Sunday, August 17, 2025

THEN LOVE BAB 14 : MULAI NYAMAN

 BAB 14 - Mulai Nyaman



Pagi ini, Delana dan Chilton menikmati sarapan pagi bersama di taman kampus seperti biasa.

“Kayaknya lebih enak gini,” celetuk Chilton.

“Apanya?”

“Sarapannya ada yang nemenin. Daripada cuma ditontonin doang.”

Delana tersenyum. “Kebetulan aja aku tadi belum sempat sarapan di rumah.”

“Oh, aku kira kamu sengaja mau nemenin aku sarapan.”

Delana meringis mendengar ucapan Chilton. Entahlah, antara sengaja dan tidak sengaja. Delana lebih senang memerhatikan Chilton melahap habis masakannya daripada ia yang diperhatikan ketika ia makan. Ia sedikit canggung karena Chilton terus memerhatikannya.

“Makasih atas hadiahnya, ya!” ucap Delana sambil tersenyum lebar.

“Suka?”

Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Ntar sore berangkat les bareng, ya!” pinta Chilton.

Delana mengangguk tanpa menyahut sedikitpun.

“Kamu kenapa?” tanya Chilton.

“Eh!? Kenapa apanya?” Delana melongo menatap Chilton. Ia tak mengerti maksud pertanyaan cowok itu.

“Biasanya bawel. Kenapa cuma manggut-manggut aja?” tanya Chilton sembari menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri.

“Bawelnya udah pindah ke kamu.” Delana berusaha menahan senyum. Tapi, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan kalau wajahnya menahan tawa.

Chilton terdiam. Ia menoleh ke arah Delana yang duduk di sampingnya. Ia baru menyadari kalau ia memang lebih banyak bicara ketika bersama Delana. Rasanya, ia sulit melakukannya dengan orang lain. Apa karena Delana terlalu sabar dan tetap terlihat bahagia walau kadang ia tak bersahabat.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...!

Tiba-tiba ponsel Delana berdering. Ia mendapat telepon dari nomor luar negeri. Delana langsung menjawab panggilan telepon tersebut.

“Halo ... ini siapa ya?” tanya Delana karena nomor yang tertera tidak tersimpan di kontaknya.

“.....”

“Oh, kamu. Gimana kabarnya?”

“....”

“Aku juga baik. Di mana sekarang?”

“....”

“Hah!? Serius? Bulan Agustus?” tanya Delana. Ia melirik Chilton yang terlihat mulai gusar.

“....”

“Beneran, ya? Aku tunggu. Kangen banget udah lama nggak ketemu sama kamu,” tutur Delana penuh bahagia, karena ia memang sangat menantikan kehadiran teman lamanya itu.

“.....”

“Oke, deh. Bye ...!” Delana langsung mematikan sambungan teleponnya.

“Siapa?” tanya Chilton menyelidik.

“Temen sekolah dulu. Katanya mau ke sini karena kebetulan lagi liburan. Lama banget nggak ketemu dan dia sekarang di luar negeri.”

“Temen cowok?”

Delana tersenyum dan tidak ingin memberikan jawaban pada Chilton. Ia sengaja ingin melihat sikap Chilton. Apakah dia biasa-biasa saja atau akan cemburu ketika tahu kalau Delana akan bertemu dengan teman cowok.

Chilton tersenyum kecut membalas senyum Delana. Ia tidak mengerti kenapa ada perasaan aneh yang hinggap di hatinya saat ia tahu kalau Delana akan bertemu dengan seseorang. Ia berharap, teman laki-laki Delana itu bertubuh gemuk, kulitnya hitam, wajahnya jerawatan dan suka kentut sembarangan agar Delana ilfeel bertemu dengan teman luar negerinya itu.

“Besok nggak usah bawain aku sarapan, ya!” pinta Chilton.

“Eh!? Kenapa?” Delana tiba-tiba merasa bersalah karena Chilton akhirnya menolak sarapan buatannya untuk pertama kali.

Chilton tersenyum menatap Delana. “Besok ... aku mau masak. Dan kamu harus temenin aku sarapan!” pintanya.

“Hah!? Are you serious?” tanya Delana masih kurang yakin dengan ucapan Chilton.

“Emangnya aku kelihatan bercanda?” Chilton menatap serius wajah Delana.

Delana hanya tersenyum menanggapi. Ia percaya kalau kali ini Chilton memang serius. Ia menatap wajah Chilton dengan seksama. Tak ada gurat wajah kesal atau cemburu ketika Delana bilang akan bertemu dengan temannya yang bersekolah di luar negeri. “Apa dia emang nggak suka sama aku? Jadi, reaksinya biasa aja,” batinnya dalam hati.

***

“Ma, sibuk nggak?” tanya Chilton begitu masuk ke dalam rumah mamanya.

“Kenapa?” Astria menatap wajah Chilton yang terlihat kebas.

“Ajarin aku masak!” pinta Chilton sambil melempar ransel yang ia kenakan asal-asalan, tak peduli ransel itu tergeletak begitu saja di lantai.

Astria mengerutkan dahinya. Ia masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba Chilton minta diajari memasak. “Bukannya kamu sudah bisa masak?” tanya Astria.

“Cuma masak nasgor sama mie doang, Ma. Rasanya juga biasa aja. Aku mau belajar masak yang enaknya beneran,” sahut Chilton.

Astria menghela napas sejenak. Ia menatap Chilton dan bertanya, “kamu mau masak apa?”

“Apa aja, yang penting enak dan mudah.”

“Yang paling mudah ya bikin nasgor sama mie instan,” celetuk Astria.

“Mmh ... Nasgor aja. Tapi, yang rasanya kayak bikinan—” Chilton menghentikan ucapannya.

“Siapa?” Astria menaikkan satu alisnya. “Ibu kantin?” tanyanya kemudian.

Chilton menggelengkan kepala.

“Aha ... Mama tahu. Pasti yang kemarin kamu ajak ke sini, ya?” selidik Astria.

Chilton meringis sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Astria melipat kedua tangannya di depan dada. “Dia pacar kamu?”

Chilton menggelengkan kepala. “Cuma temen.”

“Kenapa kamu pengen banget bisa bikin nasgor yang enak? Bukannya kamu biasa makan nasgor masakanmu sendiri?”

“Aihh ... Mama ...!” rengek Chilton. “Aku mau kasih kejutan buat dia.”

“Hmm ...” Astria tersenyum menatap wajah anaknya. “Kamu suka sama dia?”

“Enggak.” Chilton menggelengkan kepala.

“Kenapa harus ngasih kejutan? Pasti dia spesial buat kamu ‘kan?”

“Ma, aku mau belajar masak. Bukan mau diinterogasi kayak gini. Mama mau ajarin aku atau enggak?” tanya Chilton.

“Iya ... Mama mau ajarin. Tapi, Mama juga perlu tahu apa yang bikin anak Mama berubah kayak gini.”

“Nggak ada, Ma. Aku cuma nggak mau berhutang budi terus sama dia. Hampir setiap hari dia selalu nyiapin sarapan buat Chilton. Aku cuma mau balas kebaikannya aja. Kita cuma temen biasa, nggak lebih.” Chilton bergegas memasuki dapur. Ia tak lagi peduli apakah mamanya akan mengajarinya memasak atau tidak. Jalan satu-satunya adalah belajar dari internet. Walau ia lebih banyak gagal daripada berhasil ketika ia menjadikan internet sebagai gurunya.

Astria mengikuti langkah Chilton memasuki dapur. Dengan senang hati ia mengajari anaknya memasak nasi goreng spesial seperti yang biasa ia buatkan untuk putera tercintanya itu.

“Nah, ini mantap!” puji Chilton pada masakannya sendiri saat ia sudah selesai memasak, dibantu dengan mamanya.

Astria tersenyum menatap anaknya yang tiba-tiba terlihat begitu bahagia dan ceria. Pemandangan yang tak biasa ketika melihat anaknya yang jarang berkomunikasi tiba-tiba menjadi anak yang sering tersenyum dan banyak bicara. Bahkan, ia belum pernah mendengar Chilton memuji masakan mamanya sendiri.

“Mmh ...” Chilton membalikkan tubuhnya menatap Astria. “Ma, besok pagi apa aku bisa masak dengan rasa yang sama?”

“Bisa,” jawab Astria sambil tersenyum lebar.

Chilton menghela napas. “Aku nggak yakin.”

“Harus yakin, dong!” Astria menggenggam pundak anaknya. “Semua akan terasa jauh lebih nikmat ketika kamu membuatnya dengan cinta.”

Chilton tertawa kecil. Ia menatap masakannya sendiri. Ia berharap, besok pagi bisa membuat nasi goreng yang lebih enak dari yang ia buat hari ini.

“Aku nginap di sini, ya! Mama bantu aku besok pagi,” pinta Chilton.

“Mau mama yang masakin?” tanya Astria.

“Jangan!” sahut Chilton. “Aku mau kasih masakan aku sendiri. Mau kayak gimana rasanya nanti. Yah, yang penting udah usaha pake tangan aku sendiri.”

“Goodluck!” Astria menepuk pundak Chilton dan berlalu pergi meninggalkan dapur.

Chilton tersenyum kecil menanggapi ucapan mamanya. Ia ingin sekali bisa mengucapkan terima kasih pada mamanya. Tapi, ia tidak tahu bagaimana cara memulainya.

***

“Chil, bangun sayang!” Astria mengetuk pintu kamar Chilton.

Chilton tak kunjung menjawab. Akhirnya, Astria memilih masuk ke dalam kamar anaknya dan langsung membangunkannya.

“Chil, bangun!” Astria menggoyang-goyangkan tubuh Chilton.

“Mmh ... jam berapa, Ma?” tanya Chilton.

“Jam lima,” jawab Astria.

“Masih pagi banget. Aku kuliahnya jam delapan.” Chilton menutup wajahnya dengan bantal agar ia tak bisa mendengar mamanya membangunkannya.

Astria menarik bantal yang dipake Chilton untuk menutupi telinganya. “Katanya suruh bangunin pagi-pagi, mau masak buat cewek yang kamu suka itu?”

“Hah!?” Chilton gelagapan dan langsung bangkit dari tidurnya.

Astria menggelengkan kepala melihat tingkah Chilton yang seperti anak kecil takut ketinggalan kereta liburannya.

Setelah mencuci wajahnya, Chilton bergegas masuk ke dapur. Semua bahan sudah disiapkan oleh mamanya. Namun, mamanya tidak ingin membantunya sedikitpun walau hanya mengupas kulit bawang. Astria duduk di meja makan sembari mengecek email yang masuk ke ponselnya.

“Ma, tolong icipin! Ini kurang apa ya?” tanya Chilton sembari menyodorkan satu sendok nasi goreng yang sudah hampir masak.

Astria meraih sendok yang disodorkan oleh Chilton dan langsung mencicipinya. “Kurang garam dikit,” tuturnya kemudian.

“Oke.” Chilton kembali berlari mendekati kompor. Ia menambahkan sedikit garam pada nasi goreng yang sudah matang. Ia mencicipinya sekali lagi. Setelah dirasa enak, ia langsung mematikan kompor dan mencari kotak bekal di rak piring.

“Cari apa?” tanya Astria yang menyadari Chilton sedang mencari sesuatu.

“Kotak bekal.”

“Di lemari yang kuning itu!” tunjuk Astria.

Chilton langsung membuka lemari yang dimaksud mamanya dan mengambil salah satu kotak bekal yang tersimpan di dalamnya bersama dengan perabotan lainnya. Ia langsung memasukkan nasi goreng ke dalam kotak nasi dan menutupnya rapat-rapat.

“Jangan langsung ditutup, tunggu dingin dulu!” seru Astria.

“Eh!? Biar tetep anget, Ma.”

“Nanti berair. Lebih baik tunggu dingin dulu sambil kamu mandi.”

“Oh, gitu?” Chilton menuruti perkataan mamanya. Ia membuka kembali kotak bekal tersebut dan meninggalkannya. Ia bergegas naik ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.

Chilton langsung memasukkan kotak bekal ke dalam ransel dengan tergesa-gesa. “Mama tumben belum berangkat kerja?” tanya Chilton.

“Lagi nggak banyak kerjaan.”

“Oh. Aku berangkat dulu, Ma!” pamit Chilton sembari mencium pipi mamanya.

“Iya, hati-hati!” seru mamanya. “Salam buat dia ya!”

“Dia siapa?” teriak Chilton pura-pura tak tahu. Ia bergegas keluar dari rumah dan tak lagi bisa mendengar ucapan mamanya.

***

Delana melangkahkan kaki dengan ceria menuju kampus. Ia sengaja tak membawa bekal sarapan seperti biasa karena Chilton sudah berjanji akan membuat masakan untuknya hari ini. Ia tak menyangka kalau cowok itu suka memberikan kejutan kecil untuknya. Tidak pernah mengucapkan kata-kata romantis, tapi sikapnya membuat Delana jatuh cinta berkali-kali.

Delana menunggu Chilton di kursi taman seperti biasa. Ia menunggu sembari melihat-lihat beranda akun media sosialnya. Sesekali ia tertawa melihat postingan lucu dari temannya.

Dua puluh menit kemudian, Chilton akhirnya muncul dengan wajah sumringah.

“Udah lama nunggu?” tanya Chilton.

“Belum.”

Chilton duduk di samping Delana. Melepas ransel dan mengambil kotak bekal dari dalamnya. “Ini sarapan buat kamu!” Chilton menyodorkan kotak bekal itu kepada Delana.

Delana tersenyum dan menerimanya. “Makasih, ya!” Ia langsung membuka kotak bekal tersebut dan mendapati isinya sudah berhambur. Ia tertawa kecil namun tetap mencicipinya dengan senang hati.

“Kok, terhambur gitu ya?” Chilton menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kamu masukin di ransel. Jelas aja terhambur,” sahut Delana. “Tapi, rasanya tetep enak, kok.”

“Serius?”

Delana menganggukkan kepala. “Ini beneran kamu yang masak?”

“Bener, lah! Kamu ini kayak nggak percaya sama aku gitu?”

“Iya. Aku percaya.” Delana tersenyum menatap Chilton.

“Enak, nggak?” tanya Chilton.

“Enak.”

Chilton menghela napas. “Syukur, deh!”

Delana tersenyum menanggapi ucapan Chilton. “Betewe, si Attala gimana kabarnya? Masih nge-game?” tanya Delana.

“Masih.”

“Kuat banget dia nge-game.”

Chilton hanya tersenyum menanggapi ucapan Delana.

“Masih pacaran sama coser seksi itu?” tanya Delana lagi.

Chilton mengedikkan bahunya. “Mereka udah lama putus gitu loh.”

“Oh, iya ya? Lupa aing.” Delana menepuk jidatnya.

Chilton tersenyum kecil sembari menatap wajah Delana.

“Kamu nggak balik nge-game lagi?” tanya Delana.

Chilton menggelengkan kepala. “Males, rusuh!”

“Artis emang gitu, banyak fansnya,” tutur Delana sembari memakan masakan Chilton untuk pertama kalinya.

Mereka menikmati sarapan pagi bersama sebelum akhirnya masuk ke kelas masing-masing.


***


Chilton mondar-mandir di taman kampus. Sesekali ia melihat arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya. Lima belas menit lagi masuk kelas. Tapi, Delana tak kunjung datang. Tak seperti biasanya, Delana selalu datang terlebih dahulu dan menunggu Chilton. Kali ini, Delana tak terlihat dan tak ada tanda-tanda kalau cewek itu akan datang.

 “Del, kamu di mana, sih?” gumam Chilton.

Ia merogoh ponsel di sakunya kemudian menelepon nomor Delana. Tapi, nomor ponsel Delana tidak aktif dan membuatnya semakin resah.

Selama jam pelajaran berlangsung, Chilton terlihat gusar. Entah kenapa ia merasa khawatir ketika sosok yang biasa ia temui setiap hari tiba-tiba tak muncul di hadapannya dan tidak ada kabar sama sekali.

Saat jam istirahat, Chilton memutuskan untuk mencari Delana ke kelasnya. Namun, teman-teman sekelasnya bilang kalau Delana tidak masuk kuliah hari ini.

“Kenapa dia nggak masuk?” Pertanyaan Chilton tak mendapat jawaban karena semua orang yang ia tanya mengedikkan bahunya.

Chilton menghela napas kecewa. Ia berusaha menelpon Delana tapi nomor ponselnya tak kunjung bisa dihubungi. Hampir saja ia membanting ponselnya karena kesal.

Chilton kembali ke kelas. Ia mengambil ransel miliknya dan bergegas keluar dari kampus. Ia tak lagi peduli dengan mata kuliahnya. Ia terus berlari sampai ia menemui rumah putih berlantai dua yang ada di dalam gang seberang kampusnya.

Chilton menekan bel beberapa kali tapi tak ada yang keluar untuk membukakan pintu. Chilton mengamati halaman rumah Delana dari balik pagar besi. Garasi mobilnya tertutup rapat dan lampu teras masih menyala. Artinya, tidak ada orang di dalam rumah itu sejak semalam atau kemarin. Sebab, rumah yang berpenghuni tidak akan membiarkan lampu teras rumahnya menyala pada siang hari.

Chilton membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kaki dengan gontai. Ia terlihat tak begitu semangat dan langsung kembali ke asrama.

“Hei, Chil ... kamu kenapa?” sapa Attala saat bertemu dengan Chilton di koridor asrama. “Kayak orang lagi putus cinta aja. Kusut banget tuh muka.”

Chilton tak menjawab. Ia bersikap dingin dengan temannya sendiri. “Kamu nggak kuliah?”

“Nggak. Bangun kesiangan,” jawab Attala meringis.

Chilton tersenyum sinis dan langsung meninggalkan Attala. Ia sudah hafal kenapa Attala sering bangun kesiangan. Sudah jelas ia bermain game online sampai larut malam.

Sementara Attala hanya menggeleng-gelengkan kepala karena menjadi sasaran kekesalan Chilton.

Chilton langsung masuk kamar dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar dan membayangkan setiap hari yang ia lewati bersama Delana. Ia merasa hari ini begitu kosong karena tak lagi melihat senyum dan tawa gadis itu.

“Kamu ke mana sih, Del?” gumam Chilton. Ia mencari ponsel dan kembali berusaha menelepon Delana. Ia berharap, nomor ponselnya bisa dihubungi kali ini.

TUUT ...

TUUT ...

TUUT ...

Chilton tersenyum karena akhirnya nomor ponsel Delana aktif juga. Tapi, Delana tak kunjung menjawab telepon darinya. Pada panggilan keempat, barulah Delana menjawab panggilan dari Chilton.

“Halo ...!” Terdengar suara Delana dari seberang sana.

“Halo, kamu di mana?” tanya Chilton langsung bangkit dari tidurnya.

“Aku lagi di Berau.”

“Ngapain di sana?” tanya Chilton.

“Liburan, dong!” jawab Delana ceria.

“Kamu pergi liburan nggak ajak-ajak. Nggak ada ngasih kabar juga. Kamu ke Derawan?” tanya Chilton.

“Hehehe ... aku juga nggak tahu. Mendadak ayah ngajak ke sini karena dia ada urusan kerjaan. Selajur ngajak aku sama Bryan liburan.”

“Oh, gitu? Kenapa nomer kamu nggak aktif dari tadi pagi?”

“Lupa nge-charger hp.”

“Kebiasaan!”

“Hehehe ... kamu lagi apa? Bukannya ini jam kuliah? Kok, bisa telepon aku?”

“Aku nggak kuliah.”

“Kenapa?”

“Terlanjur bete.”

“Bete kenapa?” tanya Delana.

“Kapan balik?” tanya Chilton balik, ia enggan menjawab pertanyaan dari Delana.

“Besok pagi udah balik, kok. Kenapa? Kangen ya?” goda Delana.

“Gak!” jawab Chilton singkat.

“Oh, ya udah. Kalo nggak kangen ya aku nggak usah balik. Di sini banyak turis-turis ganteng. Kayaknya, aku betah deh di sini,” tutur Delana, ia sengaja ingin tahu reaksi Chilton.

Chilton geram mendengar penuturan Delana. “Ya udah, nggak usah balik! Di sini juga banyak cewek-cewek cantik!” Chilton memaki layar ponselnya. Ia langsung mematikan panggilannya dan melempar ponselnya ke atas kasur. Ia semakin kesal dengan sikap Delana yang begitu menyepelekan dirinya.

“Dia itu suka sama aku atau nggak sih!?” tanya Chilton pada dirinya sendiri. “Kadang perhatian banget, kadang nyebelinnya minta ampun,” celetuknya.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...!

Tiba-tiba ponsel Chilton bergetar. Ia langsung meraih ponselnya dan membuka pesan Whatsapp dari Delana.

Delana mengirimkan pesan video dengan latar pantai yang terlihat sangat memesona. “Jangan ngambek gitu, dong! Jelek tahu! Ini, aku lagi di pantai sama Bryan.” Delana menunjukkan tubuh Bryan yang berdiri di belakangnya sambil memegang kamera DSLR.

“Kalo mau, nyusul aja ke sini! Tapi, besok pagi aku udah pulang. Hehehe ...” Delana tersenyum sembari memainkan kedua mata dengan gaya manja. Membuat Chilton tertawa melihatnya. “Kalo udah kelar ngambeknya, telepon aku lagi ya! Aku mau jalan-jalan dulu sama Bryan. Mumpung ada fotografer, mau foto-foto dulu! Bye ...!” Delana melambaikan tangannya dan video itupun berakhir.

Chilton tertawa kecil membayangkan wajah Delana yang selalu terlihat ceria. Tingkah lucunya seringkali membuat Chilton tertawa sendiri setiap mengingatnya.

Chilton tak lagi kesal, suasana hatinya kini telah berubah menjadi ceria. Ia langsung bangkit dari tempat tidur, menatap wajahnya di cermin. Ia memerhatikan wajahnya dengan seksama dan memang terlihat kusam dan kusut. Ia merapikan rambutnya yang berantakan. Namun, tetap saja usahanya tak berhasil membuat penampilannya lebih baik.

Akhirnya, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu agar wajahnya terlihat lebih segar.

Setelah merasa penampilannya lebih baik, Chilton meraih ponsel yang ia letakkan di atas kasurnya dan melakukan panggilan video pada Delana.

“Hai ... baru mandi?” tanya Delana begitu mereka tersambung dengan panggilan video.

Chilton hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Delana. “Kamu lagi di mana?” Chilton balik bertanya.

“Aku lagi makan di kafe deket villa,” jawab Delana sembari menyuap makanan yang sudah ada di hadapannya.

“Tempatnya kayak asyik banget.” Chilton mendekatkan wajahnya ke ponsel untuk mengamati sekitar Delana yang terlihat begitu asri. Semua bangunannya terbuat dari kayu ulin.

“Iya. Coba lihat!” Delana mengarahkan kamera ponsel ke arah meja yang ada di depannya. Meja makan yang melingkar itu bolong di tengah-tengahnya dan langsung memperlihatkan pemandangan bawah laut dengan air yang sangat jernih. Ia bisa melihat ikan-ikan dan terumbu karang di bawahnya.

“Asyik buat bulan madu, tuh,” celetuk Chilton.

“Iya. Banyak pasangan yang nginap di sini buat nikmatin bulan madu.”

“Kamu tahu dari mana?”

“Dari guide lah.”

“Oh. Kamu sendiri nggak bulan madu?” tanya Chilton cekikikan.

“Bulan madu sama siapa?” tanya Delana balik. “Nikah aja belum.”

Chilton tergelak. Ia menatap wajah Delana yang terlihat melirik ke sana ke mari. “Kamu lihatin apa sih?” tanya Chilton.

“Lihat bule-bule ganteng,” jawab Delana santai. “Tapi, udah ada pasangannya semua,” lanjutnya.

Chilton tergelak. “Kamu suka sama bule?”

“Nggak juga, sih. Tapi, aku emang suka sama cowok ganteng.”

“Makasih,” sahut Chilton.

“Hahaha.”

Chilton dan Delana terus mengobrol via video call. Delana akhirnya memilih berdiam diri di dalam villa sambil menerima telepon dari Chilton. Ia membiarkan Bryan berkeliling sendirian sembari membidik objek-objek menarik dengan kameranya.

“Masih telponan?” tanya Bryan sambil meletakkan kameranya di atas meja setelah ia puas berkeliling.

Delana menganggukkan kepala.

“Katanya nggak pacaran. Tapi, kalo telponan udah kayak orang pacaran aja,” celetuk Bryan. Ia menyingsingkan lengan kaosnya dan bergegas masuk ke kamar mandi.

“Siapa?” tanya Chilton yang hanya mendengarkan suara laki-laki yang bersama Delana.

“Bryan.”

“Oh. Ayah kamu mana? Dari tadi nggak kelihatan,” tanya Chilton.

“Ayah meeting sama kliennya.”

“Kamu sering diajak ayah kamu keluar kota kayak gitu?” tanya Delana.

Delana menganggukkan kepala. “Kalau jauh dan ada tempat liburannya, ayah pasti ngajak kita sekalian. Kalo cuma kerjaan di Balikpapan aja, ya nggak pernah ngajak kecuali family gathering.”

“Sering-sering aja kerja keluar kota, jadi kamunya juga sering diajak liburan.” Chilton tertawa kecil.

“Hahaha ... aamiin ...!” sahut Delana. “Tapi, ayah ngajak liburan kayak gini juga belum tentu setahun sekali,” celetuknya.

“Yang penting ada lah.”

“Iya juga, sih. Eh, udah dulu ya! Aku mau mandi,” ucap Delana.

“Oke, deh.”

Delana tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah kamera. “Bye ...!” Ia langsung mematikan sambungan panggilan videonya. Ia bergegas mandi dan istirahat karena sudah harus pulang ke Balikpapan pagi-pagi sekali.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas