“Eh,
kita belum bikin games untuk pengantin. Gimana ... kalau kita nge-game dulu?”
Jheni menatap semua orang yang duduk satu meja dengannya.
“Boleh,”
sahut Lutfi. “Satria aja yang pandu. Dia doang yang nggak ada pasangan.”
“Hah!?
Ini ... pasangan kalian beneran?” tanya Satria sambil menatap Jheni dan
Icha.
“Iyalah.
Lu kira pura-pura?” sahut Lutfi sambil merangkul Icha. “Kenalin, ini cewekku,
namanya Icha. Kalo itu si Jheni Kamarin, pacarnya Chandra.”
“Khamelin,
Lut. Bukan Kamarin. Sembarangan aja ganti-ganti nama orang!” dengus Jheni.
“Halah,
kamu kan suka dikamarin,” goda Lutfi.
“Bangsat
kamu, Lut!” sahut Jheni kesal.
“Eh,
yang bangsat bukan aku. Dia tuh!” ucap Lutfi sambil menunjuk Satria. “Bang Sat
dia, Bang Satria. Hahaha.”
Satria
hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anggota sampe nggak ada
yang berani manggil aku ‘abang’ gara-gara namaku begitu.”
“Padahal,
namamu keren. Sayangnya, nggak cocok kalo dipanggil abang. Kan Bang Sat
jadinya. Hahaha.” Lutfi tergelak.
“Sama
kayak Unan. Kalo dipanggil Bang, jadinya Bang Unan.” Satria tak mau kalah.
“Kalau
namanya Khairul?” tanya Yuna.
“Bang
Khai, dong. Hahaha.” Lutfi menjawab sambil tertawa.
“Hahaha.”
Semua orang ikut tertawa.
“Ayo
main game!” ajak Satria.
“Ayo,
game apa?” tanya Lutfi.
“Gini
...” Satria mengambil satu sumpit yang belum terpakai. “Yang kena tunjuk bagian
kecil sumpit, artinya dia kalah dan harus minum ini sampai habis,” jelas Satria
sambil memegang sumpit di tangannya. “Kalau nggak mau minum, harus jawab
pertanyaan dari pemutar sumpit.”
“Boleh.”
Semua setuju untuk ikut dengan permainan.
“Kecuali
istriku,” tutur Yeriko.
“Kenapa?”
tanya Satria.
“Dia
lagi hamil. Nggak bisa minum.”
“Bisa
jawab pertanyaan,” tutur Jheni.
“Hmm
... nggak papa, aku ikut aja. Bisa jawab pertanyaan, kok.”
“Oke,
khusus buat Kakak Ipar Kecil, jawab pertanyaan aja,” tutur Satria. Ia langsung
memutar sumpit untuk mencari orang pertama yang akan memulai permainan.
Ujung
sumpit berhenti tepat menunjuk Lutfi. “Oke. Aku duluan.” Lutfi kembali memutar
sumpit tersebut. Perlahan tapi pasti, ujung sumpit tersebut menunjuk ke arah
Yeriko.
“Huu
... mantap!” seru Lutfi sambil menatap Yeriko.
Yeriko
hanya tersenyum kecil.
“Mau
minum atau jawab pertanyaan?” tanya Lutfi.
“Jawab
pertanyaan.” Yeriko tidak ingin minum dan kehilangan kesadaran di malam
pengantin mereka.
“Apa
kesan pertama waktu pertama kali ketemu sama Kakak Ipar?”
Yeriko
tertawa kecil sambil menatap Yuna.
Yuna
memonyongkan bibirnya. Ia benar-benar terlihat payah saat pertama kali bertemu
dengan Yeriko. Ia malu jika ada orang yang menanyakan pertemuan pertama mereka.
Ia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya saat salah masuk ke toilet
pria saat ia mabuk di bar.
“Pemabuk
yang cabul,” jawab Yeriko sambil menahan tawa.
“Hahaha.
Kenapa gitu?” tanya Satria. “Apa Kakak Ipar Kecil yang perkosa kamu duluan?”
Yeriko
dan Yuna menahan tawa. Pertemuan pertama mereka memang sangat memalukan.
Terlebih, Yuna dalam keadaan mabuk berat karena melampiaskan kekesalannya saat
putus dengan Lian.
“Enak,
Sat. Yeriko mah tinggal anteng aja. Hahaha,” sahut Lutfi.
Satria
ikut tertawa mendengar ucapan Lutfi.
“Giliran
kamu, Yer!”
Yeriko
memutar sumpit di atas meja. Ujung sumpit berhenti tepat menunjuk Yuna yang
duduk di sampingnya. Ia langsung tersenyum jahil.
Semua
orang menunggu Yeriko memberikan pertanyaan untuk istrinya sendiri.
“Kenapa
waktu itu kamu cium aku, padahal kita nggak kenal? Apa kamu bakal nyium cowok
siapa aja yang kamu kenal di pinggir jalan?”
Jheni
dan yang lainnya menahan tawa mendengar pertanyaan Yeriko.
“Jawab,
Yun!” seru Jheni, tak sabar mendengarkan jawaban dari Yuna.
“Mmh
... aku terpaksa karena dia jauh lebih ganteng dari Lian. Aku nggak tahu gimana
caranya ngadepin Lian dan Bellina saat itu. Jadi, aku cium dia di depan Lian
biar Lian percaya kalo aku baik-baik aja hidup tanpa dia,” jelas Yuna.
“Kalau
yang di sana bukan aku. Apa kamu juga bakal cium cowok itu?”
“Mmh
... tergantung. Kalo dia ganteng, maybe yes.”
Yeriko
langsung melebarkan kelopak matanya. “Sudahlah. Nggak perlu cemburu sama masa
lalu. Ini hari pernikahan kalian,” sela Satria. “Lanjut mainnya!”
Yuna
memutar sumpit. Kali ini, ujung sumpit menunjuk ke arah Chandra. Ia langsung
tersenyum jahil sambil menatap Chandra.
Chandra
menelan ludah saat melihat raut wajah Yuna. Ia merasa dirinya sedang masuk ke
dalam bahaya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Yuna saat menatapnya.
“Chan,
pilih minum atau jawab pertanyaan?”
“Minum.”
Chandra langsung meraih gelas wine dan meminumnya sampai habis.
Jheni
tersenyum kecil menatap Chandra.
“Weh,
kamu masih kuat minum juga,” tutur Satria sambil menatap Chandra.
Chandra
tersenyum santai. Pipinya terlihat bersemu merah. Di antara mereka berempat,
hanya Yeriko yang paling bisa minum banyak alkohol dan tidak mabuk parah.
Kini,
giliran Chandra yang memutar sumpit. Ujung sumpit itu menunjuk ke arah Satria.
Satria
langsung meminum wine tanpa ditanya terlebih dahulu.
“Kayaknya,
sekarang lebih kuat minum,” tutur Lutfi sambil menatap Satria.
Satria
tersenyum kecil. “Ada kondisi di mana kita berhadapan sama musuh. Kalau gampang
mabuk, kita gampang dikendalikan. Jadi, aku banyak berlatih untuk ini.”
“Hahaha.”
Satria
tersenyum kecil. Ia memutar sumpit dan langsung menunjuk ke arah Yeriko. Ia
terlihat sangat senang sembari menatap wajah Yeriko.
“Minum
atau jawab pertanyaan?” tanya Satria.
“Jawab
pertanyaan.”
“Posisi
apa yang paling kalian suka saat bercinta?” tanya Satria sambil tersenyum
jahil.
“Heh,
pertanyaan macam apa itu?” dengus Yuna.
“Halah,
di sini semuanya udah dewasa. Setidaknya, kalian ngajarin kami trik yang bagus
untuk memuaskan pasangan. Kali aja, bisa bikin cewek klepek-klepek sampai
akhir,” tutur Satria.
“Jangan
cuma sampai akhir, Sat. Kalo bisa, bikin mau lagi dan lagi,” sahut Lutfi sambil
tertawa.
Chandra
tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. “Kalian berdua memang cocok,”
celetuknya.
Lutfi
dan Satria tertawa berbarengan.
“Heh,
jawab, Yer!” perintah Satria.
“Kalian
mau yang mana?” tanya Yeriko sambil menahan tawa.
“Yang
paling enak, Yer,” sahut Satria.
“Semuanya
enak.”
Satria
tergelak. “Kamu bisa puasin istrimu nggak sih? Lempeng banget jawabannya. Semua
enak, semua enak. Kita semua juga tahu kalo bercinta itu enak. Tapi, pasti ada
posisi yang paling uueenak kan? Bagi rahasia ke kita sedikit aja! Gitu aja
pelit banget!” cerocos Satria.
Yuna
membelalakkan mata menatap Satria. “Waktu kenalan, ini cowok cool banget.
Kupikir kalem kayak Chandra. Sekalinya, Lutfi kedua,” gumamnya dalam hati.
Yeriko
tersenyum kecil menanggapi ucapan Satria. “Kalo mau tahu, buruan nikah!”
“Gitu
aja. Nggak nikah gin bisa,” sahut Satria.
“Kamu
suka jajan di luar?” tanya Yuna.
Satria
langsung menggelengkan kepala. “Nggaklah. Sehat aku!”
“Kenapa
bisa ngomong gitu?”
“Yaelah,
kalo razia gabungan. Aku sering banget nangkepin pasangan muda-mudi beda alamat
dalam satu kamar. Ngapain coba kalo nggak begituan? Satunya tinggal di Blitar,
satunya di Magetan. Tidurnya di kostel Surabaya. Hahaha.”
Yuna
menahan tawa mendengar ucapan Satria.
“Eh,
aku kasih tahu ya. Kalian jangan sampe gonta-ganti pasangan!” tutur Satria
sambil menunjuk Chandra dan Lutfi. “Ada beberapa kasus, cewek-cewek yang begitu
bawa HIV/AIDS. Kalo udah nggak tahan, lebih baik nikah. Setia sama pasangan.
Daripada jajan di luar. Nggak terjamin kebersihannya,” tutur Satria.
“Siap,
Bang!” sahut Lutfi.
“Kamu
manggil aku, Bang?” Satria mendelik ke arah Lutfi.
“Iya.
Bang Sat,” sahut Lutfi terkekeh.
“Untungnya
temen. Kalo bukan, udah aku tembak mati,” dengus Satria kesal.
Yuna
tersenyum melihat sikap Satria. Dia pria yang periang jika sudah saling kenal.
Suka asal bicara, tapi tetap bisa menasehati teman-teman yang lainnya.
“Ayo,
main lagi!” ajak Satria.
“Udah,
Sat. Aku mau ngamar,” sahut Yeriko.
“Argh,
nggak bisa! Ini masih sore udah mau ngamar aja. Nggak ada yang boleh pergi dari
tempat ini sampe jam dua belas malam. Yang pergi, aku keluarin AK47 sama AK101
ke depan muka kalian.”
“Emang
bawa?” tanya Lutfi.
“Nggak.
Tapi, gampang. Bisa nyuruh anak buah buat ambil.”
“Astaga,
nggak segitunya juga, kali.”
Mereka
terus berbincang penuh canda tawa. Bermain beberapa games. Tidak melepaskan
kedua pengantin ini begitu saja hingga jam dua belas malam.
((
Bersambung ... ))
Dukung
terus cerita ini biar aku makin semangat bikin yang lebih seru lagi.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment