Selasa, 22 Juli 2025
Sudah 21 hari aku dilantik sebagai Relima Lokus Kukar. Tapi masih belum tahu apa yang harus aku lakukan sampai atribut Relima benar-benar datang. Terkadang aku juga ragu, mungkinkah Perpusnas RI benar-benar menjadikanku sebagai Relima (Relawan Literasi Masyarakat) dengan segala kekurangan yang ada.
Aku tidak sendiri. Ada dua orang teman yang berasal dari Kaltim. Yakni Pak Budi Utomo (Lokus Balikpapan) dan Dodi Wahyudi (Lokus Paser). Kami bertiga resmi dilantik sebagai Relima (Relawan Literasi Masyarakat) karena dianggap memiliki pergerakan dan kontribusi yang baik di bidang literasi dan pendidikan masyarakat.
Setelah SK dari Perpusnas RI keluar, kepalaku langsung cenut-cenut karena ada sekitar 45 Perpustakaan Desa dan taman baca yang harus kami datangi. Tantangan terbesar di wilayah Kutai Kartanegara adalah letak geografisnya.
Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah sebanyak 27.263,10 km2. Sangat jauh berbeda dengan kota Balikpapan yang memiliki wilayah 503,3 km2 dan kota Samarinda yang memiliki luas wilayah sekitar 718 km2. Bisa dibilang wilayah Kutai Kartanegara 54 kali lebih luas dari kota Balikpapan dan 38 kali luas kota Samarinda.
Letak geografis Kutai Kartanegara ini menjadi tantangan yang sangat besar bagiku. Pasalnya, Perpusnas RI tidak memberikan uang transport atau uang makan untuk menjangkau ke daerah-daerah tersebut. Sebagai Relawan, aku harus menggunakan uang pribadi yang nilainya tidak sedikit. Uang honor yang hanya 2juta per bulan, tidak cukup untuk menjangkau satu desa yang jaraknya hampir 200 kilometer dan harus menyebrang menggunakan kapal. Biaya satu kali perjalanan, aku harus menghabiskan dana sekitar 3 jutaan.
Lalu, bagaimana aku mensiasatinya? Uang honor yang bisa aku gunakan untuk mendukung kegiatan literasi, sepertinya sudah habis untuk biaya perjalanan, bahkan harus nombok.
Cukup lama aku dan Relima Kaltim lain berdiskusi. Kami sama-sama tidak punya solusi selain meminta bantuan pada pihak-pihak terkait. Salah satunya adalah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim. Meski kami tidak berharap banyak, tapi kami berharap itu bisa memudahkan dan meringankan langkah kami.
Setelah berusaha menghubungi beberapa teman di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim, akhirnya kami sepakat untuk berkunjung ke DPK Kaltim pada tanggal 22 Juli 2025.
"Berangkatnya gimana? Sendiri-sendiri atau bareng? Uang Transport bagaimana?" Pak Budi, koordinator Relima Kaltim mencoba mengingatkan.
"Kita iuran saja, Pak," ucapku via pesan Whatsapp.
"Ya, sudah. Saya yang sewa mobilnya, kalian berdua yang isi minyaknya," ucap Pak Budi.
"Wah ...! Beneran, Pak?" Mataku langsung berbinar melihatnya. "Biaya untuk beli minyaknya kira-kira berapa?"
"Dua ratus ribu cukup," jawab Pak Budi. "Untuk makan, kita beli masing-masing aja."
"Siap, Pak!"
Akhirnya, kami berangkat pada tanggal 22 Juli ke Kantor DPK Kaltim. Dodi Wahyudi yang berasal dari Paser, harus berangkat pukul 01.00 dinihari menggunakan bus agar bisa bertemu dengan Pak Budi di Kota Balikpapan. Sementara, aku menunggu di jalan poros Km.48, tepat di jalan poros Balikpapan-Samarinda.
Untuk bisa sampai keluar ke jalan poros, aku juga masih harus menempuh jarak sekitar 11 kilometer. Jalan di lokasi tak semulus jalan di peta. Jalan rusak (eks. tambang) yang harus kami tempuh, membuat perjalanan jadi lebih lama dari perkiraan.
Aku menunggu cukup lama di depan Toko Padil Jaya kilometer 48. Sebab, Pak Budi masih menunggu Dodi datang dari Paser. Bukan sekedar naik bus, Dodi masih harus menyebrang laut dari penajam untuk bisa sampai ke kota Balikpapan. Sekali lagi, perjalanan kami di daerah tak semulus jalan di peta.
Kami sudah membuat janji dengan staff Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim untuk bertemu pada pukul 10.00 WITA. Sementara, kami masih berada di kilometer 48 pada pukul 08.30. Akhirnya, kami memilih jalur tol supaya bisa sampai tepat waktu. Meski kami harus keluar biaya lagi untuk bayar tol, tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada kami datang terlambat dan membuat orang dinas menunggu kami.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, akhirnya kami sampai juga di halaman Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim. Begitu sampai, tidak ada ruangan lain yang kami tuju selain mencari toilet karena sudah cukup lama berada di perjalanan. Tak hanya itu, Dodi yang berangkat dari rumah pukul 01.00 dinihari, perlu mandi terlebih dahulu sebelum bertemu dengan orang dinas. Tentunya, aku harus menunggu Dodi selesai mandi dan berganti pakaian agar kami bisa bertemu dengan Kepala Dinas dalam keadaan bersih dan nyaman.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kami diarahkan untuk naik ke lantai 2. Staff yang sudah berkoordinasi dengan kami, sudah menunggu di depan ruang rapat /meeting room.
"Mbak, mohon maaf, Kepala Dinas tiba-tiba ada acara di Kantor Gubernur. Jadi, tidak bisa hadir pagi ini," ucap staff yang bertemu dengan kami.
Kami bertiga menghela napas kecewa, tapi bibir kami tetap berusaha untuk tersenyum.
"Nggak papa, Bu. Kami bisa bertemu dengan staff bidang yang berkaitan dengan tugas kami saja," ucapku.
Bagi kami, bisa bertemu dengan staff bidang saja sudah cukup. Dalam hal ini, kami tidak harus membuat laporan dengan sempurna. Yang penting, kami sudah melakukan upaya advokasi ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kaltim. Untuk hasilnya seperti apa, kami harus melaporkan apa adanya. Bentuk dukungan seperti apa yang akan diberikan oleh pemerintah Provinsi, yang akan menilai adalah tim dari Perpusnas RI, bukan bergantung pada kami.
Setelah berkenalan dan berdiskusi cukup lama, kami akhirnya berpamitan untuk pulang. Pihak DPK Kaltim mengaku sangat terbantu dengan adanya Relima, tapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena saat ini pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran. Tentunya, kami juga tidak bisa berharap banyak pada mereka.
Apalagi yang harus kami lakukan? Sudah jauh-jauh datang ke Samarinda dengan effort yang luar biasa, ternyata kami tidak bisa bertemu dengan Kepala Dinas. Kami berniat untuk menunggu Kadis kembali ke kantor, tapi sepertinya beliau tidak akan kembali karena urusannya belum selesai.
Kami tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku langsung turun ke lantai dasar, menemui salah satu orang yang aku kenal saat aku mengikuti karantina Duta Baca pada tahun 2018, yakni Bunda Yeni.
Aku sangat bahagia bisa bertemu langsung dengan Bunda Yeni setelah sekian lama. Bertemu dengan dia adalah hal yang mahal bagiku. Karena kami harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa bertemu.
Waktu sudah masuk waktu sholat dzuhur. Aku langsung meminta izin untuk sholat. Bu Yeni mengarahkanku untuk sholat di ruang majalah, tempat dia bekerja. Kebetulan, ada ruang kecil yang digunakan untuk sholat.
Usai sholat, aku keluar ke lobi. Sejak awal, aku sudah berencana untuk membuat kartu anggota. Sebelum bertemu Bunda Yeni, aku sempat mengisi formulir untuk membuat kartu anggota. Sayangnya, formulir yang aku isi gagal dan tidak bisa cetak kartu. Jadi, aku mengisi kembali formulir baru supaya bisa mendapatkan kartu anggota perpustakaan provinsi.
Begitu selesai mendapatkan kartu anggota perpustakaan, aku dan dua Relima lain bergeser ke belakang gedung, ke kantin. Karena perut kami sudah lapar. Sejak keluar rumah, kami bertiga belum ada yang sarapan. Rencananya mau sarapan bersama di perjalanan. Tapi semua tak sesuai rencana. Waktu kami sangat mepet, sehingga kami baru bisa sarapan setelah sholat dzuhur.
Di kantin, kami melanjutkan perbincangan tentang tugas dan tantangan Relima. Terutama Relima Kukar yang tantangannya jauh lebih besar. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang transport agar aku bisa berkegiatan. Sepertinya bisnis-bisnis kecilku masih kurang untuk menopang semuanya.
"Huft ...! Andai aja aku punya bisnis besar dan uangku banyak. Nggak perlu mikir dua kali untuk sedekahkan hartaku di jalan literasi ini," batinku sembari mengaduk kuah rawon yang sudah tersedia di hadapanku.
"Meningkatkan literasi itu tugas negara, Rin. Ngapain kamu capek-capek ngurusin hal-hal yang seharusnya jadi tanggung jawab negara? Digaji kagak, keluar duit terus, iya." Kalimat jelek itu lagi-lagi muncul di kepalaku. Iblis di hatiku memang sering mengajakku bicara.
Kalau aku mikir ... ini tugasnya negara, nggak akan ada yang benar-benar peduli pada kemajuan di negeri ini. Sekolah kini hanya jadi formalitas untuk memenuhi gengsi atas status sosial. Bukan untuk mencetak generasi yang benar-benar unggul dan cerdas.
Kalau mikir ... nunggu kaya dulu baru bantu orang, kapan aku kaya? Karena standar kekayaan setiap orang itu berbeda. Kaya buatku, belum tentu kaya di mata orang lain.
Aku ingin jadi orang yang bermanfaat. Yang bisa aku sedekahkan adalah ilmu dan sedikit harta yang aku punya. Aku tidak ingin hidupku berakhir dengan hal yang sia-sia. Sekedar cari makan, kemudian mati.
"Kita ke mana lagi, nih? Mumpung free," tanya Pak Budi.
"Bebas, Pak. Saya ngikut saja," jawabku.
Kami bertiga seperti orang yang nggak punya kerjaan dan bingung mau ngapain.
Awalnya, kami ingin main ke Tirtonegoro Foundation atau ke Kampoeng Dongeng Etam Samarinda. Tapi ternyata, pemiliknya sedang sibuk berkegiatan. Kalau mainnya terlalu sore, nanti kemalaman sampai rumah.
Alhasil, kami memilih untuk langsung pulang saja. Dodi tak lagi ikut bersama kami. Aku hanya berdua dengan Pak Budi saja. Kami berbincang banyak hal, terutama tentang bagaimana mensiasati pergerakan Relima Kukar yang lokus kerjanya sangat luas.
Kami tak berharap banyak, hanya berharap pengabdian kami bisa dimudahkan dan diberikan keberkahan. Karena reward terbaik adalah reward yang diberikan oleh Allah.
Hai, namaku Walrina Munangsir. Cukup panggil Rin Muna saja. Nama Pena : Vella Nine
Hobi: Menulis, membaca dan menggambar dan bercerita.
- Juara Favorite Duta Baca Kaltim 2018
- Pemuda Pelopor Kutai Kartanegara 2019
- Founder Taman Bacaan Bunga Kertas
- Founder Mamuja (Mama Muda Samboja)
Telah menerbitkan 20 buku antologi sejak tahun 2015-2019. Penulis buku Best Seller "Perfect Hero", "Perfect Hero 2", "Shaum Me", "Then Love", "I am Here Mr. Rich", "Suami untuk Istri", "Assalamualaikum, Ya Habib!", "Magang 90 Hari", "Catch Me, Mr. Ghevin", "Menikahi Lelaki Brengsek", "The Cakra"
mantap ceritanya..semoga dibaca pak kadis provinsinya ya sibuk ya.
ReplyDelete