Usai
memakai pakaian, Yuna melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Ia langsung
menuju dapur. Melihat Yeriko yang sedang memasak untuknya sembari menggunakan
masker.
Yuna
tersenyum geli melihat suaminya memaksakan diri memasak olahan ikan, sesekali
ia muntah di westafel dapur. Ia melangkah perlahan mendekati Yeriko, kemudian
memeluk pinggang Yeriko sambil menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.
“Biar aku aja yang masak. Gimana?”
Yeriko
tersenyum kecil sambil menoleh ke arah Yuna. “Aku masih bisa. Kamu tunggu aja
di sana!” sahut Yeriko sambil menunjuk meja makan yang tak jauh dari dapurnya.
Yuna
menggelengkan kepala. Ia tetap mempertahankan pelukannya. “Aku mau di sini
aja.”
Yeriko
memutar tubuhnya. “Kalau kamu peluk aku terus, aku malah nggak kelar-kelar
masaknya.” Ia mengangkat tubuh Yuna dan meletakkannya di atas meja travertine
yang ada di dapurnya. “Duduk di sini, jangan ke mana-mana!” pinta Yeriko.
Yuna
tersenyum sambil mengamati Yeriko yang sedang memasak untuknya. “Kamu yakin
bisa masak?” tanyanya lagi saat melihat Yeriko muntah di westafel untuk
kesekian kalinya.
Yeriko
mengangguk sambil mencuci mulutnya.
“Nggak
usah masak ikan, deh!” pinta Yuna geram. “Aku mau makan mie instan aja.”
“Eh!?
Bukannya kamu suka makan ikan?”
“Suka.
Tapi sekarang lagi pengen makan mie kuah yang panas-panas gitu. Enak kan habis
hujan gini.”
“Serius?”
Yeriko menatap Yuna.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
“Oke.”
Yeriko menyimpan potongan ikan yang sudah ia cuci dan siap untuk ia masak.
“Mau
pake telur?” tanya Yeriko sambil membuka pintu kulkasnya.
Yuna
mengangguk.
“Berapa?
Dua?”
Yuna
mengangguk lagi.
Yeriko
mengambil dua buah telur dari dalam kulkas, beberapa dua lembar sawi, satu buah
tomat dan satu buah cabai. Biasanya, saat Yuna tidak hamil, ia akan memasukkan
lima buah cabai ke dalam mie yang ia masak.
Tak
sampai lima belas menit, Yeriko sudah selesai memasak mie kuah yang diinginkan
Yuna dan menghidangkannya ke hadapannya Yuna.
Yuna
langsung mengendus aroma mie kuah yang begitu menggugah seleranya.
“Ayo,
makan!” ajak Yeriko sambil melangkah ke ruang makan.
“Iih
… gendong!” pinta Yuna manja. Ia enggan beranjak dari tempat duduknya.
Yeriko
tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia meletakkan nampan berisi dua buah
mangkuk tersebut ke atas meja makan dan menjemput Yuna yang masih duduk di atas
meja. Ia langsung mengangkat tubuh Yuna dan menurunkannya ke lantai. “Jalan
sendiri!”
“Nggak
mau. Kakiku nggak bisa digerakin!” rengek Yuna.
“Euhh
…!” Yeriko gemas dengan sikap istrinya. Ia langsung menggendong Yuna menuju
meja makan.
Yuna
terkekeh menanggapi ia yang sengaja bermanja-manja.
“Kenapa
terlambat ke restoran puncak? Nggak biasanya kamu terlambat kayak gitu,” tanya
Yuna.
“Macet,”
jawab Yeriko sambil menyuap mie ke dalam mulutnya.
“Tumben.
Bukan karena nemenin Refi?”
Yeriko
langsung menghentikan makannya. Ia menatap Yuna yang duduk di sampingnya. “Bisa
kalo nggak bahas dia?” tanya Yeriko.
Yuna
terdiam dan melanjutkan makannya.
“Jalanan
macet karena ada kecelakaan beruntun. Aku mau telepon kamu, tapi bateraiku
low,” jelas Yeriko. “Aku heran, kabel charger yang ada di mobil itu ke mana ya?
Masa dibawa Riyan, sih?”
Yuna
meringis sambil menatap Yeriko. “Kebawa di tasku.”
“Kok
bisa?” Yeriko mengerutkan dahinya.
“Di
mobil yang dibawa Angga nggak ada kabel untuk charger handphone. Jadi, aku
ambil di mobilmu. Sorry!” Yuna meringis sambil menangkupkan kedua tangannya.
“Nggak
papa. Sudah lewat juga. Nanti aku suruh Riyan beli lagi.”
“Jadi,
yang itu aku pake aja ya!” pinta Yuna.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Oh ya, hasil pemeriksaan dokter gimana? Anak kita
sehat?” tanya Yeriko.
Yuna
menganggukkan kepala.
“Baguslah.”
“Oh
ya, makasih ya udah buatin kamar untuk si Dedek.”
Yeriko
tersenyum kecil. “Buat apa makasih? Aku bikinin buat anakku sendiri.”
“Anak
aku juga.”
“Iya.
Anak kita.” Yeriko mengusap ujung kepala Yuna. Mereka menyelesaikan makannya
dan kembali ke kamar.
“Yun,
sebelum aku ke restoran. Aku memang ketemu sama Refi. Dia minta aku buat
nemenin ngerayain ulang tahun dia. Aku nggak lama kok di sana. Kamu tahu dari
mana kalau aku sama Refi?”
Yuna
langsung menyodorkan ponselnya. Ia menunjukkan gambar dan pesan yang dikirim
Refi.
“Kamu
nggak percaya omongannya dia ini kan?” tanya Yeriko.
Yuna
menggeleng. “Kalo aku percaya sama dia. Aku nggak akan nunggu kamu di sana
sampai kamu datang.”
Yeriko
tersenyum. Ia merengkuh kepala Yuna ke dadanya. “Kanu tahu kalau Refi
menginginkan rumah tangga hancur. Kamu jangan mudah terprovokasi sama dia.
Selama kamu masih percaya sama aku dan masih sayang sama aku. Aku nggak akan
ngelepasin kamu. Apalagi untuk wanita lain seperti Refi.”
“Kenapa?
Bukannya dia jauh lebih cantik dari kamu? Kamu beneran nggak tertarik?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Wanita yang paling cantik adalah wanita yang aku
nikahi.”
Yuna
tersenyum sembari membenamkan pipinya di dada Yeriko.
“Oh
ya, gimana si Andre bisa ada di sana juga?” tanya Yeriko.
Yuna
menggelengkan kepala.
“Apa
dia buntutin kamu?”
“Aku
rasa nggak. Soalnya, dia bilang sendiri kalau sudah ada di sana sebelum aku
datang.”
“Dia
tahu kalau kamu mau ke sana?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Kenapa? Cemburu lagi sama Andre?” tanyanya.
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Beneran
nggak cemburu?”
“Aku
udah paham siapa dia. Nggak harus dicemburui.”
“Maksud
kamu?”
“Dia
emang suka sama kamu. Tapi nggak begitu terobsesi buat ngerebut kamu dari aku.
Dia masih tahu batasan. Kayaknya, dia emang sayang sama kamu sejak kalian masih
kecil. Bener-bener menganggap kamu adik dan bisa diandalkan untuk melindungi
kamu.”
“Eh!?”
Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Kamu nggak takut kalau dia
ngerebut aku? Kamu udah nggak cemburu lagi? Udah nggak sayang sama aku lagi?”
Yeriko
tersenyum kecil. “Bukan nggak sayang. Aku juga harus bersikap bijak. Kamu tetap
yang terpenting buat aku. Kalau aku nggak bisa melindungi kamu. Ada dia yang
bisa melindungi kamu dengan tulus.”
“Kenapa
kamu ngomong kayak gitu?”
“Yun,
aku tetep manusia biasa. Aku bukan pria hebat seperti yang dikatakan banyak
orang. Ada banyak hal yang akan terjadi di masa depan. Saat aku nyakitin kamu,
Andre selalu menyadarkan aku kalau kamu adalah wanita yang nggak pantas untuk
disakiti.”
Yuna
menatap wajah Yeriko dengan mata berbinar. Ia tak menyangka kalau suaminya bisa
sangat berbesar hati menerima Andre sebagai bagian dari kehidupannya.
“Kamu
tahu nggak, waktu dulu kamu masuk rumah sakit. Andre adalah yang pertama kali
menyadarkan aku kalau aku udah bikin kesalahan. Dia nggak terima kamu disakiti,
dia mukulin aku …”
“Hah!?
Waktu itu Andre mukul kamu? Kenapa kamu nggak bilang?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Karena aku nggak mau kamu mengkhawatirkan dia. Aku juga
mukul dia.”
“Ckckck,
kamu ini udah tua. Menyelesaikan masalah dengan berkelahi itu sudah
kadaluarsa,” sahut Yuna sambil geleng-geleng kepala.
Yeriko
tertawa kecil. “Kamu tahu gimana emosinya Andre. Tadi aja, dia langsung mau
mukul aku. Kalo aku nggak mikir dia yang jagain kamu di sana. Udah kupukul
balik.”
Yuna
tersenyum kecil. “Hmm … gimana ya caranya bikin dia menyerah mengejar aku. Dan
juga bikin Refi menyerah mengejar kamu?”
“Mmh
…” Yeriko memutar bola matanya. “Nanti aku pikirkan. Kamu nggak usah mikir
macam-macam!” pinta Yeriko. “Cukup pikirin si Dedek aja biar tetep sehat sampai
lahir,” lanjutnya sambil mengecup ujung kepala Yuna.
Yuna
menganggukkan kepala. Ia terus memeluk tubuh Yeriko yang masih sibuk memantau
laporan lewat email yang masuk ke ponselnya.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment