langsung menelepon Belvi yang bermain dengannya sejak tadi.

“Bel, main lagi, yuk!” ajak Delana lagi begitu teleponnya tersambung.

“Kenapa tadi?” tanya Belvi.

“Dipanggil sama Ayah.”

“Oh. Ayo main lagi!” Belvi langsung mematikan telepon. Mereka kembali asyik bermain game online sambil mengobrol.

“Huu .... berhasil!” teriak Delana. “Sembilan kill!” Delana melonjak kegirangan.

“Ayo, main lagi!” ajak Delana lagi.

“Udah, Del. Aku mau tidur.”

Delana melirik jam dinding yang ada di kamarnya yang sudah menunjukkan jam dua belas malam. Besok mereka harus kuliah pagi dan mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan.

 

***

Delana sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat Chilton tiba-tiba melakukan panggilan video.

“Halo ... kenapa?” tanya Delana begitu ia menjawab panggilan video dari Chilton.

“Nggak papa. Aku mau invite kamu nge-game. Udah siap?” tanya Chilton.

“Mmh ... aku masih ngerjain tugas kuliah.” Delana menunjukkan buku-buku di hadapannya.

“Oh. Ya udah, kerjain aja dulu tugas kuliahmu. Kalau udah nggak sibuk, chat aku ya!” pinta Chilton.

Delana tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Oke. Aku main sama yang lain dulu, ya? Bye ...!” Chilton melambaikan tangan dan langsung mematikan sambungan Video Call.

Delana menghela napas lega. Untungnya Chilton menelepon saat ia sedang belajar. Jadi, dia punya alasan tepat untuk menunda bergabung bermain game bersama Chilton. Ia masih harus berlatih beberapa kali lagi sampai ia bisa jadi pemain yang bisa diandalkan teman-temannya. Ia tak ingin mengecewakan Chilton karena noob terus.

Sementara itu, Chilton sedikit kecewa karena Delana tak kunjung bergabung ke dalam timnya. Alasannya masih banyak tugas kuliah dan ia bisa memahaminya.

“Kenapa?” tanya Attala, teman baik Chilton yang sering menemaninya bermain game bersama di kamar Chilton.

“Nggak papa.”

“Kamu ngajak nge-game siapa sih? Lemes amat? Kayak abis ditolak cintanya aja,” celetuk Atalla.

“Ngaramput!” Chilton melempar Atalla dengan snack yang ada di tangannya.

“Oh ... aku tahu. Cewek yang sering ketemu sama kamu di taman itu ya?” goda Atalla.

Chilton tersenyum menaanggapi pertanyaan Atalla. Ia tidak bisa memungkiri juga tak bisa mengiyakan begitu saja.

“Hmm ... dia cantik, baik, ceria, ramah dan kelihatannya penyayang,” tutur Atalla.

“Sok tahu!”

“Yah, emang aku belum kenal dia langsung. Tapi, semua orang udah tahu tentang dia karena selama ini cuma dia aja cewek yang deket sama kamu. Jelas aja kalian berdua jadi bahan pembicaraan di mana-mana.”

“Cowok nggak usah ikutan gosip!” Chilton kembali melempar makanan ke arah Atalla yang bertubuh gembul itu.

Atalla tergelak. “Aku nggak ikutan. Cuma denger-denger aja.”

“Sama aja!”

“Apa yang kamu suka dari dia?” tanya Attala.

“Hmm ... awalnya, aku suka masakannya dia. Aku bisa nolak perasaan cewek. Tapi, kalo makanan enak ... sulit buat ditolak.”

“Serius? Masakannya enak? Aku dicipratin sekali-sekali napa?”

“Ya. Entar aku cipratin pake air kobokan!”

“Tega banget sama temen.”

“Dia kalo bawain sarapan cuma satu porsi. Udah gitu masakannya enak banget. Itu aja aku masih kurang. Gimana mau bagi ke kamu? Mending aku makan sendiri,” tutur Chilton.

Attala menelan ludah membayangkan makanan yang diceritakan oleh Chilton. Ia hanya bisa membayangkan saja. Tidak bisa benar-benar menikmati rasanya.

“Ayo, main lagi!” ajak Chilton.

“Ayo.” Attala menanggapi.

Mereka kembali asyik bermain game bersama.

 

***

“Chilton ...!” Beberapa mahasiswi berteriak dan mengerubungi Chilton saat ia melintas. Ia merasa kurang nyaman dengan mahasiswi yang kerap kali bergelayut tanpa izin di lengannya. Ia menyingkirkan satu per satu dengan sopan.

Dari kejauhan, Chilton melihat Delana yang sedang berdiri di depan papan informasi seorang diri. Dari sekian banyak cewek yang heboh saat ia keluar kelas, cuma Delana yang terlihat bersikap biasa saja.

Chilton melangkahkan kaki mendekati Delana. Membuat cewek-cewek kampus yang mendekatinya gigit jari dan kesal karena Chilton lebih memilih Delana ketimbang mereka yang sudah berdandan habis-habisan untuk bisa menarik perhatian Chilton.

“Del, masih banyak tugas?” tanya Chilton saat ia sudah berdiri di samping Delana.

“Eh!? Kenapa?” tanya Delana sambil menoleh ke arah Chilton.

“Mabar,” bisik Chilton di telinga Delana. Ia tak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatap kedekatan mereka.

“Aargh ...!” teriak cewek-cewek kampus karena mereka melihat Chilton seolah ingin mencium pipi Delana.

“Oh, No!” teriak yang lainnya.

Seketika suasana menjadi riuh. Delana langsung memutar kepalanya menghadap ke belakang, mencari tahu kenapa tiba-tiba mahasiswi di belakangnya berteriak-teriak tak karuan.

Chilton membalikkan tubuh Delana kembali dan merangkulnya. Ia mengajak Delana berjalan menyusuri koridor menuju ke taman, tempat mereka biasa bertemu.

“Mereka kenapa?” tanya Delana masih bingung.

“Udah, nggak usah dipikirin!” Chilton sudah hafal kelakuan cewek-cewek di kampusnya. Dia merasa terganggu dengan teriakan-teriakan centil itu. Hanya bersama Delana, ia merasa tenang dan aman dari godaan cewek-cewek di kampusnya.

“Kamu masih banyak tugas?” tanya Chilton sambil berjalan-jalan santai di sekitar taman.

“Hmm, nggak sih. Udah kelar. Tadi, udah aku kasih ke dosen.”

“Good! Kalo gitu entar malem udah siap mabar?” tanya Chilton.

Delana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jam berapa?” tanya Delana.

“Kamu bisanya jam berapa?”

“Mmh ... ntar malam, malam minggu ya?” Delana merapatkan bibirnya sembari menatap ke langit.

“Iya. Kamu sudah ada jadwal kencan?” tanya Chilton sambil melirik Delana. Ia memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya.

“Apaan sih!? Kencan sama siapa?” tanya Delana balik.

“Yah ... sama siapa aja.”

“Hmm ... iya, sih. Biasanya, ayah ngajak aku kencan.”

Chilton mengernyitkan dahinya. “Emangnya kalau ayah sama anak makan malam bareng, itu bisa dibilang kencan?”

“Mmh ... Maybe,” sahut Delana sambil tertawa kecil.

Chilton ikut tertawa.

“Kamu chat aku kalau sudah ada waktu ya!” pinta Chilton.

“Emang kamu nggak jalan? Malam mingguan?” tanya Delana.

“Enggak.”

“Bagus, deh!”

“Apanya yang bagus?” tanya Chilton.

“Ya bagus kalo di rumah aja. Aku nggak perlu khawatir kamu ngilang atau diculik.”

“Siapa yang mau nyulik aku?” tanya Chilton.

“Siapa? Banyak kali fans-fans fanatik kamu itu.”

“Iiiii....” Chilton mengedikkan bahunya.

Delana tergelak. Ia tahu, kemanapun Chilton pergi akan selalu menjadi sebutir gula yang diperebutkan semut-semut cantik. “Susah sih, kalau artis mah gitu!” celetuk Delana.

“Artis apaan!?”

“Artis ... tik,” jawab Delana ngasal.

Chilton mengernyitkan dahinya. “Artistik?”

“Iya. Kamu itu artistik. Makanya selalu jadi pusat perhatian banyak orang.”

“Tahu dari mana?”

“Lihat aja tuh!” Delana menunjuk beberapa cewek yang sedang menatap kebersamaan mereka.

Chilton menoleh ke arah yang ditunjuk Delana. Cewek-cewek itu langsung berpura-pura mengobrol membelakangi mereka.

“Saat kita ngobrol kayak gini. Banyak banget cewek-cewek yang perhatiin kita. Aku sebenarnya kurang nyaman. Apalagi omongan mereka tuh kadang nyelekit banget. Tapi, makin ke sini aku makin nggak peduli sama omongannya mereka,” tutur Delana.

“Oh ya? Emang mereka ngomongin kamu apa?” tanya Chilton menghentikan langkahnya.

Duh, Delana keceplosan! Tidak seharusnya ia mengatakan pada Chilton kalau hari-harinya cukup bermasalah saat mereka sering bertemu dan mengobrol.

“Mereka ngomong apa?” tanya Chilton sekali lagi.

“Eh!? Nggak ngomong apa-apa. Udah, lupain aja!” Delana tertawa untuk menunjukkan pada Chilton bahwa ia baik-baik saja.

“Oke. Ntar malam aku tunggu ya!”

“Tunggu apa?”

“Mabar.” Chilton melirik jam yang ada di tangannya. “Aku balik ke kelas dulu!” ucapnya dan langsung berlari kembali ke kelasnya agar tak dicegat oleh cewek-cewek agresif yang tak sungkan menarik dan bergelayut manja di lengannya.

Delana tertawa kecil sembari menatap punggung Chilton yang mulai menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia tahu, ia tak bisa melakukan apa pun untuk bisa membuat Chilton terkesan kepadanya selain hati yang ia bingkai indah untuk cowok itu. Ia rela melakukan apa saja demi Chilton. Ia rela bangun lebih pagi untuk membawakan bekal sarapan. Ia rela tidur larut malam agar bisa tetap menemani cowok itu melalui malam-malamnya.

“Aku tahu, bikin kamu jatuh cinta sama aku itu nggak mudah. Tapi, aku bakal berusaha terus sampai kamu bisa suka sama aku,” ucap Delana lirih. “Kata orang, kalau jodoh nggak bakal ke mana.” Delana terduduk lesu di kursi taman. “Tapi, ngejar jodohnya sampe ke mana-mana.” Delana menertawakan dirinya sendiri.

 

((Bersambung...))

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas