“Sore,
Ma!” sapa Yuna begitu ia sampai di rumah mama mertuanya.
“Hmm
... masih ingat main ke sini?” balas Rullyta dingin.
“Iih
... Mama, kok gitu sih? Ini, ada oleh-oleh buat Mama dan Kakek.” Yuna
menyodorkan paper bag ke arah Rullyta.
“Mau
nyogok Mama?” tanya Rullyta sambil menerima paper bag dari tangan Yuna.
Yeriko
tertawa kecil melihat sikap mamanya. Ia sudah sangat hafal dengan mamanya itu.
Ia langsung menerobos masuk begitu saja dan mencari kakek yang biasa bersantai
di halaman belakang.
“Ma
, jangan marah, dong!” pinta Yuna sambil menatap wajah Rullyta.
“Mama
nggak marah, asal kalian nginap di sini malam ini.”
“Eh!?
Oke.” Yuna langsung menyetujui permintaan Rullyta. Ia rasa, permintaan mama
mertuanya kali ini sangat wajar karena mereka memang sudah lama tidak menginap
di rumah besar keluarga Hadikusuma.
Rullyta
memberikan paper bag pada salah satu pelayannya dan mengajak Yuna menghampiri
kakek yang bersantai bersama Yeriko di halaman belakang rumahnya.
“Ma,
Satria pindah tugas ke sini?” tanya Yeriko begitu Rullyta duduk di salah satu
kursi panjang yang ada di sisi kolam renang.
“Kamu
tanya dia!” sahut Rullyta santai sambil menjulurkan kakinya.
“Ck,
aku nggak bisa bedain dia itu serius atau bercanda.”
Rullyta
tertawa kecil.
“Kakek
rasa, dia nggak pindah tugas ke sini. Di Jakarta, karirnya sudah bagus. Kalau
dia di sini, Kakek rasa ada sesuatu yang harus dia selesaikan.”
“Masuk
akal,” sahut Yeriko.
“Kenapa
kamu nggak tanyakan langsung ke dia?”
“Ck,
dia itu ...” Yeriko menoleh ke arah Yuna. “Aku tinggal pergi, nggak papa?”
Yuna
menaikkan kedua alisnya. “Ke mana?”
“Nemuin
Satria.”
“Oh.
Pergi aja!” sahut Yuna sambil tersenyum. “Aku mau nginap di sini.”
“Nginap?”
Yeriko mengerutkan dahinya. “Kita cuma ...”
“Malam
ini, Yuna punya Mama. Kalau kamu nggak mau nginap di sini. Silakan tidur di
kamar kamu sendirian!”
Yeriko
memutar bola matanya. “Kalian udah berkomplot buat nindas aku,” celetuk Yeriko.
Ia bangkit dari tempat duduknya.
“Kamu
merasa tertindas cuma karena tidur sendirian?” goda Rullyta.
“Aku
ke sini dua jam lagi,” tutur Yeriko sambil berlalu pergi.
Rullyta
dan yang lainnya tertawa kecil.
“Lihat,
dia udah nggak bisa hidup tanpa kamu,” tutur Rullyta sambil menatap Yuna.
Yuna
tersenyum menanggapi ucapan Rullyta. “Kebalik, Ma. Aku yang nggak bisa hidup
tanpa dia.”
“Kalau
gitu, kamu harus jagain suami kamu itu. Biar makin cinta sama kamu.”
“Pasti,
dong!”
“Oh
ya, udah periksa kandungan?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Gimana
keadaan cucu Mama? Sehat, kan?”
“Iya,
Ma. Sehat banget.”
“Syukur,
deh. Gimana liburan kamu di Italia?”
Yuna
tersenyum bahagia. “Sangat baik.”
“Kapan-kapan,
temenin Mama liburan ya!” pinta Rullyta.
“Kapan
ya?”
“Yah,
Mama atur waktu dulu kalau bisnis Mama udah nggak terlalu sibuk.”
Yuna
tersenyum. Ia sangat mengerti. Di balik kesuksesan Yeriko, masih ada Rullyta
dan Nurali yang berada di belakangnya.
“Aku
sebentar lagi punya anak, Ma. Pasti bakal ngerepotin banget.”
“Nggak,
dong. Pasti akan menyenangkan kalau bisa jalan-jalan sama cucu kesayangan
Mama.”
Yuna
tersenyum menanggapi ucapan Mama mertuanya.
“Oh
ya, Mama lihat sahabat kamu itu ... siapa namanya?”
“Jheni?”
“Nah,
iya. Jheni. Dia pacaran sama Chandra?”
“Iya,Ma.”
“Berapa
umurnya sekarang?”
“Seumuran
sama aku. Tua dia empat bulan.”
“Oh.
Mama lihat dia gadis yang baik. Belum mau menikah?”
“Mmh
... kurang tahu, Ma. Oh ya, kata Jheni ... Chandra punya mama tiri ya? Apa mama
tirinya dia galak?”
Rullyta
mengerutkan dahinya. “Kamu tanyakan langsung ke Chandra!”
“Nggak
berani.”
Rullyta
tersenyum menatap Yuna. “Yeriko, Satria, Lutfi dan Chandra sudah berteman lama.
Mereka sangat mandiri. Tinggal jauh dengan keluarga bukan tanpa alasan. Selama
ini, Mama juga membesarkan Yeriko seorang diri.” Ia melirik ayahnya yang duduk
tak jauh dari mereka. Ia belum siap mengungkapkan perihal ayah Yeriko kepada
Yuna. Suatu saat, ia pasti memberitahunya.
Rullyta
tersenyum ke arah Yuna. “Oh ya, keadaan ayah kamu gimana?” tanyanya mengalihkan
pembicaraan.
“Baik,
Ma. Masih harus perawatan dulu sampai bener-bener sehat.”
“Ayah
kamu sudah sembuh?” tanya Nurali.
Yuna
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Baguslah
kalau begitu.”
“Iya,
Kek. Aku bakal nemenin ayah di rumah sakit beberapa hari ini. Semoga, ayah bisa
pulih lebih cepat.”
“Aamiin.
Mama ikut senang karena ayah kamu sudah sembuh. Kamu udah kasih kabar ke
keluarga kamu?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Yeriko ngelarang aku ngasih tahu keluarga.”
“Oh.
Ikuti aja apa maunya. Dia pasti sudah mempertimbangkan semuanya.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Sudah
waktunya makan. Ayo, kita makan!” ajak Rullyta.
“Yeriko
gimana?”
“Nggak
usah tunggu dia! Dia lagi nemuin Satria. Lutfi dan Chandra juga pasti di sana.”
“Oh.”
“Kenapa?
Kamu khawatir sama dia?”
“Sedikit.”
Rullyta
tersenyum kecil. “Mereka semua jago beladiri. Nggak ada yang perlu
dikhawatirkan.”
Yuna
tersenyum kecil. Ia pergi makan bersama mama mertua dan kakek mertuanya.
Usai
makan, ia langsung beristirahat di kamarnya sembari menunggu Yeriko pulang.
“Udah
jam sepuluh, kenapa belum pulang juga sih?” Yuna mulai gelisah di dalam
kamarnya.
“Ck,
kenapa aku kayak gini? Bukannya, dia juga biasa kerja lembur sampai larut
malam? Apa karena dia cuti lama, aku jadi manja gini,” gumam Yuna.
Yuna
menatap layar ponselnya. Ia tidak bisa tidur dengan tenang karena Yeriko belum
juga kembali ke sisinya. Untuk mengusir kegelisahannya, ia akhirnya menelepon
Jheni.
“Halo
...!” sapa Jheni begitu panggilan telepon Yuna tersambung.
“Halo,
kamu di mana, Jhen?”
“Aku
selalu di hatimu, Yun.”
“Aku
nanya serius!” sahut Yuna kesal.
“Aku
pun serius, Yun. Aku ada di ujung telepon!” canda Jheni.
“Huu,
itu sih udah tahu.”
“Kenapa
telepon aku malam-malam gini? Mau pamer kalo abis bulan madu?”
“Udah
puas aku pamerin ke kamu. Aku mau kasih kabar bahagia lagi.”
“Oh
ya? Apa tuh?”
“Ayah
udah sembuh.”
“Hah!?
Serius?”
“Iya.
Aku seneng banget. Akhirnya, ayahku bisa sembuh juga Jhen. Aku nggak nyangka
bisa secepat ini. Selama sebelas tahun, ayah nggak bisa apa-apa. Sekarang, dia
udah bisa manggil namaku,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.
“Alhamdulillah,
Yun. Aku ikut seneng. Akhirnya, kalian bisa berkumpul lagi.”
Yuna
mengangguk. “Kebahagiaanku udah lengkap, Jhen. Aku punya suami yang baik dan
bertanggung jawab. Punya mama mertua yang menyayangi aku seperti anaknya
sendiri. Udah mau punya si Dedek yang bakal nemenin hari-hari aku dan ayah yang
sudah kembali.”
“Selamat
ya, Yun. Akhirnya, kamu sudah menemukan kebahagiaan. Happily ever after terus
ya!”
“Aamiin.
Oh ya, hubungan kamu sama Chandra gimana?”
“Baik,
Yun.”
“Belum
ada tanda-tanda kalau dia ...”
“Udahlah,
nggak usah dibahas!” pinta Jheni. “Aku udah tahu arah pembicaraan kamu ke
mana.”
“Huft,
ternyata hubungan kalian rumit banget ya?”
“Andai
boleh milih, pengennya sih yang mulus-mulus aja, Yun. Untungnya, akhir-akhir
ini kerjaanku lumayan padat. Jadi, aku nggak terlalu mikirin hubunganku yang
rumit ini. Hehehe, bawa santai aja lah, Yun. Daripada aku setres dan nggak
tenang dengan kerjaanku.”
“Mmh
... iya, juga sih. Lagipula, kamu masih punya aku yang selalu mencintai dan
menyayangi kamu dengan tulus.”
“Uch,
thank you sahabatku yang paling cantik. I feel blue. Oh ya, aku masih kerjar
deadline nih. Lanjut besok lagi teleponnya ya. Waktuku mepet banget, nih.”
“Oke.
Good luck ya! Jangan lupa traktir kalau udah cair!”
“Udah
kaya, masih aja demen gratisan!” celetuk Jheni.
“Hahaha.”
Jheni
langsung mematikan panggilan teleponnya.
Yuna
terkekeh saat panggilannya sudah berakhir. Di saat yang sama, Yeriko masuk ke
dalam kamar.
“Telepon
siapa?” tanya Yeriko.
“Eh!?
Udah pulang? Kamu jalannya kayak kucing, nggak ada suaranya.” Yuna langsung
menghampiri Yeriko.
Yeriko
tersenyum kecil. Ia menarik pinggang Yuna ke pelukannya. “Kenapa belum tidur?
Masih nunggu aku pulang?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Lain
kali, nggak perlu nunggu aku kayak gini. Kamu lagi hamil. Harus banyak
istirahat. Nggak perlu khawatir sama aku.”
Yuna
tersenyum sembari membantu Yeriko melepas jaketnya.
“Udah
ketemu sama Satria?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Gimana
hasil investigasi kamu?”
“Investigasi
apaan? Bukan aku yang nanya dia. Malah dia yang nyerang aku pake banyak
pertanyaan,” jawab Yeriko sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. “Untungnya,
aku sudah nikah. Jadi, bisa mengatasinya dengan santai.”
“Emangnya
dia ngajuin pertanyaan apa ke kamu?”
“Kamu.”
“Aku?”
Yeriko
mengangguk. “Kayak nggak tahu aja otak jahilnya mereka.”
“Kamu
juga sering jahil ke mereka.”
“Aku
nggak pernah merasa begitu.”
Yuna
tertawa kecil. “Kamu nggak merasa bersalah setelah melakukan sesuatu?”
“Bersalah
kenapa? Aku nggak ngelakuin kesalahan apa-apa.”
Yuna
memonyongkan bibirnya. Ia langsung berbaring di atas kasur. “Yang bener
tidurnya!”
Yeriko
bangkit dan kembali merebahkan diri di paha Yuna. “Anak kita lagi apa?”
“Lagi
nunggu ayahnya pulang.”
Yeriko
tersenyum kecil. Ia mengecup perut Yuna beberapa kali dan akhirnya terlelap
sambil memeluk tubuh Yuna penuh kehangatan.
((
Bersambung ... ))
Makasih
udah baca sampai sini. Dukung terus cerita ini biar aku makin semangat bikin
cerita yang lebih seru lagi.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment