LEBIH BAIK AKU YANG MENUNGGU
Oleh: Rin Muna
Aku selalu percaya, bahwa sabar bukan cuma perkara menahan diri, tapi juga memilih siapa yang akan kita beri waktu. Dan hari ini, aku memilih untuk menunggu.
Siang itu panasnya khas Kecamatan Samboja—matahari yang menggantung tepat di atas kepala, menguras napas siapa pun yang nekat berjalan tanpa pelindung kepala. Tapi aku tetap melangkah keluar rumah, meninggalkan desa Beringin Agung yang teduh, menuju sebuah warung bakso di depan Eramart. Lokasinya paling nyaman untuk janjian, tapi hari ini aku tidak sedang cari kenyamanan. Aku sedang menepati janji.
Kurir TIKI itu sebelumnya sudah menghubungiku. Nada bicaranya cepat dan to the point, seperti orang yang terlalu sering dikejar waktu. “Maaf, Kak. Saya nggak bisa antar ke Beringin Agung, jauh masuk ke dalam dan paketnya cuma satu doang. Bisa kutitip di daerah Sungai Seluang aja?”
"Jangan, Mas! Itu dokumen penting. Jangan dititip ke orang. Langsung saya ambil aja. Kita ketemuan di luar, gimana?"
"Oke, mbak. Mungkin sekitar 1,5 jam lagi saya sampai di Sei Seluang."
"Oke."
Panggilan telepon ditutup. Aku langsung menghela napas mendengarnya. Setiap kali ada paket datang, harus berjuang mengambilnya ke luar. Padahal sudah bayar full tarif sampai depan rumah.
Kalau aku mau egois, aku bisa bilang, "nggak mau, Mas! Saya kan sudah bayar paketnya sampai depan rumah. Harusnya diantar sampai rumah."
Tapi aku tidak seegois itu. Aku mengerti para kurir hanya sedang bekerja mencari rezeki dan aku tidak ingin menyulitkannya. Kata ulama, kalau kita mempermudah urusan orang, urusan kita juga akan dipermudah. Aamiin.
Ini bukan kali pertama kurir menolak masuk ke desaku. Aku paham—jalan masuk ke desaku cukup jauh, sekitar 8 kilometer, jalannya banyak rusak, kadang berlubang, kadang bikin shockbreaker trauma berkepanjangan. Tapi sebagai orang yang dibesarkan di desa, aku juga tahu, mengeluh tidak akan memperpendek jarak. Jadi ya, aku jawab, “Oke, nanti saya tunggu di warung bakso depan Eramart, ya, Mas.”
Kupacu motor pelan-pelan, melewati jalanan desa yang seperti labirin kecil. Di bahuku ada tas selempang lusuh yang sudah jadi saksi banyak pengambilan paket. Di dalamnya, selain dompet dan HP, terselip secuil kesabaran yang hari itu kusiapkan khusus untuk kurir.
Sampai di warung bakso, aku duduk di kursi lapis karpet yang warnanya sudah pudar. Di hadapanku semangkuk bakso mengepul dan segelas jeruk hangat manis yang entah kenapa terasa lebih manis saat dinikmati dalam suasana menunggu. Aku menengok kanan-kiri, belum ada tanda-tanda motor TIKI mendekat.
Menunggu itu memang bukan hal yang menyenangkan. Tapi entah kenapa, aku lebih rela aku yang menunggu daripada orang lain yang menungguiku. Apalagi kurir. Mungkin bagi sebagian orang, kerjaannya cuma antar barang. Tapi bagiku, mereka ini adalah jembatan antara harapan dan kenyataan—antara dokumen penting yang ia bawa dan ketulusan di tangannya.
Satu jam berlalu. Aku mulai berpikir, mungkin masih banyak pengiriman lain yang lebih prioritas. Tapi aku tetap di situ, karena janjinya denganku belum selesai. Dan aku percaya, menepati waktu bukan soal besar-kecilnya urusan, tapi tentang menghargai siapa yang kita ajak bicara.
Akhirnya, pengendara motor berjaket biru-putih-merah khas Tiki itu berhenti di depan warung.
“Maaf ya, Kak, lama,” katanya sambil buru-buru membuka box besar di belakang motornya.
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa, Mas. Saya juga nyantai, kok. Baru sampai juga.”
Aku tahu aku berbohong. Tapi berbohong untuk kebaikan, tidak dianggap sebagai dosa. Justru, untuk menjaga semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin kejujuran menjadi menyakitkan untuk orang yang sedang berjuang menyampaikan dokumen penting itu ke aku.
Aku tahu, bakso di hadapanku sudah tinggal kuahnya. Tapi nggak masalah. Lebih baik aku yang menunggu, daripada Mas kurir yang harus keliling cari-cari aku, di tengah panasnya jalanan, di bawah tekanan target pengiriman, dengan waktu yang kadang tidak bersahabat.
Kadang, hidup bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang mau meluangkan waktu. Hari itu aku belajar lagi satu hal kecil tapi penting bahwa menjadi orang yang menunggu dengan ikhlas itu seperti jadi pohon di pinggir jalan, dia diam, tapi membuat perjalanan orang lain jadi lebih nyaman.
Dan kalau boleh memilih, aku ingin terus jadi orang yang rela menunggu. Karena dalam menunggu, ada ruang untuk merenung. Dalam diam, ada waktu untuk belajar tentang sabar. Dan dalam sabar, selalu ada kehangatan kecil yang menyembuhkan.
Menunggu juga membuat kita mengerti, siapa yang diprioritaskan. Terkadang, aku juga menjadi orang yang ditunggu karena mereka menganggap aku lebih penting dari mereka. Tapi aku juga sering menunggu karena aku menganggap orang yang aku tunggu, lebih penting dari diriku sendiri.
Kalau kamu sendiri gimana? Lebih suka menunggu, atau ditunggu?
#catatanRinMuna
#ceritahariini
#CODanDiWarungBakso
#hidupdidesa

0 komentar:
Post a Comment