“Yun,
kamu belum ngantuk? Ini udah jam sebelas malam. Besok hari pernikahan kamu.
Jangan sampe kecapekan karena kurang tidur,” omel Jheni saat melihat Yuna belum
juga terlelap.
Yuna
menghela napas. “Aku nggak bisa tidur, Jhen.”
“Masih
deg-degan?” tanya Icha. “Kamu sama Yeriko kan udah sah jadi suami istri. Apa
yang kamu khawatirkan, Yun?”
“Iih
... kalian itu nggak ngerti perasaanku!” dengus Yuna.
“Aargh
...! Kamu ini rewel banget, Yun. Aku masih nggak ngerti gimana Yeriko yang cool
itu ngadepin kamu setiap hari. Betah aja dia jadi suami kamu. Kamu susah banget
ditidurkan aja. Udah kayak anak bayi aja,” keluh Jheni.
“Jhen,
aku tuh belum ngantuk. Aku udah terbiasa tidur sama Yeri. Nggak bisa tidur kalo
nggak ada dia,” rengek Yuna.
“Hahaha.
Astaga! Kamu nggak bisa tidur cuma karena Yeriko nggak satu kamar sama kamu?
Aku pikir, kamu gugup karena mau nikah,” sela Icha sambil tertawa lebar.
“Dua-duanya,
Cha!” sahut Yuna kesal.
“Ck,
kalo cuma Yeriko ... besok juga ketemu. Alay banget!” dengus Jheni kesal.
“Kamu
tuh belum tahu rasanya punya suami. Biasanya tidur dikelonin sama dia. Aku
nggak bisa tidur tanpa dipeluk sama dia,” tutur Yuna, ia sengaja membuat dua
sahabatnya itu cemburu.
“Nggak
usah pamer!” seru Jheni kesal. “Kamu mau tidur nggak? Kalo masih nggak mau
tidur, besok aku nggak mau jadi bridesmaid buat pengantin rewel kayak kamu!”
ancam Jheni. Ia memeluk guling sambil meracau.
Yuna
melipat wajahnya. Ia berbaring di ranjangnya, berusaha memejamkan mata agar
terlelap. Tapi, matanya malah sulit untuk terpejam. Ia meraih ponsel, membuka
aplikasi Whatsapp.
“Yuna,
tidur!” seru Jheni. “Bandel banget dikasih tahu. Kalo sampe besok si Irvan
ngomel karena kamu punya mata panda, yang dijejalin pertanyaan pasti aku terus
karena nggak mengurus kamu dengan baik. Kamu tahu, seharian ini aja aku udah
ditelepon berapa kali sama dia buat mastiin kalo anak buahnya kerjanya bagus.
Kamu bener-bener nggak bisa lihat aku tidur dengan baik malam ini?”
“Bawel
banget kayak emak-emak,” celetuk Yuna.
Jheni
langsung melempar bantal ke arah Yuna. “Kamu yang emak-emak bawel. Aku kayak
gini demi kebaikan kamu juga.”
“Iya,
Jheni sayang ... Jheni ter-lope-lope!”
“Ngece
banget sih!?” Jheni melompat dari tempat tidurnya dan langsung menyerang Yuna.
“Ssst
...! Jangan ribut! Icha udah tidur beneran,” bisik Yuna.
Jheni
langsung menoleh ke arah Icha. “Cepet banget dia tidur. Enak banget tidurnya,
kayak nggak punya beban hidup.”
“Kalo
kita? Nggak tidur-tidur gini, apa karena keberatan beban hidup?”
Jheni
tertawa kecil. “Kamunya aja yang bandel!” jawab Jheni sambil mengetuk dahi
Yuna. “Udah bercandanya. Tidur yuk!” ajaj Jheni.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali berbaring, namun masih sulit untuk
memejamkan mata.
Dua
puluh menit berlalu.
Yuna
masih belum juga memejamkan mata.
“Kenapa
aku nggak bisa tidur?” tanya Yuna dalam hati. Ia menatap wajah Icha dan Jheni
yang sudah terlelap.
Yuna
menatap langit-langit kamar yang luas. Ia kembali melihat ponselnya dan membuka
pesan Whatsapp. “Yeriko udah tidur atau belum ya?” batinnya.
Yuna
mengetik pesan untuk Yeriko. Kemudian menghapusnya kembali. Begitu seterusnya
hingga beberapa menit terlewati.
“Hmm
... belum tidur?” Yeriko tiba-tiba mengirimkan pesan terlebih dahulu.
“Oh
My God!” Yuna berseru tanpa suara. “Dia juga belum tidur?”
Yuna
langsung tersenyum dan membalas pesan Yeriko. “Aku nggak bisa tidur. Kamu
sendiri kenapa belum tidur?”
“Kangen
kamu,” jawab Yeriko sembari mengirimkan emoji ‘hug’ untuk Yuna.
Yuna
tersenyum senang membaca pesan dari Yeriko. “Aku juga. Nggak bisa tidur tanpa
kamu,” balas Yuna.
Yeriko
langsung menelepon Yuna.
“Halo
...!” sapa Yuna berbisik. Ia perlahan turun dari tempat tidur.
“Aku
di bawah. Turun ya!”
“Serius?”
“Iya.
Kapan aku bercanda?”
“Oke.”
Yuna mematikan telepon dan mengendap-ngendap keluar dari kamar tersebut.
Beberapa
menit kemudian, Yuna menghampiri Yeriko yang sudah menunggunya di luar hotel.
“Hei
...!” sapa Yuna sambil menepuk punggung Yeriko.
Yeriko
berbalik dan tersenyum menatap Yuna.
“Kenapa
nggak masuk?” tanya Yuna.
“Mama
bener-bener kejam sama aku. Masa aku nggak boleh pesen kamar di sini. Malah
ditaruh di hotel lain.”
Yuna
tersenyum kecil. “Kenapa ya? Padahal, di sini kan bisa beda kamar juga.”
Yeriko
tersenyum. “Emang udah diatur sama Mama untuk keamanan. Karena pernikahan kita
tertutup banget. Katanya, banyak media yang minta buat ambil gambar. Kalo aku
check-in di sana. Media bakal ngira resepsi kita di sana.”
“Dasar
licik!” dengus Yuna.
Yeriko
tersenyum. “Kenapa belum tidur juga sampai jam segini?”
“Aku
nggak bisa tidur. Belum dipeluk sama kamu.”
“Umh,
sini!” Yeriko menarik Yuna ke dalam pelukannya. “Kita sudah menikah sejak enam
bulan lalu. Kenapa aku ngerasa malam ini masih single ya? Aku sampe nggak bisa
tidur menghadapi hari pernikahan besok.”
“Aku
pikir, aku doang yang ngerasa kayak gini.”
“Apa
yang kamu pikirkan?” tanya Yeriko.
“Semuanya.”
“Padahal,
semua udah diurus sama mama.”
“Gimana
sama mama? Apa dia bisa tidur?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Aku rasa, dia bisa tidur. Mungkin, orang WO yang nggak
bisa tidur karena ditekan terus sama mama.”
“Hihihi,
kasihan juga mereka ya? Udah kerja keras untuk pernikahan kita.”
“Aku
nggak bisa lama-lama di sini. Kamu cepet tidur ya! Besok, harus kerja keras.
Vitamin dari dokter, nggak lupa diminum kan?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Nggak mungkin aku lupa.”
Yeriko
mengelus perut Yuna. “Jaga dia baik-baik ya!” pintanya lirih sambil mengecup
perut Yuna. “Kalian harus tidur sekarang. Kalau nggak tidur, Ayah akan merasa
bersalah karena udah buat Dedek ikut begadang.”
Yuna
tersenyum kecil sambil menggenggam tangan Yeriko yang masih di perutnya. “Siap,
Ayah!” sahutnya dengan suara yang sengaja dibuat seperti anak kecil.
Yeriko
tersenyum menatap Yuna. “Kembalilah ke kamarmu! Sampai ketemu besok,” ucapnya.
Kemudian mengecup bibir Yuna yang manis.
Yuna
mengangguk. “Ayah hati-hati!”
Yeriko
mengangguk. “Cepet masuk!”
“Tunggu
kamu pergi.”
“Aku
tunggu kamu masuk, baru pergi.”
“Aku
tunggu kamu pergi, baru aku masuk.”
Yeriko
tertawa kecil.
“Kayak
gini aja terus sampai besok. Hahaha.”
Yeriko
langsung memutar tubuh Yuna. “Kalo gitu, sekarang kalian kembali ke sana dan
tidur dengan nyenyak! Nggak boleh melawan perintah Ayah!”
Yuna
tertawa kecil. “Oke.” Ia melangkahkan kakinya perlahan. Rasanya, kakinya tak
ingin melangkah pergi. Ia terus menoleh ke belakang, menatap Yeriko yang masih
tersenyum di sana.
“Lihat
jalan baik-baik!” seru Yeriko.
Yuna
nyengir. Ia memutar wajahnya dan melangkah pasti memasuki hotel kembali. Ia
terus tersenyum sampai masuk ke dalam kamarnya.
Lampu
kamar yang gelap, tiba-tiba menyala.
“Dari
mana? Kenapa nggak tidur?” tanya Jheni yang sudah berdiri menghadang
Yuna.
“Kamu
ngagetin aja!” celetuk Yuna sambil melangkahkan kakinya. “Aku abis cari angin.
Nggak bisa tidur.”
“Angin
bisa bikin kamu tidur?”
“Huuaa
... ngomelnya besok aja! Aku ngantuk,” jawab Yuna sambil merebahkan tubuhnya ke
atas kasur.
Jheni
mengerutkan hidungnya. Ia kembali mematikan lampu dan berbaring kembali di
tempat tidurnya. “Kalo bukan temen, udah aku pites kamu, Yun. Ngeselin banget,”
celetuknya.
Yuna
hanya tertawa kecil mendengar celetukkan Jheni. Ia akhirnya bisa terlelap
setelah jam tiga pagi.
(( Bersambung ...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment