Bellina tersenyum saat menerima pesan dari
Yuna. Ia membayangkan sosok Yeriko yang tampan, tegas dan penyayang. Sangat
berbeda dengan suaminya, Wilian. Baginya, Wilian hanya sebuah cangkang yang
tidak ada isinya. Wilian sangat penurut kepada orang tuanya. Juga selalu sibuk
memikirkan wanita lain dalam pernikahan mereka.
“Ada apa?” tanya Lian saat mendapati Bellina
senyum-senyum sendiri.
“Eh, nggak papa.”
Lian menghela napas sejenak sambil menatap
wajah Bellina. Akhir-akhir ini, istrinya terlihat sangat aneh. Terkadang
murung, kadang gelisah dan juga senyum-senyum sendiri.
“Bel, gimana kalau kita ke psikiater?”
“Apa!? Kamu pikir aku gila!”
“Yang pergi ke psikiater, nggak semua orang
gila. Kalo aku ngebiarin kamu kayak gini terus. Lama-lama kamu beneran gila!”
“Kalo aku beneran gila, semuanya gara-gara
kamu dan mantan pacar kamu itu,” sahut Bellina.
Lian mengerutkan dahi mendengar ucapan
Bellina. “Kamu nggak bisa berhenti gangguin Yuna? Semua hal yang terjadi sama
kamu, semua kamu tumpahkan ke Yuna. Selama ini, dia selalu bersikap baik sama
kamu.”
“Oh. Kamu masih belain dia terus? Masih cinta
sama dia?”
Lian terdiam. Ia tidak ingin sikap Bellina
justru membuat Yuna terluka. “Aku ini suami kamu. Kita udah nikah. Kamu masih
nggak percaya sama aku?”
“Gimana aku percaya sama kamu kalo kamu masih
aja belain si Yuna yang kecentilan itu!” seru Bellina.
“Aku belain siapa yang pantas buat dibela,
Bel. Kalau kamu kayak gini terus, aku makin muak sama kamu.”
“Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku? Punya
suami yang nggak pernah peduli sama istri. Malah sibuk mikirin istri orang
lain!” Bellina langsung meraih tas tangannya dan bergegas keluar dari kamar.
Lian terduduk lemas di tepi ranjang. Bellina
dan Yuna masih kakak beradik, tapi mereka memiliki sifat yang jauh berbeda.
Andai yang saat ini menjadi istrinya adalah Yuna, mungkin semua akan berbeda.
Ia sangat jelas mengingat bagaimana Yuna begitu lembut memperlakukannya. Wajah
cerianya, membuat semua masalah yang ia hadapi menjadi ringan.
Sementara itu, Bellina sangat antusias karena
dirinya akan bertemu dengan Yeriko. Ia pergi ke salah satu salon langganannya
untuk membuat penampilannya jauh lebih menarik saat bertemu dengan Yuna.
Yeriko, pasti selalu mendampingi Yuna ke mana pun. Ia yakin, penampilannya akan
jauh lebih menarik dan membuat Yeriko melihatnya.
Usai merias dirinya, Bellina langsung menuju
ke Starbucks. Tempat Yuna mengajaknya bertemu siang itu. Ia langsung
menghampiri Yuna dan Yeriko yang terlihat sangat mesra.
“Siang ...!” sapa Bellina sambil menatap
Yeriko dengan mata berbinar.
Yeriko menahan tawa menghadapi tatapan
Bellina yang begitu menjijikkan di matanya. “Kamu urus dia hari ini,” bisik
Yeriko di telinga Yuna.
Yuna mengangguk kecil.
Yeriko bangkit dari tempat duduk.
“Loh? Mau ke mana?” tanya Bellina penuh
percaya diri. “Nggak ikut makan bareng kita?”
Yuna menaikkan sebelah bibirnya. “Sumpah, aku
mual lihat muka Bellina kali ini,” batinnya.
“Kalian ngobrol aja berdua. Aku mau ngerokok
di sana.” Yeriko tersenyum kecil dan bergegas menuju ruangan khusus untuk
pelanggan yang perokok.
Yuna tersenyum sambil menatap menganggukkan
kepala. Matanya melirik Bellina yang terus melihat suaminya seperti ingin
memangsanya begitu saja.
Bellina kini sangat mengagumi sosok Yeriko.
Ia ingin sekali menjadi seperti Yuna. Semua yang dimiliki Yuna kali ini,
membuat rasa iri dan dengki dalam hatinya semakin memuncak. Keinginannya untuk
merebut semua yang dimiliki Yuna semakin besar.
“Ehem ...!” Yuna berdehem dan langsung
membuyarkan lamunan Bellina.
Bellina gelagapan dan berusaha menyembunyikan
raut wajahnya.
“Kamu udah mulai perhatiin suami orang. Lian
udah nggak menarik buat kamu?” tanya Yuna tanpa basa-basi.
Bellina berusaha menyembunyikan perasaannya.
Ia tak menyangka kalau Yuna mengetahui dengan jelas apa yang ada di dalam
hatinya.
Yuna tersenyum menatap Bellina. Ia sama
sekali tidak marah, justru iba dengan nasib kakak sepupunya itu.
“Ngajak aku ketemu buat apa?” tanya Bellina.
Ia sedikit kecewa karena Yeriko tidak duduk satu meja dengannya. Justru
mengamati mereka dari kejauhan.
Belum sampai Yuna berbicara, tiba-tiba saja
ponselnya berdering. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari sahabatnya
itu.
“Halo, Jhen!” sapa Yuna. “Kangen ya sama
aku?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Ia bersikap sangat manis dan berhasil
membuat wajah Bellina semakin muram.
“Kangen banget!” sahut Jheni. “Kamu lagi di
mana?”
“Aku di Starbuck bareng Bellina.”
“What!? Kamu makan siang bareng dia?”
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
“Kamu hati-hati sama dia, Yun. Bahaya banget
deket-deket sama Mak Lampir itu!”
“Hihihi. Nggak papa, Jhen. Kamu kelewat
perhatian sama aku. Semua bakal baik-baik aja,” tutur Yuna sambil melirik ke
arah Bellina. Ia sengaja membuat Bellina merasa cemburu.
Benar saja, Bellina langsung kesal karena
semua orang sangat perhatian kepada Yuna.
“Aku nyusul kamu ke sana sekarang juga.” Nada
suara Jheni terdengar sangat khawatir. Ia langsung mematikan panggilan
teleponnya.
Yuna tersenyum begitu panggilan telepon dari
Jheni mati. Matanya tertuju ke arah Bellina yang menahan kekesalan. Ia langsung
tersenyum dan menatap Bellina.
“Bel, aku punya hadiah kecil buat kamu,”
tutur Yuna sambil tersenyum. Ia menyodorkan ponselnya ke hadapan Bellina dan
menyalakan rekaman hasil perbuatan Bellina beberapa hari yang lalu.
Bellina hanya tersenyum sinis dan terlihat
sangat tenang. “Aku tahu, kamu pasti bayar orang buat bikin rekaman palsu itu.”
Yuna tertawa kecil. “Oh ya? Gimana dengan ini?” tanya
Yuna sambil menyodorkan layar ponselnya ke hadapan Bellina, terpampang jelas
rekaman video saat ia sedang melakukan penganiayaan terhadap dokter Heru.
Bellina langsung membelalakkan matanya. Ia
berusaha merebut ponsel dari tangan Yuna.
Yuna tersenyum santai sambil menarik
lengannya menjauh dari tangan Bellina. “Rekaman ini masih banyak salinannya.
Aku dikirimin sama Yeriko. Artinya, dia juga punya rekaman ini.”
Bellina mulai gelisah. Ia tidak ingin
mengakui perbuatannya. Namun, semua rekaman yang ada di sana membuat dirinya
tidak berdaya.
Yuna tersenyum melihat Bellina ketakutan.
“Bel, aku masih menganggap kamu sebagai keluargaku. Selama kamu masih bersikap
baik dan nggak macem-macem lagi sama aku, aku bakal jaga rahasia ini.”
Bellina menitikan air mata menatap Yuna.
“Yun, aku bener-bener khilaf. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin. Aku
kehilangan anak aku. Kamu nggak tahu gimana rasanya kehilangan anak sendiri.
Dokter itu selalu bilang kalau ini semua salahku. Aku nggak mungkin mencelakai
anakku sendiri. Sekarang, nggak ada yang peduli lagi sama aku. Bahkan, suami
dan mama mertuaku nggak lihat aku lagi semenjak aku kehilangan bayiku,” tutur
Bellina sambil terisak.
“Hapus air mata buayamu itu, Bel!” pinta
Yuna. “Kamu nggak akan mempan bersandiwara di depanku.”
Bellina langsung menghentikan tangisannya. Ia
tidak tahu lagi harus melakukan apa. Apa pun yang ia buat, Yuna sudah bisa
membacanya dengan baik.
“Oke. Aku nggak akan cari gara-gara lagi sama
kamu.” Bellina pasrah. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menyetujui
permintaan Yuna.
Yuna tersenyum. Ia bangkit dari tempat
duduknya. “Bagus. Sebaiknya, kamu jangan pernah muncul di hadapan aku lagi!” Ia
berbalik dan pergi meninggalkan Bellina.
Meski sudah mengatakan kalau ia tidak ingin
mengganggu Yuna lagi, tapi kebencian di hati Bellina semakin bertambah. Ia
benar-benar tidak terima karena Yuna telah hidup dengan kebahagiaan. Ia ikut
bangkit dari tempat duduk dan ingin mendorong Yuna.
Yuna langsung berbalik dan menatap Bellina
penuh kebencian. “Kalau kamu masih mau hidup dengan tenang dan bahagia,
berhenti ganggu hidupku!” sentak Yuna. “Lebih baik, kamu fokus urus keluarga
kamu itu sebelum kami menghancurkan keluarga kalian,” lanjutnya sambil menatap
Yeriko yang sudah berdiri di belakang Bellina untuk menjaganya.
Di saat yang bersamaan, Jheni muncul dan
melihat niat jahat Bellina terhadap Yuna. “Kamu nggak papa, Yun?” tanyanya.
“Nggak papa, Jhen.”
Jheni menatap Bellina penuh kebencian.
Sementara Yeriko tersenyum melihat kehadiran Jheni dan bersiap menikmati
pertunjukkan selanjutnya. Ia melangkah menghampiri Yuna dan merangkulnya dengan
mesra.
“Heh, kamu nggak punya otak ya!” sentak Jheni
sambil mendorong tubuh Bellina. “Kamu udah gila! Di tempat seramai ini, kamu
mau nyelakain Yuna. Udah nggak punya hati nurani nih orang. Mau nginap di
penjara selamanya?”
“Kamu nggak usah ikut campur!” seru Bellina. Matanya dipenuhi
kebencian terhadap Yuna.
“Sebelum kamu berhadapan sama Yuna, kamu
hadapi aku dulu!” Jheni menyodorkan tubuhnya penuh keberanian.
Bellina mundur beberapa langkah sambil
menatap Yeriko yang begitu dingin. Ia langsung tertawa tanpa sebab.
Jheni mengernyitkan dahi melihat tingkah
Bellina. “Gila nih orang!” celetuknya.
“Hahaha. Aku cuma mau ngirim anaknya Yuna
buat nemenin anakku di kuburan,” tutur Bellina sambil tertawa.
Yuna melihat Bellina benar-benar depresi. Ia
sangat kasihan melihat keadaannya yang seperti itu.
“Gila beneran nih orang,” gumam Jheni sambil
menatap Bellina yang merosot ke lantai sambil terus tertawa.
Yeriko tersenyum kecil melihat tingkah
Bellina. Ini belum seberapa, ia harap Bellina bisa sadar dengan sendirinya
kalau memang dia telah bersalah.
Yeriko mengajak Yuna dan Jheni meninggalkan
Bellina yang terlihat sangat menyedihkan.
(( Bersambung ... ))
Ini baru permulaan, bikin Bellina menderita
secara perlahan. Dia harus menderita sampai akhir ... hahaha.

0 komentar:
Post a Comment