Friday, August 15, 2025

THEN LOVE BAB 11 : LOVE STARTS FROM THE STOMACH

 

BAB 11 - LOVE STARTS FROM THE STOMACH



“Hai ...!” sapa Delana sambil mengiringi langkah Chilton yang sedang berjalan di koridor kampus.

“Hei ... baru datang?” tanya Chilton.

“Hehehe ... Aku telat bangun.”

“Tumben? Nggak ada sarapan gratis buat aku?” dengus Chilton ke wajah Delana.

“Mmh ... maaf, aku nggak sempat masak. Kamu belum sarapan?” tanya Delana.

Chilton tidak menjawab. Ia meneruskan langkahnya dengan santai.

“Aku delivery sarapan buat kamu, gimana?” tanya Delana sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

Chilton menghentikan langkahnya. Ia menghela napas. “Kalo itu bisa aku lakuin sendiri.” Ia menoleh sejenak ke arah Delana dan langsung kembali melangkahkan kakinya dengan sikap cuek.

Delana menghela napas panjang. Ia tahu kalau ia salah. Sudah terbiasa membawakan Chilton sarapan pagi, tiba-tiba saja ia bangun kesiangan dan lupa membawakan makanan untuknya. Jelas saja Delana merasa bersalah dengan sikapnya kali ini.

“Hmm ... aku ganti makan malam gimana? Aku anterin ke asrama kamu, deh.” Delana masih berusaha membujuk Chilton agar tidak marah.

“Nggak usah!”

“Kalau makan siang, aku nggak bisa. Aku kan masih di kampus,” tutur Delana.

Chilton menghentikan langkahnya kembali dan menghadap ke arah Delana yang berjalan di sampingnya. “Apa aku kelihatan kayak orang yang nggak bisa cari makan sendiri?”

“Bukan itu maksud aku. Aku cuma ­­­­—”

Chilton memalingkan wajahnya dan bergegas meninggalkan Delana.

“Chilton ...!” Delana menahan lengan Chilton agar tidak pergi dari hadapannya.

“Kenapa lagi?”

“Kamu yang kenapa? Cuma nggak dibawain sarapan aja, kamu udah merajuk kayak gini,” tutur Delana lirih.

Chilton menghela napas. Ia baru menyadari kalau perasaannya memang tak bisa diatur sesuai keinginannya. Ia merasa kesal pada Delana karena ia merasa kalau sarapan yang dibuat untuknya adalah salah satu bukti perhatian Delana terhadapnya. Ia tak ingin marah, tapi ia sendiri tak bisa mengatur perasaannya. Kalau dia marah seperti ini, artinya memang dia berharap kalau Delana selalu menyiapkan sarapan pagi untuknya. Delana bukan siapa-siapa dan ini sikap konyol yang membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri.

“Aku nggak merajuk. Ntar aku beli sarapan di kantin,” tutur Chilton sambil tersenyum agar Delana tak merasa bersalah.

“Serius? Biar aku yang beliin, ya!” pinta Delana.

“Kalau itu bisa bikin kamu ngerasa lebih baik?” Chilton mendengus ke wajah Delana sembari menaikkan kedua alisnya.

Delana tersenyum. “Yuk!” Ia menarik lengan Chilton menuju kantin. Ia kini tak lagi peduli dengan tatapan mata mahasiswa lain yang melihat kedekatannya dengan Chilton. Baginya, merasa nyaman saja sudah cukup. Apalagi Chilton juga tak pernah menolak permintaan Delana.

“Kamu nggak takut telat masuk kelas kalo ngantin dulu?” tanya Chilton.

“Gampang itu, mah!” sahut Delana.

Chilton tertawa kecil melihat sikap Delana. Ia tak menyangka kalau cewek yang di depannya ini memiliki sifat hampir sama dengannya. Sama-sama menyepelekan materi kuliah dari dosen. Dan yang lebih konyol lagi, mereka sekarang menjadi guru les.

“Chil, ntar sore kamu ada jadwal ngajar ‘kan?” tanya Delana saat mereka sudah duduk di meja kantin dan memesan makanan sesuai keinginan mereka.

“Iya. Kamu juga ya?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala. “Berangkat bareng ya!” pinta Delana.

Chilton menganggukkan kepalanya. “Mau aku jemput di depan rumah atau depan gang?” tanya Chilton.

“Depan gang aja, ya!” pinta Delana.

“Kenapa sih kamu selalu takut aku ngantar atau jemput sampai depan rumahmu? Ayah kamu marah kalo ada temen cowok main ke rumah?”

“Hmm ...” Delana memutar bola matanya. “Maybe yes, maybe no,” ucapnya sambil tersenyum.

“Tapi kayaknya bosmu bakal suka sama aku,” celetuk Chilton.

“Eh!? Bos?”

“Iya, maksudnya ayah kamu.”

“Iih ... pede banget!?” dengus Delana.

“Pede, lah. Ganteng gini,” ujar Chilton sembari mengibaskan kerah kemejanya.

“Yah ... percaya aja, deh. Aku ke kelas dulu ya!” pamit Delana sambil menyeruput es jeruk yang ia pesan dengan tergesa-gesa. “Kamu kelarin makannya! Aku mau masuk kelas dulu!” pinta Delana. “Biar aku yang bayar.”

“Hmm ... takut juga telat masuk kelas kelamaan?” tanya Chilton sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Delana meringis menanggapi pertanyaan Chilton. Ia boleh saja terlambat, tapi tidak boleh meninggalkan keseluruhan mata kuliahnya. Setidaknya ia terlihat disiplin walau hanya sedikit.

Chilton tertawa kecil sembari menatap Delana yang mulai menghilang.

 

***

Sepulang kuliah, Delana langsung mandi, makan siang dan bersiap-siap pergi ke tempat lesnya.

“Kakak mau ke mana?” tanya Bryan yang baru saja pulang dari sekolah.

“Mau ngajar. Kamu baru pulang?” tanya Delana yang melihat Bryan masuk ke rumah dengan seragam sekolahnya.

“Iya. Sama siapa, Kak? Mau kuantar?” tanya Bryan lagi.

“Nggak usah. Kakak udah janji berangkat sama temen.”

“Naik apa?” tanya Bryan.

“Mmh .. biasanya dia bawa mobil.”

“Temen cowok?” selidik Bryan.

“Idih ... kepo!” dengus Delana sambil berlalu pergi, keluar dari rumahnya. Ia tak lagi memperdulikan adiknya dan berjalan menyusuri jalan keluar dari gang.

“Aaargh ...! Tolong ...!” teriak Delana saat sudah berada di ujung gang. Seorang pria tidak dikenal menarik tangannya erat. Pria itu mengenakan helm dan jaket. Ia duduk di atas motor dan langsung menarik lengan Delana begitu ia melintas.

“Ini aku!” teriak cowok itu sembari membuka kaca helmnya.

“Chilton!?” tanya Delana heran. Ia menghela napas lega.

“Kenapa, Mbak?” tanya beberapa warga yang mendengar teriakan Delana. Mereka langsung menghampiri Delana yang sedang dipegang oleh Chilton.

“Nggak papa, Pak. Ini temen saya ngerjain,” tutur Delana. “Maaf, Pak!” Delana menundukkan kepalanya tanda meminta maaf.

“Kamu kenapa sih ngagetin aku!?” Delana mendelik ke arah Chilton begitu warga yang menghampirinya pergi menjauh. “Aku kirain kamu mau nyulik atau mau ngerampok,” celetuk Delana.

“Gila aja ngerampok di tempat rame begini,” sahut Chilton.

“Lah? Kamu juga, kenapa nggak dilepas helmnya? Aku kan bisa ngenalin kamu dari jauh,” tutur Delana sambil menepuk helm Chilton.

“Ngenalin gimana? Orang dari tadi kamu jalannya nunduk terus. Kayak orang lagi cari duit jatuh.”

“Aku malu.”

“Malu sama siapa?”

“Dilihatin orang.”

“Nggak mau dilihatin orang ya ngeram aja di dalam rumah!” gumam Chilton.

“Kamu sensi banget,” celetuk Delana merengut.

Chilton tertawa kecil. “Jangan cemberut gitu!” Chilton menjepit dagu Delana dengan jemarinya. “Jalan, yuk!” ajak Chilton sembari memperbaiki posisi duduknya di atas motor.

“Naik motor?” tanya Delana.

Chilton mengangguk. “Kenapa? Kamu nggak mau naik motor?” tanya Chilton sembari menatap Delana.

“Mau sih, tapi ...,”

“Tapi apa? Kamu cuma mau jalan sama cowok yang pake mobil doang?” tanya Chilton.

“Enggak. Iih ... kamu kok mikirnya gitu sih?”

“Terus apa? Kenapa nggak mau naik motor?” tanya Chilton mulai kesal.

“Aku nggak bilang nggak mau!” sentak Delana.

Chilton melongo mendengar sentakan dari Delana.

“Aku nggak bawa helm. Emang mau kena tilang?” dengus Delana.

“Oh, soal itu? Tenang! Aku bawa helm, kok.” Chilton mengambil helm yang ia selipkan di bagian depan motornya.

“Nggak mau pake itu. Gede banget!”

“Terus mau pake mana? Adanya ini.”

“Aku pulang dulu, ambil helm.”

“Pake ini aja, kenapa?”

“Nggak mau. Aku pake helm aku sendiri aja!”

Chilton menghela napas. “Cewek emang ribet!” celetuknya. “Ayo, naik!” pinta Chilton agar Delana naik ke motornya.

“Aku ambil helm dulu.”

“Iya. Aku antar ambil helmnya,” tutur Chilton mulai geram. “Kugigit juga kamu nda lama. Geregeten aku!” gerutu Chilton.

Delana meringis. Ia menaiki motor Chilton dan kembali ke rumah untuk mengambil helm miliknya.

“Helm ini gimana?” tanya Chilton sembari menunjukkan helm yang ia bawa.

“Taruh di rumah aku aja!” Delana menyambar helm yang dipegang Chilton dan meletakkannya di atas kursi yang ada di teras rumahnya.

Chilton menyalakan mesin motornya dan bergegas pergi bersama-sama ke tempat les.

Delana merasa gugup karena untuk pertama kalinya ia duduk bersentuhan dengan tubuh Chilton. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ia tidak berani berpegangan pada tubuh Chilton seperti saat ia dibonceng oleh Bryan atau ayahnya.

Chilton merasa aneh karena Delana tidak mengajaknya bicara sama sekali. Ia melirik dari kaca spion untuk memastikan kalau cewek itu masih duduk di belakangnya dan tidak berubah jadi kuntilanak seperti di film-film. Ah, konyol sekali pikirannya. Masih sore saja sudah membayangkan Delana menjadi kuntilanak. Delana terlalu cantik untuk menjadi kuntilanak.

Chilton menarik tangan kanan Delana menggunakan tangan kirinya. Ia meletakkan tangan Delana di atas perutnya. “Pegangan! Ntar jatuh!”

Delana menelan ludah. Ia semakin gugup dan tidak bisa berkata apa pun. Jantungnya berdebar begitu kencang seperti ingin meloncat dari tempatnya. Kalau saat ini ia berada di dalam kamar, mungkin ia akan melompat-lompat ke sana ke mari saking bahagianya. Tapi, hal itu hanya bisa ia lakukan di dalam pikirannya sendiri.

“Kamu kenapa? Kok, diam aja?” tanya Chilton.

“Hah!?” seru Delana karena tidak begitu mendengar ucapan Chilton.

“Nggak papa. Pegangan yang kuat!” teriak Chilton. Ia langsung menambah kecepatan motornya. Membuat Delana langsung memeluk tubuh Chilton sangat erat.

“Jangan laju-laju!” teriak Delana.

“Apa?”

“Jangan laju-laju! Aku takut!” seru Delana sambil menyubit perut Chilton.

“Sakit, nah!” Chilton memperlambat laju motornya.

“Jangan laju-laju bawa motornya!” pinta Delana.

Chilton melambatkan motornya seperti siput yang sedang berjalan.

“Ck, nggak kayak gini juga kali,” tutur Delana kesal.

Chilton tertawa kecil dan terus menambah kecepatan motornya.

“Jangan laju-laju!” teriak Delana lagi sembari memeluk erat perut Chilton.

“Nggak nyampe-nyampe kalo pelan. Ntar kita telat.”

Delana melihat jam yang ada di tangannya. Benar saja, lima menit lagi mereka seharusnya sudah mulai mengajar. Tapi, mereka masih berada di perjalanan.

Sesampainya di tempat les, Chilton dan Delana langsung masuk ke kelas masing-masing. Mereka mengajar seperti biasa.

 

***

“Dela, Chilton ...!” panggil salah satu admin yang ada di meja resepsionis saat Delana dan Chilton baru saja keluar dari ruang belajar mereka.

“Ya,” sahut Delana dan Chilton yang sudah hampir sampai pintu keluar.

“Kalian dipanggil sama bos,” tutur admin resepsionis.

“Ada apa ya?” tamua Delana.

“Nggak tahu. Ibu cuma pesen gitu aja.”

“Sekarang beliau di mana?” tanya Chilton.

“Di ruangannya.”

“Oke.”

Delana dan Chilton bersama-sama melangkahkan kaki menuju ruang atasan mereka.

“Selamat sore, Bu!” sapa Chilton dan Delana bersamaan begitu mereka masuk ke dalam ruangan atasannya.

“Sore ...! Sini! Duduk!”

“Ada apa ya, Ibu memanggil kami ke sini?” tanya Delana hati-hati.

“Mmmh ... sudah jam enam ya?” tanya atasan mereka sambil melirik jam dinding. “Langsung saja ya!”

Delana dan Chilton menganggukkan kepalanya.

“Ada dua guru yang tiba-tiba resign hari ini,” tutur atasan Delana perlahan. “Jadi, ada jam kosong yang sudah kita jadwalkan. Kira-kira, apakah kalian bersedia mengisi jam kosong tersebut? Karena guru yang lain sudah penuh jamnya.”

“Bersedia, Bu,” sahut Chilton.

Delana langsung menoleh ke arah Chilton sambil menyikut lengannya. Ia kesal karena Chilton tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu.

“Mmh ... maaf, Bu. Saya masih harus memikirkannya terlebih dahulu.”

“Ck, sayang sekali kalau kalian tidak bersedia. Karena jadwal malam ini kosong dan murid-murid yang les tetap akan berdatangan.”

Delana dan Chilton saling pandang. Mereka merasa iba jika melihat anak-anak semangat untuk belajar tapi pengajarnya justru tidak ada.

“Baiklah, Bu. Untuk malam ini, kami akan membantu sampai Ibu menemukan guru pengajar yang baru,” tutur Delana.

“Nah, gitu dong!” ucap ketua sambil tersenyum.

Mengambil jam les lebih, artinya mereka akan pulang malam hari dan itu sudah menjadi kesepakatan mereka.

Delana dan Chilton tidak begitu keberatan setelah mereka bisa bernegosiasi untuk mengajar dalam satu kelas saja. Karena, murid yang les pada malam hari adalah murid sekolah menengah dan membuat mereka harus bekerja lebih ekstra.

Usai mengajar malam untuk pertama kalinya, Delana dan Chilton keluar dari kelas mereka bersama-sama. Mereka berjalan beriringan keluar dari gedung kursus dan disapa oleh beberapa muridnya yang juga pulang dari tempat kursus tersebut.

“Kami duluan ya, Bu!”

“Selamat malam, Pak!”

“Permisi, Bu!”

Suara sapaan murid yang melintas membuat Delana dan Chilton menganggukkan kepalanya.

“Pacaran ya, Bu?” goda salah satu murid.

Delana dan Chilton menganggukkan kepala. Kemudian mereka menyadari kalau murid itu memberikan pertanyaan berbeda yang seharusnya tidak membuat mereka menganggukkan kepala.

“Ciyeee ....!” seru murid yang lain.

Wajah Delana menghangat ketika muridnya menggodanya. Ia tidak bisa memungkiri kalau hatinya memang bahagia ketika Chilton berada di sampingnya dan tidak menolak sedikit pun apa yang dibicarakan orang lain tentang mereka. Ia berharap, hari-hari yang ia lalui bersama bisa meluluhkan hati cowok itu.

Chilton hanya tertawa kecil menanggapi candaan murid-muridnya. Baginya, itu hal biasa. Hanya sekedar ucapan basa-basi antara murid dan guru karena tidak tahu apa lagi kalimat yang tepat untuk menyapa.

 

***

“Del, kita cari makan dulu, yuk!” ajak Chilton saat ia dan Delana sudah di jalan pulang. Ia mengendarai motornya perlahan sembari menikmati jalanan kota di malam hari.

“Di mana?” tanya Delana.

“Enaknya di mana?” tanya Chilton balik.

“Nggak tahu. Aku jarang makan di luar karena—”

“Selalu masak sendiri?”

“Iya.”

“Ya udah. Kita makan di rumah kamu aja!”

“Aku belum masak. Kalau malam gini, ART aku udah nggak ada di rumah. Dia cuma bantu-bantu dari pagi sampe sore.”

Chilton melirik jam yang ada di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan jam sembilan lewat lima belas menit. “Masak yang gampang aja!” pinta Chilton. “Lagian, udah jam segini banyak restoran udah mau tutup.”

“Masak apa yang cepet? Mie instan?” celetuk Delana.

“Nah ... itu aja! Kayaknya enak malam-malam gini makan mie instan,” sahut Chilton.

“Ya udah, mampir minimarket aja dulu! Aku nggak punya stock mie instan.”

“Siap! Beneran mau dimasakin nih?” tanya Chilton meyakinkan.

“Iya.”

Beberapa menit kemudian, Chilton membelokkan motornya memasuki parkiran salah satu minimarket untuk mengantar Delana membeli mie instan.

“Kamu mau mie yang mana?” tanya Delana saat mereka sudah ada di dalam minimarket.

Chilton memerhatikan deretan mie instan yang memajang aneka jenis mie instan, mulai dari merk hingga rasa yang disajikan. “Ini aja, deh!” Chilton menunjuk mie kuah rasa kari ayam dari salah satu merk terkenal di Indonesia.

Delana langsung mengambil lima bungkus dan memasukkan ke dalam keranjang belanjanya.

“Banyak amat?” tanya Chilton sembari mengikuti langkah Delana yang akhirnya juga membeli barang-barang keperluan lainnya.

“Siapa tahu, Bryan juga mau makan. Masa cuma beli buat kita doang?” Delana tersenyum menatap Chilton.

“Oh, oke. Cari apa lagi?” tanya Chilton.

“Bentar.” Delana berkeliling dari satu rak ke rak lainnya.

“Jangan lama-lama. Ini sudah malam. Lagian, perutku udah laper banget!” celetuk Chilton.

“Salah sendiri. Kenapa tadi dikasih nasi bungkus sama bos malah nggak mau?” tanya Delana.

“Aish ... nggak demen aku makan nasi bungkus.”

“Demennya apa?”

“Makanan buatanmu.”

Delana tertawa kecil. Chilton mulai membuat perasaannya semakin bermekaran karena ia menyambut kebaikan dan ketulusan Delana. Demi apa pun, Delana merasa bahagia karena bisa membuatkan makanan untuk Chilton.

“Biar aku yang bayar!” pinta Chilton begitu Delana sudah berdiri di depan meja kasir.

Delana tidak menolak, kali ini ia hanya tersenyum dan membiarkan Chilton membayar barang belanjaan miliknya.

 

***

“Masuk, yuk!” ajak Delana begitu ia dan Chilton sudah sampai di rumahnya.

“Nggak papa masuk ke dalam?” tanya Chilton.

“Nggak papa.”

“Ada siapa di dalam?” tanya Chilton lagi.

“Ada adik aku. Tapi, biasanya jam segini udah tidur.”

“Ayah kamu?” tanya Chilton sembari mengikuti langkah Delana masuk ke dalam rumah.

“Belum pulang kayaknya. Mobilnya belum ada di garasi.”

“Lembur?” tanya Chilton.

“Iya. Akhir-akhir ini dia sering lembur,” jawab Delana. “Kita di dapur aja ya!” pinta Delana. Ia langsung melangkah masuk ke dapur yang dinding dan perabotannya berwarna pink.

“Girly banget ini dapur.” Chilton mengedarkan pandangannya menikmati suasana dapur yang semuanya bernuansa pink.

“Iya.” Delana tersenyum sembari menyiapkan air di dalam panci untuk merebus mie instan. “Aku banyak ngabisin waktu di sini. Jadi, ayah nggak pernah protes. Yang penting aku nyaman di sini. Padahal, cuma aku doang cewek di rumah ini. Tapi, jadi penguasa rumah.” Delana tergelak.

“Kelihatan, sih.” Chilton mengangguk-anggukkan kepala.

“Waktu itu Bryan sempat ngomel gara-gara aku ganti gorden kamarnya pake gorden gambar chibi-chibi gitu,” tutur Delana sambil menahan tawa.

“Eh!? Serius?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala sambil tertawa kecil. “Duduk, gih! Jangan berdiri terus kayak gitu!” perintah Delana saat melihat Chilton masih berdiri sambil menyandarkan lengannya di atas kursi meja makan.

Chilton langsung duduk sembari menunggu Delana memasak mie instan untuknya. Aroma masakan menyeruak ke seluruh ruangan dan membuat cacing-cacing di dalam perutnya mengamuk minta diberi makan secepatnya.

Tak menunggu lama. Mie instan buatan Delana sudah tersaji di atas meja makan dengan topping sayuran, udang, telur dan irisan tomat.

“Mmh ... enak nih kayaknya,” tutur Chilton begitu melihat masakan Delana.

“Ayo, makan!” pinta Delana.

Chilton langsung mencicipi masakan Delana, kemudian melahapnya dengan cepat karena perutnya memang sudah sangat lapar.

“Hati-hati makannya!” pinta Delana.

Chilton mengangguk-anggukkan kepala dengan mulut penuh makanan.

“Gimana pengalaman mengajar hari ini?” tanya Delana.

Chilton menelan seluruh makanan yang ada di dalam mulutnya. “Asyik! Ngajar anak-anak SD itu asyik juga. Kenapa nggak dari dulu ya?” balas Chilton.

Delana tersenyum. “Iya. Mereka tuh lucu, polos dan nyenengin banget!” tutur Delana. “Lucunya lagi, mereka ngira kalo kita pacaran. Padahal, mereka masih SD. Udah ngerti pacar-pacaran segala,” celetuk Delana.

“Siapa dulu gurunya?” ucap Chilton sambil menahan tawa.

“Iih ... apaan sih? Aku nggak pernah ngajarin mereka pacar-pacaran!” dengus Delana.

“Anak zaman sekarang, siapa yang nggak tahu pacaran? Anak TK aja loh udah ngerti.”

“Iya, juga sih. Anak SD juga sudah ada yang pacaran. Heran aku, waktu mereka bilang kalo aku disuruh jadi pacar Kak Chilton!” Delana tergelak.

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” tanya Chilton.

Delana langsung menghentikan tawanya. “Mereka yang lucu.” Delana meringis ke arah Chilton.

Chilton tertawa kecil. Mudah sekali membuat Delana merasa bersalah. Tapi, ia selalu tidak tega melihat wajah murung yang tergambar dari cewek yang selalu ceria itu.

“Kamu sendiri gimana?” tanya Delana.

“Gimana apanya?”

“Pengalaman ngajar di kelas pertama kalinya.”

“Baik,” sahut Chilton singkat.

Delana mengernyitkan dahinya. “Cuma itu?”

“Terus apa?” tanya Chilton.

“Yah ... anak-anaknya gimana? Respon mereka saat kamu mengajar seperti apa? Dan semuanya tentang pengalaman mengajar kamu hari ini.”

“Kamu lihat sendiri waktu kita ngajar di kelas bareng malam ini,” tutur Chilton.

Delana tertawa kecil saat murid cewek banyak mengerubungi dan menarik-narik tangannya untuk bertanya pada Chilton tentang materi yang belum mereka mengerti. Delana tahu, mereka tidak benar-benar tidak mengerti. Hanya sekedar basa-basi untuk mencari perhatian Chilton.

“Kenapa ketawa?” tanya Chilton kesal melihat Delana cekikina sendiri.

“Nggak papa. Lucu aja!”

“Lucunya di mana? Kamu tuh selalu aja senang kalo aku dikerubungin kayak gitu!” celetuk Chilton.

“Terus? Aku harus gimana? Mereka kan murid kamu juga.”

“Iya, tapi ... tetep aja akhirnya aku nggak nyaman ngajar. Kalo sama anak-anak SD sih santai aja. Yang SMA ini nah bikin aku risih!”

“Itu karena kamu baru aja ngajar. Lama-lama mereka juga bosan kalo udah sering ketemu.”

Chilton mengernyitkan dahinya. “Emang aku se-ngebosenin itu?”

Delana menghela napas. “Aku salah mulu,” gumamnya.

“Apa kamu juga udah mulai bosan ketemu sama aku?” tanya Chilton.

Delana menggelengkan kepala, kemudian tertawa. “Nggak, lah. Kamu nih baperan banget sih!?”

“Ya kali aja kamu mulai bosan. Buktinya, kamu nggak bawain sarapan lagi buat aku.”

Delana menghela napas. Ia lemas mendengar ucapan Chilton. Ia merasa, Chilton kali ini semakin menyebalkan dan terlihat seperti perempuan. “Kenapa sih dia jadi aneh gini? Aseeli, kayak cewek banget! Dikit-dikit baper,” gumam Delana dalam hatinya. Delana merasa Chilton semakin berubah. Chilton yang ia kenal pertama kali sangat dingin, jarang bicara dan tidak ramah. Kini, cowok itu mulai berubah. Bahkan, Chilton tak malu melakukan hal-hal konyol yang seharusnya tidak ia lakukan sebagai cowok paling cool di kampusnya.

“Aku pulang ya! Udah malam,” pamit Chilton begitu ia menghabiskan makanannya.

Delana mengangguk dan mengantarkan Chilton sampai ke halaman rumahnya. Ia merasa bahagia karena untuk pertama kalinya ia menghabiskan banyak waktu bersama Chilton. Semoga saja ini pertanda baik untuk hubungan mereka.

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas