Thursday, August 14, 2025

Perfect Hero Bab 300 : Kondisi Ayah Mertua

 


“Prof, apa yang sebenarnya terjadi dengan ingatan ayah mertua saya?” tanya Yeriko sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerja profesor tersebut.

“Duduk dulu!” pinta Profesor Santoso sembari menarik kursi untuk Yeriko.

Yeriko langsung duduk di kursi yang sudah diberikan oleh profesor tersebut.

“Kondisi Pak Adjie cukup baik. Dia hanya kehilangan sebagian ingatannya. Semoga bisa pulih dengan cepat. Semua anggota tubuhnya memberikan respon dengan baik. Kami akan pastikan terlebih dahulu kalau beliau bisa berjalan dengan normal dalam dua hari ini. Hanya saja ...” Profesor Santoso menghentikan ucapannya.

“Kenapa, Prof?” tanya Yeriko penasaran.

“Efek dari kecelakaan sebelas tahun lalu, mengakibatkan penggumpalan darah di otak Pak Adjie. Kami tidak bisa melakukan kraniotomi karena letaknya sangat membahayakan dan resikonya terlalu tinggi.”

“Tumor? Apa itu membahayakan nyawa beliau?” tanya Yeriko.

“Tumor ini tidak ganas. Hanya saja, kita memang tidak bisa menganggap remeh keberadaannya. Tentunya, sangat membahayakan hidup beliau jika tumor yang ada di kepalanya terus berkembang. Mengeluarkan tumor itu, juga sangat membahayakan. Kami hanya bisa mengharapkan keajaiban. Semoga, tumor Pak Adjie bisa sembuh.”

Yeriko terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sudah mencoba melakukan yang terbaik untuk ayah mertuanya. Tetap saja, nyawa ayah mertuanya berada dalam bahaya.

“Kami akan melakukan terapi intensif minggu ini agar Pak Adjie bisa berjalan normal seperti biasanya.”

Yeriko mengangguk. “Terima kasih untuk kerja keras profesor selama ini.”

“Nggak perlu sungkan, sudah kewajiban kami sebagai dokter seperti ini.”

Yeriko mengangguk lagi. “Oh ya, soal zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh beliau. Apakah ada efek yang bisa membahayakan?”

“Di dalam tubuh beliau, kami temukan Clostridium Botulinum dalam dosis sedang. Kami tidak tahu dari mana zat itu berasal. Botulinum adalah zat yang sangat berbahaya bagi tubuh. Zat inilah yang mengacaukan sel saraf dan sel otot dalam tubuh Pak Adjie. Selama perawatan, Pak Adjie sudah mengalami kesadaran beberapa kali, kemudian lumpuh dan koma kembali. Kemungkinan, ada orang yang sengaja membuatnya terus lumpuh selama sebelas tahun ini.”

“Apa keamanan di rumah sakit ini masih kurang? Bukannya, saya juga sudah siapkan beberapa penjaga untuk menjaga Pak Adjie?”

Profesor Santoso menganggukkan kepala. “Kita memang sudah melakukannya semaksimal mungkin. Tapi, ada beberapa celah yang bisa saja dimasuki. Setiap hal itu terjadi, kondisi CCTV dalam keadaan mati. Artinya, pelaku memang sudah merencanakan ini sebelumnya.”

“Apa yang terjadi di rumah sakit sebelumnya, Pak Adjie juga seperti ini?” tanya Yeriko.

“Kemungkinan besar iya.”

Yeriko menghela napas. Ia mulai berpikir tentang keadaan ayah Yuna. Jika memang kecelakaan sebelas tahun lalu adalah pembunuhan berencana, pastinya pembunuh itu masih berkeliaran dan tidak menginginkan Adjie mengungkap kebenarannya.

“Terima kasih atas informasinya, Dok.”

Profesor Santoso menganggukkan kepala.

Yeriko tersenyum. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. “Saya permisi dulu!” pamitnya. Ia bergegas pergi dan kembali ke ruang perawatan ayah Yuna.

“Ayah lagi tidur,” tutur Yuna sambil menghampiri Yeriko yang baru saja masuk.

“Kalo gitu, kita keluar cari makan dulu. Biarkan ayah kamu istirahat. Kasihan anak Ayah belum makan,” tutur Yeriko sambil mengelus perut Yuna.

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Mereka bergegas pergi menuju salah satu restoran yang terdekat dengan rumah sakit.

“Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu,” tutur Yeriko saat mereka sudah duduk bersama di meja makan.

“Oh ya, apa itu?” tanya Yuna sambil membuka menu makanan yang sudah disiapkan di atas meja.

“Kamu pesen makan dulu!” pinta Yeriko.

Yuna mengangguk. Ia memanggil salah seorang pelayan dan memesan beberapa makanan.

“Mau ngomong apa?” tanya Yuna usai memesan makanan untuk mereka.

“Tadi aku ngobrol sama Profesor Santoso soal kondisi kesehatan ayah kamu.”

“Oh ya? Terus? Dokter itu bilang apa?” tanya Yuna antusias.

Yeriko tersenyum. “Kondisi ayah kamu baik-baik aja. Semoga, bisa pulang dalam minggu ini.”

“Serius!?” seru Yuna. Ia langsung mengedarkan pandangannya karena beberapa orang yang ada di restoran itu menoleh ke arahnya. “Serius?” tanya Yuna menurunkan nada suaranya.

Yeriko menganggukkan kepala. “Soal ingatan ayah kamu, masih bisa kembali secara perlahan-lahan. Yang terpenting adalah, ayah kamu bisa berjalan dengan normal dan menjalani kehidupan seperti biasanya.”

Yuna menganggukkan kepala.

“Mmh ... di dalam kepala beliau, ada sel tumor yang bisa membahayakan beliau kapan saja. Jadi, jangan paksa beliau untuk mengembalikan ingatannya!” pinta Yeriko.

Yuna mengangguk lagi. “Asalkan dia masih ingat sama aku, aku akan menjalani kehidupan ke depannya dengan baik. Nggak perlu mengungkit masa lalu kami.”

Yeriko tersenyum. Ia merasa kalau Adjie kehilangan ingatannya karena ia masih belum bisa menerima apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu. Sebab, ayahnya masih sangat mengingat Yuna. Namun, tidak bisa mengingat orang lain lagi selain anaknya yang masih dianggapnya berusia tiga belas tahun.

“Makasih ya, kamu udah ngelakuin banyak buat aku dan ayah,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.

“Sekarang, aku ini suami kamu. Nggak perlu ngucapin banyak terima kasih.”

“Terus, apa yang harus aku lakuin supaya bisa membalas ini semua?”

“Kamu nggak perlu ngelakuin apa-apa. Cukup jadi kucing kecil yang penurut!” tutur Yeriko sambil mengacak ujung kepala Yuna.

Yuna tertawa kecil. “Cuma itu?”

Yeriko menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Oh ya, soal kelas perawatan bayi. Apa kamu bisa ikut?” tanya Yuna.

Yeriko menganggukkan kepala. “Aku udah suruh Riyan atur ulang jadwalku. Aku temenin kamu ikut kelas setiap hari Sabtu.”

“Serius?” tanya Yuna dengan mata berbinar. “Aku nggak nyangka kalau Yeriko bakal ngeluangin waktu buat aku,” batinnya sambil tersenyum manis.

“Kenapa? Kamu mikir kalau aku nggak bakal temenin kamu ikut kelas itu?”

Yuna tersenyum mendengar pertanyaan Yeriko. “Kamu sibuk ngurus perusahaan. Aku juga nggak boleh egois kan?”

“Kalian sama pentingnya dengan perusahaan. Nggak mungkin aku mengabaikan kalian begitu aja.”

Yuna tersenyum. Ia menatap pelayan yang sedang menghidangkan makanan pesanannya.

Ponsel Yuna berdering. Ia langsung merogoh ponsel yang ada di tasnya.

“Siapa?” tanya Yeriko.

“Mama,” jawab Yuna tanpa suara. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari mama mertuanya.

“Halo ...!” sapa Yuna.

“Halo ...! Anak Mama udah lupa sama mamanya gara-gara kelamaan liburan di Italia? Pulang bulan madu, nggak ngabarin Mama sama sekali,” sahut Mama Rullyta.

“Mmh ...” Yuna melirik ke arah Yeriko. “Maaf, Ma. Waktu pulang, kami dapat kabar soal ayah di rumah sakit. Jadi, kami sibuk ngurus ayah. Sampai lupa sama Mama.”

“Hah!? Kalian tega lupain Mama? Mau bikin Mama menyesal sudah ngasih kalian tiket ke Italia?”

“Ma, nggak gitu. Hari ini, kami ke rumah Mama. Kebetulan, Ayah sudah sadar. Kami bisa ke rumah Mama sekarang juga.”

“Apa? Ayah kamu sudah sadar?”

“Iya.”

“Kalo gitu, biar Mama yang ke sana.”

“Nggak usah, Ma. Biar kami yang ke rumah Mama. Lagipula, ayah masih belum bisa diajak banyak bicara.”

“Owh,” sahut Rullyta dengan nada kecewa.

Yuna tersenyum. “Kami ke rumah Mama sekarang. Mama di rumah, kan?”

“Iya, Mama di rumah.”

“Oke. Tunggu kami ya! I love you Mama Cantik. Emmuach!”

Terdengar suara tawa Rullyta dari ujung telepon. “Oke, Mama tunggu.”

“He-em. Aku tutup teleponnya ya. Bye, Mama!” seru Yuna.

“Bye!” Rullyta langsung mematikan panggilan teleponnya.

Yuna tersenyum sambil menatap Yeriko. “Abis makan, kita ke rumah Mama. Kalo nggak, dia bisa ngomel sampai ke Selat Malaka.”

Yeriko terkekeh mendengar ucapan Yuna. “Oke. Habisin dulu makannya!”

Yuna mengangguk. Ia segera melahap makanan yang ada di depannya. Ia tidak ingin membuat mama mertuanya menunggu lama dan mengomelinya panjang lebar.

 

 

 

(( Bersambung ...))

 

Dukung terus cerita ini biar aku makin semangat nulis cerita yang lebih seru lagi.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas