Semenjak Delana jalan keluar bersama
Chilton, ia menjadi bahan perbincangan hangat seisi kampus. Dari sekian banyak
mahasiswa, ada yang senang melihat Chilton bersama Delana dan banyak juga yang
tidak suka.
“Mereka cocok banget! So cute ...,” ucap
salah satu mahasiswi yang sedang berkerumun membicarakan kedekatan Delana dan
Chilton.
“Iya. Ganteng sama cantik. Delana juga
baik hati. Aku rasa bisa membuat Chilton menjadi pria yang lebih baik lagi.”
“Bener. Selama ini si Chilton tuh dingin
banget kayak es. Tapi, kalau sama Delana dia kelihatan beda. Bisa jadi, Delana
itu ibu peri yang dikirim Tuhan buat ngerubah Chilton jadi cowok yang baik.”
“Hahaha. Emangnya ini negeri dongeng?”
“Anggap aja seperti itu.”
“Yah, bakal jadi hari patah hati se-Indonesia
kalau sampe mereka beneran jadian. Aku nggak rela! Kenapa nggak sama aku aja,
sih!”
“Udah jelas, kamu bukan tipe cewek yang
disukai sama Chilton!”
“Iya. Apa ya yang bikin Chilton bisa
tertarik sama dia selain cantik? Karena ada banyak cewek cantik di kampus ini.”
“Eh, Chilton lewat!”
Seketika kerumunan mahasiswi itu diam
saat Chilton melintas di depan mereka. Mereka tidak menyangka kalau akan ada
Chilton. Sepertinya Chilton mendengar kalau ia sedang dibicarakan karena ia
menatap kerumunan mahasiswi itu dengan wajah sinis.
Chilton tidak begitu suka melihat cewek
berkerumunan untuk bergosip. Saling membicarakan temannya sendiri. Siapa lagi
yang mau mereka bicarakan kalau bukan teman sendiri atau teman dari temannya.
Benar-benar kegiatan yang tidak bermutu.
Chilton terus melangkahkan kakinya
menyusuri koridor, menaiki anak tangga menuju kelasnya. Ia tak segera masuk
kelas. Ia melewati kelasnya begitu saja menuju balkon yang ada di samping
kelasnya, sebab kelasnya adalah kelas paling pojok. Ia senang berdiri
menyendiri di sana. Tak ada satu pun orang yang akan mengganggunya atau sekedar
mendengarkan pembicaraan tak bermutu dari kerumunan mahasiswa penggosip.
Sejak ada mahasiswa baru yang salah
masuk kelas, Chilton jadi sering berdiri di balkon ujung gedung yang berada di
lantai dua, tepat di samping kelasnya. Balkon itu menghadap ke arah taman.
Dulu, tak ada hal yang menarik sama sekali dari taman kampusnya itu selain
bunga-bunga yang bermekaran. Tapi, kini ia sering melihat pemandangan berbeda.
Ia melihat sosok yang lebih indah dari bunga-bunga yang bermekaran.
Beberapa kali ia melihat sosok gadis
yang duduk seorang diri di kursi taman. Sementara yang lain terlihat asyik
mengobrol dengan temannya, ia justru asyik menyendiri. Dari sini, ia bisa
leluasa melihat Delana tanpa terlihat.
“Hei, kucariin dari tadi sekalinya di
sini!” Zoya, teman sekelas Chilton menepuk pundak Chilton.
“Eh!?”
“Akhir-akhir ini kamu sering berdiri di
sini. Apa ada sesuatu yang menarik di bawah sana?”
Chilton tertawa kecil. “Ayo, masuk
kelas!”
“Aha ... aku tahu. Aku sudah dengar
gosip yang beredar di kampus ini.”
Chilton tersenyum kecil sembari
melangkahkan kaki meninggalkan temannya itu.
“Apa kamu bakal nerima dia?” seru
temannya dari belakang.
Chilton tertawa kecil. “Cuma teman.”
“Kenapa jalan bareng?”
“Aku nggak mau berhutang budi sama siapa
pun.” Chilton terus melangkah masuk kelas dan duduk di bagian paling belakang
seperti biasanya.
***
“Del, kamu masih deketin kakak senior
kamu itu?” tanya Belvina saat mereka berkumpul di kamar Ivona.
“Iya. Kenapa?” tanya Delana balik.
“Nggak takut?”
“Takut apa?”
“Patah hati lagi.”
“Udah, deh. Nggak usah ngomongin masa
lalu.”
“Yah ... aku sebagai teman baikmu, nggak
ada salahnya kan aku peduli sebelum semuanya terlanjur.”
“Dia ngasih lampu hijau. Kemarin dia
ngajak aku jalan keluar. Makan di restoran Jepang dan pergi ke salah satu
sekolah tempat dia sekolah dulu.”
“Hah!? Serius? Kok, baru cerita?” sambar
Ivona.
“Kalian sibuk. Lagian, jalannya juga
baru kemarin sore. Aku cerita hari ini masih termasuk update, kan?”
“Biasanya kamu selalu telepon kalau ada
cerita terbaru. Nggak gatal tuh mulut nahan nggak cerita tentang cowok
ganteng?” celetuk Belvi.
“Yee ... kayak kamu enggak aja!”
Belvi cengengesan menanggapi ucapan
Delana.
“Del, aku denger-denger udah banyak
cewek yang nembak Chilton dan semuanya ditolak. Kamu nggak takut ditolak juga?”
tanya Belvi perlahan.
“Nggak, lah. Aku nggak akan nembak dia,
jadi nggak akan ada kata takut ditolak.”
Belvi mengernyitkan dahinya. “Terus,
gimana mau jadian?”
“Dia dong yang nembak aku. Masa aku yang
nembak dia duluan!?”
“Heleh ... nggak mungkin dia nembak kamu
duluan!” Belvi menjulurkan lidahnya.
“Iih ... ngoloknya pang!” sahut Delana.
“Lihat aja! Aku bakal bikin dia jatuh cinta sama aku!” seru Delana.
“Oh ya? Oke. Aku bakal lihatin terus!”
Belvi tak mau kalah.
“Iih ... kamu tuh nyebelin banget!”
Delana memukul Belvi dengan bantal. Belvi tidak terima dan membalasnya.
Akhirnya mereka bergulat di atas kasur. Membuat Ivona geleng-geleng kepala
melihat kelakuan kedua sahabatnya itu.
***
Jam enam pagi, Delana dibuat kelabakan
karena baru terbangun dari tidurnya. Ia mengerjakan tugas kuliah sampai larut
malam, membuatnya jadi bangun kesiangan.
Delana langsung berlari menuju dapur.
Langkah kakinya terhenti saat ia baru sampai di pintu dapur. Ia menatap seorang
perempuan setengah baya bertubuh gembul sedang berkutat di dapurnya.
“Bude, maaf aku bangun kesiangan.”
Delana melangkahkan kaki perlahan mendekati pembantunya itu.
“Nggak papa, Mbak. Ini sudah Bude
buatkan sarapan.” Pembantu Delana tersenyum sembari membersihkan peralatan
memasaknya. “Mbak Dela langsung mandi saja! Ini sudah siang.”
Delana tersenyum dan bergegas kembali ke
kamarnya. Ia sedikit merasa bersalah karena biasanya dialah yang menyiapkan
sarapan untuk ayah dan adiknya. Ia menyewa pembantu hanya untuk membantunya
membereskan rumah, menyuci dan menyetrika pakaian.
Satu jam kemudian, Delana sudah selesai
mandi dan bersiap ke kampus. Delana berangkat ke kampus tanpa sarapan terlebih
dahulu.
“Nggak sarapan dulu?” tanya Harun, ayah
Delana.
“Nggak, Yah. Delana telat masuk kampus.
Nanti Delana sarapan di kantin saja,” jawabnya sambil mencium punggung tangan ayahnya dan berlari
keluar dari rumah.
Delana terus berlari sampai memasuki
pekarangan kampus. Ia pergi ke taman seperti biasa untuk menemui Chilton. Tapi,
sepertinya ia sudah terlambat karena sudah tidak ada satu pun orang yang
jogging di sana.
Delana mengatur napasnya yang tersengal.
Ia membungkuk sembari memegangi lututnya karena kelelahan. Ia tahu ia terlambat
dan belum tentu bisa bertemu dengan Chilton. Chilton bukan cowok yang mudah
untuk ia temui. Dua hari semenjak mereka jalan keluar bersama, Delana belum
bertemu dengan cowok itu kembali. Sudah dua hari ia tidak bisa menemukannya di
taman. Ia juga sudah pergi ke kelasnya dan Chilton juga tidak ada.
“Kenapa dia tiba-tiba menghilang?” gumam
Delana. Ia mengangkat punggungnya, berdiri menatap ujung jalan taman, tempat di
mana ia bisa menemukan sosok Chilton muncul untuk pertama kalinya. Tapi, ia
tidak muncul di sana ... kosong.
Delana melangkahkan kaki dengan lesu
menuju ke kelasnya.
Saat jam mata pelajaran usai, Delana
memberanikan diri mencari Chilton ke kelasnya. Beruntungnya, ia bertemu Chilton
saat ia sedang menaiki tangga. Tapi, cowok itu tetap bersikap dingin dan tidak
melihatnya. Melewati tubuh Delana seperti orang yang tak pernah saling mengenal
sama sekali.
Delana merapatkan gigi-giginya karena
kesal. Ia menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya mengejar Chilton yang
sedang menuruni tangga.
“Chil ...!” Delana menarik lengan
Chilton, kemudian menghadang langkahnya dengan cepat.
Chilton mengerutkan dahinya melihat
cewek yang ada di depannya seolah tak pernah saling mengenal.
“Kamu kenapa tiba-tiba berubah?” tanya
Delana tanpa basa-basi.
“Apa yang berubah?” tanya Chilton tanpa
menatap Delana sembari melangkahkan kakinya.
Delana menahan langkah Chilton dan
menatap cowok itu tajam.
“Kamu bener-bener nggak punya perasaan
ya? Dua hari yang lalu kamu ngajak aku makan, ngajak jalan. Sekarang, kamu
lihat aku kayak orang yang nggak kenal sama sekali,” tutur Delana.
Chilton tersenyum sinis. “Aku cuma
ngajak makan biasa. Nggak ada yang istimewa. Setidaknya bisa membayar sarapan
yang kamu kasih ke aku.”
“Aku nggak minta balasan apa pun.”
“Terus?”
“Aku cuma mau kita bisa berteman.”
“Sudah.” Chilton sama sekali tidak mau
menatap Delana.
“Mmh ... aku ingin lebih dari itu.”
Chilton mengernyitkan dahinya. “Kamu
terlalu percaya diri. Apa kamu pikir, kamu pantas buat aku?”
Deg!
Pertanyaan Chilton membuat jantung
Delana berhenti berdetak. Tapi, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia harus
bisa membuktikan kalau perasaannya pada cowok itu sangat tulus. Dengan yakin ia
berkata, “Iya.”
“Oke. Show me!” Chilton mendengus ke
arah Delana. Menatap wajah gadis itu dan ia sempat terpaku sejenak melihat mata
Delana yang memandangnya berbeda. Ia merasa nyaman melihat bayangannya sendiri
masuk ke dalam bingkai mata Delana.
Delana tersenyum lebar menatap Chilton.
Dengan senang hati ia akan membuktikan pada Chilton kalau ia perempuan yang
pantas untuk cowok itu. Delana merasa tertantang dengan kata-kata Chilton.
Sembari menatap mata cowok itu, ia berkata dalam hati, “pertunjukkan akan
segera dimulai.”
Chilton menarik pandangannya, ia menepuk
pundak Delana dan berlalu meninggalkan pergi meninggalkan cewek itu. Membiarkan
Delana terpaku seorang diri dengan jantung berdebar.
Delana mengggigit bibir bawahnya sembari
menghela napas begitu Chilton pergi dari hadapannya. Ia membalikkan tubuhnya,
menatap Chilton yang terus berjalan menjauh. Chilton melambaikan tangan tanpa
menoleh ke belakang. Cowok itu menyadari kalau Delana sedang menatap
kepergiannya.
***
Delana semangat sekali bangun lebih pagi
dari biasanya. Ia sibuk menyiapkan sarapan untuk ayah dan adiknya. Ia juga tak
lupa menyiapkan sarapan untuk Chilton. Ia tersenyum menatap kotak bekal yang
sudah ia isi dengan menu makanan sehat. Ia susun dengan cantik dan penuh cinta.
Delana selalu memperdulikan asupan
makanan untuk keluarganya. Ia selalu membuat makanan sehat dari bahan-bahan
yang berkualitas. Ayahnya sibuk kerja, adiknya juga sibuk dengan berbagai
kegiatan di sekolah. Ia harus memperhatikan asupan makanan keduanya. Sehingga,
ia selalu menyiapkan makanan sehat. Hampir setiap pagi ia meneriaki adiknya
jika tidak mau menghabiskan porsi makanan yang ia buat.
Mulai hari ini, ada satu lagi laki-laki
spesial yang akan menjadi pelanggan tetap masakannya. Ia bahagia bisa
membawakan sarapan untuk Chilton.
Delana berangkat ke kampus dengan
perasaan berbunga-bunga. Ia duduk di kursi taman seperti biasa. Menunggu
Chilton melintas dari lari pagi.
Setengah jam berlalu, Chilton tidak
muncul juga. Ia terus menghitung detik yang berjalan. “Apa dia tidak lari pagi
hari ini?” gumam Delana sembari menatap jam yang ada di ponselnya.
Delana menghela napas. Ia memutuskan
untuk menemui Chilton di asrama. Awalnya, ia takut untuk pergi ke sana. Namun,
ia terus melangkahkan kakinya menuju gedung asrama kampus dan tidak lagi malu
bertanya di mana kamar Chilton.
Delana menaiki anak tangga satu per satu
menuju lantai dua. Ia mempercepat langkahnya sampai akhirnya sampai di depan
kamar Chilton.
Belum sempat ia mengetuk pintu, pintu
itu sudah terbuka dan Chilton keluar dari dalam kamarnya. Masih dengan pakaian
rumah dan rambutnya sedikit berantakan. Sepertinya ia baru bangun dari
tidurnya.
“Delana ...!” Chilton terkejut menatap
cewek yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya itu. “Kamu kok bisa di sini?”
tanyanya sambil celingukan ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa? Aku nunggu kamu di taman dan
kamu nggak muncul-muncul.”
“Kayaknya kita nggak ada janjian buat
ketemu di taman pagi ini,” tutur Chilton sambil menutup mulutnya dengan telapak
tangan karena masih menguap.
“Iya, sih. Aku inisiatif sendiri buat
nunggu kamu di sana karena setiap pagi kamu selalu lari pagi.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil memejamkan mata karena masih mengantuk. Ia menghabiskan waktunya
semalaman untuk bermain game online.
“Ini, aku bawa sarapan buat kamu!”
Delana menyodorkan kotak nasi bersusun tiga ke hadapan Chilton.
“Sebanyak ini?” tanya Chilton sembari
meraih kotak nasi itu dari tangan Delana.
Delana tersenyum sembari menganggukkan
kepalanya. “Habiskan ya! Kamu pasti butuh makan banyak karena begadang
semalaman.”
“Eh!? Kamu tahu dari mana aku semalam
begadang?” Chilton menatap Delana dengan wajah bingung.
“Dari garis matamu,” jawab Delana dengan
senyuman manis.
Chilton mengusap matanya. Ia masih belum
yakin kalau garis matanya terlihat, padahal ia baru ini begadang sampai jam
tiga pagi. Biasanya, dia selalu tidur lebih awal.
“Aku pamit dulu, ya! Jangan lupa
dihabiskan sarapannya! Besok, aku tunggu di taman.” Delana mengerdipkan
matanya. Ia tersenyum riang, melambaikan tangan dan berlalu pergi meninggalkan
Chilton.
Chilton tertawa kecil menatap kepergian
Delana. Ia menggeleng heran melihat tingkah cewek itu. Jelas-jelas ia sudah
menolak perasaannya. Tapi, cewek itu tetap percaya diri dan tidak menyerah
begitu saja. Ia bisa menolak Delana saat ia mengungkapkan perasaan sukanya,
tapi ia tidak bisa menolak sarapan pagi yang dibawakan Delana.
Chilton tersenyum menatap kotak bekal
itu. Ia kembali masuk ke dalam kamar dan langsung membuka kotak bekal itu
secepatnya. Masakan Delana memang enak dan ia tidak bisa menolak makanan enak.
***
Keesokan harinya, Delana menunggu
Chilton di taman seperti biasa. Tak perlu menunggu lama, Chilton sudah muncul
dan langsung duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia sempat menanggapi sapaan dari
beberapa cewek yang ikut jogging di taman.
“Sudah lama?” tanya Chilton.
“Belum,” jawab Delana ketus.
Chilton mengerutkan dahinya melihat
sikap Delana. Ia menatap kotak bekal yang ada di pangkuan Delana. “Ini buat
aku, kan?” Chilton langsung merebut kotak bekal itu tanpa menunggu jawaban dari
Delana.
“Masak apa hari ini?” tanya Chilton. Ia
menarik sendok yang direkatkan dengan selotip di sisi kotak bekal tersebut,
lalu membuka kotak bekal untuk melihat menu sarapan yang dibuat Delana hari
ini.
Dari tampilannya, terlihat seperti nasi
putih biasa dengan ayam dan beberapa sayuran yang disusun rapi. Chilton
menyendok nasi dan mencicipinya. “Hmm ... enak. Ini pas banget nasi gurihnya.”
Delana tersenyum. Ia memang sengaja
membuatkan nasi gurih dan ayam kampung untuk Chilton hari ini. Delana bangkit
dari duduknya.
“Ke mana?” tanya Chilton dengan mulut
penuh makanan.
“Ke kelas.”
Chilton melirik jam tangannya. “Masih
lama masuknya. Sini dulu!” Chilton menarik lengan Delana agar kembali duduk.
“Sudah sarapan?” tanya Chilton begitu
Delana duduk di sampingnya.
“Sudah.”
“Mau lagi? Ini enak loh!” Chilton
menyodorkan kotak bekal ke hadapan Delana.
“Aku sudah makan. Ini kan masakan aku
sendiri,” celetuk Delana.
“Oh, iya. Aku lupa kalau kamu pencipta
masakan enak ini.” Chilton tertawa kecil.
Delana tersenyum menatap Chilton. Ia
bahagia melihat cowok itu bersemangat memakan makanan buatannya. Tapi, di
hatinya masih ada rasa kesal saat melihat Chilton mulai ramah dengan cewek
lain.
“Minum!” pinta Chilton. Ia kesulitan
menelan nasi karena menyuapkan makanan ke mulutnya terlalu banyak.
Delana langsung menyodorkan botol minum
pada Chilton. “Kalau makan hati-hati! Makanannya nggak bakal pergi ke
mana-mana.”
“Iya, tapi yang ngasih makanan yang
bakal pergi ke mana-mana,” sambar Chilton.
“Eh!?” Delana menoleh ke arah Chilton.
“Bercanda ...,” ucap Chilton nyengir.
Usai makan, Chilton kembali ke asrama
dan bersiap berangkat ke kelasnya. Sementara Delana langsung masuk ke dalam
kelas seperti biasa.
***
Delana sibuk berkutat di dapur. Membaca
resep masakan Jepang yang ia ambil dari internet. Setelah selesai memasak, ia
mencicipi beberapa kali dan merasa masakannya sangat kacau. Entah kenapa tidak
bersahabat di lidahnya.
Delana berteriak memanggil pembantunya,
pembantunya datang dengan tergopoh-gopoh sembari memegang sapu di tangannya.
“Bude, cobain masakan aku!” pinta Delana
menyodorkan hasil makanannya. “Enak nggak?” tanya Delana.
Pembantunya mencoba mencicipi masakan
Delana dan terlihat berpikir.
“Kenapa? Nggak enak?” tanya Delana.
“Enak, Mbak.”
“Serius?”
“Iya.”
“Ya sudah. Lanjutin kerjaannya Bude!”
Delana meloncat kegirangan karena
akhirnya bisa membuat masakan Jepang yang menjadi salah satu makanan favorite
Chilton.
***
Setelah berjuang membuat masakan Jepang.
Akhirnya Delana percaya diri membawakan bekal sarapan pagi untuk Chilton dengan
salah satu menu kesukaannya. Delana berharap, Chilton akan terkesan dengan
masakannya kali ini dan meminta Delana memasak untuknya setiap hari.
Delana terkejut ketika mendapati Chilton
sudah duduk di kursi taman, menunggunya. Ia merogoh ponsel dan melihat jam. Ia
rasa tak salah jam. Kenapa Chilton datang lebih pagi? Apa dia tahu kalau Delana
membawakan masakan spesial untuknya?
Ah, Delana tak ingin banyak
menduga-duga. Ia langsung tersenyum riang menghampiri Chilton yang sudah
menunggunya.
“Sudah lama menunggu?” tanya Delana.
Pertanyaan yang biasa diajukan Chilton di tempat ini. Sebab, Delana yang lebih
banyak menunggu ketimbang Chilton.
“Hmm ....” Chilton melihat arloji di
tangan kirinya. “Sepuluh tahun dua bulan enam belas hari dua jam tiga puluh
lima detik,” ucapnya ngasal.
Delana tergelak mendengar ucapan
Chilton. Terlebih, ia berusaha untuk melucu dengan ekspresi wajah datar dan
serius. Itu menggelikan!
“Aku anggap yang terakhir. Lima detik?”
tutur Delana sambil duduk di samping Chilton.
“Hmm ....” Chilton memutar bola matanya.
“Kayaknya lebih.”
Delana tertawa kecil. “Karena kamu yang
menunggu aku hari ini. Aku punya sarapan spesial buat kamu,” ucap Delana dengan
wajah penuh keceriaan.
“Oh ya?” Chilton mengangkat kedua
alisnya.
Delana menyodorkan tempat makan ke
hadapan Chilton. Chilton menerimanya dengan senang hati.
“Aku membuatnya dengan susah payah. Aku
belum terbiasa dengan masakan seperti itu,” tutur Delana sembari mengulurkan
sendok kepada Chilton.
Chilton mengerutkan dahinya. Ia segera
membuka kotak bekal dan ia benar-benar terkejut karena mendapati makanan Jepang
yang ada di dalamnya. “Wow ...! Ini kamu nggak beli kan?” tanya Chilton.
“Beli,” jawab Delana datar. “Bahannya,”
lanjutnya sambil tersenyum.
Chilton tersenyum kecil dan langsung
mencicipi masakan Delana. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lumayan enak,”
tuturnya.
Delana menaikkan kedua alisnya. Lumayan?
Itu artinya masakannya belum sampai ke level enak. Seharusnya ini jadi masakan
spesial, tapi Chilton justru kurang suka dengan masakannya.
“Aku lebih suka kamu masak nasi gurih
atau nasi goreng,” tutur Chilton.
“Masakanku kali ini nggak enak ya?”
tanya Delana tak bersemangat.
“Enak. Siapa bilang nggak enak?”
“Kamu.”
“Aku nggak bilang begitu.”
“Tapi kamu bilang lebih baik masak nasi
goreng?”
“Iya. Nasi goreng buatan kamu emang
lebih enak ... dan lucu.”
Delana tertawa kecil mengingat nasi
goreng berbentuk sepatu yang ia berikan pada Chilton untuk pertama kalinya.
“Apa kamu nggak pernah olahraga?” tanya
Chilton.
“Eh!?” Delana menoleh ke arah Chilton.
Ia masih tidak mengerti kenapa Chilton berkata seperti itu.
“Aku nggak pernah lihat kamu jogging
atau olahraga yang lainnya.”
“Aku? Setiap hari aku sudah jalan kaki
berangkat dan pulang dari kampus. Aku rasa sudah cukup.”
Chilton mengernyitkan dahinya. “Kenapa
perempuan malas banget olahraga?”
“Bukan malas, tapi sibuk.”
“Sibuk apa?”
“Sibuuuuk ....” Delana memanjangkan nada
jawabannya sambil berpikir.
“Sibuk bergosip?” sambar Chilton.
“Idih .. nggak, lah. Aku nggak pernah
sibuk bergosip.”
“Oh ya? Kalau gitu besok aku tunggu kamu
di Lapmer jam enam pagi. Kita jogging bareng. Gimana?”
“Hah!? Serius kamu ngajak aku jogging?”
tanya Delana.
“Apa aku kelihatan bercanda?” tanya
Chilton.
“Tapi ...”
“Besok hari minggu. Apa kamu sudah ada
janji sama yang lain?”
“Hah!? Nggak ada. Janji sama siapa?”
tanya Delana.
Chilton mengedikkan bahunya. Ia
melanjutkan menghabiskan sarapan paginya.
“Kenapa kamu tinggal di asrama?” tanya
Delana perlahan. “Rumah kamu jauh?” tanya Delana.
“Nggak juga.”
“Terus?”
“Aku sendirian di rumah saat hari biasa.
Mama cuma di rumah pas libur aja. Aku pulang ke rumah setiap weekend.”
“Oh.” Delana mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Rumahmu daerah mana?” tanya Delana.
Chilton menatap cewek itu. Apa perlu ia
memberitahukan pada Delana di mana ia tinggal? Ia berpikir sejenak dan
memutuskan untuk memberitahu Delana. Ia percaya, Delana bukan tipe cewek
penggosip. “Gunung Dub.”
“Hah!? Serius?” teriak Delana tak bisa
mengendalikan dirinya.
Chilton menganggukkan kepalanya.
“Iiih ... di sana kan pemandangannya
indah banget!” tutur Delana sembari menangkup wajahnya sendiri karena gemas.
“Biasa aja.”
“Buat kamu biasa karena udah sering
lihat. Buat aku ... itu luar biasa. Aku suka banget suasana di sana asri
banget. Udah gitu, bisa lihat laut dari ketinggian. Bisa lihat rumah-rumah dan
gedung-gedung yang ada di pesisir pantai. Tapi, aku belum pernah lihat kalau
malam hari. Aku ngebayangin lampu-lampu kota itu indah banget.” Delana berbinar
membayangkan tempat itu di malam hari.
“Oh. Itu? Pas di belakang rumahku.”
“Hah!? Serius?” teriak Delana lagi.
“Iya. Hotel-hotel dan mall itu bisa
kelihatan dari belakang rumah.”
“Duh ... So sweet!” tutur Delana.
“Mau ke sana?” tanya Chilton.
“Mau!”
“Jadi cewek mauan banget!” celetuk
Chilton sambil menahan tawa.
Delana mencebik dan langsung memukul
pundak Chilton. Mereka kini selalu memulai pagi bersama sambil bercanda. Delana
senang karena perlahan-lahan Chilton mau membuka diri dan mengajaknya bergurau.
((Bersambung ...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment