Yeriko
tersenyum kecil sambil meletakkan ponsel di atas meja kerjanya. Gelak tawa
suara Jheni dan Yuna berhasil membakar hatinya. Memang benar, ia tidak pernah
mengajak Yuna berkencan bahkan melamarnya.
Yeriko
mondar-mandir belasan kali di depan meja kerjanya. Ia tidak tahu harus
melakukan apa untuk membuat Yuna merasakan keindahan hari kencan mereka dan
memberikan lamaran terbaik untuk Yuna.
“Kayaknya
lebih mudah ngambil alih perusahaan daripada nyusun jadwal kencan. Hmm ...”
Yeriko masih mondar-mandir di ruangannya.
“Kalau
kencan ngapain aja sih? Nonton film, jalan-jalan, belanja, cari makanan enak
... terus, aku ngelamar dia harus gimana?” Yeriko menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
Yeriko
membuka laptop yang ada di atas meja kerjanya. Ia mencari referensi di internet
agar lamarannya kali ini menjadi momen yang akan selalu mereka ingat seumur
hidup.
“Gimana
reaksi Yuna kalo aku ngelamar dia ya?” tanya Yeriko pada dirinya sendiri.
“Sudah pasti diterima. Bukannya dia sudah jadi istriku? Mana mungkin lamaranku
ditolak.”
Yeriko
sibuk memikirkan rencananya sendiri. Kemudian, ia menelepon Chandra agar ia
bisa memberikan kejutan yang tidak terlupakan untuk Yuna.
“Chan,
ke sini sekarang!” perintah Yeriko.
Tanpa
mendengarkan jawaban dari Chandra. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.
Beberapa
menit kemudian, Chandra sudah masuk ke dalam ruangan dan langsung menghampiri
Yeriko.
“Kenapa,
Yer?” tanya Chandra.
“Bantu
aku sebentar!” pintanya.
“Soal
akuisisi brand yang waktu itu ...”
“Aargh,
jangan ngomongin kerjaan dulu!” pinta Chandra.
Chandra
mengernyitkan dahi. Yeriko pria yang sangat disiplin dalam pekerjaan. Jika ada
hal lain yang dibahas selain pekerjaan di jam kerja, artinya ...
“Chan,
kamu pacaran sama Jheni kan?”
“Nggak
perlu aku jawab. Itu pertanyaan yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya.”
Yeriko
tertawa kecil menatap Chandra. “Ck, bantu
aku!”
“Iya,
ngapain? Aku mau meeting ini sama anak-anak.”
“Pending
dulu meetingnya. Ini lebih penting!” sahut Yeriko.
“Apaan?”
“Biasanya,
kalo kalian kencan, ke mana aja?”
Chandra
menahan tawa. “Kamu mau bikin jadwal kencan? Kencan sama siapa?”
“Sama
istriku.”
“Astaga!
Kalian udah nikah. Ngapain pacaran lagi? Enakan juga di kamar tiap malam.”
Yeriko
langsung melemparkan pena ke wajah Chandra. “Aku serius, Chan. Kamu pikir,
hubunganku sama dia sebatas temen tidur doang!?”
Chandra
tersenyum kecil. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. “Yer, nikah kan emang
buat nyari temen tidur.”
“Nggak
berguna banget ngomong sama kamu!” sahut Yeriko kesal.
“Hahaha.
Bentar, aku telepon Jheni.”
“Kamu
kan pacaran sama Jheni. Masa masih harus telepon dia lagi?”
“Cuma
Jheni yang bener-bener tahu kesukaannya Yuna. Emangnya kamu tahu dia sukanya
pergi ke mana?”
Yeriko
berpikir sejenak. Ia manggut-manggut dan melangkah menghampiri Chandra.
“Emangnya kesukaan Yuna sama Jheni beda?”
“Bisa
beda, bisa sama.”
“Ya
udah, cepet telepon Jheni!”
“Ini
lagi telepon, Yer.”
Yeriko
menunggu Jheni menjawab panggilan telepon dari Chandra. “Loudspeaker!”
perintahnya.
Chandra
mengikuti perintah Yeriko.
“Halo
...!” sapa Jheni dari seberang sana.
“Jhen,
kamu di mana?”
“Baru
nyampe rumah,” jawab Jheni. Terdengar suara Yuna di balik suaranya.
“Suara
siapa itu?”
“Yuna.”
“Oh.
Dia lagi di rumah kamu?”
“Iya.
Kenapa?
“Bisa
bantu aku?”
“Bantu
apa?”
“Katanya,
Yeriko mau ngajak Yuna kencan.”
“Hah!?
Serius?” tanya Jheni berbisik.
“Iya.
Kapan sih aku main-main?”
“Hmm,
terus?” Jheni langsung mengubah nada suaranya.
Chandra
menoleh ke arah Yeriko yang duduk di hadapannya.
“Aku
mau ngelamar dia. Bagusnya gimana?” tanya Yeriko tidak sabar.
Jheni
menahan tawa. Ia menoleh ke arah Yuna yang sedang duduk bersantai di sofa. Ia
tak menyangka kalau Yeriko akan memenuhi keinginan konyol Yuna itu. “Pria
harusnya lebih tahu gimana memperlakukan wanitanya.”
“Iya.
Dia paling suka apa?”
“Makan,”
jawab Jheni singkat.
Yeriko
sangat tidak puas dengan jawaban Jheni. Sepertinya, Jheni lebih berpihak kepada
istrinya.
“Aku
serius, Jhen,” sahut Yeriko.
“Aku
juga serius. Bentar, aku keluar dulu!”
Beberapa
saat kemudian, suara Jheni kembali terdengar.
“Yer,
kamu beneran mau ngelamar Yuna?” tanya Jheni berbisik sambil melirik Angga yang
menunggu Yuna di samping mobilnya.
“Beneran.”
“Hahaha.
Dari tadi si Yuna murung terus. Katanya, kamu terlalu cuek dan nggak mungkin
ngelamar dia secara resmi. Nggak nyangka, kamu gentleman juga ngadepin
kekonyolan dia,” tutur Jheni.
“Kira-kira,
dia suka lamaran yang gimana?” tanya Yeriko.
“Yer,
semua cewek suka lamaran yang romantis. Pangeran kayak kamu masa masih bingung
mau ngasih kejutan apa?”
“Aku
serahin ke kamu sama Chandra.”
“What!?”
“Aku
mau ngajak Yuna jalan-jalan dulu. Kalian atur tempatnya ya!” perintah Yeriko.
“Sekarang?”
“Iya.”
“Mendadak
banget, Yer?”
“Aku
nggak punya waktu buat main-main!” sahut Yeriko. “Jam delapan malam, semuanya
udah siap!”
“Oke.”
Jheni langsung memutus panggilan telepon dari Chandra.
Yeriko
tersenyum sambil menatap Chandra. Ia memainkan kedua alisnya.
“Iya.
Aku bantu!” tutur Chandra seolah mengerti maksud Yeriko tanpa Yeriko
mengatakannya.
Yeriko
tersenyum. “Kamu siapin cincinnya sekalian ya!”
“Bukannya
kamu lagi pesen cincin di Swiss?”
“Itu
cincin pernikahan!” sahut Yeriko kesal.
“Banyak
banget ngasih cincin. Aku khawatir, jarinya Yuna nggak muat nerima banyak
cincin.”
“Nggak
usah bercanda!” sahut Yeriko. “Aku nggak mau perhitungan buat istriku sendiri.
Ngomong-ngomong, kapan kamu mau ngelamar Jheni?”
Chandra
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bergegas keluar dari ruangan Yeriko.
“Aku siapin dulu semuanya. Waktu kami nggak terlalu banyak.”
“Hahaha.”
Yeriko tergelak sambil menatap punggung Chandra yang beranjak pergi. “Jangan
lama-lama, Chan! Keburu ada yang ngelamar dia duluan!” serunya sambil tertawa.
Yeriko
terus tersenyum. Ia meminta Riyan untuk membantu Chandra dan Lutfi. Kemudian
menelepon Angga agar tidak perlu menunggu Yuna karena dia yang akan
menjemputnya. Setelah memastikan semuanya mulai berjalan sesuai rencananya. Ia
bergegas melajukan mobilnya menuju rumah Jheni.
Sementara
itu ... di rumahnya, Jheni sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk pergi
bersama Chandra.
“Jhen,
kamu beneran mau tinggalin aku?” rengek Yuna. “Sekarang, pacar lebih penting
dari sahabat?”
“Nggak
usah rewel, Yun! Aku ada perlu penting banget bareng dia.”
Yuna
memonyongkan bibirnya sambil berpangku tangan.
“Yeriko
bentar lagi jemput kamu.”
“Ada
Angga di depan. Dia nggak mungkin jemput aku.”
“Angga
udah pulang.”
“Serius?”
“Lihat
aja!”
Yuna
langsung bergegas menuju pintu dan membukanya. Ia terpaku saat melihat Yeriko
sudah berdiri di depan pintu.
Yeriko
tersenyum. Namun, Yuna langsung berbalik sambil menyembunyikan wajahnya. Ia
masih sangat malu dengan apa yang diucapkan Jheni pada Yeriko lewat telepon.
“Kamu
kenapa?” tanya Yeriko sambil ikut melangkah masuk.
Jheni
tersenyum kecil melihat tingkah Yuna. “Dia masih malu gara-gara pengen dilamar,
tapi udah nikah duluan. Hahaha.”
Yeriko
tersenyum kecil. “Pulang, yuk!” ajaknya lembut.
Yuna
menggelengkan kepala.
“Aku
nggak mau pulang,” ucapnya berbohong.
“Kamu
mau di sini sendirian? Aku mau pergi, nih.” Jheni sudah bersiap untuk pergi.
Yuna
menatap Jheni kesal. “Penghianat!” makinya.
Yeriko
ikut tertawa kecil melihat tingkah Yuna. “Ayo pulang!” Ia langsung mengangkat
tubuh Yuna dan menggendongnya keluar dari rumah Jheni.
Pipi
Yuna menghangat. Ia tidak bisa menyembunyikan rona di wajahnya. Sebenarnya, ia
selalu bahagia dengan perlakuan Yeriko, apa pun itu.
Yeriko
tersenyum. Ia memasukkan tubuh Yuna ke dalam mobilnya. “Jadilah kucing yang
penurut!” pintanya sambil mengecup bibir Yuna.
Yeriko
ikut masuk ke mobil. Ia langsung mengajak Yuna jalan-jalan ke salah satu taman
kota terdekat.
(( Bersambung ... ))
Kira-kira, lamarannya bakal berhasil nggak
ya?
Baca bab selanjutnya ya...
Jangan lupa dukung terus cerita ini biar
nggak turun Rank ya. I Love you so much.
Much love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment