Tanggal 18 Februari 2018.
Hari itu, langit Samboja tak secerah biasanya. Awan menggantung di ujung bukit, dan angin yang lewat membawa rasa gugup yang tak bisa kusembunyikan. Meski tak ada upacara atau pengguntingan pita, hatiku berdebar seperti akan menghadapi panggung besar.
Di teras rumahku yang sempit, dengan karpet lusuh dan beberapa kertas mewarnai hasil print-an sendiri, aku resmi membuka Taman Bacaan Bunga Kertas.
Nama itu kupilih bukan tanpa alasan.
Bunga kertas bukanlah bunga mahal. Ia tak butuh banyak air, tapi bisa tumbuh dan berbunga di tanah kering. Dan aku ingin taman baca ini seperti itu—sederhana, mandiri, tapi penuh warna dan disukai banyak orang.
Anak-anak datang satu per satu, masih malu-malu.
Mereka duduk bersila di atas karpet tipis. Pensil warna kugulung dengan karet gelang, kuletakkan di tengah-tengah. Buku gambar seadanya kupotong dari kertas bekas kerjaan menjahit. Semuanya swadaya. Tidak ada sponsor, tidak ada sumbangan pemerintah.
Hanya ada aku, semangatku, dan 50 buku koleksi pribadiku yang setia menemaniku sejak belasan tahun lalu. Buku-buku yang pernah menemaniku dalam masa-masa sepi, buku-buku yang membuatku merasa tak sendiri di dunia. Dan kini, aku ingin buku-buku itu menemukan rumah barunya di tangan kecil anak-anak kampungku.
Namun, tak semua menyambut hangat.
Di sela-sela sore yang sibuk, aku sempat mendengar bisik-bisik dari balik pagar.
“Untuk apa buka taman baca?”
“Udah susah gitu, malah repot urus anak orang.”
“Emang anak-anak mau baca buku zaman sekarang?”
Kalimat-kalimat itu terdengar lebih tajam dari jarum mesin jahitku yang sering kusalahkan kalau benangnya kusut. Tapi aku diam. Bukan karena tak bisa membalas, tapi karena aku sudah terbiasa hidup di tengah tanya-tanya yang bernada sinis.
Aku tahu, tak semua orang paham mimpi yang sedang tumbuh di kepalaku. Tak semua mata bisa melihat pentingnya sebuah taman baca di tengah desa kecil yang jauh dari pusat perhatian.
Tapi aku juga tahu, perubahan tak selalu datang dari tempat yang ramai. Kadang, ia bermula dari tikar usang dan satu rak buku di teras rumah.
Aku lalu memberanikan diri menyebar kabar di media sosial. Kupasang status di Facebook, kubuat tulisan di blog. Aku meminta bantuan pada siapa saja. Pada teman-teman kerja di perusahaaan tempatku pernah bekerja. Pada teman-teman penulis yang ada di seluruh Indonesia. Siapa tahu ada yang mau menyumbang buku. Kupikir, mungkin hanya satu dua yang peduli.
Tapi ternyata, balasannya tak terduga. Justru yang banyak membantu adalah teman-teman penulis dari seluruh Indonesia. Orang-orang yang belum pernah bertatap muka denganku, tapi sepertinya bisa membaca kegigihanku lewat kalimat-kalimat yang kutulis.
Paket demi paket datang. Ada yang dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Aceh, Tangerang, Pontianak, bahkan dari pelosok Sulawesi. Di dalamnya ada buku, ada pembatas halaman lucu, dan kadang surat-surat kecil yang membuat mataku berkaca:
“Semoga anak-anak di sana menyukai buku ini, ya.”
“Dari penulis kecil, untuk pembaca masa depan.”
Aku membaca semuanya sambil duduk di ruang tamu, memeluk satu kardus buku erat-erat. Rasanya seperti dipeluk balik oleh semesta. Bahwa aku tidak sendirian. Bahwa mimpi kecil ini ternyata punya banyak teman.
Kini, rak buku di taman bacaku mulai penuh. Anak-anak mulai datang lebih awal. Bahkan beberapa sudah berani meminjam buku untuk dibaca di rumah. Kadang aku melihat mereka berjalan kaki, membawa buku di dalam kantong plastik, melindunginya seolah itu harta karun.
Dan di situ aku tahu: segala sindiran kemarin tak ada artinya dibanding satu mata berbinar yang jatuh cinta pada buku pertama mereka.
Taman Bacaan Bunga Kertas tak akan sempurna. Tapi ia tumbuh. Dari halaman rumahku. Dari tekad yang kusemai pelan-pelan. Dari cinta yang tak pernah selesai kutuang.
Dan pada akhirnya, biarlah yang berkata “untuk apa” itu tetap bertanya.
Karena aku lebih memilih mendengar tawa anak-anak yang membaca dengan suara terbata.
Sore hari yang lelah, terkadang dibuat tambah lelah dengan ruang buku yang berhambur. Cukup sulit membiasakan anak-anak untuk merapikan buku setelah membaca. Apalagi merapikan pensil warna dan kertas-kertas hasil mewarnai yang sudah selesai.
Aku menghela napas sejenak. Rasa lelahku tiba-tiba menghilang seketika ketika teringat tawa ceria anak-anak desa yang sering berkunjung ke taman baca.
Ternyata, bahagia itu sederhana. Bisa bermanfaat untuk orang lain dan bisa melihat orang lain tertawa bahagia.
Aku jadi lebih bersemangat menjalankan taman baca meski harus merogoh kocek pribadiku. Terkadang aku juga rela mengorbankan uang jajan anakku atau uang belanja dapur. Melihat anak-anak tersenyum bahagia dengan buku dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan, aku sudah merasa sangat senang.
Dengan wajah tersenyum bahagia, aku mengumpulkan buku-buku dan merapikannya kembali. Hatiku dipenuhi dengan harapan yang sangat besar terhadap anak-anak di desaku. Aku ingin mereka bisa menjadi generasi yang cerdas dan berdaya saing di masa depan. Tidak harus semua. Dari 2.600 penduduk desa, pasti ada satu anak yang bisa sukses dari hobi membaca.
Aku tidak perlu diakui. Karena yang aku cari bukanlah pengakuan dari banyak orang, tapi kemanfaatan hidupku sendiri. Suatu hari nanti ketika Allah meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah aku lakukan di dunia, aku bisa menjawabnya dengan tenang. Aku persembahkan taman baca kecil ini sebagai amalan jariyah ilmu yang tidak akan terputus. Biarlah nanti buku-buku ini yang bercerita pada Tuhan tentang kegigihan dan ketulusanku dalam memberikan manfaat untuk orang lain.
Aku tahu ini bukan hal besar. Ini adalah hal kecil yang kerap disepelekan banyak orang. Tapi dari langkah kecil inilah semuanya dimulai. Langkah kecil yang sepele, tapi tidak mudah untuk dilakukan, tidak mudah pula untuk dipertahankan.
Aku berharap, taman baca ini tidak hanya berjalan dalam hitungan bulan. Tapi bisa bermanfaat sampai satu tahun ke depan, syukur-syukur bisa lebih dari satu tahun.
.png)
0 komentar:
Post a Comment