Andre
masih mematung di tempatnya. Akhir-akhir ini, ia memilih bekerja siang dan
malam, terus menerus membahas proyek demi mencegah anggota keluarganya ikut
campur dalam masalah jodohnya. Hingga ia pun tak menyadari kalau ia juga telah
melewatkan Ayuna.
Yuna
sangat mengerti bagaimana perasaan Andre. Ia tidak ingin berlama-lama berada di
hadapan pria itu. Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah perlahan
meninggalkan Andre. Ia tak punya keberanian untuk memutar kepalanya ke
belakang, melihat wajah teman kecilnya itu terluka karena dirinya.
“Langsung
pulang, Nyonya?” tanya Angga yang bergegas mengikuti langkah Yuna saat ia
keluar dari kafe.
Yuna
menganggukkan kepala.
Angga
segera membukakan pintu mobil untuk Yuna dan bergegas membawa Yuna pergi.
Sementara
itu, mata Andre masih terus terpaku menatap pintu kafe yang membawa Yuna pergi
menghilang dari pandangannya. Berganti dengan langkah orang lain yang keluar
masuk pintu itu.
“Haruskah
aku membuka pintu hatiku untuk orang lain? Membiarkanmu pergi begitu saja?”
batin Andre. Ia kemudian tersenyum kecil. “Semoga, kamu selalu bahagia. Bersama
siapa pun itu.”
Andre
tersenyum sambil menarik mangkuk ice cream yang ada di hadapannya. Yuna sangat
suka makan ice cream, dengan melahapnya perlahan, ia merasa Yuna sedang makan
ice cream di hadapannya dengan wajah yang begitu ceria. Setiap tawa yang
terukir di bibir Yuna, membuatnya ingin terus tersenyum.
...
Yuna
masuk ke rumah dalam keadaan kesal karena Icha telah mengkhianati dirinya. Ia
tak menyangka kalau Icha justru menyodorkan dirinya pada Andre, pria yang
secara terang-terangan mengejar dirinya.
“Icha
ngeselin banget sih. Bercandanya nggak lucu. Kalo Yeriko tahu aku keluar
ketemunya sama Andre, bukannya sama Icha, bisa keluar tanduknya,” omel Yuna
sambil melangkahkan kakinya masuk ke rumah.
Yuna
menatap beberapa orang yang tidak ia kenal lalu lalang di dalam rumahnya.
“Bi,
mereka siapa?” tanya Yuna pada Bibi War yang berdiri tak jauh darinya.
“Tukang,
Mbak. Mas Yeri yang nyuruh renovasi kamar atas.”
“Kenapa
direnovasi? Nggak ada yang rusak kan?”
“Bikinkan
kamar buat si Dedek,” jawab Bibi War sambil tersenyum.
“Hah!?
Serius?”
Bibi
War mengangguk sambil tersenyum.
Yuna
sangat bersemangat, ia bergegas naik ke lantai atas untuk melihat kamar anak
yang sedang disediakan oleh Yeriko. Yuna memerhatikan para pekerja yang sibuk
merenovasi ruang kerja Yeriko. Ruang kerjanya memang sangat luas, sehingga
Yeriko merelakan sebagian ruang kerjanya untuk kamar bayi mereka.
Yuna
merogoh ponsel dari dalam tasnya dan langsung menelepon Yeriko. Namun, ia tidak
mendapatkan jawaban sama sekali.
Yuna
melangkah tak bersemangat menuruni anak tangga. “Dia pasti lagi sibuk banget,”
gumamnya.
TING!
Yuna
langsung membuka pesan yang masuk ke ponselnya.
-
Aku masih rapat. Nanti aku telepon balik kalau udah nggak sibuk-
Yuna
menarik napas setelah membaca pesan dari Yeriko. Ia melangkahkan kakinya ke
halaman belakang.
Hari
ini, usia kandungan Yuna sudah menginjak minggu ke tujuh. Kali ini, ia akan
memeriksakan kandungannya seorang diri karena Yeriko terlalu sibuk dengan
pekerjaan dan persiapan pernikahan mereka.
“Dek,
ntar sore kita pergi berdua aja ya. Ayah kamu sibuk cari uang buat kita,” tutur
Yuna sambil mengelus perutnya.
Kesibukan
Yeriko yang padat, membuatnya berpikir banyak hal. Terlebih, Yeriko tidak bisa
menemaninya pergi ke dokter. Terpaksa, ia mengandalkan Bibi War untuk
menemaninya pergi ke memeriksakan kandungannya.
Beberapa
menit kemudian, Yeriko meneleponnya. Yuna langsung tersenyum lebar menatap foto
Yeriko yang terpampang di layar ponsel dan langsung menjawab telepon.
“Halo
...!” sapa Yuna.
“Halo,
gimana? Tadi jadi ketemu sama Icha?”
“Jadi,”
jawab Yuna singkat.
“Sore
ini jadwal periksa ya?” tanya Yeriko.
“He-em.”
Yuna menganggukkan kepala.
“Aku
harus lembur malam ini. Banyak yang harus aku selesaikan. Kamu pergi sama Bibi
War aja, ya!”
“Iya.”
Yuna menanggapi tak bersemangat.
“Jangan
sedih gitu, dong!”
“Nggak,
kok.”
“Aku
bener-bener nggak bisa ninggalin kerjaan kali ini. Besok sore, abis pulang
kerja, aku ajak kamu jalan-jalan ke suatu tempat.”
“Ke
mana?” tanya Yuna sumringah.
“Ada,
deh. Sekarang, kamu siap-siap periksain si Dedek Kecil. Kalo udah sampai
klinik, kabarin aku ya!” pinta Yeriko. “Aku masih ada rapat lagi. Nanti aku
telepon kalau udah nggak sibuk.”
“He-em.”
Yuna menganggukkan kepala. Ia bisa mendengar suara seseorang memanggil nama
Yeriko.
Yeriko
langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Yuna
langsung bersiap memeriksakan kandungannya, ia membawa Bibi War ikut serta
memeriksakan kandungannya kali ini. Ia memilih memeriksakan kandungannya ke
dokter praktik, karena praktik dokter kandungan mulai buka pada sore hari.
Sehingga, Yeriko bisa selalu menemaninya memeriksakan kandungannya. Sayangnya,
kali ini kesibukan Yeriko benar-benar tidak bisa diganggu dan membuat Yuna
harus memeriksakan kandungannya sendirian.
Sesampainya
di klinik dokter praktik, Yuna langsung mengambil antrian. Ia menatap beberapa
orang ibu yang juga memeriksakan kandungannya.
“Udah
hamil berapa bulan, Mbak?” tanya seorang ibu yang duduk di samping Yuna.
“Jalan
dua bulan. Ibu sendiri, sudah berapa bulan kandungannya?” tanya Yuna sambil
melihat perut wanita itu yang sudah sangat membesar.
“Udah
sembilan bulan. Lagi nunggu hari lahir,” jawab Ibu tersebut sambil tersenyum.
“Oh
ya? Semoga lahir dengan selamat ya, Bu!” tutur Yuna.
Ibu
itu tersenyum. “Aamiin.”
Seorang
anak kecil berusia sekitar tiga tahunan menghampiri ibu hamil tersebut. “Mama!”
“Ini
anak Ibu juga?” tanya Yuna sambil menatap gadis kecil yang sangat lucu.
“Iya.
Ini anak pertama saya. Baru tiga tahun. Yang di perut ini, anak saya yang
kedua. Insya Allah laki-laki.”
“Wah,
langsung dapet lengkap. Sepasang nih.”
“Hehehe.
Mbaknya baru anak pertama ya?”
Yuna
mengangguk. “Kok, tahu?”
“Kelihatan
gelisahnya.”
“Eh!?
Masa sih, Bu?”
Ibu
itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Waktu saya pertama hamil juga
begitu. Tapi, harus melawan rasa takut. Ibu hamil harus percaya diri dan kuat.
Supaya, bisa melahirkan dengan normal dan sehat.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Rencananya,
mau lahir normal atau caesar?”
“Mmh
... belum tahu,” jawab Yuna sambil menggelengkan kepala.
“Normal
aja. Sakitnya cuma sebentar, kok. Wanita itu, akan merasakan bahagia yang lebih
saat lahir normal. Melahirkan itu tugas mulia seorang ibu. Lahir secara normal,
jauh lebih nikmat.”
Yuna
tersenyum menanggapi ucapan ibu tersebut. Ia sendiri belum pernah memikirkan
soal proses kelahiran bayinya.
“Mmh
... kalah lahir normal, sakit atau nggak sih, Bu?”
“Sakit.
Sebentar aja, abis itu udah enakan. Apalagi lihat wajah anak kita. Buktinya,
saya masih hamil lagi. Kalau melahirkan itu sakitnya mengerikan, saya nggak mau
melahirkan lagi.”
Yuna
tertawa kecil. Yang diucapkan ibu tersebut memang benar. Apalagi, orang zaman
dahulu yang belum mengenal dokter pun bisa memiliki banyak anak. Ia bertekad
untuk melahirkan anaknya secara normal. Ia yakin, bisa melakukannya dengan
baik.
Tak
berapa lama, Yuna mendapat giliran untuk masuk ke ruang pemeriksaan.
“Sore
...!” sapa dokter tersebut dengan ramah.
“Sore,
Dok!”
“Suaminya
nggak ikut?” tanya dokter tersebut sambil melirik ke arah Bibi War.
Yuna
menggelengkan kepala. “Lagi sibuk banget, Dok.”
“Oh,
ada keluhan?” tanya dokter tersebut.
Yuna
menggelengkan kepala.
“Baring
dulu, ya!” biar saya periksa.
Yuna
mengangguk. Ia berbaring di atas brankar yang ada di ruangan tersebut.
Usai
melakukan pemeriksaan, dokter tersebut memberikan vitamin dan obat penguat
kandungan.
“Alhamdulillah,
perkembangan janinnya sangat baik. Jaga kesehatan terus ya! Jangan setres, jaga
pola makan dan banyak istirahat!” tutur dokter tersebut sambil tersenyum.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, dok!”
Dokter
tersebut menganggukkan kepala.
Yuna
dan Bibi War bergegas keluar dari ruang pemeriksaan.
Yuna
merasa sangat bahagia karena kondisi anaknya sangat baik dan sehat. Ia tidak
menyangka kalau dirinya akan menjadi seorang ibu di usia yang kedua puluh lima.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah baca sampai sini, tunggu kejutan-kerjutan selanjutnya ya...
Much love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment