“Udah
siap semuanya?” tanya Yeriko saat melihat Yuna mengemas kopernya.
Yuna
menganggukkan kepala. Ia memastikan semua keperluannya administrasi untuk
penerbangannya sudah siap. Juga memastikan vitamin dari dokter tidak lupa ia
bawa. Walau ia bisa mendapatkan izin bepergian dari dokternya dengan mudah. Ia
tetap harus berhati-hati dalam menjaga janin yang ada dalam kandungannya.
Yeriko
tersenyum. Ia memanggil beberapa pelayan untuk membantu Yuna membawa koper ke
mobilnya.
“Ngga,
kami liburan agak lama. Kamu dan yang lain bisa kembali ke rumah kakek lebih
dulu sampai kami kembali,” tutur Yeriko sambil menatap Angga yang membantunya
memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.
“Siap,
Pak Bos! Saya aja yang antar ke Bandara, gimana?”
“Nggak
usah. Udah ada Riyan. Sekalian, ada pekerjaan yang harus kami bicarakan di
perjalanan.”
“Oh.
Oke.”
“Jangan
sabotase kerjaanku!” sahut Riyan sambil menepuk bahu Angga dari belakang. “Atau
... kamu berniat buat jadi asisten pribadinya Pak Bos? Kita tukar tempat,
gimana?”
Angga
langsung menggelengkan kepala. “Aku jadi supir aja, udah cukup.”
Riyan
tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Angga. Ia membukakan pintu mobil untuk
Yuna dan Yeriko. Kemudian, bergegas melajukan mobil menuju Juanda International
Airport.
“Yan,
untuk pengembangan proyek yang di wilayah Indonesia Timur, coba kamu diskusikan
lagi sama Chandra. Hasil yang kemarin, aku masih belum puas. Aku rasa, kita
bisa bikin yang lebih baik lagi dari itu.”
“Siap,
Pak Bos!”
“Minta
designer itu untuk survey kearifan lokal di sana. Saya mau, proyek kali ini
punya karakter.”
Riyan
mengangguk-anggukkan kepala. Sementara, Yuna hanya mendengarkan pembicaraan
keduanya. Ia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan keduanya. Di saat
ingin berlibur seperti ini pun, Yeriko masih saja membahas soal pekerjaan.
“Bener-bener
pebisnis yang sejati,” guman Yuna. Sebenarnya, ia sangat berharap kalau Yeriko
bisa menepikan pekerjaannya terlebih dahulu dan fokus dengan liburan mereka.
Tiga
puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di pintu keberangkatan Internasional.
Yeriko
terus menggenggam tangan Yuna sampai mereka masuk ke dalam pesawat. Menikmati
perjalanan panjang di kelas bisnis. Tentunya tidak begitu melelahkan untuk Yuna
yang sedang hamil muda. Asalkan tetap menjaga asupan makanan dan waktu
istirahat.
Selama
hampir tiga jam, mereka menempuh perjalanan dari Bandara Juanda menuju
Bandara Internasional Kuala Lumpur. Di sana, mereka transit selama kurang lebih
delapan jam. Selama transit, Yeriko benar-benar melarang Yuna untuk bepergian
ke tempat wisata walau mereka punya banyak waktu. Ia meminta Yuna untuk
beristirahat di salah satu kamar hotel yang terdekat dengan bandara karena
mereka akan menempuh perjalanan yang lebih panjang lagi.
Dari
Bandara Internasional Kuala Lumpur, mereka terbang selama sebelas jam menuju
Bandara Istanbul.
“Kamu
cuti berapa hari?” tanya Yuna sambil memeluk tubuh Yeriko saat mereka kembali
melanjutkan perjalanan. Dari Bandara Internasional Kuala Lumpur, mereka
akanterbang selama sebelas jam menuju Bandara Istanbul.
“Dua
puluh hari.”
“Hah!?
Serius!?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Aargh
...! Berarti, kita bakal lama liburannya?” tanya Yuna sambil mengeratkan
pelukannya.
Yeriko
tertawa kecil. “Dua puluh hari, cukup untuk keliling Eropa kan?”
Yuna
mengangguk sambil tersenyum bahagia. Kali ini ia merasa ingin terbang. Bukan
karena Yeriko memberikannya liburan mewah ke luar negeri selama dua puluh hari.
Tapi, karena Yeriko kali ini benar-benar mengorbankan waktu bisnisnya untuk
Yuna.
“Aku
boleh minta sesuatu?” tanya Yuna.
“Apa?”
“Selama
liburan, kamu cuma milik aku. Bukan milik perusahaan!” pinta Yuna sambil
merebut tab dari tangan Yeriko.
Yeriko
mengangguk sambil tersenyum. “Mmh ... apa gantinya?”
Yuna
membisikkan sesuatu ke telinga Yeriko.
“Serius?”
tanya Yeriko.
Yuna
menganggukkan kepala.
“Oke.
Asal sepadan, nggak masalah.”
Yuna
tersenyum bahagia. Ia terus memeluk tubuh Yeriko hingga terlelap selama
perjalanan ke Istanbul.
Setelah
sampai di Istanbul, mereka kembali beristirahat selama tiga jam sebelum
akhirnya kembali menempuh perjalanan udara selama dua jam menuju Naples, Italy.
“Kita
nginap di sini dulu,” tutur Yeriko saat membawa Yuna masuk ke dalam Luxor
Hotel. “Besok, baru kita ke Positano.”
Yuna
menganggukkan kepala. Ia juga tidak terburu-buru. Toh, Yeriko memiliki waktu
cuti hingga dua puluh hati. “Eh, wait!” batin Yuna pada dirinya sendiri. “Dua
puluh hari itu sudah dipotong sama hari pernikahan atau belum ya? Kenapa aku
nggak mikirin ini?” batinnya lagi.
Yeriko
tersenyum. Ia merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya memasuki kamar hotel yang
sudah ia pesan sebelumnya.
“Capek
ya?” tanya Yuna saat melihat Yeriko langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
Yeriko
menggelengkan kepalanya. “Sini!” perintahnya sambil merentangkan kedua
tangannya.
“Aku
mandi dulu,” tutur Yuna.
Yeriko
langsung bangkit dan menarik Yuna ke dalam pelukannya. “Kamu tahu, aku sudah
cuti berapa lama?”
“Mmh
...” Yuna menyembunyikan bibir sembari memutar bola matanya.
“Ayolah!
Harusnya masa cutiku sudah habis kan?”
Yuna
tertawa kecil menanggapi pertanyaan Yeriko.
Yeriko
langsung menggigit hidung Yuna yang mungil.
“Iih,
jahil. Kalo hidungku hilang gimana? Aku kan tidak bisa menciummu.”
“Cium
pake bibir. Masa pake hidung?”
“Hidung
kan buat mencium,” sahut Yuna.
“Hidung
buat mengendus, yang buat mencium itu bibir.”
Yuna
mengernyitkan dahinya. “Kok gitu?”
Yeriko
tertawa kecil sambil mengetuk dahi Yuna.
“Kamu
ngerjain aku ya?” dengus Yuna.
“Ngerjain
apa?”
Yuna
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hmm
... kayaknya, aku emang udah lama nggak ngerjain kamu.” Yeriko langsung memutar
tubuhnya dan menindih Yuna.
Yuna
membelalakkan matanya. “Ada si Dedek.”
“Alasan,
bukannya di pesawat kamu bilang kalau dokter udah izinin kita main bareng dia?”
Yuna
terkekeh mendengar ucapan Yeriko.
Yeriko
tak bicara lagi. Bibirnya sudah asyik berenang di bibir Yuna. Tangannya yang
kekar, mulai menunjukkan gairahnya. Ia bermain sangat hati-hati agar tidak
menyakiti anaknya.
“Makasih
ya buat semuanya,” tutur Yuna sambil merangkul leher Yeriko.
Yeriko
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Aku
nggak nyangka kalau kamu bener-bener ngeluangin waktu kamu sebanyak ini.”
“Bukannya
wanita suka menikmati liburan ke luar negeri?”
“Mmh
... sebenarnya, yang berharga itu bukan tempatnya, tapi waktunya. Karena kamu
orang yang sibuk banget, aku sendiri nggak yakin kalau kamu bisa ngajak aku
pergi liburan sejauh ini.”
Yeriko
mengangkat tubuhnya dari tubuh Yuna. “Mungkin ini cuma mimpi.”
“Hah!?”
Yeriko
tersenyum jahil sembari mengetuk dahi Yuna.
“Nggak
papa, deh walau mimpi. Kalo gitu, aku nggak mau tidur.”
“Eh!?
Kenapa?”
“Ntar,
pas aku bangun, tiba-tiba sudah di rumah. Ngeselin, kan!?” rengek Yuna.
Yeriko
tertawa kecil menatap Yuna. “Kalo nggak tidur, mau ngapain?”
“Mmh
... kita nonton televisi aja!” Yuna berusaha bangkit, namun Yeriko menahannya.
“Sejak
kapan acara bulan madu berubah jadi acara nonton televisi?”
“Sejaak
...?”
Yeriko
tersenyum kecil. Ia sadar kalau ia juga harus menjaga anak yang ada di perut
Yuna. “Mmh ... gimana kalau kita main ular tangga?”
“Eh!?
Di mana ular tangganya?”
“Di
hape aja. Online.”
“Males,
aku selalu kena kepala ular, turun terus.”
“Nanti
aku naikin. Main ular tangga kan emang gitu. Kadang naik, kadang turun.”
“Aku
tetep nggak mau main ular tangga.”
“Terus,
mau main apa?”
“Mainin
aku aja!”
“Hmm,
genitnya keluar lagi. Aku nggak mau mencelakai anakku. Pakai baju!” perintah
Yeriko sambil melemparkan baju ke arah Yuna. “Kita cari makan sambil
jalan-jalan.”
Yuna
tertawa kecil. Ia segera mengenakan pakaiannya dan pergi jalan-jalan santai
menikmati keindahan kota Naples.
((
Bersambung ... ))
Thanks
udah baca sampai di sini.
Dukung
terus biar aku makin semangat bikin cerita yang lebih seru lagi.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment