Friday, August 15, 2025

Perfect Hero Bab 304 : Mistrust

 


Yuna terus menatap nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Ia tidak ingin menjawab panggilan telepon dari orang tersebut.

 

Yuna membiarkan panggilan telepon itu mati. Namun, orang tersebut masih meneleponnya kembali hingga berkali-kali.

 

Akhirnya, Yuna menjawab panggilan telepon tersebut dengan kesal. “Halo, Oom ...!”

“Halo, Yuna! Apa kabar? Sudah lama sekali Oom tidak mendengar kabar kamu. Apalagi melihat wajah kamu,” tutur seseorang di seberang sana.

 

Yuna tersenyum kecut. “Aku baik-baik aja, Oom. Oom baik juga kan?”

 

“Oom baik-baik aja. Kenapa kamu nggak pernah kelihatan lagi? Nggak pernah telepon Oom juga. Apa kamu masih marah sama Bellina?”

 

Yuna tersenyum sinis. “Oom, kelakuannya Bellina udah keterlaluan. Selama ini, aku selalu ngalah sama dia. Kenapa dia nggak berhenti ganggu aku?”

 

“Oom bener-bener minta maaf soal Bellina. Kalau dia bikin ulah lagi, Oom yang akan kasih pelajaran ke dia.”

 

Yuna memutar bola matanya. Ia sendiri tidak yakin dengan ucapan pamannya sendiri. Ia ingat bagaimana pamannya membiarkan Bellina dan tantenya terus menerus menindasnya.

 

“Oh ya, Oom dengar ... ayah kamu sudah sembuh?”

 

Yuna terdiam sejenak. “Oom dapet berita dari mana? Ayah masih koma,” jawab Yuna. Ia tidak ingin pamannya itu mengetahui kondisi ayahnya yang sebenarnya.

“Oh, maaf ... Oom kira, berita yang beredar itu benar.”

 

“Aku sangat berharap berita itu benar, Oom. Tapi, kondisi ayah sangat buruk. Setiap hari, kesehatannya menurun. Dokter bilang, kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. Karena kondisi sarafnya mengalami banyak kerusakan,” tutur Yuna dengan nada sedih.

 

“Oom ikut sedih mendengar kabar ayah kamu seperti ini. Apakah kamu bisa kasih tahu Oom, di mana dia dirawat?”

 

“Huft, percuma, Oom. Ayah nggak bisa dijenguk siapa pun. Dokter melarang siapa pun menjenguknya. Aku sendiri, sulit untuk melihat kesehatan ayahku sendiri.”

 

“Yun, Adjie itu kakak kandungku sendiri. Apa aku sama sekali nggak boleh jenguk dia?”

 

“Aku juga anak kandung Ayah. Aku sendiri sulit menjenguk dia, apalagi Oom Rudi,” sahut Yuna. Dalam hatinya, ia memendam kekesalan.

 

“Yun, kita masih ada hubungan darah. Oom akan merasa bersalah jika terjadi sesuatu sama ayah kamu.”

 

“Kenapa baru merasa bersalah sekarang?” tanya Yuna.

 

Tarudi tak menjawab pertanyaan Yuna.

 

“Oom, lebih baik Oom urus kehidupan keluarga Oom sendiri dan jangan ganggu kami lagi!” pinta Yuna. “Kalau memang Oom merasa bersalah, seharusnya sudah Oom lakukan sejak kematian Bunda Arum!”

 

“Yun, Oom sama sekali nggak ada hubungannya sama kematian Arum. Suami kamu itu yang mengada-ngada supaya hubungan persaudaraan kita hancur.”

 

Yuna tersenyum kecil. “Makasih, Oom sudah peringatin aku kalau aku punya suami yang sangat jahat sehingga ingin memisahkan aku dari satu-satunya keluarga yang aku punya. Tapi, aku lebih percaya sama suamiku,” tegas Yuna.

 

“Huft, baiklah. Kamu sudah terlanjur tergila-gila dengan pria itu sehingga apa pun yang keluar dari mulut Oom, tidak akan ada gunanya.”

 

“Baguslah kalau Oom tahu itu. Jadi, sebaiknya kita nggak perlu berhubungan lagi. Aku bisa melupakan semua yang terjadi di masa lalu. Asalkan, Oom tetap membiarkan kami hidup dengan tenang dan aman.”

 

“Yuna ... kenapa kamu ini masih aja keras kepala. Oom tahu, banyak kesalahan yang sudah dibuat Bellina dan Melan. Tapi, kita ini tetap keluarga. Hubungan darah nggak bisa diputus begitu saja. Apa kamu benar-benar sudah tidak menganggap Oom ini sebagai paman kamu lagi?” tanya Tarudi lagi.

 

“Maaf, Oom. Aku bukan ingin memutuskan hubungan darah. Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Jadi, jangan ganggu kami lagi!” pinta Yuna.

 

“Yun, kamu masih marah karena kelakuan Bellina. Oom cuma mau jenguk ayah kamu. Kenapa kamu harus bersikap seketus ini?”

 

Yuna menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi pamannya itu. Sebenarnya, selama ini pamannya selalu bersikap baik terhadapnya. Hanya saja, ia tetap membiarkan Bellina dan Melan terus menindasnya.

 

“Oom, aku udah bilang kalau Ayah nggak bisa dijenguk. Kondisinya lagi kritis!” seru Yuna kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“Iih ... ngeselin!” Yuna menghentakkan kakinya sambil menatap pemandangan di luar jendela.

 

“Paman kamu?” tanya Yeriko yang masih duduk di meja kerjanya.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Dia tahu dari mana kalau ayah udah sembuh? Aku kan nggak ngasih tahu mereka.”

Yeriko menggelengkan kepala. Ia semakin yakin kalau ada orang yang terus mengawasi keadaan ayah mertuanya.

“Pokoknya, aku nggak mau kalau mereka sampai nemuin Ayah. Kita ke rumah sakit naik taksi aja. Aku takut, mereka ngikutin kita ke rumah sakit.”

Yeriko tertawa kecil.

“Kenapa malah ketawa? Aku serius!” dengus Yuna kesal. Ia berjalan menghampiri Yeriko yang masih duduk di singgasananya.

“Apa paman kamu itu kekurangan kerjaan sampai harus nguntit kita?”

“Bisa aja, kan. Dari cara ngomongnya dia. Kayaknya, dia ngerencanain sesuatu ke Ayah. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama ayahku.”

Yeriko mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu tenang aja! Nggak usah terlalu khawatir! Nggak baik untuk kandungan kamu. Ruang rawat ayah kamu dijaga ketat. Seandainya paman kamu bisa menemui keberadaannya, dia nggak akan berani macam-macam.”

“Kamu yakin?”

“Iya. Aku pasti menangani ini.”

“Kamu lagi ngerencanain sesuatu?”

Yeriko menganggukkan kepala. “Kalau semua berjalan sesuai prediksiku, aku harap hasil akhirnya juga akan sesuai.”

Yuna mengerutkan dahinya. “Aku nggak paham. Bisa diceritain ke aku?”

Yeriko menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Karena ...” Yeriko menarik tubuh Yuna ke pangkuannya. “Kamu nggak boleh mikirin hal lain selain aku dan anak kita.”

“Egois banget?” dengus Yuna sambil tersenyum kecil.

Yeriko tersenyum kecil. “Kalau aku nggak egois, aku nggak bisa nikahin kamu.”

Yuna mengerutkan hidungnya. “Kamu bener-bener menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan orang lain, hah!?”

“Bukannya kamu yang mengendalikan aku selama ini?”

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak ngelakuin apa-apa. Udah waktunya makan siang, makan yuk!” ajak Yuna sambil bangkit dari pangkuan Yeriko.

“Hmm ...” Yeriko menahan lengan Yuna.

“Kenapa?” tanya Yuna

Yeriko langsung menyodorkan bibirnya.

“Sudah tua, masih aja manja,” celetuk Yuna. Ia mengecup bibir Yeriko dan mengajaknya makan siang bersama di kantornya.

“Sore ini, kita jenguk ayah lagi, kan?” tanya Yuna.

Yeriko menganggukkan kepala. “Kamu mau pulang dulu atau nunggu di sini?”

“Aku pulang dulu. Mau masakin buat ayah.”

“Oke. Masakin buat aku juga ya!”

“Mau makan apa?”

“Makan ...” Yeriko melirik ke langit-langit ruangan. “Apa aja, yang penting kamu yang masakin.”

Yuna tersenyum kecil. “Masakanku nggak terlalu enak. Masih enakan masakan Chef Rafa. Aku banyak belajar dari dia.”

“Oh ya? Pantes aja setiap hari masakan kamu makin enak?”

“Serius!?”

Yeriko mengangguk sembari mengunyah makanan di mulutnya.

“Bukan terpaksa karena mau bikin aku seneng ‘kan?”

Yeriko menggelengkan kepala. “Kalau mau bikin kamu seneng, tinggal ajak ke restoran.”

Yuna memonyongkan bibirnya.

“Tapi, masih enak masakan kamu daripada masakan restoran?”

“Oh ya? Apa perlu aku bilang ke koki restoran kalau aku aja yang masak di sana?”

“Jangan!”

“Kenapa? Kenyataannya, masakan aku biasa-biasa aja kan?”

“Aku suka yang biasa. Lagipula, kalau kamu jadi koki restoran. Yang jadi istri aku siapa? Mau tukeran sama koki?”

Yuna mengerutkan hidungnya sambil memukul lengan Yeriko.

Yeriko tergelak. Ia terus mengajak Yuna bercanda agar tidak begitu memikirkan permasalahan antara ayah dan pamannya. Ia sudah mengetahui semua yang terjadi dari mulut Adjie dan tidak ingin membuat Yuna merasa khawatir. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Yuna dan keluarganya.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Terima kasih sudah mendukung cerita ini terus. Semoga, bisa bikin cerita yang lebih menarik lagi.

 

Salam hangat,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas