Friday, July 11, 2025

Perfect Hero Bab 278 : Hanya Rindu

 

Yeriko kembali dengan rutinitasnya di perusahaan seperti biasa. Begitu juga dengan Yuna, kembali dengan kesehariannya di rumah menikmati rasa bosan. Yeriko tak melarangnya keluar rumah asalkan ia tidak sendirian. Hanya saja, semuanya sibuk bekerja dan ia tidak punya teman bermain di jam seperti ini.

“Dek, kalo Dedek udah lahir, pasti Bunda nggak akan sendirian,” tutur Yuna sambil mengelus perutnya. Ia menghabiskan waktunya di tempat tidur. Sesekali turun ke ruang tamu, ke ruang keluarga, ke dapur atau ke halaman belakang. Semuanya terasa membosankan.

Ponsel Yuna tiba-tiba berdering. Ia langsung menyambar ponselnya yang berdering. Ia tersenyum begitu melihat nama ‘Icha’ terpampang di layar teleponnya.

“Halo, Cha!” sapa Yuna ceria sambil membaringkan tubuhnya ke sofa yang ada di kamarnya.

“Halo, Yun. Kamu ada waktu?”

“Banyak, Cha. Kenapa?”

“Bisa ketemuan?”

“Eh!? Emang kamu nggak kerja?”

“Nggak, Yun.”

“Bisa. Ketemuan di mana?”

“Di Kafe, tempat biasa.”

“Sekarang?” tanya Yuna lagi.

“He-em.”

“Wait! Aku ganti baju dulu.”

“Oke. Aku tunggu ya!”

“He-em.”

“Aku matiin teleponnya, aku tunggu di kafe. Bye!”

“Bye!” Yuna melemparkan ponselnya ke atas sofa begitu saja. “Huu ... akhirnya ada temen jalan!” seru Yuna. Ia mengirimkan pesan terlebih dahulu pada suaminya untuk memberitahukan kalau ia akan bertemu dengan Icha di kafe tempat mereka biasa nongkrong.

Beberapa menit kemudian, Yuna sudah bersiap dengan pakaian sederhana dan wajah tanpa riasan. Ia hanya mengenakan baby powder di wajahnya. Kemudian, ia melangkah perlahan menuruni anak tangga rumahnya.

“Bi, Angga di mana?” tanya Yuna.

“Di ...” Bibi War ingin menjawab, tapi ia masih celingukan mencari sosok Angga. “Di depan mungkin, Mbak. Mbak Yuna mau jalan ke luar?”

Yuna mengangguk. Ia tersenyum sambil melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia menatap mobil sedan yang disediakan oleh kakek mertuanya. Namun, tidak ada sosok Angga di dekat mobil tersebut.

“Angga!” seru Yuna. “Ke mana sih nih orang?” gumamnya karena Angga tak kunjung menghampirinya.

Beberapa saat kemudian, Angga keluar dari bagian belakang rumahnya.

“Kamu ke mana aja?” tanya Yuna.

“Maaf, Nyonya. Saya masih buang air kecil.”

“Oh. Antar saya keluar sebentar!” perintah Yuna.

Angga menganggukkan kepala. Ia segera membukakan pintu untuk Yuna dan mengantar Yuna menuju kafe tempat Icha menunggunya.

Sesampainya di kafe, ia mulai gelisah dengan sikap Angga yang terus membuntutinya.

“Ngga, aku nggak mau diikutin kayak gini. Kelihatan banget kalo aku dijagain. Jaga jarak dikit, bisa kan?”

“Baik, Nyonya.” Angga mengangguk. Ia menjaga jaraknya dengan Yuna. Ia memilih menjaga Yuna dari kejauhan. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada menantu kesayangan keluarga Hadikusuma.

Yuna tersenyum. Ia langsung melangkah masuk ke kafe tersebut dan menghampiri Icha yang sudah menunggunya.

“Udah lama nunggu, Cha?” tanya Yuna.

Icha tersenyum dan langsung menyambut Yuna dengan ceria. “Belum. Baru aja, kok.”

Yuna langsung duduk di hadapan Icha. “Tumben banget ngajak aku ketemuan di jam kerja kayak gini?”

“Nggak papa. Kangen aja sama kamu.”

Yuna tersenyum menatap Icha. “Gimana kabar temen-temen di kantor?”

“Semuanya baik, Yun. Semua kangen sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan?”

“Baik. Gimana sama Juan? Udah baik sama kamu?”

“Masih gitu-gitu aja, sih. Malah makin parah.”

“Oh ya?”

Icha tersenyum sambil mengangguk. “Kamu mau minum apa?”

“Susu hangat aja, Cha.”

“Oke. Bentar, aku pesenin.”

Yuna tersenyum sambil merogoh ponsel di dalam tasnya.

“Halo, Yun. Apa kabar?” Andre tiba-tiba sudah duduk di hadapan Yuna.

Yuna mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat Andre. “Kenapa dia di sini?” batinnya.

Andre tersenyum ke arah Yuna.

Yuna tak bisa melakukan hal lain selain membalasnya. Ia sedikit kesal karena Andre tiba-tiba menghampirinya. Ia membayangkan bagaimana wajah Yeriko yang pencemburu itu berdiri di balik kaca sambil menatap mereka dengan tanduk yang terbakar.

Icha tersenyum, ia melangkah menghampiri Yuna dan Andre. Ia langsung duduk di sebelah Andre.

“Sorry, Yun. Nggak seharusnya aku ngelakuin ini,” tutur Icha lirih. “Sebenarnya, Andre yang ngajak kamu ketemu di sini.”

Yuna menautkan kedua alis sambil menatap Icha. Ia sangat kesal dengan perbuatan Icha kali ini. Ia pikir, Icha benar-benar tulus mengajaknya keluar sebagai sahabat.

“Kamu jangan marah sama Icha, Yun!” pinta Andre. “Aku yang salah. Aku yang minta dia buat bawa kamu ke luar.”

Yuna tersenyum kecil. Sebenarnya, tidak ada yang salah di antara mereka. Andre juga tetap seorang teman dan tidak pernah membahayakan dirinya. Hanya saja, ia tidak terima dibohongi seperti ini.

“Kenapa harus pakai nama Icha? Kamu bisa telepon aku sendiri, Ndre?”

“Yun, sekarang kamu nggak kerja. Aku sulit buat nemuin kamu. Aku segan sama Yeriko.”

“Oh, kamu masih mikir juga kalau aku sudah bersuami?”

Andre tersenyum. Ia tetap saja tidak ingin pergi walau Yuna kini bersikap ketus. Ia tetap menganggap Yuna sebagai teman. Mmh ... apakah ia sudah bisa menerima kalau Yuna hanya menganggapnya sebagai teman?

Icha tersenyum menatap Yuna. “Yun, Andre cuma mau ngomong sebentar ke kamu.” Ia bangkit dari tempat duduknya. “Aku pergi dulu.”

Yuna tersenyum ke arah Andre. “Ndre, kamu nggak perlu pake cara kayak gini buat ketemu sama aku. Yeriko juga menganggap kamu sebagai teman, bukan musuh. Buat apa sampai kayak gini?”

“Sorry, Yun.”

 

Hening.

 

“Yun, aku denger dari Icha soal kamu dan Bellina. Kamu dituduh sama Bellina, dorong dia di tangga?” tanya Andre.

Yuna hanya tersenyum kecil menatap Andre.

“Aku percaya, kamu nggak mungkin ngelakuin itu,” tutur Andre sambil tersenyum. Ia sangat mengetahui kalau Yuna adalah wanita yang berprinsip. Ia tidak akan melakukan kejahatan pada orang lain, bahkan pada orang yang telah berbuat jahat padanya.

Yuna tersenyum. “Makasih, udah percaya sama aku,” tuturnya. Dalam hati, ia sangat kesal dengan kehadiran Andre yang tiba-tiba. Ia pikir, Andre sudah melupakan semuanya dan tidak akan mengganggu dirinya lagi.

Perasaan Andre tak karuan saat menatap wajah Yuna. Dalam hatinya, hanya ada Yuna. Tapi, ia sulit sekali menggapai gadis itu. Sekalipun saat ini, Yuna berada di hadapannya, ia merasa jauh, sangat jauh ...

“Ada lagi yang mau kamu bicarain?” tanya Yuna lagi.

“Banyak, Yun.”

“Apa itu?”

“Salah satunya, aku kangen sama kamu. Jadi, biarin aku ngelihat kamu hari ini.”

Yuna tersenyum sinis. “Ndre, aku ini istrinya orang. Bukannya kamu udah tunangan sama Yulia?”

“Aku nggak tunangan sama dia. Orang tuaku selalu menjodohkan aku sama wanita pilihan mereka. Pertunangan aku sama Yulia sudah dibatalkan.”

“Ndre, cobalah membuka hati kamu buat wanita lain!” pinta Yuna. “Aku cuma anggep kamu sebagai teman. Kalau kamu masih mau lihat aku, lihatlah sebagai teman. Atau kamu nggak akan pernah bisa ketemu aku lagi.”

Andre mengangguk. Ia sangat mengerti prinsip Yuna. Apa yang telah menjadi keputusannya, tidak bisa diganggu gugat. “Yun, aku masih berharap kalau Yeriko mengkhianati kamu dan bisa bikin kalian berpisah,” batin Andre.

Andre benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Yuna terlihat sangat mencintai Yeriko. Di satu sisi, ia menginginkan Yuna berpisah dengan Yeriko. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin membuat Yuna terluka karena kehilangan Yeriko.

Tiba-tiba, seorang pelayan menghampiri mereka dan menyodorkan ice cream ke hadapan Yuna.

“Aku tahu, kamu suka banget makan ice cream. Jadi, aku pesenin buat kamu.”

Yuna hanya tersenyum menatap Andre. Ia tahu kalau Andre sangat memperhatikan dirinya. Hanya saja, ia tidak bisa menerima semua perhatian dari Andre.

“Aku nggak bisa makan ice cream, Ndre. Aku lagi hamil muda, nggak dibolehin konsumsi ice cream sama dokter.”

 

DEG!

 

Andre tertegun. Seluruh dunianya seketika kosong. Dadanya begitu sesak menerima kenyataan kalau Yuna sudah mengandung anak dari pria lain. Kini, ia benar-benar mengerti kalau Yuna memang mencintai Yeriko. Bukan terpaksa menikah karena menolong ayahnya yang terbaring di rumah sakit.

 

(( Bersambung ... ))



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas