Yuna tak banyak
bicara selama di perjalanan menuju rumah sakit. Ia masih terus berpikir kenapa
Yeriko ingin mengalihkan aset pribadi untuknya.
“Kamu kenapa?”
tanya Yeriko. Ia tidak terbiasa dengan sikap Yuna yang diam. Biasanya, ia
selalu dipenuhi dengan suara Yuna yang bising. Membicarakan banyak hal di rumah
atau di perjalanan. Jika tidak, biasanya akan bermanja-manja dengannya.
“Nggak papa,”
jawab Yuna. Ia berusaha menenangkan pikirannya.
Yeriko tersenyum
kecil. Ia segera menghentikan mobilnya saat mereka sudah sampai di halaman
parkir rumah sakit Siloam.
Sudah dua hari
ini, Yuna dan Yeriko menunggu ayahnya sadar dari koma.
“Ya Tuhan ...
semoga kali ini ayah bisa sadar dan kembali seperti semula,” batin Yuna sembari
melangkah masuk ke dalam kamar rawat ayahnya.
“Suster, gimana
perkembangan ayah saya?” tanya Yuna saat melihat perawat yang baru saja selesai
memeriksa kondisi kesehatan ayahnya.
“Kondisi kesehatan
Pak Adjie sangat baik. Semuanya stabil. Semoga, beliau sudah bisa sadar hari
ini.”
“Makasih, Suster!”
ucap Yuna sambil menatap wajah ayahnya yang masih terbaring lemah.
Suster tersebut
mengangguk sambil tersenyum. Kemudian, ia bergegas meninggalkan ruangan.
Yeriko tersenyum
sambil mengelus pundak Yuna. “Semoga Ayah bisa sadar hari ini.”
Yuna mengangguk.
Ia meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya sangat erat. Kecupan-kecupan hangat
yang ia berikan di punggung tangannya. Masih belum bisa mengobati kerinduannya
selama sebelas tahun belakangan ini.
Yeriko memilih
duduk di sofa sambil mengecek pekerjaannya lewat email di ponselnya.
Selama beberapa
jam mereka menunggu, Adjie belum tersadar juga dari tidur panjangnya.
“Yun, kita pulang
dulu!” ajak Yeriko.
Yuna menggelengkan
kepala. Ia menguap beberapa kali. Namun enggan beranjak pergi meninggalkan
ayahnya. Ia ingin ayahnya langsung melihatnya saat ayahnya bangun dari
tidurnya.
Yeriko
menyandarkan kepalanya di punggung sofa. “Aku juga berharap, ayah kamu bisa
bangun saat ini juga,” batin Yeriko sambil melirik pilu ke arah Yuna yang sudah
tertidur di sisi ranjang ayahnya. Ia bangkit, menyelimuti Yuna menggunakan jas
miliknya. Kemudian, duduk kembali ke sofa sambil memejamkan matanya.
Tiga puluh menit
kemudian ...
“Yuna ...!”
“Ayuna ...!”
Yuna mengerjapkan
mata saat ia mendengar seseorang memanggilnya begitu lirih. “Yeriko?”
Sentuhan di
kepalanya, membuat Yuna membuka mata lebar-lebar sambil memutar kepala ke arah
Yeriko yang duduk di sofa di belakangnya. “Dia tidur. Ini tangan ...?” Ia
langsung memutar kembali kepalanya dan menatap Adjie yang tersenyum ke arahnya.
“AYAH ...!?”
Adjie tersenyum
kecil menatap Yuna.
Yeriko langsung
membuka mata begitu mendengar teriakan Yuna.
“Yuna ...!”
panggil Adjie lirih.
“Ayah ...!” Yuna
langsung memeluk tubuh ayahnya sambil terisak. “Aku kangen Ayah.”
“Kamu Yuna kan?
Anak Ayah?”
Yuna melepas
pelukannya dan menatap wajah ayahnya. “Iya. Ini Yuna. Anak Ayah.” Yuna mengecup
punggung tangan ayahnya. Ia sangat bahagia karena ayahnya telah sadar dari
tidur panjangnya.
“Anak Ayah sudah
sebesar dan secantik ini? Apa Ayah sudah melewatkan banyak hal?”
Yuna tersenyum
sambil mengusap air matanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Adjie menatap pria
yang berdiri di belakang Yuna. “Dia siapa?”
Yuna menoleh ke
arah Yeriko.
“Saya suaminya
Yuna, Oom.”
“Suami?” Adjie
memijat kepalanya. “Yuna, kamu baru tiga belas tahun. Gimana bisa bersuami di
usia yang semuda ini?”
Yuna menghela
napas. Ayahnya sudah terbaring selama sebelas tahun. Ia pernah sadar, kemudian
koma lagi. Kondisi kesehatannya yang tidak stabil, tentu memengaruhi ingatan
ayahnya tersebut. Padahal, saat hari pernikahan Yuna, ayahnya dalam keadaan
sadar namun lumpuh total.
“Ayah ...
sekarang, Yuna udah umur dua puluh empat tahun. Yuna sudah menikah dan sebentar
lagi akan punya anak.” Yuna kembali terisak karen ingatan ayahnya yang kacau.
“Dua puluh empat?
Ayah sudah melewatkan banyak hari ulang tahun kamu? Maafin Ayah. Ayah sudah
janji mau ajak kamu berlibur ke luar negeri saat usia kamu tujuh belas tahun.
Kenapa Ayah bisa melewatkannya?”
Yuna kembali
mengusap air matanya yang terus menetes. Ia tidak sanggup melihat keadaan
ayahnya.
“Bunda kamu mana?”
tanya Adjie.
Yuna menggelengkan
kepala. Air matanya semakin deras dan ia tak sanggup berkata-kata. “Bunda ...”
“Oh, pasti bunda
kamu lagi ke pasar ya? Masak makanan kesukaan kamu?”
Yuna menggelengkan
kepala. “Sekarang, Yuna sudah bisa masak sendiri. Yuna sudah nggak ngerepotin
bunda lagi.”
Adjie tersenyum.
“Bunda kamu pasti sudah mengajari kamu dengan baik. Masakan kamu, pasti seenak
masakan dia kan?”
Yuna mengangguk
sambil menahan tangisnya. Ia tidak sanggup memberitahukan ayahnya kalau
bundanya sudah meninggal dalam kecelakaan tersebut.
“Permisi!” Dokter
yang menangani Adjie menghampiri mereka.
Yeriko tersenyum
menatap dokter tersebut. Perawat yang berjaga sudah melaporkan sebelumnya kalau
Pak Adjie sudah dasar dari komanya.
“Kami periksa
keadaan pasien dulu. Dia baru sadar. Sebaiknya, jangan terlalu banyak
mengajaknya bicara terlebih dahulu sampai kondisinya stabil,” tutur Profesor
Santoso, dokter ahli yang terus memantau kondisi kesehatan Adjie.
Yuna dan Yeriko
menganggukkan kepala. Mereka menepi dan melangkah keluar dari ruangan tersebut.
“Ayah bakal
baik-baik aja kan?” tanya Yuna sambil meremas jemari tangan Yeriko.
Yeriko langsung
merengkuh kepala Yuna ke dadanya. “Dia pasti baik-baik aja. Dia sudah terbaring
sangat lama. Saat terbangun dan melihat keadaan tiba-tiba berubah, dia pasti
syok. Kita jelasin ke Ayah kamu pelan-pelan ya!” tutur Yeriko lirih.
Yuna menganggukkan
kepala. “Aku nggak tahu gimana caranya ngasih tahu ayah soal bunda yang udah
pergi. Aku nggak sanggup.” Yuna terisak sambil memeluk erat pinggang Yeriko.
“Aku akan jelasin
semuanya ke ayah kamu kalau waktunya sudah tepat. Saat kondisi ayah kamu sudah
benar-benar sehat.”
Yuna mengangguk
kecil. “Makasih karena kamu selalu ada di samping aku. Aku nggak akan sanggup
menghadapi semuanya sendirian.”
Yeriko mengelus
rambut Yuna sambil mengecup ujung kepalanya.
Beberapa menit
kemudian, dokter keluar dari ruangan tersebut.
“Gimana keadaan
ayah saya, Dok?” tanya Yuna tak sabar.
“Keadaannya cukup
baik. Pak Adjie mengalami koma yang cukup lama. Beliau kehilangan sebagian
ingatannya.”
“Apa dia bisa
sembuh?” tanya Yuna.
Dokter tersebut
menggelengkan kepala. “Semua tergantung dari pasien itu sendiri. Kami tidak
bisa memperkirakan kapan ingatan Pak Adjie akan kembali.”
“Apa kami sudah
boleh masuk lagi?”
Dokter tersebut
mengangguk. “Asalkan jangan memberikan pertanyaan yang bisa membebani
pikirannya. Kondisi Pak Adjie belum benar-benar kuat untuk menerima tekanan.”
Yuna mengangguk
tanda mengerti. Ia dan Yeriko kembali melangkah masuk ke dalam kamar rawat
tersebut.
Yuna menarik napas
panjang dan tersenyum. Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk bisa
menghadapi kenyataan pahit tentang ibunya.
“Aku nggak boleh
sedih,” bisik Yuna dalam hati. Ia melangkah perlahan menghampiri ayahnya yang
masih terbaring di atas ranjang.
“Yuna ...!”
panggil Adjie lirih.
Yuna mengangguk.
Ia merasa sangat bahagia karena bisa melihat ayahnya tersadar dari tidur
panjangnya. Anggota tubuhnya juga bisa merespon dengan baik. Yeriko benar-benar
membuktikan ucapannya untuk memberikan pengobatan terbaik bagi ayahnya.
Sudah sebelas
tahun ayahnya terbaring di rumah sakit. Sekarang, ingatannya sangat kacau. Ia
hanya mengingat kejadian sebelas tahun lalu sebelum mengalami kecelakaan.
(( Bersambung ...
))
Akhirnya, ayah
Yuna sembuh juga ...
Terima kasih sudah
setia baca sampai di sini. Support terus biar aku makin semangat bikin cerita
yang lebih seru lagi.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment