BAB 15 - Tak Ingin Berpisah
Pagi
ini Delana dibuat tergesa-gesa berangkat ke kampus karena ia bangun kesiangan.
Ia bahkan tak sempat membuatkan sarapan pagi untuk ayah dan adiknya. Ia
kelelahan setelah kembali dari Pulau Derawan.
Delana
langsung berlari secepatnya menuju kampus. Ia melewati taman tempat biasa dia
dan Chilton bertemu. Ia tahu Chilton ada di sana, tapi ia tak punya banyak
waktu untuk menyapa. Ia langsung masuk ke kelas karena dosen yang mengajar juga
sudah berada di dalam kelas.
“Pagi,
Pak! Maaf, saya terlambat,” tutur Delana begitu ia memasuki kelasnya.
Dosen
yang mengajar langsung melirik jam yang ada di tangannya. “Jam berapa ini?”
“Jam
delapan lewat lima belas, Pak.”
“Kenapa
terlambat?”
“Bangun
kesiangan,” jawab Delana lirih.
“Cewek,
jam segini baru bangun,” celetuk dosen tersebut.
“Huu
....!” Terdengar teriakan riuh di dalam kelas saat mereka mendengar celetukan
dosen. Beberapa cewek di kelasnya sengaja nyinyir dan membully Delana.
“Ya
sudah, duduk!” pinta dosen.
Delana
tersenyum kecut sembari melangkahkan kaki menuju kursinya. Ia bisa mendengar
suara beberapa cewek kelas yang sengaja mengejeknya. Delana hanya menghela
napas dalam-dalam sambil tersenyum agar perasaannya tetap baik-baik saja. Ia
sudah terbiasa mendengar komentar pedas dari cewek-cewek di kampusnya. Terlebih
lagi soal kedekatannya dengan Chilton.
Menjadi
satu-satunya cewek yang berhasil mendekati Chilton, cowok paling keren dan
populer di kampusnya. Tentunya ia menjadi satu-satunya sasaran kekesalan
cewek-cewek yang tidak berhasil mendekati Chilton.
Delana
tak ingin terlalu memikirkan hal itu. Ia tetap bersikap santai dan tidak pernah
menanggapi celetukan-celetukan pedas tentangnya.
Sementara
itu, Chilton menunggu Delana di taman kampus. Ia mengetahui kalau Delana sudah
kembali dari liburannya dan seharusnya ia sudah masuk hari ini.
Beberapa
menit menunggu, Delana tak kunjung datang. Ia mulai gelisah karena cewek itu
mulai membuatnya tak tenang.
Chilton
mencoba menelepon Delana, tapi tak kunjung mendapat jawaban.
“Sorry,
aku nggak bisa angkat telepon kamu, chat aja! Aku gak sempat mampir ke taman
karena aku telat berangkat ke kampus.” Delana mengirim pesan singkat untuk
Chilton.
Chilton
mendesah. Ia menyimpan kembali ponsel ke saku kemejanya dan bergegas menuju
kelasnya yang ada di lantai dua.
Setelah
mata kuliah selesai, Chilton menunggu Delana di depan kelasnya. Ia menyandarkan
punggungnya di dinding. Saat Delana dan teman-temannya keluar dari dalam kelas,
Chilton langsung menarik lengan Delana agar merapat ke tubuhnya.
“Chilton?”
Delana terkejut karena Chilton menarik tubuhnya dengan tiba-tiba. Ia menoleh ke
sekitar karena beberapa teman sekelasnya banyak yang menatap mereka berdua.
Chilton
meringis. “Yang baru pulang dari liburan, mana oleh-olehnya?”
Delana
tersenyum. “Oleh-olehnya capek.”
Chilton
tertawa kecil. “Pergi liburan nggak ajak-ajak. Pulangnya nggak dibawain
oleh-oleh pula.”
Delana
menggigit bibirnya. “Maaf, aku nggak sempet cari oleh-oleh. Ayah juga ngajaknya
mendadak banget.”
Chilton
tersenyum. “Iya, nggak papa. Jam istirahat tadi ke mana?” tanya Chilton.
“Kamu
nyari aku?” tanya Delana balik.
“Ck,
kalo aku tanya, artinya aku tadi nyari kamu,” tutur Chilton sedikit kesal.
“Oh
... aku ke ruangan rektor tadi.”
“Ngapain?”
tanya Chilton.
“Dipanggil.”
“Oh
... sore ini ada jadwal ngajar kan?” tanya Chilton.
Delana
menganggukkan kepala.
“Mau
bareng?”
“Nggak
usah. Ntar aku berangkat sendiri aja.”
“Kenapa?”
“Nggak
papa. Aku juga udah izin telat karena
ada urusan.”
“Oh.”
“Ya
udah, aku balik dulu ya!” pamit Delana sembari melangkahkan kaki meninggalkan
Chilton yang masih terpaku seorang diri.
Chilton
mulai tak mengerti dengan dirinya sendiri. Entah kenapa ia tidak bisa
mengendalikan diri untuk tidak bertemu dengan gadis itu. Tanpa ia sadari, ia
merasa rindu dengan kehadiran Delana dalam hari-harinya. Harinya terasa kosong
saat Delana tak bersamanya.
***
Chilton
menunggu Delana di pos security sepulang mengajar. Karena Delana izin satu jam,
jadi dia harus mengganti jam izinnya. Ia lebih nyaman menunggu di pos security
ketimbang menunggu di dalam bersama guru lain yang kerap menggodanya.
Waktu
menunjukkan pukul 19.00 WITA, Delana masih belum keluar juga dari kelasnya.
Padahal, murid-murid Delana sudah berhambur keluar dari gedung dan pulang ke
rumahnya satu per satu.
“Dela kok lama banget, ya?” gumam Chilton. Ia kemudian memilih untuk masuk lagi ke
dalam dan memeriksa keberadaan Delana.
Chilton
membuka perlahan pintu ruang kelas tempat Delana mengajar. Ia mendapati ruangan
Delana sudah sepi. Hanya Delana yang masih duduk di mejanya sembari mencari
sesuatu dari dalam tasnya.
“Kamu
masih di sini? Nggak pulang?” tanya Chilton sambil memasuki kelas Delana.
“Pulang, dong. Aku masih cari kunci motorku.” Delana terlihat sibuk mencari sesuatu dari
dalam tasnya. Ia mulai tak sabar, ia membalik posisi tas dan membuat semua
isinya berjatuhan ke atas meja.
“Kamu
taruh di mana?” tanya Chilton.
“Di
tas deh kayaknya.” Delana sampai mencari ke bawah meja dan kursi tapi tak juga
mendapati kunci motornya.
Chilton
akhirnya membantu mencari kunci motor Delana di semua sudut ruangan. Di bawah
meja dan kursi murid, di bawah lemari, di lantai-lantai yang kosong. Tapi, mereka
tetap tak mendapatkan kunci motor yang mereka cari.
“Coba
diingat-ingat lagi, kamu taruh di mana?” tutur Chilton tetap bersikap tenang.
“Iih
... aku dateng langsung masuk kelas. Nggak bisa pulang kalo kunciku nggak
ketemu,” rengek Delana. Ia menjatuhkan kepalanya di atas meja dan hampir
menangis.
“Nggak
ketinggalan di motor?” tanya Chilton.
“Oh,
iya ya?” Delana langsung membereskan barang-barang yang terhambur di atas meja
dan memasukkannya ke dalam tas. “Mudahan aja masih ada di motornya.”
“Makanya,
kalo naruh barang penting jangan teledor!”
Delana
meringis. “Aku buru-buru tadi. Nggak enak sama anak muridku kalo kelamaan.”
“Lagian,
kamu ada urusan apa sih tadi?”
“Ada,
deh. Urusan cewek!” sahut Delana sambil tersenyum.
“Andalan.”
“Eh!?”
“Kalo
ditanya, jawabnya urusan cewek terus.”
“Lah?
Cowok juga gitu, kan?”
“Iya.
Tapi, nggak kayak kamu.”
“Ya
beda lah. Masa aku disamain sama cowok.”
Chilton
tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. Mereka bergegas keluar dari
kelas dan berjalan menuju parkiran.
“Loh?
Motor aku mana?” tanya Delana ketika sampai di parkiran. Ia hanya mendapati dua
motor yang ada di parkiran. Yakni, motor Chilton dan motor security.
“Kamu
yakin ke sini bawa motor? Nggak naik angkot?” tanya Chilton.
“Yakin,
lah! Masa aku lupa sama motorku sendiri,” gerutu Delana. Ia kemudian
melangkahkan kakinya menuju pos security.
“Bisa
aja kamu ke sini naik taksi.”
“Chil,
aku tuh nggak pikun-pikun banget!”
“Ya,
siapa tau aja kamu lupa kalo kamu ke sini naik taksi atau angkot. Berasa bawa
motor sendiri gitu.”
“Nggak
usah kebanyakan becanda, deh!”
“Pak,
lihat motor saya nggak?” tanya Delana pada security yang menjaga.
“Motor
yang mana?” Satpam itu balik bertanya.
“Motor
Scoopy warna biru putih.”
“Waktu
saya sampe sini, cuma ada motor satu aja di parkiran. Motor Ninja merah itu
aja.”
Delana
dan Chilton saling pandang.
“Yang
jaga tadi siang bukan bapak ini,” tutur Chilton.
“Iya,
Mas. Baru aja ganti shift.”
“Aku
nunggu kamu di pos dari tadi. Pas masuk lagi nyari kamu, kayaknya motor kamu
masih ada di parkiran. Tapi, nggak aku perhatiin juga ada kuncinya atau
enggak,” tutur Chilton sambil menatap Delana.
“Waktu
ganti shift, security yang jaga tadi siang masih ada?” tanya Delana pada satpam
yang menjaga.
“Udah
nggak ada, Mbak. Karena tadi di jalan ban motor saya bocor. Jadi, agak telat
nyampenya.”
“Aduh,
gimana dong? Motor aku ke mana?” Delana berlutut ke lantai.
“Di
sini ada cctv atau nggak sih, Pak?” tanya Chilton.
“Belum
ada, Mas.”
“Terus
gimana motor teman saya? Di mana tanggung jawab Bapak sebagai keamanan di
kantor ini?” tanya Chilton dengan nada tinggi.
“Maaf,
Mas. Ini memang kesalahan kami karena pos security sempat kosong. Tapi, gimana
ya, Mas? Kami juga nggak bisa kalau harus gantiin motornya. Gaji kami jadi
security nggak seberapa.” Security itu berbicara dengan santai tanpa rasa
bersalah.
“Terus
gimana ini motor temen saya? Bapak kira barang murah? Kalo kerja yang becus!”
sentak Chilton sambil menggebrak meja.
“Ya.
Nanti akan saya laporkan ke kantor dulu.”
“Nanti
kapan? Udah hilang ini motornya!?”
“Saya
telepon bos dulu, Mas.”
“Kalo
telpon bos, motor Dela bisa kembali?” tanya Chilton geram.
“Kurang
tahu, Mas. Tapi, pasti diusahain.”
“Daripada
telpon bos nggak jelas ke depannya. Mending, bapak telpon polisi, deh!”
“Waduh,
Mas. Kalo lapor ke polisi, urusannya jadi panjang.”
“Terus,
Bapak maunya gimana? Mau diem aja!? Hah!?”
“Kami
pasti berusaha untuk bertanggungjawab.”
“Gimana
caranya? Motornya udah nggak tahu ke mana.”
“Anu
.. Mas ...”
“Anu-anu!
Emangnya si anu bisa balikin motor Dela!?” sentak Chilton.
Delana
menghela napas, ia mencoba melerai pertikaian di antara keduanya. “Udah, Chil.
Nggak usah dibuat ribut!” pinta Delana sambil menarik lengan Chilton dan
menjauh dari pos security.
“Del,
motor itu bukan barang murah, lho. Ada pos security sampe hilang, saking
gimananya coba?” omel Chilton.
“Aku
males ribut, Chil. Udahlah biar aja. Nanti aku ngomong sama ayah.”
“Yakin
nggak papa?” tanya Chilton.
Delana
menganggukkan kepala.
“Ya
udah, pulang sama aku aja!” pinta Chilton.
Delana
tersenyum. “Aku naik ojek online aja. Helmku ikut ngilang,” ucap Delana lemas.
“Halah
... gampang kalo soal helm doang.” Chilton melangkahkan kakinya menuju pos
security. “Pak, pinjem helm!” pinta Chilton dengan sikap ketus.
Security
tersebut tak banyak bertanya dan langsung meminjamkan helm miliknya.
“Besok
pagi saya balikin!” Chilton bergegas menghampiri Delana yang sudah berdiri di
samping motornya.
“Pake
helm ini dulu, ya!” pinta Chilton, ia memasangkan helm tersebut ke kepala
Delana.
“Emang
nggak papa? Kalo bapak itu mau pulang gimana?” tanya Delana.
“Nggak
papa.” Chilton mengunci helm yang dipakai Delana. “Lagian, dia aja nggak peduli
sama motor kamu yang hilang. Kamu kenapa masih peduli sama dia? Cuma helm butut
gini aja nggak ada harganya dibanding motormu yang ilang,” omel Chilton.
“Nggak
boleh gitu, Chil. Kasihan bapak itu,” tutur Delana pelan.
Chilton
menghela napas panjang dan menatap Delana. “Aku heran, kenapa sih kamu jadi
orang kok baik banget?”
Delana
tersenyum. “Emangnya jadi orang baik salah?”
“Ya,
nggak sih. Tapi ... ah, sudahlah. Besok pagi aku balikin ke sini helmnya. Aku
antar kamu pulang dulu.” Chilton menyentuh pipi Delana yang terasa begitu
lembut dan dingin.
Delana
tertegun menatap Chilton saat tangan hangat itu menyentuh pipinya yang dingin
terkena angin malam. Tatapan mereka bertemu selama beberapa detik sampai
akhirnya Chilton menyadari apa yang telah ia perbuat. Tak seharusnya ia
memperlakukan Delana seperti seorang pacar sedang ia sendiri tak bisa
mengendalikan diri untuk selalu dekat dengan gadis itu.
“Sorry
...!” Chilton menarik tangannya dan langsung menaiki sepeda motor miliknya.
Delana
tersenyum. Ia menyentuh pipinya. Sentuhan tangan Chilton masih begitu terasa di
pipinya. Ia ingin menghentikan waktu saat itu juga. Andai saja Chilton mengerti
kalau ia sangat bahagia saat itu.
“Ayo
naik!” perintah Chilton setelah ia menyalakan motornya.
Delana
langsung menaiki motor Chilton. Mereka segera keluar dari parkiran.
“Kamu
nggak pake jaket?” tanya Delana yang melihat Chilton hanya mengenakan kaos
lengan pendek.
Chilton
menggelengkan kepala. “Ketinggalan di asrama.”
Delana
membuka tas miliknya dan mengeluarkan syal berwarna merah dari dalam tasnya. Ia
melingkarkan syal itu di leher Chilton agar tidak kedinginan.
“Nggak
kamu pake?” tanya Chilton sembari melirik syal yang sudah melingkar di
lehernya.
“Aku
udah pake jaket. Lagian aku di belakang, jadi nggak langsung kena angin malam.”
Chilton
tersenyum kecil. Ia terus melajukan motornya keluar dari jalan Prapatan.
“Pegangan!”
pinta Chilton sembari menarik tangan kanan Delana menggunakan tangan kirinya.
Ia meletakkan tangan Delana di atas perutnya. “Pegangan yang kuat!” Chilton
menarik satu lagi tangan Delana agar memeluk tubuhnya.
Delana
tersenyum. Ia mengeratkan pelukannya. “Chil, makasih ya!” tutur Delana. Ia
menempelkan dagunya di pundak kiri Chilton.
Chilton
tertawa kecil menanggapi ucapan Delana. Ia mengendarai motor dengan santai
sambil menikmati jalanan kota. “Iya. Kamu nggak dimarahi ayahmu kalo motor kamu
hilang?” tanya Chilton.
“Pasti
dimarahi. Yah, mau gimana lagi? Siapa juga yang mau kehilangan motor? Emang
lagi apes aja. Lagian, aku teledor banget naruh kunci di motornya. Kayaknya sih
emang nggak aku cabut. Terus, Pak Satpam itu pasti nggak bakal nyadar kalo ada
motor keluar pake motor dan helm aku,” cerocos Delana.
“Dikira
anak-anak yang les biasa kali ya?” tanya Chilton.
“Nah,
bisa jadi gitu juga. Namanya aja kunci aku ketinggalan di motor. Bisa aja yang
maling bersikap seolah-olah itu motornya sendiri. Jadi, nggak ada yang curiga.”
“Hmm
... jangan-jangan salah satu anak les yang ngambil motor kamu,” tutur Chilton
menduga-duga.
“Nggak
boleh nuduh gitu kalo nggak ada buktinya.”
“Iya
juga, sih. Tapi, kita bisa tanya-tanya sama anak didik kita. Mereka pasti hafal
sama motor kamu. Kalo seandainya teman mereka yang bawa, mereka pasti tahu,
Del.”
Delana
menghela napas. “Nggak usah kayak gitu, deh! Aku males ribut, Chil. Kalo besok
kamu tanya-tanya ke semua anak-anak yang ngeles. Pasti bakal bikin heboh dan
bikin resah orang tua murid kita karena mereka pikir tempat kita nggak aman.”
“Terus
gimana? Masa iya kamu mau ngasih motor kamu cuma-cuma ke maling? Setidaknya,
kita ada usaha buat nyari itu motor.”
“Biar
aja. Mungkin dia lagi butuh uang.”
“Nggak
bisa gitu, Del. Kalo semua orang mikirnya kayak kamu. Makin banyak maling di
dunia ini. Negara kita negara hukum, lebih baik kita lapor ke kantor polisi
aja.”
“Hadeh
... itu lagi ribet!” celetuk Delana.
“Kamu
ini aneh, lho. Susah banget dikasih tahu!” celetuk Chilton kesal.
“Chil,
aku males ribut. Lagian aku selow aja. Kenapa kamu yang ngegas mulu, sih?”
“Emosi
aku, Del. Motor itu bukan barang murah.”
Delana
tersenyum. “Barang itu masih bisa dibeli. Yang penting kitanya baik-baik aja.
Daripada dibegal, dilukai, dibunuh sama malingnya cuma karena dia mau ngambil
motor?”
“Ya,
iya sih. Tapi kan tetep aja kita bisa lapor polisi biar dibantu nyari motor
kamu.”
“Nggak
usah, Chil! Aku nggak mau berurusan sama polisi.”
“Kita
yang lapor, bukan kita yang dilaporin!” Chilton makin geregetan dengan sikap
Delana.
“Sama
aja ribetnya.”
Chilton
menghela napas. “Ya sudahlah. Aku sudah nggak bisa ngomong apa-apa lagi.”
Delana
hanya tersenyum menanggapinya.
Chilton
menatap senyum Delana lewat kaca spion. Ia ikut tersenyum dan bangga dengan
cewek seperti Delana. Cewek yang sederhana, manis, cantik, baik hati dan selalu
sabar menghadapi sikapnya yang dingin.
“Mau
jagung rebus?” tanya Chilton ketika ia melihat pedagang jagung dan kacang rebus
yang sedang berjualan di pinggir jalan.
“Boleh.
Kayaknya enak,” jawab Delana.
Chilton
menepikan motor di dekat penjual jagung rebus.
“Paklek,
jagungnya berapa duit?” tanya Chilton.
“Lima
ribuan.”
“Kalo
kacangnya?”
“Mau
beli berapa? Lima ribu, bisa. Sepuluh ribu, bisa.”
“Mmh
... sepuluh ribu aja!”
Paklek
penjual jagung menganggukkan kepala. Ia membungkuskan kacang rebus ke dalam
kantong plastik. “Jagungnya mau berapa?”
“Dua.”
Paklek
penjual jagung langsung membungkus dua
buah jagung ke dalam kantong plastik dan menyodorkannya pada Chilton.
Chilton
merogoh dompet di sakunya. “Ambil, Del!” pinta Chilton pada Delana agar ia
mengambil jagung dan kacang rebus yang sudah disodorkan oleh penjualnya. Ia
langsung membayar pesanannnya dan berjalan kembali mendekati motor yang ia
parkir di tepi jalan.
“Makan
di sini aja, yuk!” Chilton duduk di tepi trotoar, tepat di samping motornya.
“Chil,
di sini dilihatin orang, kita kayak orang lagi mojok,” bisik Delana.
“Nggak
usah dihirauin!” Chilton mengupas kulit jagung dan melahapnya.
“Nggak
enak aja.”
“Buat
apa nggak enak? Lihat noh!” Chilton menunjuk dua sejoli yang sedang berpelukan
dan berciuman di tempat umum tanpa memperdulikan sekitarnya. “Mereka aja cuek.
Serasa dunia milik berdua,” tutur Chilton.
Delana
mengerucutkan bibirnya.
“Kenapa?
Kepengen?” tanya Chilton. “Sini, aku peluk!” Chilton merangkul bahu Delana.
Delana
tersenyum. Ia menundukkan kepala dan membuka perlahan kulit jagung yang sudah
ia pegang di tangannya.
“Makannya
jangan dilambat-lambatin!” celetuk Chilton. “Ntar kamu sengaja lambat-lambatin
biar bisa lama-lama bareng aku.”
Delana
mencebik ke arah Chilton.
Chilton
tertawa kecil. Untuk pertama kalinya ia dan Delana terlihat begitu dekat. Ia
memang menyukai Delana dan mulai terbiasa bersama, membuatnya merasa nyaman
berada dekat dengan gadis itu. Ingin sekali ia mengatakan kalau ia menyukai
Delana. Tapi, sebagai cowok ia gengsi karena pernah menantang Delana yang ingin
sekali bisa merebut perhatian Chilton. “Tak
perlu kamu rebut hatiku, sebab aku akan memberikannya cuma-cuma untuk kamu,”
bisik Chilton dalam hatinya.
“Del
...!” panggil Chilton perlahan sembari menyandarkan dagunya di pundak Delana.
“Apaan, sih? Geli tau!” Delana menyondongkan badannya agar dagu Chilton tak menyentuh
bahunya.
Chilton
tertawa kecil dan melepas rangkulannya. Ia meletakkan kedua telapak tangan di
lantai belakang tubuhnya, membuat tubuhnya bersandar pada tangannya sendiri. Ia
menjulurkan kakinya ke depan lalu menarik napas dalam-dalam.
“Kamu
beneran suka sama aku atau nggak sih?” tanya Chilton sambil menatap langit yang
bertaburan bintang-bintang.
“Eh!?”
Delana langsung menoleh ke arah Chilton yang duduk di sampingnya. “Menurut
kamu?” tanya Delana balik.
Chilton
tertawa kecil. “Udahlah, lupain aja.”
Setelah
menghabiskan jagung dan kacang yang mereka beli. Chilton langsung mengajak
Delana untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“Mau
makan?” tanya Chilton.
“Nggak,
ah. Udah malem.”
“Emang
kenapa?”
“Lagi
diet.”
“Halah
... diet-diet segala. Kemarin-kemarin mau aja makan malam.”
“Beda
dong! Kemarin aku belum diet, hehehe. Ini Makan jagung sebiji gin aku udah
kenyang.”
“Serius,
nggak laper?”
Delana
menganggukkkan kepala. “Dua rius.”
“Ya
udah. Kita langsung pulang aja!” ajak Chilton.
Mereka
kembali duduk di atas motor. Chilton menyalakan motor dan mengendarainya menuju
rumah Delana.
Motor
Chilton berhenti di depan rumah Delana.
“Nggak
mau mampir dulu?” tanya Delana begitu ia turun dari motor.
“Hmm
...” Chilton memutar bola matanya. “Nggak, deh. Aku mau istirahat. Capek
banget!” ucapnya sembari memijit-mijit pundaknya.
Delana
tersenyum kecut. Jauh di dalam lubuk hatinya ia masih ingin bersama Chilton.
Entah kenapa, waktu terasa berputar begitu cepat. Ia tak punya banyak
kesempatan untuk menjalani saat-saat romantis bersama Chilton.
“Kamu
kenapa?” tanya Chilton menatap wajah Delana.
“Eh!?”
Delana mendongakkan wajahnya. “Nggak papa.”
“Kok,
murung gitu?” Chilton memerhatikan wajah Delana. Ia menyentuh dagu Delana dan
menatapnya lekat.
Delana
menarik napas dalam-dalam. Ia tidak mungkin berkata jujur kalau ia sedih karena
harus berpisah dengan Chilton.
“Del
..!” panggil Chilton yang melihat Delana masih saja murung dan tak kunjung
menjawab pertanyaannya.
Delana
menghela napas. Ia sendiri masih tak paham kenapa ia merasa takut kehilangan.
Ia takut kehilangan sosok cowok yang kini ada di depannya. Ia takut kehilangan
waktu-waktu yang pernah mereka lalui bersama.
“Kamu
kenapa sih, Del?” Chilton menggenggam bahu Delana.
Delana
menggelengkan kepala. “Nggak papa,” jawabnya dengan nada berat.
“Kamu
sakit?” Chilton meletakkan punggung tangannya ke dahi Delana.
Delana
menggelengkan kepala perlahan. “Cuma capek, kayaknya butuh istirahat.” Delana
menepikan tangan Chilton perlahan.
“Beneran,
nggak papa?” tanya Chilton.
Delana
mengangguk pelan.
“Oh,
ya udah. Masuk, gih! Udah malem,” perintah Chilton.
Delana
tersenyum. “Oke. Kamu hati-hati ya!” ucapnya. Ia melangkahkan kaki memasuki
halaman rumahnya secara perlahan. Kali ini ia merasa langkahnya begitu berat.
Sungguh, ia ingin mengatakan pada Chilton agar cowok itu tetap bersamanya.
Tapi, ia sadar kalau ia tidaklah pantas untuk Chilton.
Delana
menoleh ke belakang. Chilton masih duduk di atas motor sambil tersenyum menatap
Delana. Chilton melambaikan tangan dan membuat Delana tersenyum ke arahnya.
Delana
melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Ia melambaikan tangan pada Chilton
sebelum akhirnya menutup pintu rumahnya.
Chilton
baru menyalakan motornya saat Delana sudah menutup pintu, memastikan gadis itu
sudah berada di dalam rumah.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment