BAB 11 - LOVE STARTS FROM THE STOMACH
“Hai ...!” sapa Delana
sambil mengiringi langkah Chilton yang sedang berjalan di koridor kampus.
“Hei ... baru datang?”
tanya Chilton.
“Hehehe ... Aku telat
bangun.”
“Tumben? Nggak ada
sarapan gratis buat aku?” dengus Chilton ke wajah Delana.
“Mmh ... maaf, aku
nggak sempat masak. Kamu belum sarapan?” tanya Delana.
Chilton tidak menjawab.
Ia meneruskan langkahnya dengan santai.
“Aku delivery sarapan
buat kamu, gimana?” tanya Delana sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Chilton menghentikan
langkahnya. Ia menghela napas. “Kalo itu bisa aku lakuin sendiri.” Ia menoleh
sejenak ke arah Delana dan langsung kembali melangkahkan kakinya dengan sikap
cuek.
Delana menghela napas
panjang. Ia tahu kalau ia salah. Sudah terbiasa membawakan Chilton sarapan
pagi, tiba-tiba saja ia bangun kesiangan dan lupa membawakan makanan untuknya.
Jelas saja Delana merasa bersalah dengan sikapnya kali ini.
“Hmm ... aku ganti
makan malam gimana? Aku anterin ke asrama kamu, deh.” Delana masih berusaha
membujuk Chilton agar tidak marah.
“Nggak usah!”
“Kalau makan siang, aku
nggak bisa. Aku kan masih di kampus,” tutur Delana.
Chilton menghentikan
langkahnya kembali dan menghadap ke arah Delana yang berjalan di sampingnya.
“Apa aku kelihatan kayak orang yang nggak bisa cari makan sendiri?”
“Bukan itu maksud aku.
Aku cuma —”
Chilton memalingkan
wajahnya dan bergegas meninggalkan Delana.
“Chilton ...!” Delana
menahan lengan Chilton agar tidak pergi dari hadapannya.
“Kenapa lagi?”
“Kamu yang kenapa? Cuma
nggak dibawain sarapan aja, kamu udah merajuk kayak gini,” tutur Delana lirih.
Chilton menghela napas.
Ia baru menyadari kalau perasaannya memang tak bisa diatur sesuai keinginannya.
Ia merasa kesal pada Delana karena ia merasa kalau sarapan yang dibuat untuknya
adalah salah satu bukti perhatian Delana terhadapnya. Ia tak ingin marah, tapi
ia sendiri tak bisa mengatur perasaannya. Kalau dia marah seperti ini, artinya
memang dia berharap kalau Delana selalu menyiapkan sarapan pagi untuknya.
Delana bukan siapa-siapa dan ini sikap konyol yang membuatnya ingin menertawakan
dirinya sendiri.
“Aku nggak merajuk.
Ntar aku beli sarapan di kantin,” tutur Chilton sambil tersenyum agar Delana
tak merasa bersalah.
“Serius? Biar aku yang
beliin, ya!” pinta Delana.
“Kalau itu bisa bikin
kamu ngerasa lebih baik?” Chilton mendengus ke wajah Delana sembari menaikkan
kedua alisnya.
Delana tersenyum.
“Yuk!” Ia menarik lengan Chilton menuju kantin. Ia kini tak lagi peduli dengan
tatapan mata mahasiswa lain yang melihat kedekatannya dengan Chilton. Baginya,
merasa nyaman saja sudah cukup. Apalagi Chilton juga tak pernah menolak permintaan
Delana.
“Kamu nggak takut telat
masuk kelas kalo ngantin dulu?” tanya Chilton.
“Gampang itu, mah!”
sahut Delana.
Chilton tertawa kecil
melihat sikap Delana. Ia tak menyangka kalau cewek yang di depannya ini
memiliki sifat hampir sama dengannya. Sama-sama menyepelekan materi kuliah dari
dosen. Dan yang lebih konyol lagi, mereka sekarang menjadi guru les.
“Chil, ntar sore kamu
ada jadwal ngajar ‘kan?” tanya Delana saat mereka sudah duduk di meja kantin
dan memesan makanan sesuai keinginan mereka.
“Iya. Kamu juga ya?”
tanya Chilton.
Delana menganggukkan
kepala. “Berangkat bareng ya!” pinta Delana.
Chilton menganggukkan
kepalanya. “Mau aku jemput di depan rumah atau depan gang?” tanya Chilton.
“Depan gang aja, ya!”
pinta Delana.
“Kenapa sih kamu selalu
takut aku ngantar atau jemput sampai depan rumahmu? Ayah kamu marah kalo ada
temen cowok main ke rumah?”
“Hmm ...” Delana
memutar bola matanya. “Maybe yes, maybe no,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tapi kayaknya bosmu
bakal suka sama aku,” celetuk Chilton.
“Eh!? Bos?”
“Iya, maksudnya ayah
kamu.”
“Iih ... pede banget!?”
dengus Delana.
“Pede, lah. Ganteng
gini,” ujar Chilton sembari mengibaskan kerah kemejanya.
“Yah ... percaya aja,
deh. Aku ke kelas dulu ya!” pamit Delana sambil menyeruput es jeruk yang ia
pesan dengan tergesa-gesa. “Kamu kelarin makannya! Aku mau masuk kelas dulu!”
pinta Delana. “Biar aku yang bayar.”
“Hmm ... takut juga
telat masuk kelas kelamaan?” tanya Chilton sembari menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Delana meringis
menanggapi pertanyaan Chilton. Ia boleh saja terlambat, tapi tidak boleh
meninggalkan keseluruhan mata kuliahnya. Setidaknya ia terlihat disiplin walau
hanya sedikit.
Chilton tertawa kecil
sembari menatap Delana yang mulai menghilang.
***
Sepulang kuliah, Delana
langsung mandi, makan siang dan bersiap-siap pergi ke tempat lesnya.
“Kakak mau ke mana?”
tanya Bryan yang baru saja pulang dari sekolah.
“Mau ngajar. Kamu baru
pulang?” tanya Delana yang melihat Bryan masuk ke rumah dengan seragam
sekolahnya.
“Iya. Sama siapa, Kak?
Mau kuantar?” tanya Bryan lagi.
“Nggak usah. Kakak udah
janji berangkat sama temen.”
“Naik apa?” tanya
Bryan.
“Mmh .. biasanya dia
bawa mobil.”
“Temen cowok?” selidik
Bryan.
“Idih ... kepo!” dengus
Delana sambil berlalu pergi, keluar dari rumahnya. Ia tak lagi memperdulikan
adiknya dan berjalan menyusuri jalan keluar dari gang.
“Aaargh ...! Tolong
...!” teriak Delana saat sudah berada di ujung gang. Seorang pria tidak dikenal
menarik tangannya erat. Pria itu mengenakan helm dan jaket. Ia duduk di atas
motor dan langsung menarik lengan Delana begitu ia melintas.
“Ini aku!” teriak cowok
itu sembari membuka kaca helmnya.
“Chilton!?” tanya
Delana heran. Ia menghela napas lega.
“Kenapa, Mbak?” tanya
beberapa warga yang mendengar teriakan Delana. Mereka langsung menghampiri
Delana yang sedang dipegang oleh Chilton.
“Nggak papa, Pak. Ini
temen saya ngerjain,” tutur Delana. “Maaf, Pak!” Delana menundukkan kepalanya
tanda meminta maaf.
“Kamu kenapa sih
ngagetin aku!?” Delana mendelik ke arah Chilton begitu warga yang
menghampirinya pergi menjauh. “Aku kirain kamu mau nyulik atau mau ngerampok,”
celetuk Delana.
“Gila aja ngerampok di
tempat rame begini,” sahut Chilton.
“Lah? Kamu juga, kenapa
nggak dilepas helmnya? Aku kan bisa ngenalin kamu dari jauh,” tutur Delana
sambil menepuk helm Chilton.
“Ngenalin gimana? Orang
dari tadi kamu jalannya nunduk terus. Kayak orang lagi cari duit jatuh.”
“Aku malu.”
“Malu sama siapa?”
“Dilihatin orang.”
“Nggak mau dilihatin
orang ya ngeram aja di dalam rumah!” gumam Chilton.
“Kamu sensi banget,”
celetuk Delana merengut.
Chilton tertawa kecil.
“Jangan cemberut gitu!” Chilton menjepit dagu Delana dengan jemarinya. “Jalan,
yuk!” ajak Chilton sembari memperbaiki posisi duduknya di atas motor.
“Naik motor?” tanya
Delana.
Chilton mengangguk.
“Kenapa? Kamu nggak mau naik motor?” tanya Chilton sembari menatap Delana.
“Mau sih, tapi ...,”
“Tapi apa? Kamu cuma
mau jalan sama cowok yang pake mobil doang?” tanya Chilton.
“Enggak. Iih ... kamu
kok mikirnya gitu sih?”
“Terus apa? Kenapa
nggak mau naik motor?” tanya Chilton mulai kesal.
“Aku nggak bilang nggak
mau!” sentak Delana.
Chilton melongo
mendengar sentakan dari Delana.
“Aku nggak bawa helm.
Emang mau kena tilang?” dengus Delana.
“Oh, soal itu? Tenang!
Aku bawa helm, kok.” Chilton mengambil helm yang ia selipkan di bagian depan
motornya.
“Nggak mau pake itu.
Gede banget!”
“Terus mau pake mana?
Adanya ini.”
“Aku pulang dulu, ambil
helm.”
“Pake ini aja, kenapa?”
“Nggak mau. Aku pake
helm aku sendiri aja!”
Chilton menghela napas.
“Cewek emang ribet!” celetuknya. “Ayo, naik!” pinta Chilton agar Delana naik ke
motornya.
“Aku ambil helm dulu.”
“Iya. Aku antar ambil
helmnya,” tutur Chilton mulai geram. “Kugigit juga kamu nda lama. Geregeten
aku!” gerutu Chilton.
Delana meringis. Ia
menaiki motor Chilton dan kembali ke rumah untuk mengambil helm miliknya.
“Helm ini gimana?”
tanya Chilton sembari menunjukkan helm yang ia bawa.
“Taruh di rumah aku
aja!” Delana menyambar helm yang dipegang Chilton dan meletakkannya di atas
kursi yang ada di teras rumahnya.
Chilton menyalakan
mesin motornya dan bergegas pergi bersama-sama ke tempat les.
Delana merasa gugup
karena untuk pertama kalinya ia duduk bersentuhan dengan tubuh Chilton. Ia
tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ia tidak berani berpegangan pada tubuh
Chilton seperti saat ia dibonceng oleh Bryan atau ayahnya.
Chilton merasa aneh
karena Delana tidak mengajaknya bicara sama sekali. Ia melirik dari kaca spion
untuk memastikan kalau cewek itu masih duduk di belakangnya dan tidak berubah
jadi kuntilanak seperti di film-film. Ah, konyol sekali pikirannya. Masih sore
saja sudah membayangkan Delana menjadi kuntilanak. Delana terlalu cantik untuk
menjadi kuntilanak.
Chilton menarik tangan
kanan Delana menggunakan tangan kirinya. Ia meletakkan tangan Delana di atas
perutnya. “Pegangan! Ntar jatuh!”
Delana menelan ludah.
Ia semakin gugup dan tidak bisa berkata apa pun. Jantungnya berdebar begitu
kencang seperti ingin meloncat dari tempatnya. Kalau saat ini ia berada di
dalam kamar, mungkin ia akan melompat-lompat ke sana ke mari saking bahagianya.
Tapi, hal itu hanya bisa ia lakukan di dalam pikirannya sendiri.
“Kamu kenapa? Kok, diam
aja?” tanya Chilton.
“Hah!?” seru Delana
karena tidak begitu mendengar ucapan Chilton.
“Nggak papa. Pegangan
yang kuat!” teriak Chilton. Ia langsung menambah kecepatan motornya. Membuat
Delana langsung memeluk tubuh Chilton sangat erat.
“Jangan laju-laju!”
teriak Delana.
“Apa?”
“Jangan laju-laju! Aku
takut!” seru Delana sambil menyubit perut Chilton.
“Sakit, nah!” Chilton
memperlambat laju motornya.
“Jangan laju-laju bawa
motornya!” pinta Delana.
Chilton melambatkan
motornya seperti siput yang sedang berjalan.
“Ck, nggak kayak gini
juga kali,” tutur Delana kesal.
Chilton tertawa kecil
dan terus menambah kecepatan motornya.
“Jangan laju-laju!”
teriak Delana lagi sembari memeluk erat perut Chilton.
“Nggak nyampe-nyampe
kalo pelan. Ntar kita telat.”
Delana melihat jam yang
ada di tangannya. Benar saja, lima menit lagi mereka seharusnya sudah mulai
mengajar. Tapi, mereka masih berada di perjalanan.
Sesampainya di tempat
les, Chilton dan Delana langsung masuk ke kelas masing-masing. Mereka mengajar
seperti biasa.
***
“Dela, Chilton ...!”
panggil salah satu admin yang ada di meja resepsionis saat Delana dan Chilton
baru saja keluar dari ruang belajar mereka.
“Ya,” sahut Delana dan
Chilton yang sudah hampir sampai pintu keluar.
“Kalian dipanggil sama
bos,” tutur admin resepsionis.
“Ada apa ya?” tamua
Delana.
“Nggak tahu. Ibu cuma
pesen gitu aja.”
“Sekarang beliau di
mana?” tanya Chilton.
“Di ruangannya.”
“Oke.”
Delana dan Chilton
bersama-sama melangkahkan kaki menuju ruang atasan mereka.
“Selamat sore, Bu!”
sapa Chilton dan Delana bersamaan begitu mereka masuk ke dalam ruangan
atasannya.
“Sore ...! Sini!
Duduk!”
“Ada apa ya, Ibu
memanggil kami ke sini?” tanya Delana hati-hati.
“Mmmh ... sudah jam
enam ya?” tanya atasan mereka sambil melirik jam dinding. “Langsung saja ya!”
Delana dan Chilton
menganggukkan kepalanya.
“Ada dua guru yang
tiba-tiba resign hari ini,” tutur atasan Delana perlahan. “Jadi, ada jam kosong
yang sudah kita jadwalkan. Kira-kira, apakah kalian bersedia mengisi jam kosong
tersebut? Karena guru yang lain sudah penuh jamnya.”
“Bersedia, Bu,” sahut
Chilton.
Delana langsung menoleh
ke arah Chilton sambil menyikut lengannya. Ia kesal karena Chilton tidak ingin
membicarakannya terlebih dahulu.
“Mmh ... maaf, Bu. Saya
masih harus memikirkannya terlebih dahulu.”
“Ck, sayang sekali
kalau kalian tidak bersedia. Karena jadwal malam ini kosong dan murid-murid
yang les tetap akan berdatangan.”
Delana dan Chilton
saling pandang. Mereka merasa iba jika melihat anak-anak semangat untuk belajar
tapi pengajarnya justru tidak ada.
“Baiklah, Bu. Untuk
malam ini, kami akan membantu sampai Ibu menemukan guru pengajar yang baru,”
tutur Delana.
“Nah, gitu dong!” ucap
ketua sambil tersenyum.
Mengambil jam les
lebih, artinya mereka akan pulang malam hari dan itu sudah menjadi kesepakatan
mereka.
Delana dan Chilton
tidak begitu keberatan setelah mereka bisa bernegosiasi untuk mengajar dalam
satu kelas saja. Karena, murid yang les pada malam hari adalah murid sekolah
menengah dan membuat mereka harus bekerja lebih ekstra.
Usai mengajar malam
untuk pertama kalinya, Delana dan Chilton keluar dari kelas mereka
bersama-sama. Mereka berjalan beriringan keluar dari gedung kursus dan disapa
oleh beberapa muridnya yang juga pulang dari tempat kursus tersebut.
“Kami duluan ya, Bu!”
“Selamat malam, Pak!”
“Permisi, Bu!”
Suara sapaan murid yang
melintas membuat Delana dan Chilton menganggukkan kepalanya.
“Pacaran ya, Bu?” goda
salah satu murid.
Delana dan Chilton
menganggukkan kepala. Kemudian mereka menyadari kalau murid itu memberikan
pertanyaan berbeda yang seharusnya tidak membuat mereka menganggukkan kepala.
“Ciyeee ....!” seru
murid yang lain.
Wajah Delana menghangat
ketika muridnya menggodanya. Ia tidak bisa memungkiri kalau hatinya memang
bahagia ketika Chilton berada di sampingnya dan tidak menolak sedikit pun apa
yang dibicarakan orang lain tentang mereka. Ia berharap, hari-hari yang ia lalui
bersama bisa meluluhkan hati cowok itu.
Chilton hanya tertawa
kecil menanggapi candaan murid-muridnya. Baginya, itu hal biasa. Hanya sekedar
ucapan basa-basi antara murid dan guru karena tidak tahu apa lagi kalimat yang
tepat untuk menyapa.
***
“Del, kita cari makan
dulu, yuk!” ajak Chilton saat ia dan Delana sudah di jalan pulang. Ia
mengendarai motornya perlahan sembari menikmati jalanan kota di malam hari.
“Di mana?” tanya
Delana.
“Enaknya di mana?”
tanya Chilton balik.
“Nggak tahu. Aku jarang
makan di luar karena—”
“Selalu masak sendiri?”
“Iya.”
“Ya udah. Kita makan di
rumah kamu aja!”
“Aku belum masak. Kalau
malam gini, ART aku udah nggak ada di rumah. Dia cuma bantu-bantu dari pagi
sampe sore.”
Chilton melirik jam
yang ada di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan jam sembilan
lewat lima belas menit. “Masak yang gampang aja!” pinta Chilton. “Lagian, udah
jam segini banyak restoran udah mau tutup.”
“Masak apa yang cepet?
Mie instan?” celetuk Delana.
“Nah ... itu aja!
Kayaknya enak malam-malam gini makan mie instan,” sahut Chilton.
“Ya udah, mampir
minimarket aja dulu! Aku nggak punya stock mie instan.”
“Siap! Beneran mau
dimasakin nih?” tanya Chilton meyakinkan.
“Iya.”
Beberapa menit
kemudian, Chilton membelokkan motornya memasuki parkiran salah satu minimarket
untuk mengantar Delana membeli mie instan.
“Kamu mau mie yang
mana?” tanya Delana saat mereka sudah ada di dalam minimarket.
Chilton memerhatikan
deretan mie instan yang memajang aneka jenis mie instan, mulai dari merk hingga
rasa yang disajikan. “Ini aja, deh!” Chilton menunjuk mie kuah rasa kari ayam
dari salah satu merk terkenal di Indonesia.
Delana langsung
mengambil lima bungkus dan memasukkan ke dalam keranjang belanjanya.
“Banyak amat?” tanya
Chilton sembari mengikuti langkah Delana yang akhirnya juga membeli
barang-barang keperluan lainnya.
“Siapa tahu, Bryan juga
mau makan. Masa cuma beli buat kita doang?” Delana tersenyum menatap Chilton.
“Oh, oke. Cari apa
lagi?” tanya Chilton.
“Bentar.” Delana
berkeliling dari satu rak ke rak lainnya.
“Jangan lama-lama. Ini
sudah malam. Lagian, perutku udah laper banget!” celetuk Chilton.
“Salah sendiri. Kenapa
tadi dikasih nasi bungkus sama bos malah nggak mau?” tanya Delana.
“Aish ... nggak demen
aku makan nasi bungkus.”
“Demennya apa?”
“Makanan buatanmu.”
Delana tertawa kecil.
Chilton mulai membuat perasaannya semakin bermekaran karena ia menyambut
kebaikan dan ketulusan Delana. Demi apa pun, Delana merasa bahagia karena bisa
membuatkan makanan untuk Chilton.
“Biar aku yang bayar!”
pinta Chilton begitu Delana sudah berdiri di depan meja kasir.
Delana tidak menolak,
kali ini ia hanya tersenyum dan membiarkan Chilton membayar barang belanjaan
miliknya.
***
“Masuk, yuk!” ajak
Delana begitu ia dan Chilton sudah sampai di rumahnya.
“Nggak papa masuk ke
dalam?” tanya Chilton.
“Nggak papa.”
“Ada siapa di dalam?”
tanya Chilton lagi.
“Ada adik aku. Tapi,
biasanya jam segini udah tidur.”
“Ayah kamu?” tanya
Chilton sembari mengikuti langkah Delana masuk ke dalam rumah.
“Belum pulang kayaknya.
Mobilnya belum ada di garasi.”
“Lembur?” tanya
Chilton.
“Iya. Akhir-akhir ini
dia sering lembur,” jawab Delana. “Kita di dapur aja ya!” pinta Delana. Ia
langsung melangkah masuk ke dapur yang dinding dan perabotannya berwarna pink.
“Girly banget ini
dapur.” Chilton mengedarkan pandangannya menikmati suasana dapur yang semuanya
bernuansa pink.
“Iya.” Delana tersenyum
sembari menyiapkan air di dalam panci untuk merebus mie instan. “Aku banyak
ngabisin waktu di sini. Jadi, ayah nggak pernah protes. Yang penting aku nyaman
di sini. Padahal, cuma aku doang cewek di rumah ini. Tapi, jadi penguasa rumah.”
Delana tergelak.
“Kelihatan, sih.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepala.
“Waktu itu Bryan sempat
ngomel gara-gara aku ganti gorden kamarnya pake gorden gambar chibi-chibi
gitu,” tutur Delana sambil menahan tawa.
“Eh!? Serius?” tanya
Chilton.
Delana menganggukkan
kepala sambil tertawa kecil. “Duduk, gih! Jangan berdiri terus kayak gitu!”
perintah Delana saat melihat Chilton masih berdiri sambil menyandarkan
lengannya di atas kursi meja makan.
Chilton langsung duduk
sembari menunggu Delana memasak mie instan untuknya. Aroma masakan menyeruak ke
seluruh ruangan dan membuat cacing-cacing di dalam perutnya mengamuk minta
diberi makan secepatnya.
Tak menunggu lama. Mie
instan buatan Delana sudah tersaji di atas meja makan dengan topping sayuran,
udang, telur dan irisan tomat.
“Mmh ... enak nih
kayaknya,” tutur Chilton begitu melihat masakan Delana.
“Ayo, makan!” pinta
Delana.
Chilton langsung
mencicipi masakan Delana, kemudian melahapnya dengan cepat karena perutnya
memang sudah sangat lapar.
“Hati-hati makannya!”
pinta Delana.
Chilton
mengangguk-anggukkan kepala dengan mulut penuh makanan.
“Gimana pengalaman
mengajar hari ini?” tanya Delana.
Chilton menelan seluruh
makanan yang ada di dalam mulutnya. “Asyik! Ngajar anak-anak SD itu asyik juga.
Kenapa nggak dari dulu ya?” balas Chilton.
Delana tersenyum. “Iya.
Mereka tuh lucu, polos dan nyenengin banget!” tutur Delana. “Lucunya lagi,
mereka ngira kalo kita pacaran. Padahal, mereka masih SD. Udah ngerti
pacar-pacaran segala,” celetuk Delana.
“Siapa dulu gurunya?”
ucap Chilton sambil menahan tawa.
“Iih ... apaan sih? Aku
nggak pernah ngajarin mereka pacar-pacaran!” dengus Delana.
“Anak zaman sekarang,
siapa yang nggak tahu pacaran? Anak TK aja loh udah ngerti.”
“Iya, juga sih. Anak SD
juga sudah ada yang pacaran. Heran aku, waktu mereka bilang kalo aku disuruh
jadi pacar Kak Chilton!” Delana tergelak.
“Kenapa ketawa? Ada
yang lucu?” tanya Chilton.
Delana langsung
menghentikan tawanya. “Mereka yang lucu.” Delana meringis ke arah Chilton.
Chilton tertawa kecil.
Mudah sekali membuat Delana merasa bersalah. Tapi, ia selalu tidak tega melihat
wajah murung yang tergambar dari cewek yang selalu ceria itu.
“Kamu sendiri gimana?”
tanya Delana.
“Gimana apanya?”
“Pengalaman ngajar di
kelas pertama kalinya.”
“Baik,” sahut Chilton
singkat.
Delana mengernyitkan
dahinya. “Cuma itu?”
“Terus apa?” tanya
Chilton.
“Yah ... anak-anaknya
gimana? Respon mereka saat kamu mengajar seperti apa? Dan semuanya tentang
pengalaman mengajar kamu hari ini.”
“Kamu lihat sendiri
waktu kita ngajar di kelas bareng malam ini,” tutur Chilton.
Delana tertawa kecil
saat murid cewek banyak mengerubungi dan menarik-narik tangannya untuk bertanya
pada Chilton tentang materi yang belum mereka mengerti. Delana tahu, mereka
tidak benar-benar tidak mengerti. Hanya sekedar basa-basi untuk mencari perhatian
Chilton.
“Kenapa ketawa?” tanya
Chilton kesal melihat Delana cekikina sendiri.
“Nggak papa. Lucu aja!”
“Lucunya di mana? Kamu
tuh selalu aja senang kalo aku dikerubungin kayak gitu!” celetuk Chilton.
“Terus? Aku harus
gimana? Mereka kan murid kamu juga.”
“Iya, tapi ... tetep
aja akhirnya aku nggak nyaman ngajar. Kalo sama anak-anak SD sih santai aja.
Yang SMA ini nah bikin aku risih!”
“Itu karena kamu baru
aja ngajar. Lama-lama mereka juga bosan kalo udah sering ketemu.”
Chilton mengernyitkan
dahinya. “Emang aku se-ngebosenin itu?”
Delana menghela napas.
“Aku salah mulu,” gumamnya.
“Apa kamu juga udah
mulai bosan ketemu sama aku?” tanya Chilton.
Delana menggelengkan
kepala, kemudian tertawa. “Nggak, lah. Kamu nih baperan banget sih!?”
“Ya kali aja kamu mulai
bosan. Buktinya, kamu nggak bawain sarapan lagi buat aku.”
Delana menghela napas.
Ia lemas mendengar ucapan Chilton. Ia merasa, Chilton kali ini semakin
menyebalkan dan terlihat seperti perempuan. “Kenapa sih dia jadi aneh gini? Aseeli, kayak cewek banget! Dikit-dikit
baper,” gumam Delana dalam hatinya. Delana merasa Chilton semakin berubah.
Chilton yang ia kenal pertama kali sangat dingin, jarang bicara dan tidak
ramah. Kini, cowok itu mulai berubah. Bahkan, Chilton tak malu melakukan
hal-hal konyol yang seharusnya tidak ia lakukan sebagai cowok paling cool di kampusnya.
“Aku pulang ya! Udah
malam,” pamit Chilton begitu ia menghabiskan makanannya.
Delana mengangguk dan
mengantarkan Chilton sampai ke halaman rumahnya. Ia merasa bahagia karena untuk
pertama kalinya ia menghabiskan banyak waktu bersama Chilton. Semoga saja ini
pertanda baik untuk hubungan mereka.
.png)
0 komentar:
Post a Comment