“Kamu nggak usah pikirin ancaman Bellina. Dia
nggak akan berani ngelakuin itu selama kita masih punya senjata untuk membuat
hidupnya makin kacau,” tutur Yeriko saat ia menangkap kegelisahan dalam hati
istrinya.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Aku harus balik ke kantor. Jhen, kamu ajak
istriku jalan-jalan!” pinta Yeriko sambil menatap Jheni.
“Siap, Bos!”
Yeriko tersenyum. Ia bergegas meninggalkan
Yuna dan Jheni.
Tak lama kemudian, Angga menghampiri Yuna dan
Jheni yang sedang berjalan beriringan di mall tersebut.
“Ngapain ke sini? Kamu nggak antar Yeriko ke
kantor?”
Angga menggelengkan kepala. “Mas Yeri sudah
dijemput sama Riyan.”
“Oh. Kalo gitu, tunggu aja di parkiran!”
perintah Yuna.
Angga menggelengkan kepala. “Mas Yeri nyuruh
saya jagain Mbak Yuna dan Mbak Jheni.”
Yuna menghela napas sambil memutar bola
matanya. “Yeriko over protective banget sekarang. Dia nyuruh orang buat jagain
aku terus.”
Jheni tertawa kecil. “Itu artinya, dia
perhatian sama kamu. Eh, bukan. Kayaknya, dia lebih perhatian sama anak yang di
dalam perut kamu. Hihihi.”
“Huft, sepertinya emang begitu.
Jangan-jangan, dia nikahin aku cuma buat ngasih keturunan. Bukan karena sayang
sama aku.”
“Hush, kamu kok ngomong gitu sih? Bukannya
Yeriko sudah ngelakuin banyak hal buat kamu?”
“Iya, sih. Tapi, kadang aku masih ragu sama
perasaannya dia. Dia itu terlalu perfect buat aku, Jhen. Apa
coba yang dia lihat dari aku? Bahkan, dia nikahin aku juga bukan karena kami
saling mencintai. Aku nggak tahu apa yang ada dalam hatinya sampai bisa
menikahi perempuan yang cuma dia kenal selama seminggu.” Yuna menyandarkan
kepalanya ke pundak Jheni.
“Kamu juga, kenapa mau nikah sama dia?”
“Awalnya cuma terpaksa demi Ayah. Tapi dia
udah bikin aku jatuh cinta beneran. Sedangkan aku sendiri masih bingung, apa
yang dia suka dari aku.”
“Yun, harusnya kamu bersyukur. Semua cewek di
dunia ini, pengen punya suami yang kaya, ganteng, penyayang dan bertanggung
jawab. Semua itu ada dalam diri suami kamu.”
Yuna menganggukkan kepala. “Aku memang
beruntung banget, Jhen. Mungkin, ini buah kesabaranku selama belasan tahun ini
hidup menderita di rumah Tante Melan.”
“Bener banget. Jadi, jangan pernah sia-siain
Yeriko yang sudah melakukan apa pun demi kamu.”
Yuna menganggukkan kepala. Matanya tiba-tiba
tertuju pada kerumunan orang yang ada di tempat itu. “Eh, di sana ada apa?”
tanya Yuna penasaran.
“Nggak tahu. Lihat, yuk!” ajak Jheni sambil
memeluk pergelangan tangan Yuna.
Yuna ikut tersenyum saat melihat seorang pria
sedang melamar kekasihnya di depan orang banyak. Setelah lamarannya diterima,
mereka saling berpelukan dan terlihat sangat bahagia. Semua orang merasakan
kebahagiaan itu, termasuk Yuna dan Jheni.
“Uuh ... sweet banget!” seru Jheni.
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali
melangkahkan kakinya bersama Jheni sambil melihat pemandangan di sekitar.
“Jhen, kira-kira si Chandra bakal ngelamar kamu dengan cara gimana ya?”
“Eh!?” Jheni melongo. “Aku nggak tahu, Yun.
Chandra itu kan pendiam banget. Aku bahkan nggak yakin kalo dia bisa bersikap
romantis.”
“Hahaha. Iya juga, sih. Sama aja kayak
Yeriko. Dia nggak pernah ngelamar aku secara resmi. Hmm ... aku ngebayangin dia
ngelamar aku sambil berlutut kayak pangeran di Negeri Dongeng. Sayangnya, semua
udah lewat. Nggak mungkin impianku bisa terwujud.”
(You still have all of my ... you still have all of my heart ...)
Yuna langsung merogoh ponselnya yang
berdering.
“Kamu masih pake nada deringnya Sleeping With
Sirens?” tanya Jheni.
Yuna mengangguk sambil menjawab teleponnya.
“Halo ...!”
“Siapa? Yeriko?” bisik Jheni.
Yuna menganggukkan kepala.
“Aku udah sampe kantor. Masih jalan-jalan
sama Jheni?” tanya Yeriko.
“Iya. Ini masih di mall.”
Jheni langsung merebut ponsel dari tangan
Yuna. “Yer, kapan kamu ngelamar Yuna secara resmi? Katanya, dia pengen dilamar
sama kamu,” seru Jheni sambil tertawa.
“Iih ... Jheni, apa-apaan sih? Jangan bikin
malu aku!” dengus Yuna sambil berusaha merebut ponselnya dari tangan Jheni.
Jheni terus tertawa sambil mempertahankan
ponsel di telinganya. “Sebelum nikah, kamu nggak pernah ngajak Yuna kencan.
Abis nikah juga belum pernah ngajak dia kencan. Yuna pengen pacaran sama kamu.
Terus dilamar ala-ala pangeran kerajaan gitu ... kamu payah, Yer!” seru Jheni
sambil tertawa menahan tangan Yuna yang berusaha merebut ponselnya.
Yuna memonyongkan bibirnya. “Jhen, kamu
jangan bikin malu aku!”
“Masih malu sama suami sendiri? Hahaha. Yer,
buruan gih lamar Yuna. Nikahin aja tapi nggak ngelamar!”
“Kamu seneng banget bongkar aib orang!”
dengus Yuna kesal.
Jheni menatap wajah Yuna. Ia mengulurkan
ponsel Yuna perlahan. Namun, ia tetap saja tidak bisa menahan tawa melihat
begitu payahnya pasangan ini.
Yuna merebut ponsel dari tangan Jheni. “Nggak
usah didengerin omongannya Jheni!” pinta Yuna. “Dia suka banget ngerjain
orang.”
“He-em. Aku kerja dulu!”
“Iya. Aku tutup teleponnya, bye!”
Yuna langsung berkacak pinggang sambil
menatap Jheni. “Kamu bikin aku malu banget!” serunya sambil memukul bahu Jheni.
Jheni tergelak. “Kenapa? Bagus kan kalo
Yeriko ngelamar kamu? Sebagai sahabat yang baik, aku harus bikin sahabatku ini
bahagia,” tutur Jheni sambil mencubit kedua pipi Yuna.
Yuna langsung melepas tangan Jheni dan
mengembungkan kedua pipinya. “Reaksinya dia biasa aja. Malah cuek kayak gitu.
Aku kan jadi malu, Jhen.”
“Seriusan dia cuek?” Jheni langsung
menghentikan tawanya.
Yuna mengangguk tak bersemangat.
“Uch ... cup-cup-cup! Jangan sedih ya!” tutur
Jheni sambil mengelus bahu Yuna. “Ntar aku kasih tahu dia biar beneran ngelamar
kamu dan jadi momen yang tidak terlupakan seumur hidup.”
“Aku udah nikah sama dia. Nggak mungkin dia
ngelakuin hal konyol kayak gitu. Tahu sendiri, dari zaman aku belum lahir ...
cowok itu perhatian dan romantis kalo waktu pacaran doang. Kalo udah nikah,
pasti cuek sama istrinya.”
“Emang Yeriko nyuekin kamu?”
Yuna menggelengkan kepala. “Enggak, sih.”
“Ya udah. Kamu jangan mikir negatif terus!”
“Aku gak mikir negatif. Si Yeriko itu kan
orangnya sibuk banget. Jadwal meetingnya dia aja padat banget. Mana sempat mau
mikirin kencan.”
“Ciye ... kamu ngepoin jadwal suami kamu?
Takut dia selingkuh?”
“Iih ... nggak gitu. Aku percaya sama dia.
Nggak ada salahnya kan kalo aku ngintipin jadwal dia. Siapa tahu aja dia
ngosongin jadwalnya buat ngajak aku jalan-jalan,” sahut Yuna sambil tersenyum.
“Hmm ... iya juga, sih. Emangnya Yeriko
beneran sesibuk itu?”
Yuna menganggukkan kepala. “Kemarin, aku
lihat agenda kerja dia sampai tiga bulan ke depan. Ada istirahat sih, tapi kalo
aku ngerengek ngajak dia jalan. Aku egois banget. Mending dia pake waktunya
buat istirahat. Secara, dia kerja keras setiap hari dan aku cuma
bersantai-santai setiap hari.”
Jheni menghela napas. “Kamu tuh udah jadi
istrinya dia. Masih aja nggak enakan kayak gitu.”
“Ya ampun, kalo kamu di posisi aku, apa kamu
tega lihat suami kamu kayak gitu? Setiap hari kerja keras nyariin uang buat
kamu. Terus, kamu nggak bisa ngapa-ngapain selain bikin dia repot setiap hari?”
Jheni memainkan bibirnya. “Bener juga, sih.”
“Bayangin aja kalo Chandra yang jadi suami
kamu dan ...”
“Beda. Kalo dia yang jadi suamiku, aku bakal
nyiksa dia setiap hari. Hahaha.”
“Iih, jahat banget sih kamu. Dia selingkuh,
baru kamu tahu rasa!”
“Eh, jangan! Aku cuma bercanda, Yun.”
“Yee ... takut juga!” sahut Yuna sambil
mencebik ke arah Jheni.
Jheni tertawa kecil. Mereka terus bercanda
sambil menikmati kebersamaan yang jarang mereka lalui karena kesibukan
masing-masing.
(( Bersambung ... ))
Kira-kira, Mr. Ye bakal ngelamar
Yuna atau nggak ya?

0 komentar:
Post a Comment