Jam
sepuluh malam, Yuna masih mondar-mandir di ruang tamu. Menunggu Yeriko pulang
dari perusahaannya. Mendekati hari pernikahan mereka. Yeriko terlihat sangat
sibuk, sering pulang sampai malam dan membuat Yuna tidak bisa tidur dengan
tenang.
“Mbak,
belum mau tidur?” tanya Bibi War.
“Masih
nunggu Yeriko pulang.”
“Bibi
tidur duluan. Ini, Bibi potongkan buah untuk cemilan malam.”
Yuna
mengangguk. “Makasih, Bi!”
Bibi
War mengangguk sambil tersenyum. Ia bergegas pergi meninggalkan Yuna dan masuk
ke kamarnya.
Yun
menatap potongan buah yang ada di atas meja. Ia langsung memakannya satu per
satu sambil membaca majalah tentang ibu dan anak. Ia menguap beberapa kali,
hingga akhirnya ia tertidur di sofa ruang tamu.
Beberapa
menit kemudian, Yeriko kembali dari perusahaannya. Ia terenyuh begitu melihat
istrinya menunggunya pulang hingga tertidur di sofa. Yeriko menyentuh tangan
Yuna, bermaksud untuk menggendongnya ke kamar tanpa membangunkannya.
“Udah
pulang?” Yuna langsung membuka mata begitu merasakan sentuhan di tangannya.
“Sorry, aku ketiduran. Aku buatin minum dulu.” Ia bergegas bangkit dari sofa
dan melangkah menuju dapur.
Yeriko
hanya tersenyum kecil melihat istrinya yang begitu antusias melayaninya.
Tak
berapa lama, Yuna kembali ke ruang tamu sembari membawa secangkir susu jahe
hangat.
“Akhir-akhir
ini, kamu sering pulang malam. Banyak banget kerjaan di kantor?” tanya Yuna.
Yeriko
mengangguk sambil melonggarkan dasinya.
Yuna
tersenyum. Ia membantu Yeriko melepas jas dan dasinya.
“Kenapa
tidur di sini?” tanya Yeriko.
“Aku
nungguin kamu pulang. Nggak bisa tidur sendirian.”
Yeriko
tersenyum sambil merangkul Yuna. “Besok aku lembur lagi. Apa perlu aku pindahin
kamar ke ruang tamu?” tanyanya sambil menahan tawa.
Yuna
memonyongkan bibirnya. “Nggak segitunya juga, kali.”
Yeriko
tertawa kecil. “Kalo kamu kayak gini terus, aku nggak bisa tenang lembur di
kantor. Jadi kepikiran kamu.”
“Ajak
aku lembur!” pinta Yuna. “Di ruang kerja kamu, ada kamar buat istirahat kan?”
“Mmh
…” Yeriko memutar bola matanya. “Aku malah nggak konsen kalo kamu di sana.
Pengen …” Ia mencondongkan badannya ke tubuh Yuna.
“Pengen
apa?”
“Pengen
… olahraga malam,” jawabnya sambil tersenyum.
Yuna
tertawa kecil.
“Oh
ya, gimana si Refi tadi siang?”
“Makin
panas deh kayaknya. Mudahan aja dia sadar dan nggak ganggu kamu lagi.”
Yeriko
manggut-manggut. “Kenapa kamu masih baik sama dia? Bukannya dia musuh kamu?”
tanya Yeriko sambil menyesap minuman hangat yang dibuatkan Yuna.
“Aku
nggak pernah anggap dia musuh. Aku cuma nggak mau jadi seperti dia. Aku kasihan
aja lihat dia kayak gitu. Aku juga pernah mengalami kesusahan seperti dia. Jauh
dari keluarga, nggak ada yang peduli. Di saat seperti itu, aku selalu
mengharapkan malaikat Tuhan melindungiku. Aku sudah melewati banyak kesulitan
di luar negeri. Andai aku nggak bertemu sama orang-orang yang baik. Mungkin
akan tersesat seperti Refi. Memang cukup melelahkan. Tapi, akan lebih baik
kalau aku bisa merubah dia jadi wanita yang baik.”
Yeriko
tersenyum bangga menatap wajah istrinya. Ia langsung memeluk Yuna dan mengecup
lembut kening istrinya itu. “Yun, hati kamu begitu mulia. Aku beruntung banget
bisa punya wanita seperti kamu. Andai waktu bisa diganti. Aku ingin lebih dulu
mengenal kamu sebelum mengenal cinta.”
Yuna
tersenyum sambil menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Belum terlambat kan?
Sekarang, aku bersyukur sama semua penderitaan yang udah aku alami di masa
lalu. Karena itu semua yang membawaku mengenal dan mencintai kamu.”
Yeriko
tersenyum dengan mata berbinar. Ia sangat bahagia memiliki wanita yang cantik,
baik hati dan tulus mencintainya. Perlahan, ia mengulum bibir mungil dan manis
milik Yuna. Kemudian, menggendongnya naik ke kamar mereka.
Keesokan
harinya … Yuna dan Yeriko mulai sibuk dengan hari pernikahan mereka. Pagi-pagi
sekali, Rullyta sudah berada di rumah Yeriko.
“Yer,
kamu hari ini masih kerja?” tanya Rullyta begitu melihat Yeriko turun dari
kamarnya dalam keadaan rapi.
“Iya,
Ma.”
“Dua
hari lagi hari pernikahan kalian. Kamu belum ambil cuti juga?”
“Aku
kelarin dulu urusan kerjaan. Biar bisa liburan setelah resepsi,” jawab Yeriko
sambil melangkah ke meja makan.
“Liburan
ke mana?” tanya Yuna.
“Bukannya
kalian belum bulan madu? Mama kasih hadiah buat kalian jalan-jalan ke Amalfi
Coast,” jawab Rullyta sambil tersenyum. Ia menikmati sarapan pagi bersama Yuna
dan Yeriko.
“Hah!?”
Yuna tidak bisa mengungkapkan perasaan bahagianya. Ia tak menyangka kalau
Yeriko benar-benar mewujudkan keinginannya untuk berbulan madu ke Amalfi.
“Ma,
kenapa dibocorin sekarang!?” dengus Yeriko sambil mengerutkan dahi.
Yuna
dan Rullyta tertawa kecil.
“Yer,
Yuna ini lagi hamil muda. Mana bisa mau ngasih kejutan rahasia dengan
tiba-tiba. Perjalanan ke sana lumayan jauh. Jadi, Yuna harus dapet surat
keterangan dokter dulu sebelum berangkat ke sana.”
Yeriko
berpikir sejenak. “Apa perjalanan ini aman buat kandungan Yuna?”
“Aman
atau nggaknya, itu tergantung gimana keterangan medis dari dokter. Hari ini,
mama akan temani Yuna buat dapetin surat itu.”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Selama
perjalanan, kamu harus perhatikan waktu istirahatnya Yuna. Nggak boleh sampai
kurang tidur, nggak boleh kecapekan dan harus jaga asupan makanannya dia!”
pinta Rullyta.
“Oh
ya, kalian akan transit dua kali. Pertama di KL, kedua di Istanbul. Kamu
manfaatin ini buat istirahat. Jangan dipake buat jalan-jalan!” lanjut Rullyta.
Yuna
menggigit bibirnya sambil menahan senyum. “Hmm ... akhirnya, aku bakal
ngerasain bulan madu juga sama Yeriko!” serunya dalam hati.
“Kamu
jangan seneng dulu!” dengus Rullyta sambil menatap Yuna yang senyum-senyum
sendiri.
Yuna
spontan merubah ekspresi wajahnya.
“Hari
ini, kalau kata dokter kamu nggak bisa bepergian jauh. Terpaksa, bulan madunya
ditunda sampai anak kalian lahir,” lanjut Rullyta.
Yuna
mengangguk kecil. Sementara, Yeriko menahan tawa melihat ekspresi kekecewaan
yang tergambar dari wajah Yuna.
“Mama
juga seneng banget jahilin Yuna,” tutur Yeriko dalam hati.
“Oh
ya, besok malam kamu udah mulai nginap di Sangri-La!” perintah Yuna.
“Aku?”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Mama udah atur Jheni sama Icha buat jadi bridesmaid
kamu. Jadi, mereka akan temani kamu di sana.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Aku
juga, Ma?” tanya Yeriko.
“Nggak
boleh! Mama sudah atur kamar lain untuk kamu, Chandra dan Lutfi.”
“Ma,
kita kan udah nikah. Yuna juga udah hamil. Kenapa masih nggak boleh satu
kamar?”
“Huft,
kamu ini ... satu malam aja nggak kelonan sama Yuna, masa nggak tahan!?” seru
Rullyta.
“Aku
tahan, Ma. Dia gimana?” tanya Yeriko sambil menunjuk Yuna dengan dagunya.
“Eh!?”
Yuna melongo saat dua pasang mata itu melihat ke arahnya. “Aku? Aku nggak
masalah kok, Ma.”
“Nah,
Yuna aja nggak masalah. Kamu aja yang banyak alasan!” dengus Rullyta.
Yeriko
menahan tawa mendengar ucapan mamanya.
Mereka
menikmati sarapan bersama sembari membicarakan pernikahan yang sudah di depan
mata.
Usai
sarapan, Yeriko berangkat ke perusahaan untuk menyelesaikan semua rencana
proyek beberapa hari ke depan. Sementara, Yuna dan Rullyta pergi ke rumah sakit
sembari melihat-lihat persiapan acara pernikahan yang akan digelar secara
tertutup di Ballroom Sangri-La Hotel.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment