Tuesday, August 19, 2025

THEN LOVE BAB 15 : TAK INGIN BERPISAH

 BAB 15 - Tak Ingin Berpisah



Pagi ini Delana dibuat tergesa-gesa berangkat ke kampus karena ia bangun kesiangan. Ia bahkan tak sempat membuatkan sarapan pagi untuk ayah dan adiknya. Ia kelelahan setelah kembali dari Pulau Derawan.

Delana langsung berlari secepatnya menuju kampus. Ia melewati taman tempat biasa dia dan Chilton bertemu. Ia tahu Chilton ada di sana, tapi ia tak punya banyak waktu untuk menyapa. Ia langsung masuk ke kelas karena dosen yang mengajar juga sudah berada di dalam kelas.

“Pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” tutur Delana begitu ia memasuki kelasnya.

Dosen yang mengajar langsung melirik jam yang ada di tangannya. “Jam berapa ini?”

“Jam delapan lewat lima belas, Pak.”

“Kenapa terlambat?”

“Bangun kesiangan,” jawab Delana lirih.

“Cewek, jam segini baru bangun,” celetuk dosen tersebut.

“Huu ....!” Terdengar teriakan riuh di dalam kelas saat mereka mendengar celetukan dosen. Beberapa cewek di kelasnya sengaja nyinyir dan membully Delana.

“Ya sudah, duduk!” pinta dosen.

Delana tersenyum kecut sembari melangkahkan kaki menuju kursinya. Ia bisa mendengar suara beberapa cewek kelas yang sengaja mengejeknya. Delana hanya menghela napas dalam-dalam sambil tersenyum agar perasaannya tetap baik-baik saja. Ia sudah terbiasa mendengar komentar pedas dari cewek-cewek di kampusnya. Terlebih lagi soal kedekatannya dengan Chilton.

Menjadi satu-satunya cewek yang berhasil mendekati Chilton, cowok paling keren dan populer di kampusnya. Tentunya ia menjadi satu-satunya sasaran kekesalan cewek-cewek yang tidak berhasil mendekati Chilton.

Delana tak ingin terlalu memikirkan hal itu. Ia tetap bersikap santai dan tidak pernah menanggapi celetukan-celetukan pedas tentangnya.

Sementara itu, Chilton menunggu Delana di taman kampus. Ia mengetahui kalau Delana sudah kembali dari liburannya dan seharusnya ia sudah masuk hari ini.

Beberapa menit menunggu, Delana tak kunjung datang. Ia mulai gelisah karena cewek itu mulai membuatnya tak tenang.

Chilton mencoba menelepon Delana, tapi tak kunjung mendapat jawaban.

“Sorry, aku nggak bisa angkat telepon kamu, chat aja! Aku gak sempat mampir ke taman karena aku telat berangkat ke kampus.” Delana mengirim pesan singkat untuk Chilton.

Chilton mendesah. Ia menyimpan kembali ponsel ke saku kemejanya dan bergegas menuju kelasnya yang ada di lantai dua.

Setelah mata kuliah selesai, Chilton menunggu Delana di depan kelasnya. Ia menyandarkan punggungnya di dinding. Saat Delana dan teman-temannya keluar dari dalam kelas, Chilton langsung menarik lengan Delana agar merapat ke tubuhnya.

“Chilton?” Delana terkejut karena Chilton menarik tubuhnya dengan tiba-tiba. Ia menoleh ke sekitar karena beberapa teman sekelasnya banyak yang menatap mereka berdua.

Chilton meringis. “Yang baru pulang dari liburan, mana oleh-olehnya?”

Delana tersenyum. “Oleh-olehnya capek.”

Chilton tertawa kecil. “Pergi liburan nggak ajak-ajak. Pulangnya nggak dibawain oleh-oleh pula.”

Delana menggigit bibirnya. “Maaf, aku nggak sempet cari oleh-oleh. Ayah juga ngajaknya mendadak banget.”

Chilton tersenyum. “Iya, nggak papa. Jam istirahat tadi ke mana?” tanya Chilton.

“Kamu nyari aku?” tanya Delana balik.

“Ck, kalo aku tanya, artinya aku tadi nyari kamu,” tutur Chilton sedikit kesal.

“Oh ... aku ke ruangan rektor tadi.”

“Ngapain?” tanya Chilton.

“Dipanggil.”

“Oh ... sore ini ada jadwal ngajar kan?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala.

“Mau bareng?”

“Nggak usah. Ntar aku berangkat sendiri aja.”

“Kenapa?”

“Nggak papa. Aku juga  udah izin telat karena ada urusan.”

“Oh.”

“Ya udah, aku balik dulu ya!” pamit Delana sembari melangkahkan kaki meninggalkan Chilton yang masih terpaku seorang diri.

Chilton mulai tak mengerti dengan dirinya sendiri. Entah kenapa ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak bertemu dengan gadis itu. Tanpa ia sadari, ia merasa rindu dengan kehadiran Delana dalam hari-harinya. Harinya terasa kosong saat Delana tak bersamanya.

 

***

Chilton menunggu Delana di pos security sepulang mengajar. Karena Delana izin satu jam, jadi dia harus mengganti jam izinnya. Ia lebih nyaman menunggu di pos security ketimbang menunggu di dalam bersama guru lain yang kerap menggodanya.

Waktu menunjukkan pukul 19.00 WITA, Delana masih belum keluar juga dari kelasnya. Padahal, murid-murid Delana sudah berhambur keluar dari gedung dan pulang ke rumahnya satu per satu.

“Dela kok lama banget, ya?” gumam Chilton. Ia kemudian memilih untuk masuk lagi ke dalam dan memeriksa keberadaan Delana.

Chilton membuka perlahan pintu ruang kelas tempat Delana mengajar. Ia mendapati ruangan Delana sudah sepi. Hanya Delana yang masih duduk di mejanya sembari mencari sesuatu dari dalam tasnya.

“Kamu masih di sini? Nggak pulang?” tanya Chilton sambil memasuki kelas Delana.

“Pulang, dong. Aku masih cari kunci motorku.” Delana terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Ia mulai tak sabar, ia membalik posisi tas dan membuat semua isinya berjatuhan ke atas meja.

“Kamu taruh di mana?” tanya Chilton.

“Di tas deh kayaknya.” Delana sampai mencari ke bawah meja dan kursi tapi tak juga mendapati kunci motornya.

Chilton akhirnya membantu mencari kunci motor Delana di semua sudut ruangan. Di bawah meja dan kursi murid, di bawah lemari, di lantai-lantai yang kosong. Tapi, mereka tetap tak mendapatkan kunci motor yang mereka cari.

“Coba diingat-ingat lagi, kamu taruh di mana?” tutur Chilton tetap bersikap tenang.

“Iih ... aku dateng langsung masuk kelas. Nggak bisa pulang kalo kunciku nggak ketemu,” rengek Delana. Ia menjatuhkan kepalanya di atas meja dan hampir menangis.

“Nggak ketinggalan di motor?” tanya Chilton.

“Oh, iya ya?” Delana langsung membereskan barang-barang yang terhambur di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. “Mudahan aja masih ada di motornya.”

“Makanya, kalo naruh barang penting jangan teledor!”

Delana meringis. “Aku buru-buru tadi. Nggak enak sama anak muridku kalo kelamaan.”

“Lagian, kamu ada urusan apa sih tadi?”

“Ada, deh. Urusan cewek!” sahut Delana sambil tersenyum.

“Andalan.”

“Eh!?”

“Kalo ditanya, jawabnya urusan cewek terus.”

“Lah? Cowok juga gitu, kan?”

“Iya. Tapi, nggak kayak kamu.”

“Ya beda lah. Masa aku disamain sama cowok.”

Chilton tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. Mereka bergegas keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran.

“Loh? Motor aku mana?” tanya Delana ketika sampai di parkiran. Ia hanya mendapati dua motor yang ada di parkiran. Yakni, motor Chilton dan motor security.

“Kamu yakin ke sini bawa motor? Nggak naik angkot?” tanya Chilton.

“Yakin, lah! Masa aku lupa sama motorku sendiri,” gerutu Delana. Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju pos security.

“Bisa aja kamu ke sini naik taksi.”

“Chil, aku tuh nggak pikun-pikun banget!”

“Ya, siapa tau aja kamu lupa kalo kamu ke sini naik taksi atau angkot. Berasa bawa motor sendiri gitu.”

“Nggak usah kebanyakan becanda, deh!”

“Pak, lihat motor saya nggak?” tanya Delana pada security yang menjaga.

“Motor yang mana?” Satpam itu balik bertanya.

“Motor Scoopy warna biru putih.”

“Waktu saya sampe sini, cuma ada motor satu aja di parkiran. Motor Ninja merah itu aja.”

Delana dan Chilton saling pandang.

“Yang jaga tadi siang bukan bapak ini,” tutur Chilton.

“Iya, Mas. Baru aja ganti shift.”

“Aku nunggu kamu di pos dari tadi. Pas masuk lagi nyari kamu, kayaknya motor kamu masih ada di parkiran. Tapi, nggak aku perhatiin juga ada kuncinya atau enggak,” tutur Chilton sambil menatap Delana.

“Waktu ganti shift, security yang jaga tadi siang masih ada?” tanya Delana pada satpam yang menjaga.

“Udah nggak ada, Mbak. Karena tadi di jalan ban motor saya bocor. Jadi, agak telat nyampenya.”

“Aduh, gimana dong? Motor aku ke mana?” Delana berlutut ke lantai.

“Di sini ada cctv atau nggak sih, Pak?” tanya Chilton.

“Belum ada, Mas.”

“Terus gimana motor teman saya? Di mana tanggung jawab Bapak sebagai keamanan di kantor ini?” tanya Chilton dengan nada tinggi.

“Maaf, Mas. Ini memang kesalahan kami karena pos security sempat kosong. Tapi, gimana ya, Mas? Kami juga nggak bisa kalau harus gantiin motornya. Gaji kami jadi security nggak seberapa.” Security itu berbicara dengan santai tanpa rasa bersalah.

“Terus gimana ini motor temen saya? Bapak kira barang murah? Kalo kerja yang becus!” sentak Chilton sambil menggebrak meja.

“Ya. Nanti akan saya laporkan ke kantor dulu.”

“Nanti kapan? Udah hilang ini motornya!?”

“Saya telepon bos dulu, Mas.”

“Kalo telpon bos, motor Dela bisa kembali?” tanya Chilton geram.

“Kurang tahu, Mas. Tapi, pasti diusahain.”

“Daripada telpon bos nggak jelas ke depannya. Mending, bapak telpon polisi, deh!”

“Waduh, Mas. Kalo lapor ke polisi, urusannya jadi panjang.”

“Terus, Bapak maunya gimana? Mau diem aja!? Hah!?”

“Kami pasti berusaha untuk bertanggungjawab.”

“Gimana caranya? Motornya udah nggak tahu ke mana.”

“Anu .. Mas ...”

“Anu-anu! Emangnya si anu bisa balikin motor Dela!?” sentak Chilton.

Delana menghela napas, ia mencoba melerai pertikaian di antara keduanya. “Udah, Chil. Nggak usah dibuat ribut!” pinta Delana sambil menarik lengan Chilton dan menjauh dari pos security.

“Del, motor itu bukan barang murah, lho. Ada pos security sampe hilang, saking gimananya coba?” omel Chilton.

“Aku males ribut, Chil. Udahlah biar aja. Nanti aku ngomong sama ayah.”

“Yakin nggak papa?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala.

“Ya udah, pulang sama aku aja!” pinta Chilton.

Delana tersenyum. “Aku naik ojek online aja. Helmku ikut ngilang,” ucap Delana lemas.

“Halah ... gampang kalo soal helm doang.” Chilton melangkahkan kakinya menuju pos security. “Pak, pinjem helm!” pinta Chilton dengan sikap ketus.

Security tersebut tak banyak bertanya dan langsung meminjamkan helm miliknya.

“Besok pagi saya balikin!” Chilton bergegas menghampiri Delana yang sudah berdiri di samping motornya.

“Pake helm ini dulu, ya!” pinta Chilton, ia memasangkan helm tersebut ke kepala Delana.

“Emang nggak papa? Kalo bapak itu mau pulang gimana?” tanya Delana.

“Nggak papa.” Chilton mengunci helm yang dipakai Delana. “Lagian, dia aja nggak peduli sama motor kamu yang hilang. Kamu kenapa masih peduli sama dia? Cuma helm butut gini aja nggak ada harganya dibanding motormu yang ilang,” omel Chilton.

“Nggak boleh gitu, Chil. Kasihan bapak itu,” tutur Delana pelan.

Chilton menghela napas panjang dan menatap Delana. “Aku heran, kenapa sih kamu jadi orang kok baik banget?”

Delana tersenyum. “Emangnya jadi orang baik salah?”

“Ya, nggak sih. Tapi ... ah, sudahlah. Besok pagi aku balikin ke sini helmnya. Aku antar kamu pulang dulu.” Chilton menyentuh pipi Delana yang terasa begitu lembut dan dingin.

Delana tertegun menatap Chilton saat tangan hangat itu menyentuh pipinya yang dingin terkena angin malam. Tatapan mereka bertemu selama beberapa detik sampai akhirnya Chilton menyadari apa yang telah ia perbuat. Tak seharusnya ia memperlakukan Delana seperti seorang pacar sedang ia sendiri tak bisa mengendalikan diri untuk selalu dekat dengan gadis itu.

“Sorry ...!” Chilton menarik tangannya dan langsung menaiki sepeda motor miliknya.

Delana tersenyum. Ia menyentuh pipinya. Sentuhan tangan Chilton masih begitu terasa di pipinya. Ia ingin menghentikan waktu saat itu juga. Andai saja Chilton mengerti kalau ia sangat bahagia saat itu.

“Ayo naik!” perintah Chilton setelah ia menyalakan motornya.

Delana langsung menaiki motor Chilton. Mereka segera keluar dari parkiran.

“Kamu nggak pake jaket?” tanya Delana yang melihat Chilton hanya mengenakan kaos lengan pendek.

Chilton menggelengkan kepala. “Ketinggalan di asrama.”

Delana membuka tas miliknya dan mengeluarkan syal berwarna merah dari dalam tasnya. Ia melingkarkan syal itu di leher Chilton agar tidak kedinginan.

“Nggak kamu pake?” tanya Chilton sembari melirik syal yang sudah melingkar di lehernya.

“Aku udah pake jaket. Lagian aku di belakang, jadi nggak langsung kena angin malam.”

Chilton tersenyum kecil. Ia terus melajukan motornya keluar dari jalan Prapatan.

“Pegangan!” pinta Chilton sembari menarik tangan kanan Delana menggunakan tangan kirinya. Ia meletakkan tangan Delana di atas perutnya. “Pegangan yang kuat!” Chilton menarik satu lagi tangan Delana agar memeluk tubuhnya.

Delana tersenyum. Ia mengeratkan pelukannya. “Chil, makasih ya!” tutur Delana. Ia menempelkan dagunya di pundak kiri Chilton.

Chilton tertawa kecil menanggapi ucapan Delana. Ia mengendarai motor dengan santai sambil menikmati jalanan kota. “Iya. Kamu nggak dimarahi ayahmu kalo motor kamu hilang?” tanya Chilton.

“Pasti dimarahi. Yah, mau gimana lagi? Siapa juga yang mau kehilangan motor? Emang lagi apes aja. Lagian, aku teledor banget naruh kunci di motornya. Kayaknya sih emang nggak aku cabut. Terus, Pak Satpam itu pasti nggak bakal nyadar kalo ada motor keluar pake motor dan helm aku,” cerocos Delana.

“Dikira anak-anak yang les biasa kali ya?” tanya Chilton.

“Nah, bisa jadi gitu juga. Namanya aja kunci aku ketinggalan di motor. Bisa aja yang maling bersikap seolah-olah itu motornya sendiri. Jadi, nggak ada yang curiga.”

“Hmm ... jangan-jangan salah satu anak les yang ngambil motor kamu,” tutur Chilton menduga-duga.

“Nggak boleh nuduh gitu kalo nggak ada buktinya.”

“Iya juga, sih. Tapi, kita bisa tanya-tanya sama anak didik kita. Mereka pasti hafal sama motor kamu. Kalo seandainya teman mereka yang bawa, mereka pasti tahu, Del.”

Delana menghela napas. “Nggak usah kayak gitu, deh! Aku males ribut, Chil. Kalo besok kamu tanya-tanya ke semua anak-anak yang ngeles. Pasti bakal bikin heboh dan bikin resah orang tua murid kita karena mereka pikir tempat kita nggak aman.”

“Terus gimana? Masa iya kamu mau ngasih motor kamu cuma-cuma ke maling? Setidaknya, kita ada usaha buat nyari itu motor.”

“Biar aja. Mungkin dia lagi butuh uang.”

“Nggak bisa gitu, Del. Kalo semua orang mikirnya kayak kamu. Makin banyak maling di dunia ini. Negara kita negara hukum, lebih baik kita lapor ke kantor polisi aja.”

“Hadeh ... itu lagi ribet!” celetuk Delana.

“Kamu ini aneh, lho. Susah banget dikasih tahu!” celetuk Chilton kesal.

“Chil, aku males ribut. Lagian aku selow aja. Kenapa kamu yang ngegas mulu, sih?”

“Emosi aku, Del. Motor itu bukan barang murah.”

Delana tersenyum. “Barang itu masih bisa dibeli. Yang penting kitanya baik-baik aja. Daripada dibegal, dilukai, dibunuh sama malingnya cuma karena dia mau ngambil motor?”

“Ya, iya sih. Tapi kan tetep aja kita bisa lapor polisi biar dibantu nyari motor kamu.”

“Nggak usah, Chil! Aku nggak mau berurusan sama polisi.”

“Kita yang lapor, bukan kita yang dilaporin!” Chilton makin geregetan dengan sikap Delana.

“Sama aja ribetnya.”

Chilton menghela napas. “Ya sudahlah. Aku sudah nggak bisa ngomong apa-apa lagi.”

Delana hanya tersenyum menanggapinya.

Chilton menatap senyum Delana lewat kaca spion. Ia ikut tersenyum dan bangga dengan cewek seperti Delana. Cewek yang sederhana, manis, cantik, baik hati dan selalu sabar menghadapi sikapnya yang dingin.

“Mau jagung rebus?” tanya Chilton ketika ia melihat pedagang jagung dan kacang rebus yang sedang berjualan di pinggir jalan.

“Boleh. Kayaknya enak,” jawab Delana.

Chilton menepikan motor di dekat penjual jagung rebus.

“Paklek, jagungnya berapa duit?” tanya Chilton.

“Lima ribuan.”

“Kalo kacangnya?”

“Mau beli berapa? Lima ribu, bisa. Sepuluh ribu, bisa.”

“Mmh ... sepuluh ribu aja!”

Paklek penjual jagung menganggukkan kepala. Ia membungkuskan kacang rebus ke dalam kantong plastik. “Jagungnya mau berapa?”

“Dua.”

Paklek penjual jagung langsung membungkus dua  buah jagung ke dalam kantong plastik dan menyodorkannya pada Chilton.

Chilton merogoh dompet di sakunya. “Ambil, Del!” pinta Chilton pada Delana agar ia mengambil jagung dan kacang rebus yang sudah disodorkan oleh penjualnya. Ia langsung membayar pesanannnya dan berjalan kembali mendekati motor yang ia parkir di tepi jalan.

“Makan di sini aja, yuk!” Chilton duduk di tepi trotoar, tepat di samping motornya.

“Chil, di sini dilihatin orang, kita kayak orang lagi mojok,” bisik Delana.

“Nggak usah dihirauin!” Chilton mengupas kulit jagung dan melahapnya.

“Nggak enak aja.”

“Buat apa nggak enak? Lihat noh!” Chilton menunjuk dua sejoli yang sedang berpelukan dan berciuman di tempat umum tanpa memperdulikan sekitarnya. “Mereka aja cuek. Serasa dunia milik berdua,” tutur Chilton.

Delana mengerucutkan bibirnya.

“Kenapa? Kepengen?” tanya Chilton. “Sini, aku peluk!” Chilton merangkul bahu Delana.

Delana tersenyum. Ia menundukkan kepala dan membuka perlahan kulit jagung yang sudah ia pegang di tangannya.

“Makannya jangan dilambat-lambatin!” celetuk Chilton. “Ntar kamu sengaja lambat-lambatin biar bisa lama-lama bareng aku.”

Delana mencebik ke arah Chilton.

Chilton tertawa kecil. Untuk pertama kalinya ia dan Delana terlihat begitu dekat. Ia memang menyukai Delana dan mulai terbiasa bersama, membuatnya merasa nyaman berada dekat dengan gadis itu. Ingin sekali ia mengatakan kalau ia menyukai Delana. Tapi, sebagai cowok ia gengsi karena pernah menantang Delana yang ingin sekali bisa merebut perhatian Chilton. “Tak perlu kamu rebut hatiku, sebab aku akan memberikannya cuma-cuma untuk kamu,” bisik Chilton dalam hatinya.

“Del ...!” panggil Chilton perlahan sembari menyandarkan dagunya di pundak Delana.

“Apaan, sih? Geli tau!” Delana menyondongkan badannya agar dagu Chilton tak menyentuh bahunya.

Chilton tertawa kecil dan melepas rangkulannya. Ia meletakkan kedua telapak tangan di lantai belakang tubuhnya, membuat tubuhnya bersandar pada tangannya sendiri. Ia menjulurkan kakinya ke depan lalu menarik napas dalam-dalam.

“Kamu beneran suka sama aku atau nggak sih?” tanya Chilton sambil menatap langit yang bertaburan bintang-bintang.

“Eh!?” Delana langsung menoleh ke arah Chilton yang duduk di sampingnya. “Menurut kamu?” tanya Delana balik.

Chilton tertawa kecil. “Udahlah, lupain aja.”

Setelah menghabiskan jagung dan kacang yang mereka beli. Chilton langsung mengajak Delana untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“Mau makan?” tanya Chilton.

“Nggak, ah. Udah malem.”

“Emang kenapa?”

“Lagi diet.”

“Halah ... diet-diet segala. Kemarin-kemarin mau aja makan malam.”

“Beda dong! Kemarin aku belum diet, hehehe. Ini Makan jagung sebiji gin aku udah kenyang.”

“Serius, nggak laper?”

Delana menganggukkkan kepala. “Dua rius.”

“Ya udah. Kita langsung pulang aja!” ajak Chilton.

Mereka kembali duduk di atas motor. Chilton menyalakan motor dan mengendarainya menuju rumah Delana.

Motor Chilton berhenti di depan rumah Delana.

“Nggak mau mampir dulu?” tanya Delana begitu ia turun dari motor.

“Hmm ...” Chilton memutar bola matanya. “Nggak, deh. Aku mau istirahat. Capek banget!” ucapnya sembari memijit-mijit pundaknya.

Delana tersenyum kecut. Jauh di dalam lubuk hatinya ia masih ingin bersama Chilton. Entah kenapa, waktu terasa berputar begitu cepat. Ia tak punya banyak kesempatan untuk menjalani saat-saat romantis bersama Chilton.

“Kamu kenapa?” tanya Chilton menatap wajah Delana.

“Eh!?” Delana mendongakkan wajahnya. “Nggak papa.”

“Kok, murung gitu?” Chilton memerhatikan wajah Delana. Ia menyentuh dagu Delana dan menatapnya lekat.

Delana menarik napas dalam-dalam. Ia tidak mungkin berkata jujur kalau ia sedih karena harus berpisah dengan Chilton.

“Del ..!” panggil Chilton yang melihat Delana masih saja murung dan tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Delana menghela napas. Ia sendiri masih tak paham kenapa ia merasa takut kehilangan. Ia takut kehilangan sosok cowok yang kini ada di depannya. Ia takut kehilangan waktu-waktu yang pernah mereka lalui bersama.

“Kamu kenapa sih, Del?” Chilton menggenggam bahu Delana.

Delana menggelengkan kepala. “Nggak papa,” jawabnya dengan nada berat.

“Kamu sakit?” Chilton meletakkan punggung tangannya ke dahi Delana.

Delana menggelengkan kepala perlahan. “Cuma capek, kayaknya butuh istirahat.” Delana menepikan tangan Chilton perlahan.

“Beneran, nggak papa?” tanya Chilton.

Delana mengangguk pelan.

“Oh, ya udah. Masuk, gih! Udah malem,” perintah Chilton.

Delana tersenyum. “Oke. Kamu hati-hati ya!” ucapnya. Ia melangkahkan kaki memasuki halaman rumahnya secara perlahan. Kali ini ia merasa langkahnya begitu berat. Sungguh, ia ingin mengatakan pada Chilton agar cowok itu tetap bersamanya. Tapi, ia sadar kalau ia tidaklah pantas untuk Chilton.

Delana menoleh ke belakang. Chilton masih duduk di atas motor sambil tersenyum menatap Delana. Chilton melambaikan tangan dan membuat Delana tersenyum ke arahnya.

Delana melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Ia melambaikan tangan pada Chilton sebelum akhirnya menutup pintu rumahnya.

Chilton baru menyalakan motornya saat Delana sudah menutup pintu, memastikan gadis itu sudah berada di dalam rumah.


((Bersambung...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas