Yeriko mengajak Yuna untuk makan malam di private room, di
salah satu restoran favorite mereka. Yeriko memilih menu yang sudah
direkomendasikan oleh Nanda. Ahli Gizi yang selalu menyusun menu untuk Yuna
setiap harinya.
“Kamu ajak aku makan di luar, emangnya udah bisa makan
daging?” tanya Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala. “Nggak harus makan daging,
kan?”
Yuna tersenyum kecil. “Makasih ya!”
“Makasih untuk apa?”
“Udah ajak aku ke luar,” jawab Yuna sambil tersenyum.
Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Kamu udah mulai bosan di
rumah?”
Yuna menggelengkan kepala. “Sekarang ada banyak orang di
rumah. Harusnya aku nggak bosan.”
“Harusnya?” Yeriko mengernyitkan dahi. Ia bisa memahami
kalau istrinya cukup tertekan berada di dalam rumah seorang diri.
Yuna memainkan sendok sambil menundukkan kepala. “Ada
banyak pelayan di rumah. Tapi, mereka nggak bisa diajak ngobrol. Semuanya kaku
kayak robot!” keluh Yuna kesal.
Yeriko tertawa kecil. “Kamu boleh jalan-jalan setelah
dokter mengizinkan kamu beraktifitas di luar. Dan nggak boleh pergi sendirian!”
pinta Yeriko.
Yuna mengangguk. Ia tidak ingin membantah perintah suaminya
kali ini. Ia juga ingjn menjaga bayi yang ada di dalam perutnya dengan baik.
Tidak boleh sampai tersakiti karena dirinya yang sering ceroboh.
“Oh ya, tadi siang Bellina telepon aku.”
“Terus?” tanya Yeriko sambil menyuap potongan buah ke
mulutnya.
“Cuma marah-marah nggak jelas. Aku rasa, dia makin gila.”
Yeriko tertawa kecil menanggapi ucapan Yuna.
Yuna menatap tajam ke arah Yeriko. “Kamu ngerencanain
sesuatu ke Bellina?”
Yeriko menggelengkan kepala. Ia tidak ingin Yuna mengetahui
semua rencananya dan membuat istrinya itu banyak berpikir. Baginya, kondisi
kesehatan mental Yuna jauh lebih penting.
“Aku ke toilet dulu, kamu jangan ke mana-mana sebelum aku
balik!” Yeriko bangkit dari kursinya.
Yuna mengangguk. Ia merogoh ponsel dari dalam tasnya dan
mengirim pesan kepada Jheni. Ia memotret meja makan dan memamerkan kemesraannya
pada Jheni. Ia terus tertawa sambil berbalas pesan dengan Jheni.
Di sudut ruangan lain, Bellina dan Mega yang hatinya
sama-sama kacau, pergi makan malam bersama. Mereka melihat Yuna dari balik kaca
private room di restoran tersebut.
Bellina sangat cemburu melihat Yuna selalu berada di tempat
yang istimewa. Ia mengajak Mega untuk menghampiri Yuna yang sedang duduk
seorang diri.
“Hai, Yun ...!” sapa Bellina sambil tersenyum ke arah Yuna.
Yuna hanya tersenyum kecil menanggapi sapaan Bellina.
“Sendirian aja?” tanya Bellina.
“Aku nggak pernah pergi sendirian. Suamiku selalu nemenin
aku,” jawab Yuna santai.
“Suami kamu itu bukannya pengusaha besar? Kenapa masih
punya banyak waktu buat santai-santai?” tanya Mega.
“Justru karena dia pengusaha besar, jadi waktu santainya
jauh lebih banyak. Pegawai dia banyak. Buat apa si Bos ikut sibuk,” sahut Yuna
sambil memainkan ponselnya.
Sikap Yuna yang terlihat begitu santai membuat Mega naik
pitam. Sebagai orang yang lebih tua, keberadaannya tidak dihargai sedikit pun
oleh Yuna.
“Yuna, kamu bener-bener nggak bisa menghargai orang yang
lebih tua? Saya lagi ngomong sama kamu. Kamu malah sibuk main hape sendiri!”
sentak Mega.
Yuna menarik napas perlahan. Ia meletakkan ponsel di atas
meja dan menengadahkan kepala, menatap Mega dan Bellina yang berdiri di
sampingnya. Yuna tersenyum sambil menopang pipi dengan punggung tangannya.
“Tante, mau ngomong apa?” tanya Yuna sambil tersenyum
manis.
Senyuman Yuna sama sekali tidak membuat Mega bahagia. Ia
merasa kalau Yuna sangat meremehkan dan merendahkan harga dirinya.
“Kamu sudah melakukan kesalahan besar pada keluarga kami
dan masih aja pura-pura nggak terjadi apa-apa? Bahkan niat buat minta maaf pun
nggak ada!” sentak Mega.
Yuna tersenyum kecil. “Aku nggak akan pernah mengakui
kesalahan yang nggak pernah aku buat. Apalagi harus minta maaf. Kalo aku minta
maaf, artinya aku mengakui kesalahan yang dia buat!” sahut Yuna sambil bangkit
dan menunjuk wajah Bellina.
Bellina gelagapan saat tangan Yuna tiba-tiba menunjuk
wajahnya. Ia langsung menepis tangan Yuna. “Jangan sembarangan kalo ngomong!”
Yuna tertawa kecil. “Kamu masih nggak mau ngakuin kesalahan
kamu sendiri. Kamu pikir aku takut? Kenapa sampe sekarang nggak laporin aku ke
polisi? Kamu takut ketahuan kalo kamu sendiri yang salah?”
“Aku nggak laporin kamu ke polisi karena aku kasihan sama
kamu. Lagi hamil dan harus jadi narapidana,” sahut Bellina tak mau kalah.
“Bilang aja kalo kamu takut ketahuan sama keluarga Lian,
sifat kamu yang sebenarnya kayak apa. Kamu bisa pura-pura di depan orang lain,
tapi nggak bisa di depanku, Bel. Aku sudah tahu sifat asli kamu selama
bertahun-tahun.”
“Aku juga udah tahu sifat asli kamu dari dulu. Kamu yang
selalu iri sama aku karena aku bisa hidup lebih baik dari kamu ‘kan?”
Yuna langsung tertawa mendengar lelucon yang keluar dari
mulut Bellina. “Kamu belum periksa ke psikiater? Aku saranin, kamu periksa ke
psikiater sana! Sakit jiwa ini orang. Kalo nggak punya duit, aku bisa kasih
kamu duit.”
Ucapan Yuna benar-benar membuat Bellina naik pitam. Ia
langsung maju untuk menyerang Yuna. Namun, tangannya tiba-tiba ditahan oleh
Yeriko.
Yeriko langsung menarik tubuh Bellina dan menghempaskannya
ke lantai begitu saja.
“Aw ...!” Bellina merintih saat tubuhnya terjerembab ke
lantai. “Kamu berani kasar sama perempuan?” seru Bellina.
Yeriko tersenyum sinis. “Aku nggak akan biarin kamu nyentuh
istriku!” tegas Yeriko.
“Kamu bener-bener laki-laki nggak berperasaan!” sentak
Mega. “Bisa-bisanya kamu memperlakukan Bellina seperti ini.”
“Dia memang pantas buat dapetin itu,” sahut Yeriko dingin.
Bellina bangkit dari lantai penuh kekesalan. Ia menatap
Yeriko penuh rasa cemburu. Ia ingin sekali seperti Yuna. Mendapatkan suami yang
mencintai dan melindunginya penuh kasih sayang. Tidak seperti Lian yang justru
memikirkan wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya.
“Anak muda nggak tahu sopan santun!” maki Mega sambil
menarik Bellina keluar dari ruangan tersebut.
“Kamu yang nggak sopan sudah masuk sini,” celetuk Yeriko
lirih.
Bellina dan Mega terus mengawasi Yuna dan Yeriko dari balik
kaca ruangan. Mereka benar-benar tidak bisa menerima perlakuan Yeriko yang
begitu kasar terhadap Bellina.
“Kamu nggak papa?” tanya Yeriko sambil mengamati tubuh
Yuna.
“Aku nggak papa,” jawab Yuna. Tubuhnya sedikit bergetar.
Yeriko langsung merengkuh Yuna ke dalam pelukannya. “Nggak
usah takut! Ada aku ...” bisiknya.
Yuna memeluk pinggang Yeriko. Ia hanya takut Bellina akan
menyakiti anaknya.
“Makan lagi!” pinta Yeriko lembut. “Nggak papa, kok.”
Yuna mengangguk kecil. Ia melepaskan dirinya dari pelukan
Yeriko dan kembali duduk di kursi.
Yeriko menarik kursi dan duduk di sebelah Yuna. Ia
mengambil sendok dan menyuapkan makanan untuk Yuna. Matanya melirik Bellina
dari kejauhan sambil tersenyum sinis.
Yuna merasa tatapan Bellina tidak seperti biasanya. Bukan
tatapan benci yang tersirat dari wajah Bellina. Lebih tepatnya, tatapan itu
seperti saat ia menginginkan Wilian beberapa tahun silam.
Meski tak bicara, Yeriko bisa menangkap kekhawatiran yang
tergambar dari wajah Yuna. Ia tidak ingin istrinya merasa tertekan karena
masalahnya dengan Bellina.
“Riyan tadi telepon aku. Katanya, dia udah dapetin bukti
kejahatan Bellina.”
“Hah!? Serius?” Yuna langsung menatap wajah Yeriko.
Yeriko mengangguk. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku bakal
ngasih Bellina kenangan hidup yang tidak akan terlupakan.”
“Maksud kamu?”
Yeriko tersenyum sambil menempelkan dahinya di dahi Yuna.
“Kamu bakal tahu nanti. Sekarang, kamu fokus ke anak kita dulu ya!” pinta
Yeriko sambil mencium hangat bibir mungil Yuna.
Dari kejauhan, Bellina menatap Yuna penuh kebencian. Ia
juga menjadi tidak nyaman dengan tatapan Mega yang kini penuh kecurigaan
terhadapnya
Bellina tersenyum sambil menatap Mega. Ia sudah
merencanakan sesuatu untuk mencegah dokter Heru membongkar rahasia dirinya.
Namun, ia sendiri tidak akan pernah menyadari kalau semua yang ia lakukan saat
ini sudah berada di bawah kendali Yeriko.
(( Bersambung ... ))
Bellina yang malang, pengen ketawa, tapi kasihan juga, huft.
Terima kasih sudah baca terus sampai di sini. Mohon dukungannya dengan cara
kasih Star atau review ya.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment