Yuna
terus menatap nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Ia tidak ingin
menjawab panggilan telepon dari orang tersebut.
Yuna
membiarkan panggilan telepon itu mati. Namun, orang tersebut masih meneleponnya
kembali hingga berkali-kali.
Akhirnya,
Yuna menjawab panggilan telepon tersebut dengan kesal. “Halo, Oom ...!”
“Halo,
Yuna! Apa kabar? Sudah lama sekali Oom tidak mendengar kabar kamu. Apalagi
melihat wajah kamu,” tutur seseorang di seberang sana.
Yuna
tersenyum kecut. “Aku baik-baik aja, Oom. Oom baik juga kan?”
“Oom
baik-baik aja. Kenapa kamu nggak pernah kelihatan lagi? Nggak pernah telepon
Oom juga. Apa kamu masih marah sama Bellina?”
Yuna
tersenyum sinis. “Oom, kelakuannya Bellina udah keterlaluan. Selama ini, aku
selalu ngalah sama dia. Kenapa dia nggak berhenti ganggu aku?”
“Oom
bener-bener minta maaf soal Bellina. Kalau dia bikin ulah lagi, Oom yang akan
kasih pelajaran ke dia.”
Yuna
memutar bola matanya. Ia sendiri tidak yakin dengan ucapan pamannya sendiri. Ia
ingat bagaimana pamannya membiarkan Bellina dan tantenya terus menerus
menindasnya.
“Oh
ya, Oom dengar ... ayah kamu sudah sembuh?”
Yuna
terdiam sejenak. “Oom dapet berita dari mana? Ayah masih koma,” jawab Yuna. Ia
tidak ingin pamannya itu mengetahui kondisi ayahnya yang sebenarnya.
“Oh,
maaf ... Oom kira, berita yang beredar itu benar.”
“Aku
sangat berharap berita itu benar, Oom. Tapi, kondisi ayah sangat buruk. Setiap
hari, kesehatannya menurun. Dokter bilang, kemungkinan untuk sadar kembali
sangat kecil. Karena kondisi sarafnya mengalami banyak kerusakan,” tutur Yuna
dengan nada sedih.
“Oom
ikut sedih mendengar kabar ayah kamu seperti ini. Apakah kamu bisa kasih tahu
Oom, di mana dia dirawat?”
“Huft,
percuma, Oom. Ayah nggak bisa dijenguk siapa pun. Dokter melarang siapa pun
menjenguknya. Aku sendiri, sulit untuk melihat kesehatan ayahku sendiri.”
“Yun,
Adjie itu kakak kandungku sendiri. Apa aku sama sekali nggak boleh jenguk dia?”
“Aku
juga anak kandung Ayah. Aku sendiri sulit menjenguk dia, apalagi Oom Rudi,”
sahut Yuna. Dalam hatinya, ia memendam kekesalan.
“Yun,
kita masih ada hubungan darah. Oom akan merasa bersalah jika terjadi sesuatu
sama ayah kamu.”
“Kenapa
baru merasa bersalah sekarang?” tanya Yuna.
Tarudi
tak menjawab pertanyaan Yuna.
“Oom,
lebih baik Oom urus kehidupan keluarga Oom sendiri dan jangan ganggu kami
lagi!” pinta Yuna. “Kalau memang Oom merasa bersalah, seharusnya sudah Oom
lakukan sejak kematian Bunda Arum!”
“Yun,
Oom sama sekali nggak ada hubungannya sama kematian Arum. Suami kamu itu yang
mengada-ngada supaya hubungan persaudaraan kita hancur.”
Yuna
tersenyum kecil. “Makasih, Oom sudah peringatin aku kalau aku punya suami yang
sangat jahat sehingga ingin memisahkan aku dari satu-satunya keluarga yang aku
punya. Tapi, aku lebih percaya sama suamiku,” tegas Yuna.
“Huft,
baiklah. Kamu sudah terlanjur tergila-gila dengan pria itu sehingga apa pun
yang keluar dari mulut Oom, tidak akan ada gunanya.”
“Baguslah
kalau Oom tahu itu. Jadi, sebaiknya kita nggak perlu berhubungan lagi. Aku bisa
melupakan semua yang terjadi di masa lalu. Asalkan, Oom tetap membiarkan kami
hidup dengan tenang dan aman.”
“Yuna
... kenapa kamu ini masih aja keras kepala. Oom tahu, banyak kesalahan yang
sudah dibuat Bellina dan Melan. Tapi, kita ini tetap keluarga. Hubungan darah
nggak bisa diputus begitu saja. Apa kamu benar-benar sudah tidak menganggap Oom
ini sebagai paman kamu lagi?” tanya Tarudi lagi.
“Maaf,
Oom. Aku bukan ingin memutuskan hubungan darah. Aku hanya ingin hidup dengan
tenang. Jadi, jangan ganggu kami lagi!” pinta Yuna.
“Yun,
kamu masih marah karena kelakuan Bellina. Oom cuma mau jenguk ayah kamu. Kenapa
kamu harus bersikap seketus ini?”
Yuna
menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi pamannya itu.
Sebenarnya, selama ini pamannya selalu bersikap baik terhadapnya. Hanya saja,
ia tetap membiarkan Bellina dan Melan terus menindasnya.
“Oom,
aku udah bilang kalau Ayah nggak bisa dijenguk. Kondisinya lagi kritis!” seru
Yuna kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.
“Iih
... ngeselin!” Yuna menghentakkan kakinya sambil menatap pemandangan di luar
jendela.
“Paman
kamu?” tanya Yeriko yang masih duduk di meja kerjanya.
Yuna
menganggukkan kepala. “Dia tahu dari mana kalau ayah udah sembuh? Aku kan nggak
ngasih tahu mereka.”
Yeriko
menggelengkan kepala. Ia semakin yakin kalau ada orang yang terus mengawasi
keadaan ayah mertuanya.
“Pokoknya,
aku nggak mau kalau mereka sampai nemuin Ayah. Kita ke rumah sakit naik taksi
aja. Aku takut, mereka ngikutin kita ke rumah sakit.”
Yeriko
tertawa kecil.
“Kenapa
malah ketawa? Aku serius!” dengus Yuna kesal. Ia berjalan menghampiri Yeriko
yang masih duduk di singgasananya.
“Apa
paman kamu itu kekurangan kerjaan sampai harus nguntit kita?”
“Bisa
aja, kan. Dari cara ngomongnya dia. Kayaknya, dia ngerencanain sesuatu ke Ayah.
Aku nggak mau terjadi apa-apa sama ayahku.”
Yeriko
mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu tenang aja! Nggak usah terlalu khawatir!
Nggak baik untuk kandungan kamu. Ruang rawat ayah kamu dijaga ketat. Seandainya
paman kamu bisa menemui keberadaannya, dia nggak akan berani macam-macam.”
“Kamu
yakin?”
“Iya.
Aku pasti menangani ini.”
“Kamu
lagi ngerencanain sesuatu?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Kalau semua berjalan sesuai prediksiku, aku harap hasil
akhirnya juga akan sesuai.”
Yuna
mengerutkan dahinya. “Aku nggak paham. Bisa diceritain ke aku?”
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Karena
...” Yeriko menarik tubuh Yuna ke pangkuannya. “Kamu nggak boleh mikirin hal
lain selain aku dan anak kita.”
“Egois
banget?” dengus Yuna sambil tersenyum kecil.
Yeriko
tersenyum kecil. “Kalau aku nggak egois, aku nggak bisa nikahin kamu.”
Yuna
mengerutkan hidungnya. “Kamu bener-bener menggunakan kekuasaan untuk
mengendalikan orang lain, hah!?”
“Bukannya
kamu yang mengendalikan aku selama ini?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku nggak ngelakuin apa-apa. Udah waktunya makan siang,
makan yuk!” ajak Yuna sambil bangkit dari pangkuan Yeriko.
“Hmm
...” Yeriko menahan lengan Yuna.
“Kenapa?”
tanya Yuna
Yeriko
langsung menyodorkan bibirnya.
“Sudah
tua, masih aja manja,” celetuk Yuna. Ia mengecup bibir Yeriko dan mengajaknya
makan siang bersama di kantornya.
“Sore
ini, kita jenguk ayah lagi, kan?” tanya Yuna.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Kamu mau pulang dulu atau nunggu di sini?”
“Aku
pulang dulu. Mau masakin buat ayah.”
“Oke.
Masakin buat aku juga ya!”
“Mau
makan apa?”
“Makan
...” Yeriko melirik ke langit-langit ruangan. “Apa aja, yang penting kamu yang
masakin.”
Yuna
tersenyum kecil. “Masakanku nggak terlalu enak. Masih enakan masakan Chef Rafa.
Aku banyak belajar dari dia.”
“Oh
ya? Pantes aja setiap hari masakan kamu makin enak?”
“Serius!?”
Yeriko
mengangguk sembari mengunyah makanan di mulutnya.
“Bukan
terpaksa karena mau bikin aku seneng ‘kan?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Kalau mau bikin kamu seneng, tinggal ajak ke restoran.”
Yuna
memonyongkan bibirnya.
“Tapi,
masih enak masakan kamu daripada masakan restoran?”
“Oh
ya? Apa perlu aku bilang ke koki restoran kalau aku aja yang masak di sana?”
“Jangan!”
“Kenapa?
Kenyataannya, masakan aku biasa-biasa aja kan?”
“Aku
suka yang biasa. Lagipula, kalau kamu jadi koki restoran. Yang jadi istri aku
siapa? Mau tukeran sama koki?”
Yuna
mengerutkan hidungnya sambil memukul lengan Yeriko.
Yeriko
tergelak. Ia terus mengajak Yuna bercanda agar tidak begitu memikirkan
permasalahan antara ayah dan pamannya. Ia sudah mengetahui semua yang terjadi
dari mulut Adjie dan tidak ingin membuat Yuna merasa khawatir. Ia akan berusaha
sekuat tenaga untuk melindungi Yuna dan keluarganya.
((
Bersambung ... ))
Terima
kasih sudah mendukung cerita ini terus. Semoga, bisa bikin cerita yang lebih
menarik lagi.
Salam
hangat,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment