Saturday, August 16, 2025

THEN LOVE BAB 12 : MASAKAN YANG DIRINDUKAN

 BAB 12 - Masakan yang Dirindukan




“Lagi apa, Ma?” tanya Chilton saat ia pulang ke rumah dan mendapati mamanya sedang mengeringkan rambut di dekat pintu kamar mandi.

“Ngeringin rambut,” sahut Astria sembari menggoyang-goyangkan hair dryer ke arah rambutnya.

“Panas banget, Ma!” Chilton menjauhkan wajahnya yang terlalu dekat dengan mamanya.

“Namanya juga hair dryer. Ya panas, dong!” sahut Astria. “Tapi, ini emang udah lama. Jadi, agak error gini.” Astria mematikan hair dryer dan meletakkannya di atas meja. “Harus didinginkan dulu, baru bisa dipakai lagi.”

Chilton mengendus bau kabel terbakar dari mesin hair dryer milik mamanya. “Ini aman, Ma?” tanyanya. “Kayak kebakar gini.”

“Aman. Yang penting didinginkan dulu sampe baunya hilang, baru bisa dipake lagi.”

Chilton menggelengkan kepalanya. “Bahaya ini, Ma. Kalau meledak gimana?” Ia meraih hair dryer milik mamanya dan mengamatinya dengan seksama.

Astria mengedikkan bahunya. “Nggak bisa dipake lagi.”

“Kayak gini berapaan sih harganya?” tanya Chilton.

“Macem-macem. Kalo yang bagus ya mahal.”

“Mahalnya berapa?”

“Hmm ... yang harga lima ratus ribuan udah bagus.”

“Astaga ... Mama! Jangan kayak orang susah gitu, deh!” seru Chilton. “Kayak gini cuma lima ratus ribu aja. Ntar aku beliin yang baru.”

“Mama sibuk. Nggak kepikiran beli hair dryer yang baru.”

“Ya udah. Ntar Chil beliin.”

Astria tersenyum. “Oke. Mama tunggu!” Ia menepuk pipi anaknya dan berlalu pergi meninggalkan Chilton yang masih mengamati hair dryer milik mamanya.

Chilton menggelengkan kepala. Ia masih tidak mengerti kenapa wanita itu rumit. Setiap habis mandi harus menggunakan pengering rambut seperti ini. Bukankah rambutnya bisa kering sendiri kalau terkena panas atau di dalam ruang ber-AC?

Ia masih tidak paham, tapi berusaha memahami bahwa wanita memang rumit dan mereka menikmati kerumitan itu.


***


“Del, kamu sibuk nggak?” tanya Chilton via telepon.

“Kenapa?”

“Ketemu di taman ya! Aku ada perlu.”

“Aku udah di taman. Bawain sarapan buat kamu.”

“Oh ya? Aku tidur di rumah mama. Udah sarapan. Tapi, nggak papa. Aku tetep makan masakan kamu,” tutur Chilton. “Tunggu aku ya!” Chilton buru-buru meraih kunci motor yang ia letakkan di atas lemari kecil yang berada di ruang keluarga.

“Kamu telpon siapa?” tanya Astria yang mendengar anaknya akan menemui seseorang.

“Temen.”

“Oh ... buru-buru banget?”

“Iya. Kasihan dia udah nungguin.” Chilton langsung bergegas pergi meninggalkan mamanya yang juga sedang bersiap pergi ke kantornya.

Astria tersenyum melihat sikap anaknya yang terlihat sedikit berubah. Ia mulai mencurigai kalau anaknya sedang jatuh cinta pada seseorang.


***


Delana menunggu Chilton di taman selama beberapa menit sampai cowok itu datang menghampirinya.

“Lama, ya?” tanya Chilton begitu ia sampai di samping Delana.

“Hmm ... menurutmu?” dengus Delana.

Chilton melihat arlojinya. “Lima belas menit doang.”

Delana merengut menanggapi ucapan Chilton.

“Katanya, mau nunggu aku sampai kapan pun?” Chilton berbisik ke telinga Delana.

“Keburu basi makanannya.” Delana menyodorkan kotak bekal ke pangkuan Chilton. Ia kesal karena Chilton seringkali mempermainkannya.

“Jangan merengut gitu terus! Jelek tau!” Chilton menjepit hidung Delana.

“Aw ... sakit tau!” Delana menepiskan tangan Chilton.

Chilton tertawa kecil. Ia membuka kotak bekal yang diberikan oleh Delana dan memakkannya dengan lahap.

“Mau?” Chilton menyodorkan sendok berisi makanan ke mulut Delana.

Delana menggelengkan kepala, tapi Chilton tetap memaksa agar Delana mau menerima suapannya. Akhirnya, Delana membuka mulut dan menerima suapan dari Chilton.

“Del, aku bisa minta tolong?” tanya Chilton.

“Hmm ... pantes sok romantis. Ada maunya ...,” celetuk Delana.

Chilton tertawa kecil. “Mau nggak? Kalo nggak mau nolongin juga gak papa.”

“Apa?” tanya Delana.

“Pulang kuliah temenin aku ke mall. Aku mau cari hadiah buat mama.”

“Mama kamu ulang tahun?” tanya Delana.

“Nggak, sih. Emangnya kalo mau ngasih hadiah harus nunggu ulang tahun dulu?” tanya Chilton.

“Hmm ... ya, nggak juga sih,” sahut Delana. “Ntar sore ada jadwal ngelesin nggak, sih?” tanya Delana sembari mengecek jadwal mengajar di tempat lesnya.

“Nggak ada. Udah aku cek.”

Delana tersenyum. “Oke. Kita ketemu di sini pulang kuliah.”

“Nggak usah. Aku tunggu di parkiran aja!” pinta Chilton.

“Oke, deh. Aku ke kelas dulu, ya!” pamit Delana sembari membereskan tempat makan Chilton. Ia bergegas menuju kelas dan mengikuti materi kuliah seperti biasanya.

***

“Kamu mau cari hadiah apa?” tanya Delana begitu ia dan Chilton memasuki pusat perbelanjaan.

“Pengering rambut.”

“Hair dryer?” tanya Delana memastikan.

Chilton menganggukkan kepala. “Iya. Aku harap kamu ngerti hair dryer yang bagus kayak gimana.”

Delana tersenyum kecil. “Gampang itu mah.”

“Good!” Chilton menarik lengan Delana agar bisa sampai ke outlet yang menjual berbagai macam alat kecantikan.

“Mbak, ada pengering rambut?” tanya Chilton pada pelayan begitu mereka sampai ke outlet penjualan alat kecantikan.

“Ada. Mau merk apa?” tanya pelayan tersebut.

“Yang paling mahal merk apa?” tanya Chilton.

“Supersonic ini yang paling mahal, Mas.” Pelayan toko menunjukkan hair dryer dengan harga paling tinggi.

Delana menyikut Chilton. Ia tahu harga hair dryer supersonic tidaklah murah.

“Kenapa?” bisik Chilton.

Delana tidak menjawab pertanyaan Chilton. “Yang merk panasonic ada, Mbak?” tanya Delana.

“Ada.” Pelayan toko mengeluarkan merk hair dryer yang dimaksud oleh Delana. “Ini yang biasa, ini yang nanoe,” tuturnya sambil menunjukkan dua hair dryer berbeda dari merk yang sama.

“Yang nanoe ini kena berapa?” tanya Delana sembari mengamati barang yang ia maksud.

“Satu koma tujuh,” jawab pelayan toko tersebut.

“Nggak bisa kurang, Mbak?” tanya Delana.

“Nggak bisa, Mbak.”

“Kamu kira ini pasar?” celetuk Chilton menahan tawa karena melihat Delana menawar barang di mall seperti di pasar.

“Ya, mana tau ada diskon. Kamu mau yang mana?” tanya Delana.

“Yang paling bagus yang mana?” tanya Chilton.

“Yang paling bagus pasti yang paling mahal.”

“Yang mana?” tanya Chilton.

“Ya, itu!” Delana menunjuk hair dryer supersonic yang sudah ada di atas etalase. “Harganya di atas lima jutaan.”

“Hah!? Serius?” Mata Chilton hampir saja terlepas dari kepalanya ketika mendengar harga hair dryer yang bisa dibilang sangat mahal untuk kantong mahasiswa sepertinya.

Delana menganggukkan kepala. “Berapa itu harganya, Mbak?” tanya Delana pada pelayan toko sembari menunjukkan merk hair dryer yang paling  mahal.

“Enam setengah, Mbak,” jawab pelayan toko sambil tersenyum.

“Enam jutaan,” bisik Delana pada Chilton. “Kamu punya budget berapa?”

Chilton terdiam. Semalam mamanya bilang kalau harga hair dryer hanya sekitar lima ratus ribuan. Kenapa sampai enam juta? Chilton menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena sudah pasti uang tabungannya akan terpakai kalau ia memilih hair dryer dengan harga yang paling mahal.

“Ya udah. Cari harga yang standar aja, yang penting bagus,” tutur Delana begitu melihat ekspresi wajah Chilton yang terlihat khawatir.

“Eh!? Nggak papa. Aku ada uang, kok.”

Delana menghela napas. “Tapi, nggak juga beli hair dryer yang harga enam jutaan juga. Uangnya kan bisa dipakai buat keperluan lain. Aku rasa mama kamu juga nggak bakal setuju kalo kamu beli barang-barang mahal.”

Chilton menahan rasa kesal di dalam hatinya. Ia tidak menyangka kalau Delana secerewet mamanya soal membeli barang-barang. Buat laki-laki, asal dia punya uang, dia akan beli apa yang ingin ia beli tanpa berpikir uangnya habis. 

Live is simple, kehabisan uang ya cari lagi. Tapi, berbeda dengan pemikiran wanita yang lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Hidup boros memang kurang baik.

“Ya udah, kamu aja yang pilih!” Chilton menyerahkan sepenuhnya pada Delana. Sebab ia tidak akan pernah mengerti jalan pikiran perempuan yang terkadang tak sejalan.

Delana tersenyum. Ia mencoba beberapa hair dryer dan akhirnya memilih salah satu hair dryer yang paling nyaman digunakan dengan harga yang masih terjangkau. Chilton hanya memerhatikan setiap gerak-gerik Delana tanpa protes sedikitpun.

Setelah membayar barang yang dipilih oleh Delana, Chilton mengajak Delana pulang.

“Kamu laper, nggak?” tanya Chilton.

“Mmh ....” Delana memegangi perutnya. “Nggak terlalu, sih. Kenapa?”

“Ya, udah. Tahan dulu lapernya, ya!” Chilton menarik lengan Delana agar melangkahkan kakinya lebih cepat menuju parkiran.

Sesampainya di parkiran, Chilton langsung mengendarai mobilnya keluar dari parkiran mall menuju ke arah jalan Jenderal Sudirman.

“Kita mau ke mana?” tanya Delana begitu mereka sampai di dekat Lapangan Merdeka.

“Ke rumahku.”

“Hah!?” Delana membelalakkan matanya. Ia terkejut karena Chilton tiba-tiba mengajak ke rumahnya tanpa bertanya terlebih dahulu apakah ia bersedia atau tidak.

“Kenapa?” tanya Chilton.

“Aku belum mandi. Masih bau gini badanku. Lagian, mau ngapain juga aku ikut ke rumah kamu. Tadi pagi kamu cuma minta aku nemenin beli hadiah buat mama kamu, kan?” tanya Delana.

“Iya. Sekalian bantu aku kasih hadiahnya ke mama.”

Delana menghela napas. “Chil, kalo cuma ngasih hadiah doang, nggak perlu harus minta temenin aku. Toh, dia itu mama kamu dan aku rasa kamu nggak perlu nyusun banyak kata-kata kayak mau nembak cewek,” cerocos Delana.

Chilton menoleh ke arah Delana tanpa berkata apa pun. Tapi, dari tatapannya ia tetap tidak mau membatalkan keinginannya.

Delana yang menyadari sikap Chilton, memilih diam dan menurut saja permintaan Chilton. Walau sebenarnya ia belum siap untuk diajak masuk ke rumah Chilton walau hanya sebagai teman biasa.

Delana membuka kaca mobil saat mereka memasuki jalan Gunung Dubs. Delana sangat suka dengan pemandangan yang asri dan bersih di daerah ini. Ia terlihat bahagia karena cuma di sini ia bisa menemukan ketenangan. Jauh dari hingar-bingar kendaraan yang padat.

Chilton tertawa dalam hati melihat Delana begitu ceria menikmati pemandangan di sekitar jalan Gunung Dubs. Sepertinya, cewek itu memang menyukai tempat ini.

Mobil Chilton berhenti di salah satu rumah berlantai dua, bercat warna putih yang berada di area paling tinggi di Gunung Dubs. Delana bisa merasakan tiupan angin kencang menyapanya saat ia keluar dari mobil.

“Mama di rumah.” Chilton tersenyum saat melihat mobil mamanya ada di garasi. Ia melangkahkan kaki memasuki rumah sambil memainkan kunci mobilnya.

“Ayo masuk!” ajak Chilton yang melihat Delana masih terpaku di samping mobilnya.

“Aku malu.”

Chilton kembali menghampiri Delana. Ia menarik lengan Delana dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.

“Ma ...! Mama ...!” teriak Chilton begitu ia masuk ke dalam rumahnya.

Delana berusaha melepaskan pegangan tangan Chilton.

“Kenapa?” tanya Chilton menatap tangannya sendiri.

“Nggak enak sama mama kamu.” Delana merapikan rok dan rambutnya.

Tak berapa lama, Astria keluar ke ruang tamu. Menghampiri Chilton dan Delana yang sedang menunggu kehadirannya.

“Hai ... ternyata ada tamu?” sapa Astria begitu melihat Delana yang berdiri di samping Chilton.

“Sore ... tante,” sapa Delana malu-malu.

“Sore, juga. Kenalin, saya Astria. Mamanya Chilton.” Astria mengulurkan tangannya ke arah Delana.

Delana menyambutnya sambil tersenyum. “Delana,” tuturnya.

Astria tersenyum menatap Delana. Kemudian berbisik pada Chilton. “Cantik,” ujarnya.

“Temen kuliah?” tanya Astria pada Delana.

Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum. Chilton juga ikut tersenyum karena mamanya terlihat menyukai Delana.

“Ini buat Mama!” Chilton menyodorkan paper bag yang berisi hair dryer yang direkomendasikan oleh Delana.

“Apa ini?” tanya Astria menyambut paper bag yang diberikan oleh Chilton. Ia mengintip isinya dan mengeluarkan dari dalam tas. “Wow ...! Ini hair dryer buat Mama?” tanya Astria.

Chilton menganggukkan kepala.

“Mama suka banget yang ini. Pasti dia yang bantu pilihin buat Mama, ya?” tanya Astria.

Chilton tertawa kecil sembari menatap Delana yang ada di sampingnya.

“Sudah Mama duga,” tutur Astria. “Oh, ya. Makan malam di sini, ya!” pinta Astria pada Delana dan Chilton.

“Emangnya Mama udah masak?” tanya Chilton sembari melirik jam yang ada di tangannya.

“Belum. Ini lagi mau masak. Spesial buat kalian.” Astria tersenyum.

“Sekalian aja minta bantuin dia. Dia pinter banget kalo masak,” tutur Chilton.

“Oh, ya?” Astria menatap Delana sambil tersenyum senang.

Delana membalas senyum Astria dengan sikap yang masih malu-malu.

“Ya udah, kita ke dapur yuk!” ajak Astria. “Kita masak bareng sambil cerita-cerita,” ajak Astria merangkul pundak Delana menuju dapur.

“Sip! Aku mandi dulu ya!” Chilton langsung berlari kecil menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

Delana melirik tajam ke arah Chilton. Chilton menyuliknya sejak pulang kuliah sampai sekarang. Tidak memberinya kesempatan untuk makan dan mandi terlebih dahulu. Dan seenaknya saja Chilton bisa mandi dan makan di dalam rumahnya sendiri.

“Biar aja dia mandi. Kalo ada dia di dapur itu riweh,” tutur Astria.

“Riweh apaan, Tante?”

“Ribet.”

“Dia suka ganggu orang masak?”

“Iya. Semua diicipin sama dia. Kalo kita sih nyicipin paling satu sendok. Kalo dia yang nyicipin, semangkok,” tutur Astria sambil tertawa.

“Tante bisa aja,” ucap Delana malu-malu.

“Kamu sudah lama kenal sama anak tante?” tanya Astria sembari mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas.

“Belum terlalu lama,” jawab Delana seadanya. “Aku baru masuk kuliah, Tante.”

“Oh ya? Tapi, baru kamu aja temen cewek yang diajak ke sini,” tutur Astria sambil menyiapkan bahan-bahan masakannya di atas meja. “Tolong potongkan bawang sama cabe, ya!” pintanya pada Delana.

“Emang sebelumnya Chilton nggak punya pacar?” tanya Delana polos.

“Hmm ...” Astria memutar bola matanya. “Tante kurang tahu. Tapi, kayaknya dia emang nggak pernah pacaran, atau ... dia yang nggak mau ngenalin ceweknya ke Tante.”

Delana tersenyum bahagia sembari mengiris bawang yang ada di hadapannya. Ia tak menyangka kalau ia adalah cewek pertama yang diajak Chilton masuk ke rumahnya. Terlebih, mama Chilton menyambutnya dengan baik dan ramah. Ia merasa seperti punya ibu ... sosok yang tidak pernah ada dalam kehidupannya semenjak ia masih kecil.

“Hei, kenapa murung?” tanya Astria sembari menggenggam pundak Delana. “Tenang aja, kamu pasti cewek paling spesial yang dipilih sama Chilton. Karena, Tante perhatikan akhir-akhir ini sedikit berubah.

Delana tersenyum kecut. “Bukan soal Chilton, Tante.”

“Terus? Apa?”

“Dela rindu sama almarhumah bunda.” Mata Delana berkaca-kaca. “Dari kecil, Dela nggak pernah lihat wajah bunda. Cuma bisa lihat bunda di foto aja.” Air mata menetes di pipi Delana. Ia tak sanggup menahan kerinduan melihat sosok ibu penyayang yang ada di depannya.

Astria memeluk Delana. Ia tak ingin bertanya apa pun karena takut menambah kesedihan untuk Delana. Ia mengusap air mata Delana, merapikan anak rambut yang berantakan. Ia tersenyum dan berkata, “Udah, jangan sedih! Kamu bisa anggap Tante sebagai mama kamu.”

Air mata Delana semakin deras saat mama Chilton memberikan pelukan dan perhatian lebih untuknya. Baginya, sosok ibu yang ia rindukan ada dalam diri Astria.

“Kenapa nangis?” tanya Chilton yang tiba-tiba sudah muncul di belakang mamanya.

“Eh!? Enggak, kok. Ini aku lagi ngiris bawang. Mataku perih banget!” Delana mengusap air matanya menggunakan tisu.

“Serius?”

“Iya. Kamu udah kelar mandi?” tanya Delana.

Chilton menganggukkan kepala.

Astria langsung bangkit dan menghampiri kompor yang sedang menyala. Ia membiarkan anaknya duduk bersama Delana yang membantunya mengiris sayuran.

“Kamu mau mandi?” tanya Chilton.

Delana menggelengkan kepala.

“Bau tahu kalo nggak mandi,” dengus Chilton sambil tertawa kecil.

“Nggak ada baju ganti.”

“Bisa pake baju Tante kalo kamu mau mandi,” sahut Astria.

“Eh!? Emang nggak papa?” tanya Delana.

“Nggak papa, dong!”

Delana meringis. “Makasih, Tante. Nanti aku mandi kalo udah kelar masaknya.”

Astria menganggukkan kepala.

“Bantuin iris cabe!” Delana menyodorkan cabai dan pisau ke arah Chilton yang duduk di depannya.

“Eh!? Masa aku disuruh iris cabe?”

“Mau bantuin, nggak? Nggak aku masakin, nih.”

“Iya ... iya.” Chilton menuruti ucapan Delana. Ia membantu mengiris cabai tanpa protes lagi.

Astri menatap putranya yang terlihat berbeda. “Del, dia nurut banget sama kamu, ya?” tanya Astria pada Delana.

“Iya, Tante. Kalo nggak nurut, nggak aku bikinin sarapan lagi buat dia,” tutur Delana.

“Sarapan?”

“Iya. Dia itu ... mmh ...” Chilton langsung membungkam mulut Delana agar tak banyak bicara di depan mamanya.

Delana menepiskan tangan Chilton dengan kesal. “Apaan sih!?”

Astria tertawa melihat tingkah Chilton dan Delana yang terlihat seperti anak-anak.

“Del, ayah kamu kerja di mana?’ tanya Astria begitu suasana kembali hening.

“Usaha, Tante.”

“Oh ... kamu sudah bilang sama ayah kamu kalo kamu ada di sini?” tanya Astir.

“Sudah.”

“Ayah kamu bilang apa?” tanya Astria.

“Boleh. Ayah nggak banyak ngelarang asal perginya jelas ke mana dan sama siapa. Dari tadi juga dia WA aku terus, Tante.” Delana tersenyum.

“Oh. Jadi, ayah kamu juga sudah kenal sama Chilton?” tanya Astria.

“Eh!? Belum, Ma,” sahut Chilton.

Astria mengernyitkan dahinya.

“Dia beberapa kali ke rumah tapi nggak pernah ketemu sama ayah. Tapi, aku sering cerita karena Bryan yang sering di rumah dan dia cerita ke ayah.”

“Dia tahu kalo aku ke sana?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala.

“Kamu ini gimana? Masa ke sana nggak tahu?” tanya Astria.

“Dia nggak pernah nongol pas aku main ke rumahnya, Ma.”

Delana meringis. Ia tahu, Bryan tidak mungkin mengganggunya saat ia bersama dengan Chilton.

“Kamu tinggal sama ayah dan adik kamu aja?” tanya Astria sembari menyiapkan hidangan yang sudah matang.

Delana menganggukkan kepala. “Bunda meninggal saat kami masih kecil.”

“Wah ... udah matang, Ma? Enak nih kayaknya.” Chilton mengendus aroma masakan mamanya. Ia berusaha mengalihkan perhatian Delana agar tidak sedih mengingat mendiang ibunya.

Astria tersenyum. “Iya, dong. Siapa dulu yang masak?”

“The best deh, Mama. Dia juga pinter masak loh, Ma.”

“Iya. Tadi kamu udah bilang sama Mama.”

Chilton meringis. Ia sendiri lupa kalau sudah mengatakan itu pada mamanya.

“Ayah selalu minta disiapin sarapan pagi. Dia nggak mau makan masakan orang lain kalau di rumah,” tutur Delana sembari membantu menyiapkan makanan ke atas meja makan.

“Oh ya? Berarti masakan kamu enak banget!” tutur Astria.

“Nggak juga. Biasa aja, Tante. Mungkin karena saking cintanya sama aku, jadi ayah selalu rindu masakanku,” ucap Delana sambil tertawa kecil.

“Uhuk ...! Uhuk ...!” Tiba-tiba Chilton tersedak minuman yang ia seruput saat mendengar ucapan Delana. Ia merasa, ucapan Delana bukan hanya tertuju pada ayahnya, tapi juga padanya.

“Kamu kenapa? Minum nggak hati-hati!” celetuk Astria.

Delana tertawa kecil sambil melirik ke arah Chilton yang juga menatapnya. Sebab ia tahu, bukan hanya ayahnya yang selalu merindukan masakan buatannya. Tapi juga cowok yang sedang memandangnya saat ini.

Delana merasa senang karena akhirnya ia bisa berkenalan dengan mama Chilton yang ternyata sangat ramah kepadanya. Ia juga bisa melihat indahnya kota Balikpapan dari atas balkon rumah Chilton. Pemandangan yang selalu ia ingin lihat selama ini walau hanya sejenak karena ia harus buru-buru pulang ke rumah.

Chilton mengantarkan Delana sampai ke depan rumah.

“Makasih ya!” ucap Delana sambil melepas safety belt-nya.

“Makasih untuk apa?” tanya Chilton.

Delana tersenyum menatap Chilton. “Makasih untuk hari ini. Makasih udah dianterin pulang, udah diajak makan malam bareng mama kamu, udah diajak lihat bintang dan keindahan kota tepi laut di malam hari dan semuanya.”

Chilton tersenyum kecil. “Aku juga makasih karena kamu udah mau nemenin aku cari hadiah buat Mama.” Chilton memutar badannya dan mengambil kotak hadiah yang sengaja  ia letakkan di bawah kursi belakang agar Delana tidak melihatnya.

“Ini buat kamu.” Chilton menyodorkan kotak hadiah pada Delana.

Delana mengangkat kedua alisnya. “Aku nggak ulang tahun. Lagian, aku nemenin kamu ikhlas, kok.”

“Nggak harus nunggu ulang tahun kalo mau ngasih hadiah, kan?” tanya Chilton sembari menatap lekat mata Delana.

Delana bergeming. Ia membalas tatapan Chilton. Sungguh, ia tak mengira kalau Chilton yang ia pikir dingin dan cuek, ternyata punya sisi romantis yang membuat hatinya semakin berbunga-bunga. 

Punya kesempatan bersamanya saja sudah bahagia. Apalagi cowok itu mulai memberikan perhatian untuknya. Rasanya, ia ingin terbang ke langit, menari-nari sambil berteriak pada dunia kalau dia sangat bahagia hari ini. Ya, dia bahagia lebih dari yang dia impikan.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas