Yeriko
kembali dengan rutinitasnya di perusahaan seperti biasa. Begitu juga dengan
Yuna, kembali dengan kesehariannya di rumah menikmati rasa bosan. Yeriko tak
melarangnya keluar rumah asalkan ia tidak sendirian. Hanya saja, semuanya sibuk
bekerja dan ia tidak punya teman bermain di jam seperti ini.
“Dek,
kalo Dedek udah lahir, pasti Bunda nggak akan sendirian,” tutur Yuna sambil
mengelus perutnya. Ia menghabiskan waktunya di tempat tidur. Sesekali turun ke
ruang tamu, ke ruang keluarga, ke dapur atau ke halaman belakang. Semuanya
terasa membosankan.
Ponsel
Yuna tiba-tiba berdering. Ia langsung menyambar ponselnya yang berdering. Ia
tersenyum begitu melihat nama ‘Icha’ terpampang di layar teleponnya.
“Halo,
Cha!” sapa Yuna ceria sambil membaringkan tubuhnya ke sofa yang ada di
kamarnya.
“Halo,
Yun. Kamu ada waktu?”
“Banyak,
Cha. Kenapa?”
“Bisa
ketemuan?”
“Eh!?
Emang kamu nggak kerja?”
“Nggak,
Yun.”
“Bisa.
Ketemuan di mana?”
“Di
Kafe, tempat biasa.”
“Sekarang?”
tanya Yuna lagi.
“He-em.”
“Wait!
Aku ganti baju dulu.”
“Oke.
Aku tunggu ya!”
“He-em.”
“Aku
matiin teleponnya, aku tunggu di kafe. Bye!”
“Bye!”
Yuna melemparkan ponselnya ke atas sofa begitu saja. “Huu ... akhirnya ada
temen jalan!” seru Yuna. Ia mengirimkan pesan terlebih dahulu pada suaminya
untuk memberitahukan kalau ia akan bertemu dengan Icha di kafe tempat mereka
biasa nongkrong.
Beberapa
menit kemudian, Yuna sudah bersiap dengan pakaian sederhana dan wajah tanpa
riasan. Ia hanya mengenakan baby powder di wajahnya. Kemudian, ia melangkah
perlahan menuruni anak tangga rumahnya.
“Bi,
Angga di mana?” tanya Yuna.
“Di
...” Bibi War ingin menjawab, tapi ia masih celingukan mencari sosok Angga. “Di
depan mungkin, Mbak. Mbak Yuna mau jalan ke luar?”
Yuna
mengangguk. Ia tersenyum sambil melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia menatap
mobil sedan yang disediakan oleh kakek mertuanya. Namun, tidak ada sosok Angga
di dekat mobil tersebut.
“Angga!”
seru Yuna. “Ke mana sih nih orang?” gumamnya karena Angga tak kunjung
menghampirinya.
Beberapa
saat kemudian, Angga keluar dari bagian belakang rumahnya.
“Kamu
ke mana aja?” tanya Yuna.
“Maaf,
Nyonya. Saya masih buang air kecil.”
“Oh.
Antar saya keluar sebentar!” perintah Yuna.
Angga
menganggukkan kepala. Ia segera membukakan pintu untuk Yuna dan mengantar Yuna
menuju kafe tempat Icha menunggunya.
Sesampainya
di kafe, ia mulai gelisah dengan sikap Angga yang terus membuntutinya.
“Ngga,
aku nggak mau diikutin kayak gini. Kelihatan banget kalo aku dijagain. Jaga
jarak dikit, bisa kan?”
“Baik,
Nyonya.” Angga mengangguk. Ia menjaga jaraknya dengan Yuna. Ia memilih menjaga
Yuna dari kejauhan. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada menantu kesayangan
keluarga Hadikusuma.
Yuna
tersenyum. Ia langsung melangkah masuk ke kafe tersebut dan menghampiri Icha
yang sudah menunggunya.
“Udah
lama nunggu, Cha?” tanya Yuna.
Icha
tersenyum dan langsung menyambut Yuna dengan ceria. “Belum. Baru aja, kok.”
Yuna
langsung duduk di hadapan Icha. “Tumben banget ngajak aku ketemuan di jam kerja
kayak gini?”
“Nggak
papa. Kangen aja sama kamu.”
Yuna
tersenyum menatap Icha. “Gimana kabar temen-temen di kantor?”
“Semuanya
baik, Yun. Semua kangen sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan?”
“Baik.
Gimana sama Juan? Udah baik sama kamu?”
“Masih
gitu-gitu aja, sih. Malah makin parah.”
“Oh
ya?”
Icha
tersenyum sambil mengangguk. “Kamu mau minum apa?”
“Susu
hangat aja, Cha.”
“Oke.
Bentar, aku pesenin.”
Yuna
tersenyum sambil merogoh ponsel di dalam tasnya.
“Halo,
Yun. Apa kabar?” Andre tiba-tiba sudah duduk di hadapan Yuna.
Yuna
mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat Andre. “Kenapa dia di sini?”
batinnya.
Andre
tersenyum ke arah Yuna.
Yuna
tak bisa melakukan hal lain selain membalasnya. Ia sedikit kesal karena Andre
tiba-tiba menghampirinya. Ia membayangkan bagaimana wajah Yeriko yang
pencemburu itu berdiri di balik kaca sambil menatap mereka dengan tanduk yang
terbakar.
Icha
tersenyum, ia melangkah menghampiri Yuna dan Andre. Ia langsung duduk di
sebelah Andre.
“Sorry,
Yun. Nggak seharusnya aku ngelakuin ini,” tutur Icha lirih. “Sebenarnya, Andre
yang ngajak kamu ketemu di sini.”
Yuna
menautkan kedua alis sambil menatap Icha. Ia sangat kesal dengan perbuatan Icha
kali ini. Ia pikir, Icha benar-benar tulus mengajaknya keluar sebagai sahabat.
“Kamu
jangan marah sama Icha, Yun!” pinta Andre. “Aku yang salah. Aku yang minta dia
buat bawa kamu ke luar.”
Yuna
tersenyum kecil. Sebenarnya, tidak ada yang salah di antara mereka. Andre juga
tetap seorang teman dan tidak pernah membahayakan dirinya. Hanya saja, ia tidak
terima dibohongi seperti ini.
“Kenapa
harus pakai nama Icha? Kamu bisa telepon aku sendiri, Ndre?”
“Yun,
sekarang kamu nggak kerja. Aku sulit buat nemuin kamu. Aku segan sama Yeriko.”
“Oh,
kamu masih mikir juga kalau aku sudah bersuami?”
Andre
tersenyum. Ia tetap saja tidak ingin pergi walau Yuna kini bersikap ketus. Ia
tetap menganggap Yuna sebagai teman. Mmh ... apakah ia sudah bisa menerima
kalau Yuna hanya menganggapnya sebagai teman?
Icha
tersenyum menatap Yuna. “Yun, Andre cuma mau ngomong sebentar ke kamu.” Ia
bangkit dari tempat duduknya. “Aku pergi dulu.”
Yuna
tersenyum ke arah Andre. “Ndre, kamu nggak perlu pake cara kayak gini buat
ketemu sama aku. Yeriko juga menganggap kamu sebagai teman, bukan musuh. Buat
apa sampai kayak gini?”
“Sorry,
Yun.”
Hening.
“Yun,
aku denger dari Icha soal kamu dan Bellina. Kamu dituduh sama Bellina, dorong
dia di tangga?” tanya Andre.
Yuna
hanya tersenyum kecil menatap Andre.
“Aku
percaya, kamu nggak mungkin ngelakuin itu,” tutur Andre sambil tersenyum. Ia
sangat mengetahui kalau Yuna adalah wanita yang berprinsip. Ia tidak akan
melakukan kejahatan pada orang lain, bahkan pada orang yang telah berbuat jahat
padanya.
Yuna
tersenyum. “Makasih, udah percaya sama aku,” tuturnya. Dalam hati, ia sangat
kesal dengan kehadiran Andre yang tiba-tiba. Ia pikir, Andre sudah melupakan
semuanya dan tidak akan mengganggu dirinya lagi.
Perasaan
Andre tak karuan saat menatap wajah Yuna. Dalam hatinya, hanya ada Yuna. Tapi,
ia sulit sekali menggapai gadis itu. Sekalipun saat ini, Yuna berada di
hadapannya, ia merasa jauh, sangat jauh ...
“Ada
lagi yang mau kamu bicarain?” tanya Yuna lagi.
“Banyak,
Yun.”
“Apa
itu?”
“Salah
satunya, aku kangen sama kamu. Jadi, biarin aku ngelihat kamu hari ini.”
Yuna
tersenyum sinis. “Ndre, aku ini istrinya orang. Bukannya kamu udah tunangan
sama Yulia?”
“Aku
nggak tunangan sama dia. Orang tuaku selalu menjodohkan aku sama wanita pilihan
mereka. Pertunangan aku sama Yulia sudah dibatalkan.”
“Ndre,
cobalah membuka hati kamu buat wanita lain!” pinta Yuna. “Aku cuma anggep kamu
sebagai teman. Kalau kamu masih mau lihat aku, lihatlah sebagai teman. Atau
kamu nggak akan pernah bisa ketemu aku lagi.”
Andre
mengangguk. Ia sangat mengerti prinsip Yuna. Apa yang telah menjadi
keputusannya, tidak bisa diganggu gugat. “Yun, aku masih berharap kalau Yeriko
mengkhianati kamu dan bisa bikin kalian berpisah,” batin Andre.
Andre
benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Yuna terlihat sangat mencintai
Yeriko. Di satu sisi, ia menginginkan Yuna berpisah dengan Yeriko. Tapi di sisi
lain, ia tidak ingin membuat Yuna terluka karena kehilangan Yeriko.
Tiba-tiba,
seorang pelayan menghampiri mereka dan menyodorkan ice cream ke hadapan Yuna.
“Aku
tahu, kamu suka banget makan ice cream. Jadi, aku pesenin buat kamu.”
Yuna
hanya tersenyum menatap Andre. Ia tahu kalau Andre sangat memperhatikan
dirinya. Hanya saja, ia tidak bisa menerima semua perhatian dari Andre.
“Aku
nggak bisa makan ice cream, Ndre. Aku lagi hamil muda, nggak dibolehin konsumsi
ice cream sama dokter.”
DEG!
Andre
tertegun. Seluruh dunianya seketika kosong. Dadanya begitu sesak menerima
kenyataan kalau Yuna sudah mengandung anak dari pria lain. Kini, ia benar-benar
mengerti kalau Yuna memang mencintai Yeriko. Bukan terpaksa menikah karena
menolong ayahnya yang terbaring di rumah sakit.
(( Bersambung ... ))
0 komentar:
Post a Comment