Sunday, August 10, 2025

Masa Depanmu Bukan Tanggung Jawabku





Ada satu fenomena unik di dunia ini.
Ada orang yang masa depannya udah kayak mi instan—bahan lengkap, air ada, kompor ada—tapi dia tetap minta orang lain yang masakin, ngaduk, bahkan nyuapin.
Kalau bisa, sekalian ditiupin biar nggak panas.

Kamu pernah nggak ketemu orang yang hobinya ngeluh tentang masa depannya, tapi kalau disuruh bergerak malah bilang, “Liat nanti deh, masih males.”?
Atau yang lebih epik, dia mau sukses, tapi rencananya cuma dua kata, yaitu nebeng orang.

Nah, kalau kamu merasa ini mulai mirip kamu… duduklah!
Tarik napas! 
Baca pelan-pelan!
Karena aku mau bilang satu hal penting yang mungkin nggak pernah kamu dengar sejujurnya. 

Suatu hari aku berselisih paham dengan seseorang yang cukup dekat, tapi tidak begitu dekat juga. Saat aku mengungkit masa lalu untuk dijadikan sebuah pelajaran bersama, dia justru marah besar, mencaci maki dan melontarkan banyak kata yang tidak enak untuk kudengar. 
Yang lebih parahnya lagi, dia bertingkah seolah menjadi korban atas apa yang telah aku lakukan dan seolah menuntut masa depannya adalah tanggung jawabku dan dia tidak ingin semuanya hancur. 

Aku berpikir dan merenung cukup lama. Sebenarnya, masa depannya tidak bergantung padaku, juga bukan bagian dari tanggung jawabku. Karena dia bukan anakku yang semuanya harus aku tanggung, termasuk tentang bagaimana masa depannya kelak. 

Entah kenapa, banyak orang yang menuntut agar aku bertanggung jawab pada masa depan orang lain yang mereka sendiri tidak memiliki keberanian untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri. 

Kalau kamu baca tulisan ini, marahlah! Merenunglah! Ambillah pelajaran yang baik! 

Aku cuma mau bilang kalau masa depanmu bukan tanggung jawabku.
Bukan! Sama sekali bukan! 

Jangan salah paham. Aku bukan orang jahat. Aku cuma realistis. Hidup itu kayak warung pecel lele, semua orang punya lapak masing-masing. Aku sibuk ngurus sambelku sendiri, kamu ya ngurus lalapanmu. Kalau kamu nggak ngulek, masa aku yang disuruh nyiapin sambel buat kamu juga?

Aku sering lihat orang yang hobinya nyalahin keadaan. “Aku nggak maju-maju karena nggak ada yang dukung.” Padahal, kalau dipikir-pikir, yang nggak dukung itu bukan orang lain… tapi dia sendiri.

Bisa tuh maraton nonton drakor seminggu penuh, tapi kalau diajak ikut webinar gratis 2 jam langsung bilang, “Aduh, nggak sempat.”
Sempat buat rebahan lima jam, tapi nggak sempat buka laptop.

Bahkan kalau kita serumah, sekeluarga, atau sekampung, tetap saja masa depanmu itu jobdesknya kamu. 

Aku nggak pernah tanda tangan kontrak kerja sebagai “CEO Kehidupanmu” atau “Manager Kariermu”. Aku punya urusan sendiri, cicilan sendiri, mimpi sendiri. Yang percaya atau nggak, udah cukup bikin otakku penuh tanpa harus nyusun strategi hidup orang lain.


Masalahnya, sebagian orang masih percaya konsep aneh: “Kalau orang lain udah peduli sama aku, ya udah sekalian aja mereka yang ngurusin hidupku.”
Konsep ini biasanya datang sepaket dengan kebiasaan manis: nggak mau belajar, nggak mau berusaha, tapi rajin sekali minta tolong.

Contoh nyata?
Dia mau buka usaha. Minta pinjaman modal. Katanya “serius”. Aku bantu. Sebulan dua bulan dia rajin. Bulan ketiga mulai banyak alasan. Bulan keempat dia sibuk posting instastory liburan ke pantai. Bulan kelima? Bisnisnya bubar, tapi dia masih santai. Alasannya? “Ya kamu kan yang kasih modal, masa nggak sekalian ngajarin, ngontrol, ngejar target?”

Halo… modal itu bantuan, bukan kontrak perwalian masa depan.
Aku bantu bukan berarti aku mau jadi baby sitter mimpimu.

Masa depan itu kayak tanaman. Kalau mau panen, kamu yang nanam, kamu yang nyiram. Jangan nyodorin pot kosong sambil nyuruh orang lain nyiram tiap hari, lalu kamu tinggal rebahan sambil nonton drama Korea. Kalau pun ada orang baik hati yang mau nyiram, suatu hari dia akan berhenti—dan tanamanmu mati, karena pemiliknya nggak pernah peduli.

Kadang aku heran, kenapa banyak yang punya energi buat ngeluh, tapi nggak punya tenaga buat berusaha. Punya kuota buat stalking orang lain, tapi nggak ada kuota buat cari informasi kerja. Punya waktu buat nongkrong berjam-jam, tapi nggak ada waktu buat belajar skill baru.
Lalu ketika hidupnya nggak berubah, dia marah pada dunia, merasa semua orang jahat karena “nggak mau nolong”.

Sadar nggak, dunia ini sibuk. Semua orang berjuang dengan beban masing-masing. Kalau kamu masih pikir ada orang yang mau ngurus masa depanmu sepenuh waktu ... selamat! kamu lagi hidup di planet fantasi.

Mau aku kasih tahu rahasia kecil?
Orang yang bener-bener peduli sama masa depanmu, justru akan membiarkan kamu jatuh, supaya kamu belajar berdiri. Mereka nggak akan selalu membentangkan karpet merah tiap kamu mau melangkah, karena dunia nyata itu isinya jalan berbatu, bukan karpet hotel bintang lima.

Jadi mulai sekarang, yuk kita bikin perjanjian tidak tertulis! 
Aku akan tetap dukung kamu dalam bentuk semangat, doa, atau kadang masukan. Tapi aku nggak akan ikut memanggul masa depanmu di pundakku.
Kalau mau sukses, ayo… lari bareng!
Kalau mau nyerah, ya itu pilihanmu! 
Tapi jangan seret-seret aku buat ikut nyungsep.

Karena sekali lagi, dan tolong ini diingat baik-baik! 
Masa depanmu bukan tanggung jawabku! 
Kalau kamu mau hancur, silakan. Kalau kamu mau berhasil, berdirilah sendiri. Aku akan tepuk tangan dari sini.
Aku akan tepuk tangan untuk keberhasilanmu, meminjamkan pundak saat kamu sedih, bahkan mengingatkan kalau arahmu mulai melenceng. Tapi untuk menanam, menyiram, dan memanen—itu kerjaanmu, bukan tugasku! 
Ingat, hidup ini sistemnya BYO—Build Your Own masa depan. Mau sukses? Bangun sendiri. Mau gagal? Ya urus sendiri. Mau viral? Ya bikin konten sendiri.





0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas