Thursday, August 14, 2025

Saat Ilmu Dijadikan Ladang Bisnis

Saat Ilmu Dijadikan Ladang Bisnis




Halo, sahabat pembaca! Jumpa lagi di sudut curhat saya. Kali ini tentang sesuatu yang bikin hati runyam, yakni tentang pendidikan.
Pendidikan yang mestinya jadi ladang cahaya, kini terlalu banyak dijadikan ladang bisnis. Rasanya, ada yang tak beres ketika ilmu melayang diiringi suara jeritan dompet para orang tua. 


Pendidikan mulai tergoda nilai ekonomis. Konsep sekolah dan kampus seakan jadi produk premium. 
Seberapa sering kita dengar fasilitas mewah, branding ciamik, tapi kandungan pendidikan menguap? Komersialisasi kini begitu kuat, hingga siswa dianggap sebagai pelanggan. Padahal mereka sedang haus ilmu, bukan bayar mahal buat prestise.

Universitas yang berstatus PTN-BH pun tak lepas dari sentuhan korporat. Kadang bahkan menyediakan restoran cepat saji di kampus! Pendidikan dibentuk bukan untuk membentuk karakter, tapi menjadi ajang bisnis semata.

Apakah biaya pendidikan yang melambung tinggi sebanding dengan kualitas pendidikannya? 

Menurut BPS, biaya pendidikan di Indonesia naik 10–15% tiap tahun. Jalur mandiri PTN, uang pangkalnya bisa ratusan juta. Sementara APBN mengalokasikan sekitar Rp 600 triliun untuk pendidikan, tetap saja biaya siswa semakin tinggi. Ironisnya, akses berkualitas justru terampas dari mereka yang tidak mampu.

Bahkan ada yang bilang:

“Sekolah swasta bisa tutup pendaftaran dalam sebulan meski uang masuknya puluhan juta.”
Ini bukti bahwa orang tua rela bayar mahal demi persepsi kualitas, walau belum tentu sebanding.

Ketika biaya pendidikan menjadi tinggi, citra pendidikan inklusif langsung suram. UUD 1945 menegaskan pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan wajib dijamin oleh pemerintah. Tapi realita sehari-hari, ruang belajar malah dibagi atas mereka yang mampu dan yang tidak. Generasi miskin mulai terpinggirkan.

DPR pernah menyoroti bahwa hampir 40% dari lebih 4.000 perguruan tinggi di Indonesia memiliki akreditasi C atau bahkan tidak terakreditasi sama sekali. Banyak kampus ini “bertahan” semata karena celah birokrasi dan minimnya peraturan.

Akademik Tergilas Tekanan Finansial. Mahasiswa kerap merasa kampus pentingkan ranking dan uang masuk daripada riset yang berdampak nyata. Sponsor dan donor lebih mengikat kampus secara finansial daripada mendorong ilmu untuk masyarakat. Menteri seakan melihat universitas seperti perusahaan yang harus “untung”, bukan lagi lembaga pencetak pelita bangsa.

Komite sekolah, yang seharusnya sebagai pengawal kebijakan, malah banyak yang melempem. Bahkan terlibat dalam praktik pungli dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Buku ajar juga dijadikan bisnis: guru dapat rabat 30–40% atas penjualan buku ke siswa!


Suara dari Netizen, setengah tersenyum, setengah kecewa. 

Curhat netizen di Reddit menggambarkan realitas pahit:

“Don’t expect anything from a public school… that’s why rich Indonesia parents send their kids to private school…”
Ini tentang kondisi sekolah negeri yang membuat orang tua berpaling ke swasta demi masa depan anak.

“Sekitar 90% lulusan S1 di Indonesia kualitasnya cuma setara anak SMK. Sarjana itu harusnya orang pandai, bukan sekedar diwisuda.”

Kritik tajam terhadap kualitas pendidikan jadi “gimmick diploma”.

Lalu, apa yang Bisa Dilakukan?
Kita bisa melakukan beberapa perubahan-perubahan baik secara sosial maupun politik. 

1. Reformasi Kebijakan Pendidikan. 
Dorong kebijakan yang menekankan akses adil, kurikulum bergizi, bukan sekadar branding atau bisnis.

2. Alokasi Anggaran Lebih Realistis & Transparan. 
Dengan APBN yang besar, pemerintah harus mampu menurunkan beban biaya bagi siswa, bukan malah melepas tanggung jawab ke sektor swasta.

3. Aturan Kuat & Pengawasan Ketat. 
Bebaskan pendidikan dari pungli, KKN, dan komersialisasi—melalui regulasi dan penegakan hukum.

4. Bangun Kesadaran Masyarakat. 
Pendidikan adalah hak, bukan barang dagangan. Sebarkan pemikiran ini agar orang tua memilih berdasarkan substansi, bukan label mahal.

5. Dorong Pendidikan Berbasis Riset & Karakter. 
Bukan hanya soal nilai, tapi soal bagaimana pendidikan menumbuhkan pemikiran kritis, jiwa wirausaha yang etis, dan rasa kemanusiaan.


Pendidikan sejatinya adalah jendela dunia, bukan kasir yang menunggu duit. Jika kita biarkan obesitas komersial ini membesar, maka masa depan bangsa yang menjadi generasi penerus kita akan tereduksi jadi statistik pendapatan, bukan cahaya pelita bangsa.

Mari kita bangkit, menyuarakan agar ilmu tetap suci, akses tetap adil, dan generasi kita tetap memandang dunia dengan rasa ingin tahu, bukan malu menatap harga mahal. Pendidikan bukan untuk dijual, tapi untuk disemai dengan kasih dan tanggung jawab.


Salam Literasi, 

Rin Muna


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas