Sunday, August 17, 2025

THEN LOVE BAB 13 : HADIAH KECIL UNTUK DELANA

 BAB 13 - Hadiah Kecil untuk Delana



Delana menari-nari bahagia sambil bersenandung ketika ia memasuki kamarnya. Ia meletakkan kotak kado di atas ranjang dan membukanya perlahan.

“Oh, My God!” seru Delana begitu melihat isi kotak hadiah itu. Ia melompat-lompat kegirangan sambil memeluk hair dryer yang diberikan Chilton.

Delana menghempaskan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Membuatnya sedikit melayang karena pantulan dari kasur ber-peer miliknya. Ia masih memeluk hadiah dari Chilton sambil tersenyum sendiri menatap langit-langit kamarnya.

“Kapan Chilton beliinya, ya?” gumam Delana. Ia mencoba mengingat-ingat, sebab Chilton selalu bersamanya saat membeli hair dryer tersebut. Seharusnya dia tahu kalau Chilton membeli barang lebih dari satu.

Ia tak lagi peduli. Yang penting, dia bahagia saat ini. Saking bahagianya ia sampai berguling-guling di kasur hingga bantal dan guling terhempas ke lantai.

Tok ... tok ... tok ...!

Delana terdiam, ia menatap pintu kamarnya yang tiba-tiba diketuk.

“Del, sudah tidur?” tanya Harun Aubrey, ayah Delana.

Delana tidak langsung menjawab. Ia bangkit dan bergegas membukakan pintu untuk ayahnya. “Ayah sudah pulang?” tanya Delana begitu mendapati ayahnya sudah berdiri di depan pintu. Ia tersenyum dan langsung memeluk ayahnya.

Harun menepuk-nepuk bahu Delana. Ia menyadari kalau putri tercintanya itu sangat merindukannya, sama seperti yang ia rasakan.

“Ayah sudah makan?” tanya Delana melepas pelukannya.

“Sudah. Tadi, ayah sudah makan sama klien di luar. Kamu sudah makan?” tanya Harun.

“Sudah. Aku baru pulang dari rumah temen.”

“Oh ya? Cewek atau cowok?” selidik Harun.

“Kalo cewek, kenapa? Kalo cowok, kenapa?” tanya Delana balik sambil tersipu malu.

“Hmm ... putri kesayangan Ayah sudah mulai main rahasia-rahasiaan, ya?” Harun mencubit hidung Delana.

Delana tersenyum. “Ayah mau minum?” tanya Delana.

“Ayah baru aja minum.”

Delana tersenyum, ia tahu kebiasaan ayahnya selalu minum bir bersama klien dan teman kerjanya. “Aku buatkan kopi hangat, gimana?”

“Boleh.” Harun melonggarkan dasinya. “Bryan udah tidur?”

“Kayaknya sudah. Aku lihat dulu di kamarnya.”

“Boleh. Ayah bawakan pizza buat kalian. Ayah tunggu di bawah.”

“Oke. Makasih, Ayah!” Delana langsung bergegas menuju pintu kamar Bryan dan mengetuknya beberapa kali.

“Dek ...!” panggil Delana.

“Ya, Kak!” Bryan langsung membukakan pintu kamarnya.

“Belum tidur?”

“Belum.”

“Masih nge-game?”

Bryan meringis mendengar pertanyaan kakaknya.

“Ditunggu ayah di bawah.”

“Ayah sudah pulang?”

Delana tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Tumben ayah pulang jam segini?” tanya Bryan.

“Pasti ayah lagi nggak sibuk kalau pulang cepat. Yuk, turun!” Delana merangkul pundak Bryan dan bersama-sama menuruni anak tangga menuju meja makan.

Harun sudah duduk di kursi meja makan saat kedua anaknya turun dari kamar.

“Wah ... enak nih. Kebetulan aku lagi laper banget!” Bryan langsung menyambar kotak pizza yang ada di atas meja makan.

Harun mendongakkan kepala menatap Delana. Tidak biasanya Bryan sampai kelaparan. Jelas saja ia kesal karena menganggap Delana tak memperhatikan adiknya.

“Kamu belum makan?” tanya Harun pada Bryan.

Bryan menggelengkan kepala. Ia langsung melahap potongan pizza yang sudah ada di tangannya.

“Kamu nggak masak buat dia?” tanya Harun pada Delana.

“Eh ... aku ...”

“Dari pagi nggak pulang,” sambar Bryan tanpa rasa bersalah karena sudah mengadukan perbuatan kakaknya.

“Kakak sudah bilang kalo nggak bisa pulang cepet. Makan aja bisa delivery. Kamu aja yang manja!” celetuk Delana kesal.

“Kakak nggak ada nyuruh pesan makan. Aku kan nggak punya uang,” sahut Bryan.

“Kamu jangan kayak orang susah, deh. Uang jajan kamu kan banyak.”

“Aku pake buat beli sepatu baru.”

“Kamu kenapa nggak bilang ke Kakak kalo kamu nggak ada uang buat beli makan?” tanya Delana kesal.

“Udah, jangan berantem!” Harun menengahi. “Bryan, makan yang banyak biar kenyang!” pintanya. “Mana kopi buat Ayah?” tanya Harun.

“Astaga ...!” Delana menepuk dahinya. “Lupa kan? Kamu sih, Dek.” Delana menyikut tubuh Bryan.

“Kok, aku sih?” protes Bryan.

Delana mencebik, ia bergegas ke dapur, membuatkan secangkir kopi untuk ayahnya.

“Dek, kakak kamu sudah punya pacar?” tanya Harun berbisik pada Bryan. Matanya melirik ke arah Delana yang sedang membuat kopi di dapur untuk memastikan putrinya itu tak mendengar pembicaraannya.

Bryan mengedikkan bahunya. “Tapi, dia sering pulang dianter sama cowok,” sahut Bryan berbisik.

“Siapa?” tanya Harun masih berbisik.

Bryan menggelengkan kepalanya.

“Cowoknya gimana?? Ganteng nggak? Tajir nggak?” tanya Harun.

“Ganteng. Tapi, masih ganteng aku,” tutur Bryan penuh percaya diri. “Kalo kaya atau enggaknya, aku nggak tahu. Yang jelas, dia sering nganter kakak pake mobil.”

“Bisa aja itu mobil rentalan,” bisik Harun.

Bryan langsung tertawa terbahak-bahak. Ayahnya langsung memintanya untuk mengecilkan volume suaranya agar tidak terdengar oleh Delana

“Ngomongin apa?” tanya Delana sembari meletakkan secangkir kopi di depan ayahnya.

“Ngomongin urusan laki-laki,” sahut Bryan santai.

Delana nyengir. Ia langsung duduk di sebelah Bryan. “Kamu mau susu, dek?” tanya Delana.

“Mau ... mau!”

“Bikin sendiri ya!” Delana meringis ke arah Bryan.

“Kirain mau bikinin,” celetuk Bryan.

“Ya udah, Bryan bikin sendiri!” pinta Harun sambil mengangkat kedua alisnya, meminta Bryan untuk pergi agar ia bisa mengobrol dengan kakaknya.

Bryan yang menyadari kode dari ayahnya langsung bangkit dan berjalan menuju dapur untuk membuat susu.

“Del, kamu sudah punya pacar?” tanya Harun tanpa basa-basi.

“Belum, Yah.”

“Beneran? Yang sering kamu ceritain ke Ayah, siapa?”

“Chilton?” tanya Delana.

Harun menganggukkan kepala.

“Masih temen,” tutur Delana.

“Masih?” Harun mengernyitkan dahinya. “Apa itu artinya ada kemungkinan jadi lebih dari temen?”

“Ayah kenapa sih?” tanya Delana tersipu malu. Ia ingin mengalihkan pembicaraan agar ayahnya tak lagi membahas tentang cowok yang sedang dekat dengannya.

“Hmm ... Ayah cuma pengen tahu seperti apa cowok yang lagi deket sama kamu.”

“Ayah ...,”

“Ayahmu ini pimpinan di perusahaan besar. Jadi, ayah harap kamu nggak sembarangan pilih laki-laki.”

Delana mengangguk perlahan.

“Ya, sudah. Ayah mau mandi dulu!” Harun memundurkan kursinya dan berdiri. “Masih ada stok bir?” tanyanya pada Delana.

“Masih, Ayah.”

“Bawakan ke kamar Ayah!” pinta Harun.

Delana melirik cangkir kopi yang belum disentuh oleh ayahnya. “Kopinya Ayah?” tanyanya.

“Taruh aja di situ. Abis mandi ayah ke sini lagi. Kalian jangan ke mana-mana!” pinta Harun.

Delana menganggukkan kepala. Setelah ayahnya masuk ke kamar, Delana bergegas ke dapur untuk mengambil botol bir dan meletakkannya di kamar ayahnya.

“Buat aku mana, Kak?” tanya Bryan yang mengetahui kalau kakaknya sedang menyiapkan sebotol bir untuk ayahnya.

“Kamu mau juga?” tanya Delana.

“Mau.”

“Habisin dulu susumu!” Delana menunjuk susu yang ada di tangan Bryan dengan dagunya.

“Halah ... bilang aja aku nggak boleh minum,” gerutu Bryan.

Delana hanya tersenyum.

“Malam ini tidur di kamar Ayah, ahh ...,” tutur Bryan.

Delana menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu kalau Bryan pasti akan menemani ayahnya minum bir sambil bermain kartu seperti biasanya. Delana tidak pernah memprotes, sebab hanya saat itulah Bryan dan ayahnya bisa menghabiskan waktu bersama. Ayah jarang sekali pulang cepat dan mengajak mereka bercengkerama sambil minum bir.

***

“Pagi, Ayah ...!” sapa Delana sembari menyiapkan sarapan untuk ayah dan adiknya.

“Pagi, puteri ayah yang cantik,” balas Harun langsung duduk di meja makan. “Bryan belum turun?” tanyanya sembari mendongak ke arah kamar Bryan yang ada di lantai dua.

“Belum. Paling sebentar lagi. Ayah semalam pulang jam berapa? Maaf, Dela udah tidur duluan.”

“Iya, nggak papa. Ayah juga pulangnya larut malam. Banyak kerjaan di kantor.”

Tak lama kemudian, yang dibicarakan langsung muncul menuruni anak tangga.

“Masak apa, Kak?” tanya Bryan sambil menengok menu masakan yang tersaji di atas meja.

Bryan tersenyum senang karena kakaknya memasak sup daging untuknya. “Enak, nih!”

“Papa juga mau!”

“Eits ...!” Delana menahan lengan ayahnya untuk mengambil sup daging buatannya. “Ayah harus ngurangin makan makanan yang berlemak. Ayah makan ini saja!” Delana mengambilkan menu vegetarian ke atas piring makan ayahnya.

Harun mengernyitkan dahinya, kemudian tersenyum menatap salad yang ada di depannya. Salad itu mengingatkan dirinya pada seseorang yang sangat mirip dengan puteri kecilnya.

“Ayah harus tetap sehat,” tutur Delana. “Ayah sering begadang karena kerjaan dan sering menghabiskan waktu minum bir. Mulai sekarang, aku bakal bikinin makanan yang nggak berlemak buat ayah supaya ayah tetap fit dan sehat,” tutur Delana sambil tersenyum ceria.

Harun tersenyum menatap puterinya. “Baiklah. Ayah nggak bisa menolak apa pun keinginanmu. Walau Ayah tahu kalau makanan ini tidak enak.”

Delana tertawa kecil. “Kalo udah terbiasa, bakal enak kok. Sehat itu lebih penting dari rasa.”

“Hmm ....” Harun mengangguk-anggukkan kepala sembari mengunyah salad sedikit demi sedikit.

“Yah, akhir-akhir ini ayah sering pulang larut malam. Apa hampir setiap malam klien ayah selalu mengajak makan malam selarut itu?” tanya Delana.

“Nggak juga. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu  di kantor akhir-akhir ini. Kadang-kadang klien ngajak makan malam dan minum bir bersama.”

Delana menghela napas. “Aku khawatir sama kesehatan Ayah.”

“Kalian nggak perlu khawatir.” Harun menatap Delana dan Bryan bergantian. “Ayah baik-baik aja.”

“Setidaknya, ayah nggak pernah pulang dalam keadaan mabuk,” tutur Bryan.

Harun tertawa kecil. “Satu botol bir tidak membuat mabuk.”

“Apalagi satu botol diminum berdua, hahaha ...” Bryan tertawa lepas.

Delana menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kelakuan dua laki-laki yang ada di dalam rumahnya itu. “Sepertinya aku harus masak salad setiap hari,” celetuk Delana.

“Uhuk ...!” Bryan tersedak saat ia sedang minum. Ia terkejut mendengar ucapan kakaknya. “Masak aja! Aku delivery,” tuturnya.

“Dek, salad itu sehat. Apalagi kalau sering begadang dan minum bir. Harus banyak makan sayur dan buah.”

Bryan menatap ayahnya yang membalas dengan senyuman. Mau menolak seperti apa pun, Delana sebagai perempuan satu-satunya di rumah ini akan selalu menang. Daripada membuat perdebatan semakin panjang, mereka memilih untuk diam dan menuruti saja keinginan Delana.

Delana mengambil kotak bekal yang sudah ia isi beberapa makanan pilihan untuk Chilton. Tentunya berbeda dengan menu untuk ayah dan adiknya.

Bryan mengintip isi kotak bekal tersebut. “Buat siapa, Kak?” tanya Bryan.

“Buat kakak, dong!”

“Bukannya Kakak udah sarapan di rumah?” tanya Bryan.

“Buat sarapan lagi.”

“Emangnya habis sebanyak itu?”

“Sama buat makan siang.”

“Emang masih enak dimakan siang?”

Delana memutar bola matanya. “Ndak usah kepo, kebanyakan nanya kayak gitu! Kamu mau bawa bekal juga?” tanya Delana.

Bryan menggelengkan kepala.

“Ayah berangkat dulu, ya!” Harun langsung memakai jas yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Ia bersiap pergi ke kantornya.

“Ayah, buru-buru banget,” celetuk Delana.

“Iya. Ayah ada rapat pagi sama tim sampai siang. Sore ada janji ketemu sama klien. Ayah berangkat dulu ya!” pamit Harun.

Delana tersenyum sembari menganggukkan kepala. Ia dan Bryan tak lupa menyium tangan ayahnya sebelum ayahnya berangkat ke tempat kerja.

“Habisin makannya!” dengus Delana ke wajah Bryan begitu ayahnya sudah keluat dari rumah. Ia langsung menyambar kotak bekal dan bergegas berangkat ke tempat kuliahnya.

“Halah ... aku tahu kalo bekal yang kakak bikin buat cowok itu kan?” teriak Bryan saat Delana sudah berjalan mendekati pintu keluar rumahnya.

“Bukan urusanmu!” sahut Delana sambil menjulurkan lidahnya. Ia langsung bergegas berangkat kuliah, membiarkan Bryan melanjutkan sarapannya seorang diri. Sebab, dia memang sangat santai pergi ke sekolahnya.

***

Delana celingukan menjacari sosok dua sahabatnya. Ia tidak bisa menghubungi karena ponselnya tertinggal di rumah. Akhirnya, ia memilih bertanya dengan teman sekelas Belvi.

“Belvi ke mana ya?” tanya Delana.

“Ke kantin kayaknya. Bareng Ivo, tadi.”

“Oke. Makasih ya infonya.” Delana langsung bergegas menuju kantin dan mendapati dua sahabatnya sedang makan siang di kantin kampus.

“Hai, Bel ...!” sapa Delana pada dua.

“Hai ...!” sahut Belvina dan Ivona berbarengan.

“Ceria banget? Lagi fall in love kayaknya,” celetuk Ivona.

Delana tersenyum dan langsung duduk di depan dua sahabatnya.

“Kayaknya kalo fall in love udah dari kemarin-kemarin,” sahut Belvi.

Mereka tertawa bersamaan.

“Del, kamu nggak main PUBG lagi?” tanya Belvi.

Delana menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Chilton udah pensiun main game.”

“Jadi, kamu ikut pensiun juga?”

“Ya ... aku kan main game karena dia main. Kalo enggak, ya males nge-game.”

“Kenapa dia berhenti nge-game? Bukannya dia ketua di organisasi game?” tanya Belvi.

“Iya. Gara-gara si Chillo nyebarin foto Chilton ke chat room grup. Karena banyak yang gangguin, dia milih offline.”

“Pantes aja kamu nggak pernah online lagi.”

Delana tersenyum. “Sekarang, aku kerja di salah satu tempat kursus. Jadi guru les, bareng Chilton juga.”

“Hah!? Serius? Dia ngajar?” seru Ivona terkejut mendengar ucapan Delana.

Delana tersenyum sembari menganggukkan kepala.

“Gimana dia ngajar ya? Ngomong aja jarang. Emang bisa dia ngajar?” tanya Belvi.

“Buktinya bisa. Anak-anak suka banget belajar sama dia.”

“Wah ... bakal heboh seisi kampus kalo tahu ini. Chilton orangnya dingin gitu bisa ngajar? Aku masih nggak percaya,” celetuk Ivona.

“Kenapa nggak percaya? Aku yang ngajar bareng dia, percaya aja.”

“Bukan gitu, Del. Secara, dia itu ngomong aja jarang. Masa iya ngajar? Aku ngebayangin dia kayak manekin gitu di depan kelas,” tutur Belvi sambil cekikikan.

“Dia nggak secuek dan sependiam yang aku kira. Kalo udah kenal, dia itu bawel banget tahu! Dia juga ceria banget ngajar anak-anak SD. Kalo sama yang SMA, dia emang agak galak, sih,” tutur Delana sambil menahan tawa.

“Hmm ... kayaknya cocok tuh kalo jadi guru killer.”

“Iih ... mana cocok! Cowok ganteng, keren dan imut-imut gitu kamu samain sama guru killer?” protes Delana.

Belvi dan Ivona cekikikan membayangkan Chilton menjadi guru yang paling ditakuti oleh murid-muridnya di tempat kursus.

“Kalian kepikiran ngajar bareng dari mana?” tanya Belvi penasaran.

“Nggak kepikiran ngajar bareng. Awalnya aku yang masuk kerja karena aku bete nggak tau mau ngapain. Terus, aku cerita ke dia dan dia tertarik buat ikut ngajar juga.”

“Ckckck ...” Belvi menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak nyangka diem-diem ternyata kalian sudah sedekat itu.”

“Iya. Kamu nggak pernah cerita ke kita,” sahut Ivona.

“Ini cerita."

“Ceritanya baru sekarang. Udah basi!” celetuk Ivona.

“Yaelah, aku baru ketemu sama kalian. Kalian juga sibuk banyak kegiatan.”

“Kamu kali yang sibuk karena sudah bareng dia mulu. Jadi, lupa sama kita.”

“Iih ... kalian kok ngomongnya gitu sih? Maaf, kalo aku emang belum sempat cerita.”

“Iya. Kita ngerti kok kalo kamu lagi sibuk bareng dia.”

Delana menghela napas. “Pulang kuliah, aku langsung ngajar sampe malam,” tuturnya. “Jadi, aku emang udah capek banget,” lanjutnya. “Lagian, kapan sih aku nggak pernah cerita ke kalian?” Delana terlihat sedih karena dua sahabatnya terlihat tak bersahabat.

Belvi dan Ivona tertawa terbahak-bahak melihat wajah Delana yang murung.

“Kalian ngerjain aku?” dengus Delana.

Belvi dan Ivona masih terus tertawa. Sebagai sahabat, mereka saling mengerti satu sama lain dan sebenarnya mereka tahu kalau Delana dan Chilton memang sedang dekat dan sering bersama.

Delana melipat kedua tangan melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia kemudian menyondongkan badannya menatap Belvi dan Ivona. “Eh, aku mau minta saran dong sama kalian,” tutur Delana.

“Saran apa?” tanya Belvi dan Ivona berbarengan.

“Gini ...” Delana menarik napas terlebih dahulu sebelum bercerita. Membuat Belvi dan Ivona menatap serius ke wajah Delana. “Kemarin, Chilton minta temenin aku cari hadiah buat mamanya. Terus ... dia beliin aku hadiah yang sama, sama yang dikasih ke mamanya,” ujar Delana.

“Terus?” Ivona menatap Delana serius.

“Nah, dia kan udah ngasih aku hadiah. Bagusnya, aku kasih hadiah apa ya buat dia?” tanya Delana.

“Emang mamanya dia ulang tahun?” tanya Belvi.

Delana menggelengkan kepala.

“Kok, ngasih kado?”

“Nggak harus nunggu hari ulang tahun kalau mau ngasih hadiah, mah.”

“Enak banget, nggak ultah aja dikasih kado,” celetuk Belvi.

“Berarti, Chilton itu termasuk cowok romantis.” Ivona menatap kosong sembari membayangkan wajah Chilton yang begitu romantis memberikan hadiah padanya.

“Eh!” Delana menyenggol lengan Ivona. “Dia gebetanku!” dengusnya.

“Iya, tahu!” sahut Ivona sembari memainkan bibirnya.

“Ya udah. Nggak usah ngehayalin dia mulu,” celetuk Delana.

“Idih, siapa juga yang ngehayalin dia? Aku ngehayalin pangeran aku sendiri, dong!” Ivona menjulurkan lidahnya.

“Awas aja ngayalin gebetan aku ya!” dengus Delana.

“Udah, jangan berantem!” Belvi menengahi.

“Ya udah. Balik ke topik awal! Bagusnya aku kasih kado apa buat Chilton?” tanya Delana.

“Yah, apa aja bagus yang penting ikhlas,” sahut Belvi.

“Kasih kaos atau sepatu?” tanya Ivona.

“Jangan deh! Udah terlalu biasa.”

“Terus apa dong?” tanya Ivona.

“Kamu maunya ngasih apa?” tanya Belvina.

“Hmm ... apa ya?” Delana mengetuk-ngetuk dagunya. “Aku maunya ngasih hadiah yang nggak usah pake size. Takutnya nggak pas,” lanjutnya.

“Hmm ... pinter juga ya?” sahut Ivona. “Gimana kalo kasih gitar aja?”

“Astaga ... itu ribet, Vo. Gitar itu kan gede,” protes Delana.

“Del, bisa aja si Chilton emang sekalian beliin kamu sebagai tanda terima kasih. Jadi, kamu nggak usah terlalu kepedean dan nganggap kalo itu hadiah yang spesial buat kamu,” tutur Belvina.

Delana terdiam. Memang benar kalau Chilton sekalian membeli. Tapi, dia membelikan untuk Delana sebagai hadiah. Hadiah? Atau hanya sekedar ucapan terima kasih karena Delana sudah menemaninya mencari hair dryer untuk mamanya?

Delana menjatuhkan wajahnya ke atas meja. Ia menjadi tak bersemangat setelah mendengar ucapan Belvi.

“Jadi gimana? Aku kasih hadiah balik buat dia atau enggak?” tanya Delana.

“Hmm ... aku rasa nggak perlu,” tutur Belvi.

“Seriusan?”

“Iya, Del. Lagian aku lihat si Chilton itu udah mulai suka sama kamu. Cuma kamu doang yang bisa deket sama dia. So, kamu harus mulai jual mahal. Jangan ngasih-ngasih mulu ke dia. Biar kamu bisa tahu kalo dia itu suka sama kamu beneran atau enggak,” tutur Ivona berbisik.

Delana mengangkat kepalanya. Ia menimbang-nimbang ucapan Ivona. Ucapan Ivona ada benarnya juga. Ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk membeli hadiah buat Chilton.

“Iya. Aku rasa dia juga bukan tipe cowok yang ngarepin balesan waktu ngasih hadiah ke orang lain.” Celetuk Belvi.

“Kamu tahu dari mana?” tanya Delana.

“Astaga ... lihat aja gayanya yang cuek gitu!” Belvi menunjuk Chilton yang sedang berjalan di koridor dengan dagunya.

Delana memutar kepala melihat sosok yang dimaksud oleh Belvi. Chilton tetap berjalan dengan gaya cueknya. Tak menghiraukan siapa pun yang menyapanya. Hanya sekedar tersenyum kecil dan berlalu begitu saja.

“Cuma kamu satu-satunya cewek yang bisa bikin dia cair,” bisik Ivona.

“Apaan sih? Emangnya es batu?” sahut Delana.

“Aku rasa dia sama es batu sama-sama dinginnya dan batu banget pikirannya. Cuma orang yang hangat yang bisa membuatnya mencair,” tutur Ivona.

“Eh, dia ke sini.” Belvi menyikut lengan Ivona agar ia berhenti membicarakan Chilton.

“Serius?” tanya Delana lirih tanpa berani menoleh ke belakangnya.

“Bercanda. Hahaha.” Belvi dan Ivona tergelak. Membuat Delana merengut, ia kesal karena dua sahabatnya itu sengaja mengerjainya.

“Mukamu udah merah gitu. Sok-sokan malu,” celetuk Belvi.

“Iih ... bukan sok-sokan. Aku malu beneran kalo ketahuan lagi ngomongin dia,” tutur Delana lirih. “Lagian, dia nggak seneng lihat cewek ngumpul-ngumpul kayak gini terus yang dibicarain orang lain.”

“Serius dia nggak suka?”

“Iya. Dia bilang, cewek kalo ngobrol nggak ada hal lain yang dibicarain selain temannya sendiri atau teman dari temannya.”

Belvi mengangguk-anggukkan kepala. “Bener juga sih. Cewek emang gitu.”

Ivona tergelak mendengar ucapan Belvi.

“Jadi, gimana nih? Aku kasih kado ke dia atau enggak?” tanya Delana lagi.

Belvi menghela napas. “Tadi kita bilang apa?” tanyanya kemudian. Ia mulai kesal dengan pertanyaan sama yang diajukan oleh Delana.

“Tapi, rasanya gimana gitu kalo aku nggak ngasih hadiah balik ke dia.”

“Gimana apanya?” tanya Belvi.

“Yah ... terserah kamu aja sih mau gimana,” tutur Ivona. “Kalo menurut aku belum perlu sampe kamu bener-bener tahu apa yang dia paling suka dan apa yang paling dia benci.”

“Gitu ya? Oke, deh. Aku ikutin saran kalian,” tutur Delana. “Tapi, itu nggak bakal bikin dia menjauh dari aku, kan?”

“Enggaak ...!” sahut Belvi dan Ivona berbarengan.

Delana tersenyum senang. Ia merasa tak perlu memberikan hadiah untuk Chilton. Toh, Chilton sudah terlihat senang setiap Delana membawakan sarapan pagi untuknya. Mungkin, besok pagi Delana akan menyiapkan menu sarapan spesial untuk Chilton.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas