BAB
5 – MABAR
Delana akhirnya pergi ke Lapmer untuk jogging bersama
Chilton. Ia lupa meminta nomor ponsel Chilton sehingga ia kesulitan mencari
keberadaan Chilton sementara warga mulai memadati kawasan Lapmer setiap hari
minggu pagi untuk berolahraga atau hanya sekedar jalan-jalan santai.
Delana berlari-lari kecil sembari mengedarkan pandangannya
mencari sosok Chilton di antara beberapa cowok yang sedang berlari pagi. Ia
mulai bingung karena di Lapmer ada tiga lapangan. Dia tidak tahu pasti kemarin
Chilton mengajaknya di lapangan satu, lapangan dua atau lapangan tiga.
Delana berhenti di tepi jalan, tepat di lapangan dua. Ia
duduk di atas trotoar sembari meluruskan kakinya. Napasnya tersengal, padahal
ia baru berlari sebentar saja.
“Nih!” Chilton tiba-tiba sudah berdiri di depannya sambil
menyodorkan sebotol air mineral dingin.
“Kamu ke mana aja sih!? Aku cari dari tadi nggak
nemu-nemu,” celetuk Delana kesal sambil menyambar botol minum dari tangan
Chilton.
“Kamu aja yang nggak perhatiin bener-bener. Aku lihat kamu
dari tadi.”
“Aku udah nyari tau! Banyak cowok-cowok pada jogging, tapi
aku nggak lihat kamu.”
“Kamu kalo lihat cowok-cowok ganteng, udah nggak ingat sama
aku.”
“Ingat, lah.”
“Ayo jalan lagi!” ajak Chilton.
“Aku capek.”
“Baru lari sebentar udah capek. Kayak gitu kalo nggak
pernah olahraga,” gerutu Chilton.
“Iih ... bawel!” Delana mengulurkan tangannya ke arah
Chilton. Chilton langsung menarik tangan Delana agar bangkit dari duduknya.
Mereka melanjutkan lari pagi bersama.
“Chil, jantung aku berdebar.” Delana menghentikan
langkahnya. Ia membungkuk, memegang lututnya sembari mengatur napas.
“Berdiri tegak!” pinta Chilton yang sudah berdiri di
hadapannya.
Delana berdiri tegak sesuai intruksi dari Chilton.
“Rentangkan tanganmu!” pinta Chilton. Delana mengikuti
sesuai instruksi. “Pejamkan mata, tarik napas dalam-dalam ... trus hembuskan
pelan-pelan!”
Pelan-pelan Delana mengikuti intruksi dari Chilton beberapa
kali sampai debar jantungnya membaik.
“Kamu tadi nggak pemanasan dulu?” tanya Chilton.
“Hehehe ...” Delana nyengir menanggapi pertanyaan Chilton.
Mereka melanjutkan berlari lagi.
Baru sekitar sepuluh meter, Delana kembali berhenti. Ia
merasa tubuhnya lemas dan kepalanya pusing.
“Kenapa?” tanya Chilton.
“Kepalaku pusing.”
“Ya udah. Kita jalan santai aja. Kayaknya kamu nggak kuat
ya?” Chilton memerhatikan wajah Delana yang terlihat lebih pucat dari biasanya.
“Iya.” Delana menatap Chilton. Ia mengerutkan keningnya
karena bayangan tubuh Chilton perlahan menghilang dan semuanya berubah jadi
gelap.
“Dela ...!” Chilton menangkap tubuh Delana yang jatuh
pingsan.
“Kenapa, Mas?” tanya beberapa orang yang melihat kejadian
tersebut.
“Pingsan.” Chilton langsung menggendong Delana. Ia berlari
membawa Delana masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit khawatir dengan keadaan
jantung Della karena denyut nadinya sangat lemah.
Chilton melajukan mobilnya memasuki halaman rumah sakit
Pertamina. Ia langsung membawa Delana ke ruang IGD untuk mendapat penanganan
secepatnya.
Chilton menunggu di ruang tunggu sementara dokter melakukan
pemeriksaan. Dua puluh menit kemudian, petugas kesehatan keluar.
“Keluarga Delana!” panggil petugas tersebut.
Chilton bangkit dan menghampiri petugas tersebut. Ia
diperbolehkan masuk ke ruangan dan melihat keadaan Delana.
“Gimana keadaannya, Dok?” tanya Chilton.
“Nggak papa. Cuma kecapekan aja. Mungkin dia kurang
istirahat. Kalau sudah sadar, sudah boleh pulang,” jawab dokter yang melakukan
pemeriksaan.
“Jantungnya nggak bermasalah, Dok?” tanya Chilton lagi.
“Nggak masalah. Semuanya baik. Cuma kelelahan.”
“Oke. Terima kasih, Dokter!”
Chilton menunggu Delana sampai sadar dan mengantarnya
pulang.
“Sampai sini aja!” pinta Delana begitu Chilton mengantarnya
sampai di depan gang rumah.
“Kenapa? Aku bisa antar kamu sampe depan rumah.”
“Nggak usah. Makasih ya!” ucap Delana. “Maaf, aku sudah
ngerepotin kamu tadi. Aku—”
“Nggak papa.”
Delana tersenyum sembari melepas safety belt yang mengikat
di pinggangnya. “Oh ya, aku boleh minta nomer hapemu?” tanya Delana sebelum ia
keluar dari mobil.
Chilton langsung menyebutkan nomor ponselnya dengan cepat.
Delana mengerutkan hidungnya. “Niat ngasih nggak, sih!?”
“Enggak!” Chilton menjulurkan lidahnya.
“Dasar cowok pelit!” celetuk Delana.
Chilton tertawa sembari mengulurkan ponselnya ke arah
Delana.
Delana mengerutkan keningnya. “Aku minta nomer hape. Kenapa
malah dikasih hape? Kamu baik banget sih?” Delana langsung menyambar ponsel
Chilton dengan cepat.
“Eh, siapa juga yang ngasih hape? Itu hape kamu pake buat
missed call nomermu! Aku nggak hafal nomerku sendiri,” sahut Chilton sewot.
Delana tertawa kecil. “Cowok emang jarang yang bisa hafal
nomer hp-nya sendiri. Paling yang dihapal cuma nomer sepatu sama nomer punggung
kesebelasan favorite.”
“Nah, itu tau!”
Delana menekan nomer di ponsel Chilton dan langsung
melakukan panggilan. Setelah ponselnya berdering, ia langsung mematikan
panggilan dan mengembalikan ponsel Chilton.
“Makasih, ya!” Delana membuka pintu mobil dan langsung
keluar. Ia berdiri di trotoar sembari menunggu Chilton menjalankan mobilnya.
Delana melambaikan tangan ke arah mobil Chilton yang mulai
menjauh.
***
“Lagi apa?” Delana mengirim pesan ke Chilton saat ia sedang
berkumpul di kamar Belvina.
“Mabar,” balas Chilton singkat.
“Udah makan?”
Pesan Delana tak lagi mendapat balasan dari Chilton. Dua
puluh menit kemudian, barulah Chilton membalas pesannya.
“Ini lagi mau keluar cari makan.”
Delana memutar-mutar ponselnya. Ia ingin membalas lagi
pesan dari Chilton. Tapi, niatnya ia urungkan karena Chilton akan pergi keluar
mencari makan. Pastinya tidak akan membalas pesan dari Delana lagi.
Sejak mendapat nomer ponsel Chilton. Delana sering mengirim
pesan pagi, siang, sore malam kepada Chilton.
“Kamu chatting sama siapa, sih? Senyum-senyum terus dari
tadi,” tanya Belvi melirik ponsel Delana.
“Ada, deh. Kepo aja deh, kamu.” Delana menutup layar ponsel
dengan dadanya.
“Paling chatting sama si pujaan hati,” sahut Ivona.
“Ya iya, lah.” Delana menyambar ucapan Ivona dengan
perasaan bangga.
“Eh, Bel ... mabar apaan sih?” tanya Delana.
“Mabar? Main bareng kali, Del.”
“Main game gitu ya?” tanya Delana.
“Iya. Game online, kan bisa main bareng-bareng.”
“Yang gimana sih gamenya?”
“Banyak. Ada ML, PUBG, FF dan lain-lain.”
“Kira-kira dia main apa ya?” tanya Delana.
“Dia siapa?” tanya Belvi.
“Chilton.”
“PUBG kali, Del.” Ivona ikut menyahut.
“Yang kayak gimana tuh game-nya?” tanya Delana.
“Yang tembak-tembakan gitu deh kayaknya,” sahut Ivona.
“Yang gimana sih?” tanya Delana masih penasaran.
“Ini.” Belvi menunjukkan game yang sedang dimainkannya.
“Seru kayaknya tuh.”
“Banget!”
“Pantesan dari kemarin aku tanya dia lagi apa, katanya
mabar-mabar mulu. Nggak paham aku, mabar tuh apaan,” gumam Delana.
“Cara mainnya gimana?” tanya Delana pada Belvi.
“Download dulu!” jawab Belvi.
“Terus?” Delana langsung mendownload permainan yang
dimaksud Belvi. “Cara mainnya gimana?” tanya Belvi.
“Bentar. Aku masih main, nih. Kamu nonton di youtube aja
dulu!” sahut Belvi.
Delana berdecak kesal. Ia kemudian menonton cara bermain
terlebih dahulu lewat video youtube.
Ivona memerhatikan dua sahabatnya yang sedang berbaring di
atas ranjang sambil bermain game. Ia sama sekali tidak tertarik dengan game apa
pun. Ia lebih suka chatting atau teleponan dengan seseorang. Tapi, kali ini ia
sibuk membersihkan kukunya dan mengganti warna kuku yang tadinya berwarna pink
menjadi warna merah maroon.
“Bel, ajarin aku main!” rengek Delana.
“Bentar, Del. Dikit lagi, nih. Kamu nonton dulu aja cara
mainnya!”
“Udah. Tapi, aku masih bingung.”
“Iya, sebentar putri Delana yang yang cantik jelita, baik
hati, tidak sombong dan rajin menabung ...”
“Aku mau ikut main sama Chilton, ntar. Tapi, aku harus tahu
dulu cara mainnya. Kalo aku kalahan, mana mau dia main sama aku,” gumam Delana.
“Iya. Main sama yang kalahan mah males. Bawaannya emosi.
Ntar kamu ditelan mentah-mentah sama Chilton kalo kalahan.”
“Makanya, ajarin aku, cepet!”
“Iya. Aku invite ya!” tutur Belvi.
Delana akhirnya belajar bermain game dari Belvi. Belvi
memang tomboy dan lumayan suka bermain game online.
***
Delana menunggu Chilton di taman seperti biasa. Ia tak
pernah lupa membawakan sarapan pagi untuk Chilton sebelum jam pelajaran mereka
dimulai.
“Sudah lama nunggu?” tanya Chilton.
“Belum.”
Chilton bergeming.
Delana menyodorkan bekal sarapan untuk Chilton. “Kamu nggak
jogging?” tanya Delana yang melihat Chilton tidak mengenakan sepatu dan pakaian
olahraganya.
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Kesiangan bangunnya.”
“Oh. Begadang lagi?” tanya Delana.
Chilton nyengir menanggapi pertanyaan Delana.
“Kalo begadang ngapain aja sih?” tanya Delana.
“Mabar.”
“Game online?” tanya Delana.
“Iya.”
“Kamu sering begadang main game?” tanya Delana saat Chilton
sudah asyik memakan makanan yang dibawakan Delana.
“Kenapa?” tanya Chilton balik.
“Apa pertanyaan harus dijawab dengan pertanyaan?” Delana
lumayan kesal setiap kali bertanya harus mendapat jawaban pertanyaan. Baginya,
pertanyaan dari pertanyaan adalah salah satu cara untuk mengalihkan pembicaraan
agar kita lupa pada topik utama atau pertanyaan yang sebenarnya.
Chilton tersenyum. “Ya. Kadang-kadang.”
“Game apa?” tanya Delana.
“PUBG.”
“Ajakin aku main, dong!” pinta Delana.
Chilton mengerutkan keningnya. Ia pikir, Delana akan marah
karena ia menghabiskan waktunya semalaman untuk bermain game. Tapi, cewek satu
ini malah minta diajak bermain game bersama.
“Kok, diam? Kamu nggak mau ajak aku main?” tanya Delana.
Chilton tertawa kecil. “Nanti aku invite kalo aku main sama
temen-temenku.”
“Seriusan?” tanya Delana dengan mata berbinar.
Chilton menganggukkan kepalanya. “Tapi, ada syaratnya.”
“Apa itu?” tanya Delana.
“Aku nggak suka main sama noob. Aku keluarkan dari permainan
kalau sampe kamu noob, ya?”
“Hmm ...” Delana memutar bola matanya. “Oke. Setuju!”
Chilton mengacungkan jempolnya.
“Kalau aku yang menang terus, kamu kasih apa?” tanya
Delana.
“Kamu mau apa?” tanya Chilton.
“Nanti aja aku mintanya kalau aku udah menang.”
“Sok jaim!” celetuk Chilton.
Delana mencebik ke arah Chilton. Tingkahnya membuat Chilton
gemas dan hampir mencubit bibir mungilnya itu.
***
Delana berusaha keras berlatih game agar tidak jadi noob
dan bisa masuk squad Chilton. Ia sering tidur larut malam dan menjadikan Belvi
sebagai sasaran untuk membantunya berlatih game online. Ia juga sering menonton
review beberapa pemain game profesional dari video youtube.
“Bel, help me! Aku knock, aku knock!” teriak Delana. Ia
semakin asyik bermain game sambil berteriak-teriak sendiri di dalam kamarnya.
Teriakan-teriakannya mengundang perhatian isi rumah
termasuk ayah dan adiknya.
“Kakak kamu ngapain di kamar? Dari kemarin ayah perhatikan,
dia teriak-teriak terus. Telponan kok teriak-teriak begitu?” Ayah Delana
bertanya pada adik Delana.
“Main PUBG, yah.”
“PUBG?” Harun mengernyitkan dahinya. Ia
menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan putri kesayangannya itu. Bukannya
rajin belajar malah rajin bermain game.
“Dela ...!” teriak Harun dari ruang keluarga. “Delaa ...!”
“Nggak bakal denger, Yah. Kakak pakai earphone.”
“Naik! Panggilin kakak kamu biar dia turun,” pinta Harun.
Bryan bangkit, menaiki anak tangga perlahan dan membuka
pintu kamar kakaknya yang sedikit terbuka.
“Ada apa?” tanya Delana tanpa suara ketika melihat adiknya
masuk ke dalam kamar.
“Dipanggil ayah.”
“Duh, bentar ya!”
“Cepet, kak! Ayah udah teriak-teriak dari tadi, kakak nggak
denger,” ucap Bryan. Ia langsung meninggalkan kakaknya yang masih asyik bermain
game.
“Aduh, AFK lagi aku!” seru Delana sembari meletakkan
ponselnya di atas meja. Ia bergegas turun dari kamarnya.
“Lagi apa?” tanya Harun begitu anaknya sudah duduk
bersamanya.
“Mmh, lagi main, Yah.”
“Bukannya belajar malah main!?” sentah Ayahnya.
“Sudah, Yah. Aku sudah belajar tadi. Lagian, capek kalo
suruh belajar terus. Aku main game cuma hiburan aja pas waktu aku luang,”
cerocos Delana. “Daripada aku keluyuran malam-malam, mending aku main game aja
kan, Yah?”
Harun menghela napasnya. Ia memang tidak pernah bisa menang
berdebat dengan anaknya. Apa pun yang diinginkan Delana, selalu saja ia turuti.
Membuat putri kecilnya itu sedikit berani melawan ayahnya. Walau begitu, ia
juga tetap menyayangi ayah dan adiknya.
“Ya sudah. Jangan tidur larut malam!” pinta Harun.
“Oke.” Delana menautkan jempol tangan dan jari telunjuknya.
Harun kembali fokus menonton berita yang ada di televisi.
“Udah, Yah?” tanya Delana.
“Udah.”
“Delana boleh balik ke kamar?” tanya Delana hati-hati.
Harun menganggukkan kepalanya.
Delana langsung berlari kembali ke kamarnya. Ia mengambil
ponsel dan langsung menelepon Belvi yang bermain dengannya sejak tadi.
“Bel, main lagi, yuk!” ajak Delana lagi begitu teleponnya
tersambung.
“Kenapa tadi?” tanya Belvi.
“Dipanggil sama Ayah.”
“Oh. Ayo main lagi!” Belvi langsung mematikan telepon.
Mereka kembali asyik bermain game online sambil mengobrol.
“Huu .... berhasil!” teriak Delana. “Sembilan kill!” Delana
melonjak kegirangan.
“Ayo, main lagi!” ajak Delana lagi.
“Udah, Del. Aku mau tidur.”
Delana melirik jam dinding yang ada di kamarnya yang sudah
menunjukkan jam dua belas malam. Besok mereka harus kuliah pagi dan mereka
memutuskan untuk mengakhiri permainan.
***
Delana sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat Chilton
tiba-tiba melakukan panggilan video.
“Halo ... kenapa?” tanya Delana begitu ia menjawab
panggilan video dari Chilton.
“Nggak papa. Aku mau invite kamu nge-game. Udah siap?”
tanya Chilton.
“Mmh ... aku masih ngerjain tugas kuliah.” Delana
menunjukkan buku-buku di hadapannya.
“Oh. Ya udah, kerjain aja dulu tugas kuliahmu. Kalau udah
nggak sibuk, chat aku ya!” pinta Chilton.
Delana tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Oke. Aku main sama yang lain dulu, ya? Bye ...!” Chilton
melambaikan tangan dan langsung mematikan sambungan Video Call.
Delana menghela napas lega. Untungnya Chilton menelepon
saat ia sedang belajar. Jadi, dia punya alasan tepat untuk menunda bergabung
bermain game bersama Chilton. Ia masih harus berlatih beberapa kali lagi sampai
ia bisa jadi pemain yang bisa diandalkan teman-temannya. Ia tak ingin
mengecewakan Chilton karena noob terus.
Sementara itu, Chilton sedikit kecewa karena Delana tak
kunjung bergabung ke dalam timnya. Alasannya masih banyak tugas kuliah dan ia
bisa memahaminya.
“Kenapa?” tanya Attala, teman baik Chilton yang sering
menemaninya bermain game bersama di kamar Chilton.
“Nggak papa.”
“Kamu ngajak nge-game siapa sih? Lemes amat? Kayak abis
ditolak cintanya aja,” celetuk Atalla.
“Ngaramput!” Chilton melempar Atalla dengan snack yang ada
di tangannya.
“Oh ... aku tahu. Cewek yang sering ketemu sama kamu di
taman itu ya?” goda Atalla.
Chilton tersenyum menaanggapi pertanyaan Atalla. Ia tidak
bisa memungkiri juga tak bisa mengiyakan begitu saja.
“Hmm ... dia cantik, baik, ceria, ramah dan kelihatannya
penyayang,” tutur Atalla.
“Sok tahu!”
“Yah, emang aku belum kenal dia langsung. Tapi, semua orang
udah tahu tentang dia karena selama ini cuma dia aja cewek yang deket sama
kamu. Jelas aja kalian berdua jadi bahan pembicaraan di mana-mana.”
“Cowok nggak usah ikutan gosip!” Chilton kembali melempar
makanan ke arah Atalla yang bertubuh gembul itu.
Atalla tergelak. “Aku nggak ikutan. Cuma denger-denger
aja.”
“Sama aja!”
“Apa yang kamu suka dari dia?” tanya Attala.
“Hmm ... awalnya, aku suka masakannya dia. Aku bisa nolak
perasaan cewek. Tapi, kalo makanan enak ... sulit buat ditolak.”
“Serius? Masakannya enak? Aku dicipratin sekali-sekali
napa?”
“Ya. Entar aku cipratin pake air kobokan!”
“Tega banget sama temen.”
“Dia kalo bawain sarapan cuma satu porsi. Udah gitu
masakannya enak banget. Itu aja aku masih kurang. Gimana mau bagi ke kamu?
Mending aku makan sendiri,” tutur Chilton.
Attala menelan ludah membayangkan makanan yang diceritakan
oleh Chilton. Ia hanya bisa membayangkan saja. Tidak bisa benar-benar menikmati
rasanya.
“Ayo, main lagi!” ajak Chilton.
“Ayo.” Attala menanggapi.
Mereka kembali asyik bermain game bersama.
***
“Chilton ...!” Beberapa mahasiswi berteriak dan
mengerubungi Chilton saat ia melintas. Ia merasa kurang nyaman dengan mahasiswi
yang kerap kali bergelayut tanpa izin di lengannya. Ia menyingkirkan satu per
satu dengan sopan.
Dari kejauhan, Chilton melihat Delana yang sedang berdiri
di depan papan informasi seorang diri. Dari sekian banyak cewek yang heboh saat
ia keluar kelas, cuma Delana yang terlihat bersikap biasa saja.
Chilton melangkahkan kaki mendekati Delana. Membuat
cewek-cewek kampus yang mendekatinya gigit jari dan kesal karena Chilton lebih
memilih Delana ketimbang mereka yang sudah berdandan habis-habisan untuk bisa
menarik perhatian Chilton.
“Del, masih banyak tugas?” tanya Chilton saat ia sudah
berdiri di samping Delana.
“Eh!? Kenapa?” tanya Delana sambil menoleh ke arah Chilton.
“Mabar,” bisik Chilton di telinga Delana. Ia tak peduli
dengan beberapa pasang mata yang menatap kedekatan mereka.
“Aargh ...!” teriak cewek-cewek kampus karena mereka
melihat Chilton seolah ingin mencium pipi Delana.
“Oh, No!” teriak yang lainnya.
Seketika suasana menjadi riuh. Delana langsung memutar
kepalanya menghadap ke belakang, mencari tahu kenapa tiba-tiba mahasiswi di
belakangnya berteriak-teriak tak karuan.
Chilton membalikkan tubuh Delana kembali dan merangkulnya.
Ia mengajak Delana berjalan menyusuri koridor menuju ke taman, tempat mereka
biasa bertemu.
“Mereka kenapa?” tanya Delana masih bingung.
“Udah, nggak usah dipikirin!” Chilton sudah hafal kelakuan
cewek-cewek di kampusnya. Dia merasa terganggu dengan teriakan-teriakan centil
itu. Hanya bersama Delana, ia merasa tenang dan aman dari godaan cewek-cewek di
kampusnya.
“Kamu masih banyak tugas?” tanya Chilton sambil
berjalan-jalan santai di sekitar taman.
“Hmm, nggak sih. Udah kelar. Tadi, udah aku kasih ke
dosen.”
“Good! Kalo gitu entar malem udah siap mabar?” tanya
Chilton.
Delana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jam berapa?” tanya
Delana.
“Kamu bisanya jam berapa?”
“Mmh ... ntar malam, malam minggu ya?” Delana merapatkan
bibirnya sembari menatap ke langit.
“Iya. Kamu sudah ada jadwal kencan?” tanya Chilton sambil
melirik Delana. Ia memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya.
“Apaan sih!? Kencan sama siapa?” tanya Delana balik.
“Yah ... sama siapa aja.”
“Hmm ... iya, sih. Biasanya, ayah ngajak aku kencan.”
Chilton mengernyitkan dahinya. “Emangnya kalau ayah sama
anak makan malam bareng, itu bisa dibilang kencan?”
“Mmh ... Maybe,” sahut Delana sambil tertawa kecil.
Chilton ikut tertawa.
“Kamu chat aku kalau sudah ada waktu ya!” pinta Chilton.
“Emang kamu nggak jalan? Malam mingguan?” tanya Delana.
“Enggak.”
“Bagus, deh!”
“Apanya yang bagus?” tanya Chilton.
“Ya bagus kalo di rumah aja. Aku nggak perlu khawatir kamu
ngilang atau diculik.”
“Siapa yang mau nyulik aku?” tanya Chilton.
“Siapa? Banyak kali fans-fans fanatik kamu itu.”
“Iiiii....” Chilton mengedikkan bahunya.
Delana tergelak. Ia tahu, kemanapun Chilton pergi akan
selalu menjadi sebutir gula yang diperebutkan semut-semut cantik. “Susah sih,
kalau artis mah gitu!” celetuk Delana.
“Artis apaan!?”
“Artis ... tik,” jawab Delana ngasal.
Chilton mengernyitkan dahinya. “Artistik?”
“Iya. Kamu itu artistik. Makanya selalu jadi pusat
perhatian banyak orang.”
“Tahu dari mana?”
“Lihat aja tuh!” Delana menunjuk beberapa cewek yang sedang
menatap kebersamaan mereka.
Chilton menoleh ke arah yang ditunjuk Delana. Cewek-cewek
itu langsung berpura-pura mengobrol membelakangi mereka.
“Saat kita ngobrol kayak gini. Banyak banget cewek-cewek
yang perhatiin kita. Aku sebenarnya kurang nyaman. Apalagi omongan mereka tuh
kadang nyelekit banget. Tapi, makin ke sini aku makin nggak peduli sama
omongannya mereka,” tutur Delana.
“Oh ya? Emang mereka ngomongin kamu apa?” tanya Chilton
menghentikan langkahnya.
Duh, Delana keceplosan! Tidak seharusnya ia mengatakan pada
Chilton kalau hari-harinya cukup bermasalah saat mereka sering bertemu dan
mengobrol.
“Mereka ngomong apa?” tanya Chilton sekali lagi.
“Eh!? Nggak ngomong apa-apa. Udah, lupain aja!” Delana
tertawa untuk menunjukkan pada Chilton bahwa ia baik-baik saja.
“Oke. Ntar malam aku tunggu ya!”
“Tunggu apa?”
“Mabar.” Chilton melirik jam yang ada di tangannya. “Aku
balik ke kelas dulu!” ucapnya dan langsung berlari kembali ke kelasnya agar tak
dicegat oleh cewek-cewek agresif yang tak sungkan menarik dan bergelayut manja
di lengannya.
Delana tertawa kecil sembari menatap punggung Chilton yang
mulai menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia tahu, ia tak bisa melakukan apa
pun untuk bisa membuat Chilton terkesan kepadanya selain hati yang ia bingkai
indah untuk cowok itu. Ia rela melakukan apa saja demi Chilton. Ia rela bangun
lebih pagi untuk membawakan bekal sarapan. Ia rela tidur larut malam agar bisa
tetap menemani cowok itu melalui malam-malamnya.
“Aku tahu, bikin kamu jatuh cinta sama aku itu nggak mudah.
Tapi, aku bakal berusaha terus sampai kamu bisa suka sama aku,” ucap Delana
lirih. “Kata orang, kalau jodoh nggak bakal ke mana.” Delana terduduk lesu di
kursi taman. “Tapi, ngejar jodohnya sampe ke mana-mana.” Delana menertawakan
dirinya sendiri.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment