Setiap hari, Yuna menghabiskan waktunya di
dalam rumah saat Yeriko tidak ada. Ia terus bersantai, bermain ponsel atau
menonton televisi.
“Nyonya, ini cemilan untuk Nyonya!” Rini
membawakan piring berisi potongan buah dan beberapa kudapan sehat.
“Makasih!” Yuna tersenyum manis. “Taruh di atas
meja aja, Mbak!” perintah Yuna sambil terus mengganti channel televisi yang add
di hadapannya.
“Nyonya, saya pijitin ya!” Sari langsung
menghampiri Yuna.
“Eh!? Nggak usah!” Yuna langsung menarik
kakinya begitu pelayan itu ingin memijatnya.
“Nyonya, hari ini aku belum melakukan apa-apa
di rumah ini. Rini sudah bantu Chef Rafa di dapur. Inah bantu Bibi War
beres-beres. Sri udah sibuk di belakang nyuci dan nyetrika pakaian. Terus, Sari
ngapain dong?”
Yuna tertawa kecil. Ia tak menyangka kalau
pelayan keluarga Hadikusuma semuanya rajin. Mereka tidak suka bersantai-santai
di dalam rumah.
“Duduk sini!” perintah Yuna sambil menepuk sofa
di sisinya. “Temenin aku nonton!”
“Hah!?” Sari melongo. Ia tidak berani duduk
bersama majikannya itu. “Sari duduk di sini aja.” Ia langsung duduk di sebelah
kaki Yuna.
Yuna tersenyum. “Kamu sudah berapa lama kerja
di keluarga Hadikusuma?” tanya Yuna sambil memainkan remote televisi di
tangannya.
“Baru setahun, Nyonya.”
“Mmh ... aku nggak suka dipanggil Nyonya.
Panggil nama aja gimana?”
“Nggak berani, Nyonya. Kalau Nyonya Besar tahu,
saya bisa dipecat.”
Yuna terdiam sejenak. “Aku rasa, Mama Rully
nggak sejahat itu.”
“Iya, Nyonya. Nyonya Besar sangat baik. Kami
tidak ada yang berani lancang sebagai pelayan. Kata Bibi War, satu saja pelayan
yang berani lancang sama majikan, itu akan membuat kekacauan di keluarga ini
dan akan diberhentikan.”
“Tapi, Bibi War nggak manggil aku Nyonya.
Kenapa yang lain harus manggil aku Nyonya Muda?”
“Nyonya, kami boleh manggil yang lain, tapi
tidak boleh lancang manggil nama.”
“Oh, gitu? Ya udah, panggil Mbak Yuna aja bisa
kan? Kayak Bibi War.”
Sari menganggukkan kepala.
“Oh ya, umur kamu berapa?” tanya Yuna melihat
Sari yang begitu muda.
“Dua puluh lima, Mbak.”
“Udah nikah?”
Sari menganggukkan kepala. “Saya sudah punya
anak satu di kampung.”
“Oh ya? Anak kamu umur berapa?”
“Sudah lima tahun.”
“Wah, pasti lagi lucu-lucunya. Kapan-kapan,
ajak dia ke sini ya!” pinta Yuna.
“Jauh, Mbak.”
“Kamu nggak kangen sama anak kamu?”
“Kangen, Mbak. Setiap dua minggu sekali, Nyonya
Besar kasih saya cuti, pulang lihat anak dan keluarga.”
“Oh.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala. “Eh,
kamu suka nonton televisi nggak?”
“Kadang-kadang, Mbak.”
“Yang bagus acara apa, ya? Aku bosan nonton
sinetron, gosip, berita ...” Yuna menghentikan tangannya menekan tombol remote.
Ia melihat berita tentang seorang dokter yang ditemukan di desa terpencil dalam
keadaan gila.
“Hah!? Dokter bisa gila?” Sari ikut memberikan
komentarnya.
“Bisa jadi. Setiap orang punya masalah. Bahkan
presiden sekalipun, kalau nggak kuat menghadapi masalah hidup. Bisa aja gila.”
“Oh, begitu tho?” Sari manggut-manggut tanda
mengerti.
“Eh, bentar-bentar ...” Yuna mengamati wajah
dokter tersebut dengan seksama.
“Kenapa, Mbak?”
“Ini dokter kayak nggak asing,” jawab Yuna
tanpa mengalihkan pandangannya pada layar televisi.
Sari tidak berani memberikan banyak argumen
karena ada banyak hal yang tidak ia ketahui.
“Nah, bener dugaanku!” seru Yuna setelah ia
mencari tahu profil dokter tersebut di internet. “Ini dokter yang ngoperasi
Bellina.” Ia mengetuk-ngetuk dagunya.
Isi kepala Yuna tiba-tiba dipenuhi banyak
pertanyaan tentang dokter tersebut dan hubungannya dengan Bellina. Ia berjalan
mondar-mandir di ruang tamu sambil menunggu suaminya pulang untuk menanyakan
masalah ini.
Sari terus mengikuti langkah Yuna yang sudah
mondar-mandir selama belasan kali.
BUG!!!
Yuna langsung menghentikan langkahnya saat ia
bertabrakan dengan Sari. “Aduh, Sari! Kamu nggak usah ikutin aku terus!” seru
Yuna kesal.
Sari hanya terdiam sambil menundukkan kepala.
Yuna mengerutkan hidung sambil melipat kedua
tangan di dadanya. Ia kembali duduk di sofa sambil melirik Sari yang masih
berdiri di sebelahnya. “Kamu bantu Bibi War aja di dapur!” perintah Yuna.
“Tapi ...”
“Nggak ada tapi-tapian. Aku masih di dalam
rumah ini. Nggak ke mana-mana. Nggak perlu dijagain, Sari!”
Sari mengangguk. Ia segera melangkahkan kakinya
menuju dapur.
“Iih ... nggak enak banget, sih. Apa-apa harus
dijagain. Aku udah kayak anak bayi yang dirawat sama empat baby sitter. Eh,
bukan empat. Lima! Enam! Delapan ... Aargh ...!” Yuna menghentak-hentakkan
kakinya di lantai sambil menyandarkan kepala ke bahu sofa.
Yuna menghentikkan rengekkannya saat mendengar
suara mobil masuk ke halaman rumahnya. Ia langsung bangkit dan tersenyum
bahagia melihat mobil Yeriko. Buru-buru, ia melangkahkan kakinya ke luar rumah
dan menghampiri Yeriko.
Yeriko langsung membentangkan kedua tangannya
begitu melihat Yuna menghampirinya.
Yuna tertawa bahagia dan langsung memeluk tubuh
Yeriko.
“Kangen?” tanya Yeriko sambil mengecup ujung
kepala Yuna.
Yuna menganggukkan kepala. “Banget,” sahutnya
sambil menengadahkan kepalanya menatap Yeriko.
Yeriko tersenyum, ia mengecup bibir mungil Yuna
dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Riyan tersenyum sambil mengikuti langkah bosnya
masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju ruang kerja Yeriko seperti biasanya.
Sementara, Yeriko dan Yuna langsung masuk ke kamar mereka.
“Hari ini nggak keluar?” tanya Yeriko sambil
melepas jasnya.
Yuna menggelengkan kepala. Ia membantu Yeriko
melepas kancing kemejanya.
“Oh ya, aku punya hadiah buat kamu.”
“Hadiah apa?”
Yeriko merogoh ponsel di saku celananya. Ia
menyalakan ponsel tersebut dan mengirimkan sesuatu untuk Yuna. “Udah aku
kirim.”
“Apa sih? Sms banking?” tanya Yuna sambil
tertawa kecil. Ia melangkah menuju meja kecil yang ada di samping tempat tidur
dan meraih ponsel di atasnya.
“Hmm ... istriku udah mulai mata duitan?”
Yuna tertawa kecil. “Dari dulu aku mata duitan.
Kalo nggak, aku nggak bakal cari kerja. Sekarang, aku nggak punya gaji. Cuma
mengandalkan uang suamiku aja.”
Yeriko tersenyum kecil. Ia melangkah mendekati
Yuna dan memeluknya dari belakang. “Aku kerja buat kamu, buat dia juga.” Ia
mengelus lembut perut Yuna. “Jadi, jangan sungkan buat ngabisin uang yang aku
kasih!” bisik Yeriko sambil mengayun-ayunkan tubuhnya.
Yuna tersenyum bahagia mendengar ucapan Yeriko.
Ia kini mulai menikmati hidupnya bersama Yeriko. Setiap hari, bermanja-manja
dengan suami tercintanya itu. Ia membuka pesan yang dikirimkan Yeriko.
“Ini apa?” tanya Yuna.
“Buka!” pinta Yeriko berbisik.
Yuna langsung membuka mulut dan matanya
lebar-lebar begitu mendengarkan rekaman yang dikirim Yeriko. “Ini serius?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Aku nggak nyangka kalau Bellina memang ada
hubungannya sama dokter Heru.”
Yeriko tersenyum. Ia sudah merencanakan dan
mengendalikan semuanya dengan baik. “Besok, kamu temui Bellina!” pinta Yeriko.
“Eh!? Buat apa?”
“Kamu tunjukkin rekaman itu ke dia.”
“Maksud kamu?”
“Ikuti aja kata-kataku, nggak usah banyak
tanya!” pinta Yeriko.
“Kamu mau laporin dia ke polisi?”
Yeriko tersenyum kecil. “Ada hal yang lebih
menyenangkan lagi daripada ngelaporin dia ke polisi.”
“Oh ya? Apa itu?”
“Aku kasih tahu kamu kalau kamu udah serahin
rekaman itu ke Bellina.”
“He-em. Terus?”
“Apanya yang terus?”
“Abis itu, aku harus gimana lagi?”
“Setelahnya, aku yang urus!”
“Nggak membahayakan dia, kan?”
“Semua tergantung dia sendiri.”
“Maksud kamu? Mau bikin Bellina depresi kayak
Amara?”
Yeriko tersenyum kecil.
“Aku nggak setuju kalau kamu sampai bikin dia
kayak gitu. Aku tahu kalau Bellina jahat sama aku. Aku nggak pernah balas dia
bukan karena aku nggak bisa atau aku ngerasa berhutang budi sama keluarganya
dia. Tapi, karena aku masih menganggap mereka keluargaku. Biar gimana pun,
Bellina sama aku masih ada hubungan darah. Aku ...” Yuna menghentikan ucapannya
saat Yeriko tiba-tiba mencium bibirnya.
“Kenapa tiba-tiba nyium aku?”
“Cuma ini cara yang paling ampuh buat nyumbat
mulut kamu yang kebanyakan ngomong,” jawab Yeriko sambil tersenyum.
Yuna tersenyum kecil. “Kamu bener-bener nggak
suka kalo aku cerewet?”
“Suka.”
“Kenapa aku lagi ngomong panjang lebar malah
kamu sumbat?”
Yeriko tersenyum kecil. “Lebih suka kamu diam
dan melayani aku dengan baik.”
“Bukannya kita masih belum boleh ...?”
“Aku tahu. Aku cuma mau kayak gini.” Yeriko
mengeratkan pelukannya.
Yuna tersenyum sambil mengusap pipi Yeriko. Ia
merasa mendapatkan keberuntungan bertubi-tubi semenjak ia menikah dengan
Yeriko. Kini, ia tidak menghadapi masalahnya sendiri. Ada Yeriko yang selalu
membuatnya bahagia, tenang dan nyaman. Membuatnya lupa bahwa selama ini ia
tenggelam dalam penderitaan.
“Setiap masalah, mengajarkan aku untuk menjadi
lebih kuat lagi, lebih dewasa lagi. Tapi, kehadiranmu membuat aku selalu ingin
dimanja,” batin Yuna dalam hati.
Yeriko tak kalah bahagia mendapatkan istri yang
begitu baik, sederhana dan selalu menghadapi masalah dengan keberanian.
Baginya, tidak ada yang bisa membuatnya lebih bahagia lagi selain memeluknya
erat-erat.
(( Bersambung ))
Semoga bahagia terus Mr. & Ms. Ye
Bisa melewati ujian rumah tangga dan semakin kuat cintanya. Selalu jadi
Hero untuk Yuna.

0 komentar:
Post a Comment