“Tumben ngajak aku jalan
ke taman malam-malam gini?” tanya Yuna sambil melangkahkan kakinya beriringan
dengan kaki Yeriko.
“Bukannya aku sering
ngajak kamu ke luar?”
Yuna meringis. “Kamu
protective banget semenjak aku hamil. Aku pikir, nggak akan pernah keluar lihat
bintang sampai anak ini lahir.”
Yeriko tersenyum kecil. Ia
menghentikan langkahnya dan menatap lekat wajah Yuna. “Aku nggak mau terjadi
apa-apa sama kamu dan anak kita. Makanya, aku mau … kamu tetep di rumah. Bukan
berarti kamu nggak boleh keluar sama sekali. Aku percaya, kamu juga akan
menjaga anak kita dengan baik.”
Yuna tersenyum sambil
menatap wajah Yeriko yang begitu memesona saat cahaya rembulan menimpa
wajahnya.
Yeriko tersenyum menatap
mata Yuna yang ikut tersenyum, memancarkan cahaya keindahan yang langsung
merasuk dalam hatinya tanpa ia sadari.
Tatapan Yuna langsung
beralih pada anak-anak yang sedang bermain di taman tersebut.
Yeriko langsung memeluk
tubuh Yuna. Ia takut kalau anak-anak yang berlarian bebas itu akan menabrak
istrinya.
“Mereka lucu banget,”
tutur Yuna sambil tersenyum.
“Anak kita juga pastinya
lebih lucu.”
“Kayak aku ‘kan?” sahut
Yuna sambil tersenyum lebar.
“Kayak ayahnya, dong!”
Yeriko tersenyum lebar.
“Oh ya, aku nggak pernah lihat foto kamu waktu kecil. Jadi penasaran.”
Yuna meringis. “Nggak usah
penasaran. Waktu kecil, aku jelek banget!”
“Oh ya? Jadi makin
penasaran. Kamu simpan di mana foto masa kecil kamu?”
“Ada, deh.”
“Mau main
rahasia-rahasiaan sama aku!?” dengus Yuna.
Yuna tersenyum kecil.
“Fotonya ada di rumah lamanya ayah. Sekarang, rumah itu udah jadi milik orang
lain. Kemungkinan, pemilik barunya sudah membuang semua barangku yang ada di
sana.”
“Nggak ada sisa satu pun?”
“Ada beberapa. Aku simpan
di …” Yuna menghentikan ucapannya dan menatap wajah Yeriko.
“Di mana?”
“Mmh …” Yuna menggenggam
kedua tangan Yeriko sambil menatapnya. “Aku kasih tahu kalo kita udah sampe
rumah. Tapi janji, jangan diolokin!”
“Aku jadi makin
penasaran.”
Yuna terkekeh. “Kamu tahu
kalau aku suka makan. Jadi, berat badanku waktu kecil … keluar dari garis
timbangan.”
“Hahaha.”
“Tuh kan, diketawain!”
dengus Yuna.
“Nggak, nggak. Aku nggak
ketawa,” sahut Yeriko sambil menahan tawanya.
Yuna memonyongkan
bibirnya.
Yeriko balik menggenggam
tangan Yuna. “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat, yuk!”
“Eh!? Ke mana?”
“Ke … mmh, kamu pasti
suka.” Yeriko menarik lengan Yuna perlahan dan mengajaknya menuju mobil. Ia
langsung melajukan mobilnya menuju gedung perkantoran miliknya.
“Ngapain ke sini
malam-malam gini?” tanya Yuna sambil mengedarkan pandangannya. “Kamu mau
lembur?”
Yeriko menganggukkan
kepala.
Yuna mengernyitkan dahi.
Bekerja di siang hari saja, Yeriko belum tentu mengajaknya ikut serta. Kenapa
Yeriko harus membawanya masuk ke perusahaan di malam hari seperti ini.
Yeriko tersenyum melihat
reaksi yang tersirat dari wajah Yuna. Ia membantu Yuna melepaskan safety
belt-nya. Ia langsung mengajak Yuna masuk ke kantornya.
“Kok, nggak ada karyawan
lain yang masuk lembur?” tanya Yuna melihat suasana kantor yang sangat sepi.
“Iya, aku cuma mau ambil
berkas yang ketinggalan.” Yeriko terus menggandeng Yuna menaiki lift.
“Tumben. Nggak nyuruh
Riyan?”
“Riyan udah aku kasih
kerjaan lain.”
“Kamu nggak kasihan sama
Riyan? Dia itu kerja siang malam. Nggak ada istirahatnya.”
“Aku udah bayar mahal.
Kalo dia nggak sanggup, tinggal resign aja.”
“Jahat banget sih!?”
“Aku nggak jahat, Yun.
Dunia kerja memang begitu. Nggak bisa kita maksain orang buat kerja sama kita
terus.”
“Tapi, anak buah kamu
kelihatannya cukup loyal.”
Yeriko tersenyum sambil
memainkan alisnya. “Aku selalu mengusahakan turn-over di perusahaanku berada di
bawah satu persen.”
“Hah!? Serius?”
Yeriko menganggukkan
kepala.
“Bukannya kamu terkenal
sebagai bos yang kejam?”
“Dalam dunia bisnis, aku
harus bisa jadi orang yang ditakuti.”
Yuna tersenyum. Ia tidak
tahu harus mengungkapkan kalimat apa yang cocok untuk mengagumi suaminya ini.
Ia terus melangkah mengikuti suaminya masuk ke dalam ruang kerja yang berada di
lantai paling atas.
Yeriko tersenyum sambil
mengambil sebuah map di atas mejanya. Ia melirik Yuna yang ada di sampingnya.
Yeriko meraih tangan Yuna dan mengajaknya segera keluar dari ruang kerjanya.
“Kok, ke sini?” tanya Yuna
saat mereka sampai di atap gedung.
“Aku pengen lihat suasana
malam di kota ini dari sini. Lihat!” tutur Yeriko sambil menatap pemandangan
kota di bawah mereka.
“Ternyata, kota ini sudah
seramai ini …!” seru Yuna.
Yeriko tersenyum. Ia
memeluk Yuna dari belakang sembari meletakkan dagunya di salah satu bahu Yuna.
“Waktu di Melbourne, apa
kehidupan kamu baik-baik aja?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Yah, walau harus belajar ekstra keras setiap hari. Tapi, aku merasa lebih
nyaman saat bisa keluar dari rumah Bellina.”
Yeriko menghela napas.
“Aku nggak bisa ngebayangin kamu selalu menjalani semuanya seorang diri. Mulai
sekarang, kamu harus menceritakan semua yang kamu rasakan. Semua
keinginan-keinginan kamu selama ini. Aku akan berusaha mewujudkannya.”
“Mmh …” Yuna memutar bola
matanya. Tangannya menyentuh pipi Yeriko dengan lembut.
Yeriko tersenyum kecil.
“Kamu tahu nggak ini malam apa?”
“Malam Kamis. Kenapa?”
tanya Yuna balik.
“Nggak papa. Aku cuma mau,
kamu selalu mengingat hari ini dan tempat ini. Gedung ini milik kamu
juga. Milik anak-anak kita kelak. Kalau suatu hari aku udah nggak ada, kamu
harus mengingat dan menjaganya dengan baik.”
“Kamu ngomong apa sih!?”
Yuna langsung berbalik dan menatap Yeriko dengan mata berkaca-kaca. “Jangan
pernah ngomong kayak gitu lagi!” pintanya. Ia tak bisa menahan air matanya
jatuh berderai.
Yeriko tersenyum. “Semua
orang akan merasakan kehilangan. Hanya soal waktu aja. Aku harap, bisa melewati
banyak hari bersamamu sampai tua nanti. Kalau memang aku yang duluan pergi,
kamu harus melepaskanku dengan senyuman.”
Yuna memukuli dada Yeriko
sambil menitikan air mata. “Aku nggak mau dengar!” serunya.
Yeriko tersenyum dan
merengkuh Yuna ke dalam pelukannya. “Kamu harus dengerin aku!” perintahnya.
Yuna balas memeluk Yeriko
erat, sangat erat. Ia tak ingin melepaskannya begitu saja. Ia sangat mencintai
Yeriko dan tidak ingin pria itu meninggalkannya.
“Udah, jangan sedih cuma
karena hal kayak gini. Aku punya sesuatu buat kamu.” Yeriko memutar tubuh Yuna
membelakangi dirinya.
DUAR!
DUAR!
DUAR!
Tiba-tiba banyak kembang
api bertebaran di hadapan mereka.
Yuna langsung tertawa
bahagia melihat kejutan kecil yang diberikan Yeriko. Ia tak menyangka kalau
suaminya itu bisa juga memberikan kejutan yang romantis.
“Ini hari apa sih? Bukan
valentine, bukan tahun baru, kenapa kamu …” Yuna membalikkan tubuhnya menghadap
Yeriko dan kembali tertegun. Lampu di tempat itu tiba-tiba menyala. Ia sendiri
bahkan tidak menyadari kalau atap gedung kantor Yeriko bisa disulap seperti
sebuah kafe.
Tirai hitam terbuka,
memperlihatkan meja makan, beberapa pelayan dan pemain musik.
“Ini …?” Yuna tak mampu
berkata-kata.
Yeriko tersenyum kecil.
“Aku siapin ini semua buat kamu.”
Yuna tersenyum lebar.
Ingin sekali ia melompat girang dan langsung memeluk Yeriko. Namun, niatnya itu
terhenti saat Yeriko tiba-tiba menjatuhkan salah satu lututnya ke lantai.
“Ayuna, aku adalah pria
terpayah di dunia ini. Menjadikanmu seorang istri tanpa mahar yang berarti.
Menjadikanmu ibu dari anak-anakku dan merebut semua masa mudamu. Aku melakukan
semua itu tanpa pernah bertanya … maukah kamu jadi satu-satunya wanita yang
menemaniku dalam suka dan duka hingga aku menghembuskan napas terakhirku?”
tanya Yeriko sembari menyodorkan sebuah cincin berlian ke hadapan Yuna.
Yuna menangis terharu.
Saking bahagianya, air matanya berderai seiring senyuman yang mengembang di
bibirnya.
Pikiran Yeriko kosong
sesaat ketika melihat air mata Yuna. Ia tidak tahu jika yang ia lakukan adalah
sebuah kesalahan dan membuat Yuna menangis. “Kenapa nangis?” tanyanya kemudian.
Yuna tertawa kecil sambil
mengusap air matanya. “Aku nangis karena terlalu bahagia.”
Yeriko tersenyum. Ia
menengadahkan satu telapak tangannya. Menunggu Yuna menyodorkan jemari
tangannya.
Yuna tersenyum bahagia
sembari menyodorkannya perlahan.
Yeriko memasangkan cicin
tersebut ke jari manis Yuna. Ia menatap cincin yang sudah melingkar dengan
manis di jari manis Yuna. Kini, ia mengerti bagaimana perasaan Yuna sekarang.
Saking bahagianya, ia juga ingin meneteskan air mata.
Yeriko mengelus jemari
tangan Yuna dengan ibu jarinya. Kemudian mencium punggung Yuna dengan lembut.
“Yuna … seharusnya, aku melakukan ini sebelum aku menikahimu. Maaf, aku terlalu
lancang. Memaksamu masuk menjadi bagian hidupku tanpa kompromi.”
Yuna tersenyum. Ia
mengangkat bahu Yeriko agar segera bangkit. Yuna menatap mata Yeriko penuh
cinta.
“Kenapa aku?” tanya Yuna.
Yeriko terdiam. Ia sendiri
tidak mengerti kenapa takdir begitu cepat mempermainkan perasaannya.
“Kenapa aku yang kamu
pilih sebagai istri? Bukannya ada banyak wanita yang jauh lebih cantik di luar
sana dan jauh lebih baik dari aku? Ada banyak wanita kaya dan pandai di luar
sana. Kenapa kamu …” Ucapan Yuna terhenti saat Yeriko menarik pinggang Yuna ke
pelukannya. Membuat wajah Yuna menghangat.
“Karena aku udah punya
semuanya,” jawab Yeriko sambil menatap wajah Yuna yang hanya berjarak sepuluh
senti dari hidungnya. “Aku udah punya tampang yang bagus, kekayaan dan nama
yang cukup disegani. Aku nggak perlu mencari apa yang sudah aku miliki. Aku hanya
perlu mencari satu orang yang membuat seluruh duniaku tiba-tiba berhenti. Dan orang itu kamu ...”
Yuna menggigit bibir
bawahnya sambil tersenyum lebar. Ia tak menyangka kalau Yeriko akan melamarnya
seperti ini. Hingga memindahkan restoran ke atap gedung kantornya dan terus
mengucapkan kalimat romantis yang tak bisa berhenti membuat hatinya melayang-layang.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment