Yuna membuka mata perlahan
dan mendapati suaminya masih terlelap di sisinya. Biasanya, Yeriko selalu
bangun terlebih dahulu untuk bersiap ke kantor. Yuna hanya tersenyum menatap
wajah suaminya. Ia turun dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan
Yeriko.
Akhir-akhir ini, Yeriko
terlihat sangat sibuk. Yuna sangat mengerti bagaimana pekerjaan suaminya. Ia
tidak ingin membangunkan Yeriko. Jarang sekali, ia melihat suaminya masih
terlelap di sampingnya hingga matahari terbit.
Yuna melangkahkan kakinya
perlahan menuju dapur.
“Mbak Yuna sudah bangun?”
tanya Bibi War yang sedang berada di dapur.
Yuna mengangguk. Ia
melangkah menuju dapur dan membuat segelas susu untuk Yeriko.
“Mas Yeri belum bangun, tho?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Belum, Bi. Kayaknya, dia kecapean. Akhir-akhir ini sering lembur.”
“Dia makin semangat nyari
uang karena udah mau punya anak,” celetuk Bibi War.
“Ah, Bibi bisa aja.”
“Biasanya, laki-laki akan
jauh lebih semangat cari uang kalau sudah punya anak,” bisik Bibi War sambil
menggenggam pundak Yuna.
Yuna tersenyum kecil. Ia
membawa segelas susu dan kembali naik ke kamarnya. Ia melangkah perlahan dan
meletakkan gelas susu hangat tersebut ke atas nakas.
Yuna melangkah perlahan
menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia melakukan semuanya dengan
hati-hati agar suaranya tidak mengganggu tidur suaminya.
Tepat jam tujuh pagi,
tirai kamar mereka terbuka secara otomatis. Yuna lupa dengan hal ini. Ia
langsung berjalan perlahan, melindungi Yeriko dari terpaan sinar matahari pagi
itu.
Yeriko memicingkan mata,
ia melihat Yuna yang berdiri di tepi ranjang. “Ngapain di situ?”
Yuna meringis menatap
Yeriko. Usahanya untuk membiarkan Yeriko terlelap, gagal.
“Udah siang ya? Aku
kesiangan.” Yeriko menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia bergegas turun
dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.
Yuna melongo menatap
suaminya yang sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
Beberapa menit kemudian,
Yeriko keluar dari kamar mandi. Ia membuka lemari pakaiannya, mengenakan kaos
oblong dan celana pendek.
Yuna mengernyitkan dahi
melihat penampilan suaminya yang biasa saja. Sementara, ia sudah menyiapkan
kemeja dan jas untuk suaminya pergi bekerja. “Nggak kerja?” tanyanya.
Yeriko menggelengkan
kepala. Ia menghampiri Yuna yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
“Jalan yuk!” ajak Yeriko.
“Eh!?” Yuna melongo sambil
menyuap potongan buah ke mulutnya.
“Ayo!” Yeriko menarik
lengan Yuna.
“Ke mana?”
“Ke ... mana-mana.”
“Bentar. Aku ganti baju
dulu.”
“Pake ini aja!” pinta
Yeriko sambil menatap mini dress warna pastel yang dikenakan Yuna.
“Tapi ...”
“Mau jalan bareng aku atau
nggak?” tanya Yeriko. “Ntar aku bawa cewek lain buat nemenin aku,” godanya.
“Iih ... awas aja kalo
berani!” dengus Yuna sambil meraih ponsel di atas meja. Ia melingkarkan
lengannya ke lengan Yeriko dan melangkah beriringan keluar dari kamar.
“Bi, hari ini nggak usah
masak buat Yuna. Kami keluar sampai malam.” Yeriko menghampiri Bibi War yang
sedang menyiram tanaman di halaman rumah mereka.
Bibi War menganggukkan
kepala.
Yeriko tersenyum, ia
bergegas membawa Yuna masuk ke mobil dan melajukan mobilnya keluar dari
pekarangan rumahnya.
Lima belas menit kemudian,
mereka sudah sampai di salah satu mall yang terletak di jalan Dharmahusada,
Surabaya.
Yuna tersenyum sambil
menatap tulisan ‘Galaxy Mall’ yang ada di hadapannya. “Kamu ke sini bukan mau
sidak kan?” bisik Yuna.
“Sidak apaan?” sahut
Yeriko. “Nggak ada yang tahu kalau aku pemilik gedung ini selain managernya.
Dia juga nggak akan lihat kita.” Yeriko menggenggam tangan Yuna dan mengajaknya
masuk ke pusat perbelanjaan tersebut.
Yuna tersenyum. Ia merasa
sangat bahagia karena Yeriko membawanya jalan-jalan. Membuatnya merasa, masih
berpacaran dengan suaminya itu.
Mereka terus berkeliling,
kemudian langkah mereka terhenti pada salah satu toko perlengkapan bayi. Yuna
langsung mengajak Yeriko masuk untuk melihat-lihat.
“Iih … lucu-lucu!” seru
Yuna sambil memerhatikan beberapa mainan bayi.
“Ambil semua yang kamu
mau!” perintah Yeriko.
Yuna mengangguk. “Kamu mau
belikan apa buat anak kita?”
Yeriko mengedarkan
pandangannya. Ia menghampiri mobil-mobilan yang ada di sudut ruangan. “Yang
ini, gimana? Keren kan kalo anak kita jadi pembalap.”
Yuna tertawa kecil.
“Keren, sih. Tapi bundanya nggak akan izinin anaknya jadi pembalap!” dengus
Yuna sambil berbalik pergi.
“Eh!?” Yeriko melongo dan
langsung mengejar langkah Yuna. “Kenapa anak kita nggak boleh jadi pembalap?”
“Kita belum tahu anak kita
ini cowok atau cewek. Kalo cewek gimana? Mau kamu ajarin balapan? Walaupun
cowok, aku juga nggak mau anakku ngelakuin hal berbahaya.”
Yeriko tersenyum kecil.
“Ya udah, ini aja. Gimana?” tanya Yeriko sambil melihat kuda-kudaan yang
terbuat dari kayu. “Ini bisa dipakai cewek atau cowok. Tempat duduknya juga
nyaman.” Ia menepuk-nepuk kecil tempat duduk berbentuk kuda tersebut.
Yuna tersenyum sambil
mengelus kuda kayu tersebut. Ia mengangguk setuju.
“Mbak, bungkus yang ini
satu!” perintah Yeriko pada pelayan yang berjaga.
Pelayan tersebut
mengangguk dan langsung menyiapkan barang yang diinginkan oleh Yeriko.
“Kita bikin kamar anak di
sebelah kamar kita aja. Mmh … kamu mau yang mana?” tanya Yeriko sambil
memilih tempat tidur untuk anaknya.
“Yang ini lucu.” Yuna
menunjuk tempat tidur bayi berwarna pink.
“Lebih baik pilih yang
warna netral aja!”
Yuna menganggukkan kepala.
Mereka akhirnya sibuk memilih perlengkapan bayi untuk anaknya.
Yeriko langsung menelepon
Angga untuk menjemput barang-barang yang mereka beli. Sebab, Yeriko masih ingin
mengajak Yuna menonton film.
“Kamu mau nonton apa?”
tanya Yeriko saat mereka memasuki pintu penjualan tiket bioskop.
“Mmh … apa ya?” Yuna
mengetuk-ngetuk dagunya. “Yang terbaru apa?”
“Spiderman-Homecoming.”
Yuna menggelengkan kepala.
“Nggak suka.”
“Terus, mau nonton yang
mana? Film lokal aja?”
Yuna memonyongkan
bibirnya.
“Film horror mau nggak?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Aku bingung.”
Yeriko tersenyum kecil.
“Yang ini mau?” tanya Yeriko sambil menunjuk poster yang menunjukkan wajah
Pamela Bowie.
Yuna menggelengkan kepala.
“Terus?”
Yuna menimbang-nimbang
sejenak. “King Arthur aja lah.”
Yeriko tersenyum kecil. “Kamu tunggu sini!”
pinta Yeriko sambil meminta Yuna untuk duduk di salah satu sofa. Kemudian, ia masuk ke dalam antrian tiket.
Yuna terus tersenyum
menatap tubuh suaminya yang menjulang tinggi, tampan dan sangat memesona. “Ya
Tuhan … aku kok bisa dapet suami seganteng ini?” gumam Yuna dalam hati.
Yeriko berdiri dalam
antrian sambil sesekali menoleh ke arah Yuna.
Yuna mulai mengerutkan
bibirnya saat mendapati beberapa pasang mata wanita yang ada di sana tertuju
pada suaminya. “Mereka nggak tahu kalau dia pria beristri?” batinnya kesal.
Beberapa menit kemudian,
Yeriko sudah kembali menghampiri Yuna sambil membawa potongan tiket, minuman
dan makanan ringan untuk mereka.
“Berapa menit lagi?” tanya
Yuna.
“Dua puluh menit lagi,”
jawab Yeriko sambil duduk di sebelah Yuna. Ia langsung menyandarkan kepalanya
di pundak Yuna.
“Aku pikir, kamu bakal
booking satu bioskop ini dan nggak perlu ngantri kayak gini.”
“Seharusnya aku ngelakuin
itu. Lihat! Di tempat seramai ini, semua cowok pada ngelihatin kamu. Mereka
nggak tahu apa kalo kamu sudah bersuami?”
Yuna tertawa kecil
mendengar ucapan Yeriko. Ia tidak menyangka kalau mereka punya pemikiran yang
sama.
“Kenapa ketawa?” tanya
Yeriko.
“Nggak papa,” jawab Yuna.
Ia mengelus kepala Yeriko sambil menyembunyikan bibirnya.
“Hmm … resiko punya istri
cantik. Ke mana-mana, jadi pusat perhatian banyak orang,” celetuk Yeriko.
“Kamu sadar nggak kalo
kamu juga begitu?”
“Eh!?” Yeriko langsung
menatap wajah Yuna.
“Lihat!” Yuna menunjuk
beberapa cewek dengan dagunya. “Kamu udah berhasil bikin mereka semua cemburu!”
ucapnya terkekeh geli.
Yeriko tersenyum sambil
mengecup pipi Yuna beberapa kali.
“Iih, jangan kayak anak
kecil! Malu tahu!”
“Malu kenapa? Aku ini kan
suami kamu.”
“Iya, iya.” Yuna
menepuk-nepuk pipi Yeriko.
Beberapa menit kemudian.
Mereka sudah duduk berdampingan di dalam theater dan menikmati film yang sedang
diputar.
Usai menonton film, mereka
kembali berjalan-jalan.
Yuna dan Yeriko duduk di
salah satu kursi tempat pengunjung beristirahat sambil bercanda ceria. Pasangan
serasi ini berhasil merebut perhatian seorang seniman lukis yang ada di tempat
itu.
“Ay, lihat!” Yuna menunjuk
hasil karya pelukis tersebut dari kejauhan. Ia langsung menarik lengan Yeriko,
mengajaknya menghampiri pelukis tersebut.
“Mas, ini lukisan kami
ya?” tanya Yuna tanpa basa-basi.
Pelukis itu mengangguk
sambil tersenyum. “Saya tertarik dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajah
kalian.”
Yuna tersenyum. Ia
mengeluarkan ponselnya. Memotret lukisan tersebut dan menggunakannya sebagai
wallpaper. “Bagus!”
Pelukis itu tersenyum. Ia
ikut senang melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Yuna.
Yeriko merogoh dompet dari
saku celananya. “Mas, ini kartu nama saya!” Ia menyodorkan kartu tersebut
kepada pelukis itu. “Saya beli lukisan ini. Kirim ke alamat itu ya! Berapapun
harganya, asisten saya akan mengurus pembayarannya.”
“Wah, terima kasih, Mas!”
seru pelukis tersebut sambil menyalami tangan Yeriko.
Yeriko mengangguk. Ia
merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya pulang ke rumah kakeknya.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment