Lian menatap amplop surat pengunduran diri milik Yuna yang
ada di atas meja kerjanya. Ia merasa kecewa karena tidak bisa lagi melihat Yuna
di tempat kerjanya.
Ia sudah membuat Yuna masuk ke perusahaannya dalam waktu
yang lama. Tapi tetap saja tidak berhasil mendapatkan kembali hati Yuna. Justru
perasaan bersalah dalam hatinya semakin hari semakin bertambah.
“Yun, kamu seperti pelangi. Indah, penuh warna. Tapi,
semakin dikejar semakin menjauh,” gumam Lian sambil menatap kertas pengunduran
diri atas nama Fristi Ayuna Linandar. Matanya menerawang jauh pada masa di mana
ia mulai menjalin hubungan dengan Yuna tujuh tahun silam.
Waktu tak dapat kembali. Sampai kapan pun, ia hanya akan
hidup dalam penyesalan. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, membuat
dirinya selalu merasa kalau Yuna jauh lebih baik dari Bellina.
“Permisi, Pak!” Salah seorang karyawan tiba-tiba masuk ke
ruangan Lian.
“Ya.” Lian langsung membuyarkan lamunannya.
“Dokumennya sudah ditandatangani, Pak?”
“Oh. Sebentar.” Lian langsung menandatangani beberapa
dokumen yang ada di hadapannya dan memberikan pada sekretaris tersebut.
Setelah semuanya selesai, Lian bergegas pergi menuju rumah
sakit.
Akhir-akhir ini, Bellina terlihat sangat aneh. Banyak
pertanyaan di kepalanya yang tak mendapatkan jawaban. Namun, ia juga mengerti
bagaimana kepedihan istrinya itu karena harus kehilangan anak mereka.
Sesampainya di rumah sakit, Lian tidak menemukan Bellina di
dalam bangsal tempat ia dirawat.
“Dia pergi ke mana?” gumam Lian. Ia buru-buru keluar dari
ruangan dan mendapati Bellina sudah berdiri di depan pintu.
“Bel, kamu dari mana?” tanya Lian.
“Abis jalan-jalan di taman. Cari udara segar,” jawab
Bellina sambil tersenyum kecil. Ia melangkah tak bersemangat menuju tempat
tidurnya.
Lian membantu Bellina naik ke tempat tidurnya. “Bel,
sebaiknya kita nggak usah laporin Yuna. Biar gimana pun, dia sepupu kamu.”
Bellina mengangguk. Ia juga tidak ingin memperpanjang
masalahnya dengan Yuna. Ada hal lain yang lebih penting yang harus ia lakukan
saat ini. Ia tidak akan melepaskan dokter Heru begitu saja karena telah
mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Terlebih, dokter Heru mulai mengancam
dan memeras dirinya. Hal ini membuat Bellina jauh lebih takut menghadapinya.
“Waktunya makan.” Lian menyiapkan makanan untuk Bellina.
“Aku ke toilet dulu.” Bellina turun dari ranjang, melangkah
perlahan menuju toilet.
Lian mengangguk. Ia menoleh ke arah ponsel Bellina yang
berdering di atas meja. Ia meraih ponsel tersebut dan menatap nama anonim yang
tertera di layar.
“Halo ...!” Lian menjawab telepon. Namun, tak ada suara
balasan dari seberang sana. Telepon tersebut diputus begitu saja.
Lian mengernyitkan dahi. Ia semakin curiga dengan sikap
Bellina. Namun, Bellina selalu menjadikan anak sebagai alasan.
Beberapa menit kemudian, Bellina kembali ke ranjangnya.
“Bel, makan dulu ya!” pinta Lian. “Setelah ini, kamu sudah
boleh pulang.”
“Pulang?” Bellina mengerutkan dahinya.
Lian menganggukkan kepala. “Kenapa?”
“Nggak papa.”
Beberapa menit kemudian, pembantu di rumah Lian muncul dan
membantu Bellina mengemas barang-barangnya.
Perasaan Bellina terus gelisah. Ia masih tak percaya dengan
apa yang terjadi pada dirinya. Mengira anaknya telah meninggal di dalam
kandungan, ternyata ia justru membunuh anaknya sendiri. Ia sama sekali tidak
tahu bagaimana menghadapi keluarga Lian.
...
Sesampainya di rumah, keluarganya tak menyambut kedatangan
Bellina dengan baik. Mega yang berada di rumah itu bertingkah seolah tak ada
siapa pun yang datang. Sejak Bellina mengalami keguguran, pandangannya terhadap
Bellina mulai berubah.
“Siang, Ma!” sapa Bellina sambil menghampiri Mega yang
sedang duduk santai di teras belakang rumahnya.
“Siang,” sahut Mega santai.
Bellina terdiam. Mama mertuanya memang tidak bersikap baik
pada dirinya.
Mega tidak menyukai keberadaan Bellina dalam kehidupan
keluarganya. Setiap keluar rumah atau berkumpul dengan teman-teman arisannya,
ia selalu digunjing. Terutama soal Bellina yang sudah terkenal sebagai pembuat
onar. Bellina selalu menggunakan nama suami dan perusahaannya untuk
memperlakukan orang lain semena-mena.
Melihat wajah Mega yang tidak bersahabat, Bellina langsung
bergegas naik ke kamarnya. Ia sangat kesal karena keluarga Lian
memperlakukannya seperti orang lain. Sangat berbeda dengan Yuna yang
mendapatkan kasih sayang begitu besar dari keluarga Yeriko.
Bellina merogoh ponsel dari dalam tas dan langsung
menelepon Yuna.
“Halo ...!” sapa Yuna dari seberang sana.
“Halo, Yun. Kamu di mana?”
“Di rumah. Kenapa, Bel?”
“Aku udah keluar dari rumah sakit.”
“Oh. Baguslah. Jaga diri baik-baik!”
“Aku sekarang di rumah Lian. Mama mertuaku sekarang
berubah. Nggak peduli lagi sama aku. Semua ini gara-gara kamu, Yun.”
Yuna tertawa kecil. “Kamu nelpon aku cuma mau ngeluh
masalah keluarga kamu? Emangnya, nggak ada orang lain yang bisa kamu ajak
ngomong?”
“Yun, aku jadi kayak gini karena kamu udah bunuh anak aku!”
seru Bellina.
“Kamu tahu sendiri, kamu yang pura-pura jatuh. Kamu yang
bunuh anak kamu sendiri, kenapa nyalahin aku terus? Kamu udah gila ya?”
“Yun, kamu harus ngakuin kalo kamu yang bunuh anakku!” seru
Bellina histeris.
“Eh, gila! Kamu mending periksa ke psikiater deh!” sentak
Yuna. “Jelas-jelas kamu yang bunuh anak kamu sendiri, kenapa malah nyalahin
aku?”
“Aku nggak bunuh anakku sendiri. Anakku mati gara-gara
kamu, Yun!” Bellina semakin histeris.
Yuna tertawa kecil. “Minum obat, Bel! Biar kamu waras
sedikit!” sahut Yuna. “Aku males berhubungan sama kamu terus. Aku udah hidup
bahagia. Lebih baik, kamu fokus membahagiakan dirimu sendiri daripada sibuk
nyalahin aku yang jelas-jelas nggak salah.”
Yuna langsung memutuskan panggilan telepon secara sepihak.
Hal ini membuat Bellina semakin kesal. Ia sama
sekali tidak menyangka kalau Yuna justru mendapatkan kebahagiaan. Sementara
dirinya terus menerus mendapatkan penderitaan.
Bellina tidak ingin diusir dari keluarga Lian karena
kesalahannya. Ia harus bisa mempengaruhi mama mertuanya kalau Yuna adalah orang
yang harus bertanggung jawab atas kematian anaknya.
Ucapan Yuna benar-benar membuat Bellina semakin tertekan.
Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk menutupi kesalahannya.
“Ada apa,Bel?” tanya Lian yang sudah mendengarkan teriakan
histeris dari halaman depan saat ia berbincang dengan ayahnya.
“Eh, nggak papa. Cuma sedih aja ingat sama anakku.”
Lian menatap Bellina yang terlihat lebih kurus dari
biasanya. Ia bisa memahami kesedihan Bellina yang baru saja kehilangan anak.
Bukankah ia juga sama sedihnya karena kehilangan anak yang sudah ia tunggu
kelahirannya?
“Mau ke luar? Jalan-jalan?” tanya Lian mencoba menghibur
Bellina.
Bellina menggelengkan kepala. Ia menarik selimut menutupi
tubuhnya dan berbaring. “Aku pusing banget. Mau istirahat.”
Lian tersenyum kecil. “Oke. Aku nggak akan ganggu
istirahatmu. Aku ... balik ke kantor dulu!” pamit Lian.
Bellina menganggukkan kepala. Ia merasa dirinya semakin
gila. Namun, ia tidak ingin memeriksakan dirinya ke psikiater. Ia hanya
membutuhkan obat tidur untuk membantunya tidur dengan baik.
“Nggak papa aku tinggal sendirian?” tanya Lian lagi.
Bellina menganggukkan kepala.
“Kalau perlu apa-apa, panggil pembantu aja!” perintah Lian
sambil melangkah perlahan menuju pintu.
Bellina mengangguk lagi.
Setelah Lian beranjak dari kamarnya, ia meneteskan
air mata dan terus menangisi nasibnya. Ia hanya ingin hidup bahagia.
Mendapatkan kasih sayang Lian sepenuhnya dan juga mendapatkan pengakuan dari
keluarga Lian. Hanya itu ... hanya itu saja dan ia selalu kalah dengan Yuna.
Sejak kecil, hidup Yuna selalu lebih baik dari dirinya. Ia selalu iri dengan
apa yang dimiliki Yuna. Ia ingin memiliki semua kebahagiaan yang dimiliki oleh
Yuna.
(( Bersambung ... ))
Terima kasih sudah baca terus sampai di sini. Mohon dukungannya dengan cara
kasih Star atau review ya.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment