“Jhen, aku nervous
banget!” tutur Yuna sambil menggenggam tangan Jheni.
Jheni bisa
merasakan telapak tangan Yuna yang begitu dingin. Tidak seperti biasanya. “Aku
juga nervous, Yun. Ini pertama kalinya aku jadi pendamping pengantin,” balas
Jheni.
“Iih ... aku lebih
nervous. Besok gimana ya?”
“Tarik napas,
Yun!” pinta Jheni. “Kamu harus rileks. Biar aura wajah kamu itu bisa
terpancar.”
“Mmh ... emang
bisa gitu ya?”
Jheni tersenyum
kecil. “Bisa dong, kamu kan dirias sama make up artist professional.”
Yuna menepuk-nepuk
pipinya. “Hmm ... aku kayak mimpi.” Ia mengelus pipi dan kulitnya yang baru
saja mendapatkan perawatan tubuh selama seharian penuh.
Jheni tersenyum.
Ia ikut bahagia melihat sahabatnya akan melangsungkan pernikahan. “Emang
rasanya kayak mimpi ya, Yun? Kayaknya, baru kemarin kita nakal bareng, jalan
bareng, seneng-seneng bareng, nangis bareng. Sekarang, kamu sudah mau jadi ibu.
Waktu cepet banget berlalu.”
“Iya, Jhen. Nggak
terasa kalau masa remaja kita udah habis. Singkat banget ya? Kamu sendiri,
belum mikir serius buat nikah sama Chandra?”
Jheni tersenyum
menatap Yuna. “Kamu tahu sendiri kalau aku tinggal sama orang tua angkat.
Katanya, kalau anak perempuan menikah ... harus nyari ayah kandungnya.”
“Emang kamu nggak
pengen nyari orang tua kandung kamu, Jhen?”
Jheni
menggelengkan kepala. “Semuanya udah berlalu lama banget. Aku udah bahagia sama
orang tua angkatku. Walaupun awalnya, aku sempat syok waktu tahu kalo aku cuma
anak angkat. Tapi, aku sekarang bahagia karena mereka memperlakukan aku seperti
anaknya sendiri.”
“Aku kagum sama
mereka. Bisa sayang sama kamu seperti anak sendiri. Kamu beruntung banget,
Jhen. Sedangkan aku, keluargaku satu-satunya malah benci sama aku. Padahal,
kami masih ada ikatan darah.”
“Sabar, Yun.
Keluarga kamu emang jahat. Tapi, Tuhan ganti dengan suami dan mertua yang
sayaaang banget sama kamu. Kamu juga harus bersyukur!” tutur Jheni.
Yuna langsung
merangkul tubuh Jheni. “Nggak terasa, kita udah melewati banyak hal di
masa-masa remaja kita. Setiap penderitaan, Tuhan selalu menggantinya dengan
yang lebih baik. Sekarang, aku lebih banyak takut.”
“Takut kenapa?”
“Aku takut,
semakin kita dewasa. Ujian hidup kita akan semakin meningkat.”
Jheni tersenyum
menatap Yuna. “Bukannya masalah yang mendampingi kita sampai tua?”
Yuna mengangguk
sambil tersenyum. “Masalah juga yang mengajarkan kita untuk bersikap dewasa.
Pada akhirnya, masalah akan berakhir pada dua pilihan. Menjadi orang baik atau
menjadi orang jahat.”
“Dan kamu harus
memilih menjadi orang baik!” tutur Jheni sambil mencolek hidung Yuna.
“Kamu juga!” balas
Yuna sambil tersenyum.
“Umh ...!” Jheni
langsung memeluk tubuh Yuna erat-erat. “Aku beruntung punya sohib kayak kamu!”
“Jhen, jangan
keras-keras peluknya!” pinta Yuna. “Kasihan si Dedek.”
“Eh, iya. Lupa.
Maafin aunty ya!” tutur Jheni sambil mengelus perut Yuna.
“Aunty, aunty? Sok
Inggris lu. Panggil Bulek aja, Bulek Jheni!” sahut Yuna sambil tertawa.
“Yaelah, biar
kerenan dikit gitu. Lagian, aku kan bukan orang jawa.”
“Chandra kan orang
jawa. Nanti, anakku kusuruh manggil paklek, Paklek Chandra. Hahaha.”
Jheni memonyongkan
bibirnya. “Kamu ini, kalo ngolok kuat betul. Ntar anakmu mirip aku, baru tahu
rasa!”
“Nggak papalah
mirip kamu, daripada mirip Bellina.”
“Hahaha. Eh, kamu
sama Bellina kan masih ada hubungan darah. Kenapa mukamu sama dia beda banget?”
Yuna mengedikkan
bahunya. “Entahlah.”
“Mirip sih sama
Maleficent itu. Nggak buang kelakuan sama wajahnya.”
“Hihihi. Udah, ah.
Jangan ngomongin mereka!” sahut Yuna. “Ngomongin kamu aja sama Chandra.
Gimana?”
“Iish ... struggle
banget aku kalo mau nikah sama dia, Yun. Aku denger dari Lutfi, hubungan dia
sama papanya nggak begitu baik karena mama tirinya. Kamu bayangin aja, Yun!
Bayangin!” tutur Jheni.
“Bayangin gimana?”
tanya Yuna sambil menahan tawa.
“Bayangin aja
dulu!” sahut Jheni kesal. “Mama tirinya aja jahat ke dia. Gimana kalo aku jadi
menantunya?”
“Terus, gimana
ceritanya dia bisa tunangan sama Amara? Apa karena dipaksa mama tirinya itu?
Kata Yeri, mereka tunangan karena perjodohan keluarga?”
“Biasa, perjodohan
komersial,” celetuk Jheni.
Yuna
manggut-manggut tanda mengerti.
“Kayak kamu!”
dengus Jheni.
“Iih ... enggak!”
“Pernikahan
komersial,” lanjut Jheni sambil menjulurkan lidahnya.
“Idih, fitnes! Aku
nikah sama Yeri bukan karena uang.”
“Awalnya karena
uang kan? Buat pengobatan ayah kamu?”
“Tapi, aku kan
nggak tahu kalo dia orang kaya banget.”
“Sekarang udah
tahu. Gimana perasaan kamu?”
“Biasa aja!” sahut
Yuna sambil membuang wajahnya dan menahan tawa.
“Serius? Aku kasih
tahu Yeriko, nih!”
“Iih ... aku
bercanda!” sahut Yuna.
“Yee ... takut
juga.”
“Ntar dikira
serius sama dia. Aku udah terlanjur cinta mati sama dia. Gimana dong?”
“Nggak
gimana-gimana. Kalian kan udah nikah. Harusnya, yang ngomong kayak gitu tuh
aku. Hubunganku sama Chandra masih nggak jelas mau dibawa ke mana.”
“Emangnya, Chandra
nggak ngenalin kamu ke orang tua dia?”
Jheni
menggelengkan kepala. “Udah kubilang, mama tirinya dia jahat. Aku nggak berani
dikenalin sama keluarganya.”
“Kamu yang nggak
berani atau dia yang nggak ajak kamu?”
“Aku nggak berani,
Yun. Aku belum siap buat masuk ke keluarganya Chandra. Ngebayanginnya aja aku
udah parno duluan.”
“Kamu ngapain sih
peduliin keluarganya dia. Yang penting, Chandra cinta sama kamu. Kamu juga
cinta sama dia. Kalian bisa bersatu. Soal keluarga, itu bisa diurus
belakangan.”
“Mmh ... iya juga,
sih.”
“Ya udah, ntar aku
suruh Chandra ngelamar kamu.”
“Aku belum siap,
Yun!” sahut Jheni kesal.
“Kenapa? Kalian
bisa menjalin hubungan lebih serius lagi kan?”
“Aku kelarin dulu
semuanya. Abis itu baru deh aku nikah sama dia. Aku nggak mau membebani dia
dengan banyak hal.”
Yuna memonyongkan
bibirnya.
“Kenapa mukamu
gitu?”
“Aku merasa
tersindir. Sejak aku nikah sama Yeriko. Kayaknya, aku lebih banyak membebani
dia.”
“Emang Yeriko
bilang gitu?”
Yuna menggelengkan
kepala. “Nggak, sih. Aku aja yang ngerasa begitu.”
“Ya udah, sih.
Cinta itu kan butuh banyak berkorban. Setiap hubungan, punya masalahnya
sendiri-sendiri. Kamu bisa lebih mudah karena masalahmu datang dari luar. Beda
sama aku dan Chandra. Masalah kami lebih rumit karena datang dari keluarga kami
sendiri. Aku yang sampai sekarang nggak pernah tahu orang tuaku siapa. Chandra
yang sampai sekarang masih sering berantem sama papanya dan mama tirinya itu.
Aku sendiri nggak yakin kalau kami bisa melewati semuanya. Aku takut, kedua
orang tua Chandra nggak akan merestui hubungan kami karena aku bukan anak orang
kaya.”
Yuna merengkuh
tubuh Jheni. “Ya udah, kita fighting sama-sama. Tetap seperti dulu, apa pun
masalah yang terjadi di depan ...”
“KITA HADAPI
SAMA-SAMA!” seru Jheni dan Yuna bersamaan. Mereka tertawa bersama sambil
berpelukan.
“Kalian ngobrolin
apa sih? Kelihatannya seru banget?” tanya Icha yang baru saja keluar dari kamar
mandi.
“Ngobrolin
pasangan kita, dong!” sahut Jheni antusias.
“Eh, gimana sama
Lutfi? Kira-kira, dia bakal ngelamar kamu atau nggak?”
Icha menggelengkan
kepala. Ia berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya.
Jheni dan Yuna
saling pandang. Mereka tidak mengerti karena Icha terlihat tak bersemangat
membahas hubungannya dengan Lutfi.
“Kenapa, Cha?
Berantem lagi sama Lutfi?” tanya Yuna.
Icha menggelengkan
kepala.
“Terus, kenapa
nggak semangat gitu?” tanya Yuna.
Icha terduduk
lemas sambil menundukkan kepala. “Aku nggak tahu apa Lutfi beneran cinta sama
aku atau nggak.”
“Kenapa?” tanya
Jheni.
“Karena di
playboy?” tanya Yuna.
Icha menggelengkan
kepala. “Sebenernya ...” Ia menatap Yuna dan Jheni yang masih menunggu
pengakuan darinya. “Aku sama Lutfi nggak pacaran,” lanjut Icha sambil
memejamkan matanya.
“Hah!? Kok, bisa?”
tanya Yuna dan Jheni bersamaan.
“Kalian putus?”
tanya Jheni.
“Ntar aku yang
kasih pelajaran buat itu anak. Bisa-bisanya dia mainin perasaan kamu,” tutur
Yuna geram.
“Bukan salah dia,
kok. Kami nggak putus. Masih baik-baik aja. Cuma ... hubungan kami hanya
sebatas kontrak.”
“Kontrak!?” Yuna
dan Jheni saling pandang. Mereka benar-benar tidak mengerti kalau Icha dan
Lutfi hanya menjalani hubungan palsu.
“Kok bisa sih,
Cha?” tanya Yuna.
Icha hanya
tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Nanti aku ceritain ke kalian setelah
selesai acara resepsi Yuna. Aku nggak mau ngerusak suasana. Hari ini, hari
bahagianya Yuna. Jadi kita semua harus berbahagia ya!” Icha langsung merengkuh
Jheni dan Yuna sekaligus.
Jheni dan Yuna
tersenyum saling pandang. Mereka merasa, ada banyak hal yang disembunyikan oleh
Icha selama ini. Mereka berharap kalau Icha tidak akan mengkhianati
persahabatan mereka selama ini.
(( Bersambung ...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment