“Prof,
apa yang sebenarnya terjadi dengan ingatan ayah mertua saya?” tanya Yeriko
sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerja profesor tersebut.
“Duduk
dulu!” pinta Profesor Santoso sembari menarik kursi untuk Yeriko.
Yeriko
langsung duduk di kursi yang sudah diberikan oleh profesor tersebut.
“Kondisi
Pak Adjie cukup baik. Dia hanya kehilangan sebagian ingatannya. Semoga bisa
pulih dengan cepat. Semua anggota tubuhnya memberikan respon dengan baik. Kami
akan pastikan terlebih dahulu kalau beliau bisa berjalan dengan normal dalam
dua hari ini. Hanya saja ...” Profesor Santoso menghentikan ucapannya.
“Kenapa,
Prof?” tanya Yeriko penasaran.
“Efek
dari kecelakaan sebelas tahun lalu, mengakibatkan penggumpalan darah di otak
Pak Adjie. Kami tidak bisa melakukan kraniotomi karena letaknya sangat
membahayakan dan resikonya terlalu tinggi.”
“Tumor?
Apa itu membahayakan nyawa beliau?” tanya Yeriko.
“Tumor
ini tidak ganas. Hanya saja, kita memang tidak bisa menganggap remeh
keberadaannya. Tentunya, sangat membahayakan hidup beliau jika tumor yang ada
di kepalanya terus berkembang. Mengeluarkan tumor itu, juga sangat
membahayakan. Kami hanya bisa mengharapkan keajaiban. Semoga, tumor Pak Adjie
bisa sembuh.”
Yeriko
terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sudah mencoba melakukan
yang terbaik untuk ayah mertuanya. Tetap saja, nyawa ayah mertuanya berada
dalam bahaya.
“Kami
akan melakukan terapi intensif minggu ini agar Pak Adjie bisa berjalan normal
seperti biasanya.”
Yeriko
mengangguk. “Terima kasih untuk kerja keras profesor selama ini.”
“Nggak
perlu sungkan, sudah kewajiban kami sebagai dokter seperti ini.”
Yeriko
mengangguk lagi. “Oh ya, soal zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh beliau.
Apakah ada efek yang bisa membahayakan?”
“Di
dalam tubuh beliau, kami temukan Clostridium Botulinum dalam dosis sedang. Kami
tidak tahu dari mana zat itu berasal. Botulinum adalah zat yang sangat
berbahaya bagi tubuh. Zat inilah yang mengacaukan sel saraf dan sel otot dalam
tubuh Pak Adjie. Selama perawatan, Pak Adjie sudah mengalami kesadaran beberapa
kali, kemudian lumpuh dan koma kembali. Kemungkinan, ada orang yang sengaja
membuatnya terus lumpuh selama sebelas tahun ini.”
“Apa
keamanan di rumah sakit ini masih kurang? Bukannya, saya juga sudah siapkan
beberapa penjaga untuk menjaga Pak Adjie?”
Profesor
Santoso menganggukkan kepala. “Kita memang sudah melakukannya semaksimal
mungkin. Tapi, ada beberapa celah yang bisa saja dimasuki. Setiap hal itu
terjadi, kondisi CCTV dalam keadaan mati. Artinya, pelaku memang sudah
merencanakan ini sebelumnya.”
“Apa
yang terjadi di rumah sakit sebelumnya, Pak Adjie juga seperti ini?” tanya
Yeriko.
“Kemungkinan
besar iya.”
Yeriko
menghela napas. Ia mulai berpikir tentang keadaan ayah Yuna. Jika memang
kecelakaan sebelas tahun lalu adalah pembunuhan berencana, pastinya pembunuh
itu masih berkeliaran dan tidak menginginkan Adjie mengungkap kebenarannya.
“Terima
kasih atas informasinya, Dok.”
Profesor
Santoso menganggukkan kepala.
Yeriko
tersenyum. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. “Saya permisi dulu!”
pamitnya. Ia bergegas pergi dan kembali ke ruang perawatan ayah Yuna.
“Ayah
lagi tidur,” tutur Yuna sambil menghampiri Yeriko yang baru saja masuk.
“Kalo
gitu, kita keluar cari makan dulu. Biarkan ayah kamu istirahat. Kasihan anak
Ayah belum makan,” tutur Yeriko sambil mengelus perut Yuna.
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Mereka
bergegas pergi menuju salah satu restoran yang terdekat dengan rumah sakit.
“Ada
sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu,” tutur Yeriko saat mereka sudah duduk
bersama di meja makan.
“Oh
ya, apa itu?” tanya Yuna sambil membuka menu makanan yang sudah disiapkan di
atas meja.
“Kamu
pesen makan dulu!” pinta Yeriko.
Yuna
mengangguk. Ia memanggil salah seorang pelayan dan memesan beberapa makanan.
“Mau
ngomong apa?” tanya Yuna usai memesan makanan untuk mereka.
“Tadi
aku ngobrol sama Profesor Santoso soal kondisi kesehatan ayah kamu.”
“Oh
ya? Terus? Dokter itu bilang apa?” tanya Yuna antusias.
Yeriko
tersenyum. “Kondisi ayah kamu baik-baik aja. Semoga, bisa pulang dalam minggu
ini.”
“Serius!?”
seru Yuna. Ia langsung mengedarkan pandangannya karena beberapa orang yang ada
di restoran itu menoleh ke arahnya. “Serius?” tanya Yuna menurunkan nada
suaranya.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Soal ingatan ayah kamu, masih bisa kembali secara
perlahan-lahan. Yang terpenting adalah, ayah kamu bisa berjalan dengan normal
dan menjalani kehidupan seperti biasanya.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Mmh
... di dalam kepala beliau, ada sel tumor yang bisa membahayakan beliau kapan
saja. Jadi, jangan paksa beliau untuk mengembalikan ingatannya!” pinta Yeriko.
Yuna
mengangguk lagi. “Asalkan dia masih ingat sama aku, aku akan menjalani
kehidupan ke depannya dengan baik. Nggak perlu mengungkit masa lalu kami.”
Yeriko
tersenyum. Ia merasa kalau Adjie kehilangan ingatannya karena ia masih belum
bisa menerima apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu. Sebab, ayahnya masih
sangat mengingat Yuna. Namun, tidak bisa mengingat orang lain lagi selain
anaknya yang masih dianggapnya berusia tiga belas tahun.
“Makasih
ya, kamu udah ngelakuin banyak buat aku dan ayah,” tutur Yuna dengan mata
berkaca-kaca.
“Sekarang,
aku ini suami kamu. Nggak perlu ngucapin banyak terima kasih.”
“Terus,
apa yang harus aku lakuin supaya bisa membalas ini semua?”
“Kamu
nggak perlu ngelakuin apa-apa. Cukup jadi kucing kecil yang penurut!” tutur
Yeriko sambil mengacak ujung kepala Yuna.
Yuna
tertawa kecil. “Cuma itu?”
Yeriko
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Oh
ya, soal kelas perawatan bayi. Apa kamu bisa ikut?” tanya Yuna.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Aku udah suruh Riyan atur ulang jadwalku. Aku temenin
kamu ikut kelas setiap hari Sabtu.”
“Serius?”
tanya Yuna dengan mata berbinar. “Aku nggak nyangka kalau Yeriko bakal
ngeluangin waktu buat aku,” batinnya sambil tersenyum manis.
“Kenapa?
Kamu mikir kalau aku nggak bakal temenin kamu ikut kelas itu?”
Yuna
tersenyum mendengar pertanyaan Yeriko. “Kamu sibuk ngurus perusahaan. Aku juga
nggak boleh egois kan?”
“Kalian
sama pentingnya dengan perusahaan. Nggak mungkin aku mengabaikan kalian begitu
aja.”
Yuna
tersenyum. Ia menatap pelayan yang sedang menghidangkan makanan pesanannya.
Ponsel
Yuna berdering. Ia langsung merogoh ponsel yang ada di tasnya.
“Siapa?”
tanya Yeriko.
“Mama,”
jawab Yuna tanpa suara. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari mama
mertuanya.
“Halo
...!” sapa Yuna.
“Halo
...! Anak Mama udah lupa sama mamanya gara-gara kelamaan liburan di Italia?
Pulang bulan madu, nggak ngabarin Mama sama sekali,” sahut Mama Rullyta.
“Mmh
...” Yuna melirik ke arah Yeriko. “Maaf, Ma. Waktu pulang, kami dapat kabar
soal ayah di rumah sakit. Jadi, kami sibuk ngurus ayah. Sampai lupa sama Mama.”
“Hah!?
Kalian tega lupain Mama? Mau bikin Mama menyesal sudah ngasih kalian tiket ke
Italia?”
“Ma,
nggak gitu. Hari ini, kami ke rumah Mama. Kebetulan, Ayah sudah sadar. Kami
bisa ke rumah Mama sekarang juga.”
“Apa?
Ayah kamu sudah sadar?”
“Iya.”
“Kalo
gitu, biar Mama yang ke sana.”
“Nggak
usah, Ma. Biar kami yang ke rumah Mama. Lagipula, ayah masih belum bisa diajak
banyak bicara.”
“Owh,”
sahut Rullyta dengan nada kecewa.
Yuna
tersenyum. “Kami ke rumah Mama sekarang. Mama di rumah, kan?”
“Iya,
Mama di rumah.”
“Oke.
Tunggu kami ya! I love you Mama Cantik. Emmuach!”
Terdengar
suara tawa Rullyta dari ujung telepon. “Oke, Mama tunggu.”
“He-em.
Aku tutup teleponnya ya. Bye, Mama!” seru Yuna.
“Bye!”
Rullyta langsung mematikan panggilan teleponnya.
Yuna
tersenyum sambil menatap Yeriko. “Abis makan, kita ke rumah Mama. Kalo nggak,
dia bisa ngomel sampai ke Selat Malaka.”
Yeriko
terkekeh mendengar ucapan Yuna. “Oke. Habisin dulu makannya!”
Yuna
mengangguk. Ia segera melahap makanan yang ada di depannya. Ia tidak ingin
membuat mama mertuanya menunggu lama dan mengomelinya panjang lebar.
((
Bersambung ...))
Dukung
terus cerita ini biar aku makin semangat nulis cerita yang lebih seru lagi.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment