Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 267 || Bingkai Undangan || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yan, kamu selidiki dokter itu!” perintah Yeriko saat melihat dokter Heru keluar dari ruang rawat Bellina. Teriakan histeris Bellina terdengar di telinganya saat ia hampir meninggalkan koridor rumah sakit. Membuat Yeriko semakin yakin kalau ada hal yang sengaja disembunyikan oleh Bellina.

“Baik, Pak Bos!” Riyan menganggukkan kepala.

Yeriko mulai melangkah perlahan meninggalkan koridor. “Riz, menurut kamu gimana?”

“Menurut saya, Nyonya Yeriko memang tidak bersalah.”

Yeriko tersenyum kecil. “Cuma dengan pertanyaan seperti itu, kamu sudah bisa menyimpulkan kalau istri saya memang tidak bersalah?”

“Ibu Bellina terlihat sangat ketakutan saat ia mengatakan kebohongan. Berbeda dengan Nyonya Ye yang terlihat begitu tenang. Lagipula, di saat orang mengalami kecelakaan. Dia baru akan berteriak ketika ia menyadari dirinya dalam bahaya. Bukan berteriak dulu, baru dia terjatuh. Jelas-jelas, Ibu Bellina memang mengada-ngada. Tapi, kita tetap harus mendapatkan bukti pengakuan dia. Karena ...”

“Karena apa?”

“Tidak ada saksi mata yang melihat secara langsung kejadian ini. Jalan satu-satunya adalah membuat Bellina mengakui kebenaran yang terjadi.”

Yeriko manggut-manggut. Ia mulai memikirkan rencana untuk menjerat Bellina dan membuatnya merasakan penderitaan secara perlahan.

“Yan, bisa selidiki ini sampai selesai ‘kan?” tanya Yeriko sambil terus melangkahkan kakinya bersama Riyan dan Fariz.

“Siap, Pak Bos!”

“Oh ya, tolong bantu prosedur  pengunduran dirinya Yuna!”

“Baik, Pak Bos!”

Mereka bergegas meninggalkan rumah sakit. Di bibir Yeriko, terukir senyuman yang sulit untuk diartikan.

 

Sesampainya di rumah, Yeriko langsung menghampiri Yuna yang duduk di ruang keluarga sambil mengerjakan sesuatu.

“Bikin apa?” tanya Yeriko.

Yuna langsung memutar kepalanya. Ia bangkit dari lantai dan langsung menghadap Yeriko. “Udah pulang? Nggak kedengaran suaranya.”

Yeriko tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Kamu terlalu serius, lagi bikin apa sih?” tanyanya sambil duduk di lantai yang dilapisi karpet bulu. Ia menatap bingkai foto yang ada di atas meja.

Yuna tersenyum, ia duduk di samping Yeriko. “Aku lagi bingkai undangan kita.”

“Undangan?” Yeriko mengernyitkan dahi.

Yuna menganggukkan kepala sambil menunjukkan undangan pernikahan mereka yang sudah terbingkai indah.

Yeriko tersenyum kecil. “Kenapa kamu bingkai undangan? Biasanya, yang dibingkai itu kan mahar.” Ia mencomot potongan buah yang ada di atas meja dan melahapnya.

“Mmh ... kamu kan belum kasih aku mahar.”

“Uhuk ... uhuk ...!”

“Eh, kenapa? Kalo makan hati-hati!” Yuna langsung mengambil tisu, membantu membersihkan mulut Yeriko dan menyodorkan air minum kepada suaminya itu.

“Mahar sama mas kawin apa bedanya?” tanya Yeriko sambil membersihkan mulutnya.

“Sama. Hehehe.”

“Aku kan udah kasih waktu nikah.”

Yuna menggigit bibirnya. “Iya, tapi udah aku pake. Gimana dong?”

Yeriko tersenyum kecil. “Ya, nggak papa. Mas kawin aku kasih emang buat kamu pake.”

Yuna memonyongkan bibirnya.

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menahan tawa, mengingat mas kawin yang ia berikan untuk Yuna.

Yuna mengerutkan hidung sambil memukul bahu Yeriko. “Kamu ngasih aku mas kawin cuma dua belas ribu. Aku pas lagi nggak ada duit, aku pake buat beli pulsa. Lagian, kamu bisa masukin ayah ke ruang VVIP, tapi ngasih mas kawin cuma dua belas ribu.”

Yeriko menahan tawa sambil melirik Yuna yang duduk di sampingnya. “Nggak boleh ngeluh! Sebagai istri yang baik, harus menerima berapa pun yang dikasih sama suami kamu.”

Yuna memonyongkan bibirnya.

Yeriko tergelak melihat ekspresi wajah Yuna. “Waktu itu, aku nggak ada persiapan sama sekali buat nikahin kamu. Di dompet aku, cuma ada uang segitu.”

“Orang kaya, tapi isi dompet cuma dua belas ribu. Nggak malu sama itu dompet yang harganya jutaan?” canda Yuna.

Yeriko tertawa. Ia langsung menjepit kepala Yuna dan menciumi kepalanya, gemas dengan tingkah Yuna.

Yuna tertawa kecil sambil memeluk erat tubuh Yeriko.

“Mmh ... kalo seandainya, aku cuma kuli yang nafkahin kamu dengan uang dua belas ribu setiap hari, apa kamu masih mau jadi istriku?”

Yuna menengadahkan kepalanya menatap wajah yeriko. “Aku sayang sama kamu bukan karena uang. Apa pun yang kamu kasih, aku terima dengan bahagia. Lagipula, kita bisa berjuang sama-sama dari nol. Bukannya lebih indah seperti itu?”

Yeriko tersenyum. Ia mengecup bibir Yuna dan memeluk tubuhnya erat-erat. Ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan istri yang baik hati.

Yuna tersenyum bahagia saat Yeriko bermanja-manja dengannya. “Acara pernikahan kita sudah dekat. Aku ...”

“Nggak usah gelisah mikirin pernikahan!” pinta Yeriko. “Mama udah ngatur semuanya dengan baik.”

“Iya, sih. Tapi aku masih khawatir kalau pas acara ada masalah. Abisnya, di antara kita masih ada banyak banget orang yang mau hubungan kita putus. Refi yang jelas-jelas masih ngejar kamu. Lian, Andre dan ...”

“Argh, jangan dipikirin!” pinta Yeriko kesal. Ia tidak menyukai Yuna yang selalu memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Aku nggak mikirin, tapi kepikiran.”

“Kamu tenang aja!” pinta Yeriko. “Acara pesta pernikahan kita tertutup. Nggak sembarangan orang bisa masuk. Lagian, Mama cuma undang seratus orang aja. Mama juga sudah siapin keamanan dengan baik. Kamu nggak usah khawatir! Oke?”

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa tenang mendengar ucapan Yeriko.

“Oh ya, soal Bellina ...”

“Gimana?” Yuna sangat antusias mendengar kabar terbaru tentang masalahnya dengan Bellina.

“Aku jamin dia nggak akan lapor ke polisi.”

“Beneran?”

Yeriko menganggukkan kepala. “Semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan.”

“Kamu minta maaf sama Bellina?” Yuna langsung merengut menatap Yeriko.

Yeriko menggelengkan kepala. “Apa aku kelihatan serendah itu?”

Yuna meneliti wajah Yeriko. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh suaminya itu. “Terus, kenapa dia tiba-tiba nggak lapor polisi?”

Yeriko tersenyum menanggapi ucapan Yuna.

“Bilang, kamu lagi ngerencanain apa?”

“Aku udah punya rencana yang bagus.”

“Apa?”

“Kamu nggak perlu tahu.”

“Kenapa?”

“Kamu fokus urus anak kita sampai dia lahir ya!” pinta Yeriko. “Urusan lain, biar aku yang selesaikan.”

“Kamu nggak pake kekerasan, kan?”

Yeriko menggelengkan kepala. “Aku nggak akan mengotori tanganku sendiri.”

“Terus?” Yuna masih terus saja bertanya.

Yeriko menarik napas dalam-dalam. Ia meliukkan tubuhnya dan bangkit dari lantai. “Aku lapar. Mau mandi dulu,” jawabnya sambil melangkah pergi.

“Ha!?” Yuna membuka mulutnya lebar-lebar. Ia bangkit dan mengejar langkah Yeriko karena ia masih penasaran dengan apa yang dilakukan Yeriko di belakangnya.

Yeriko langsung berbalik begitu mendengar langkah kaki Yuna mengikutinya. “Kamu lagi hamil muda, jangan lari-lari!”

“Jawab dulu pertanyaanku!” pinta Yuna.

“Nanti aku jawab. Aku mandi dulu!”

“Iih ... sekarang!” rengek Yuna manja.

Yeriko menatap Yuna tanpa ekspresi. Ia berkacak pinggang sambil memerhatikan istrinya.

Tatapan Yeriko membuat Yuna tidak berani lagi bertanya. Ia berbalik dan melangkah kembali ke ruang keluarga.

Yeriko tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Baru mau ngasih tahu. Baguslah kalo nggak tanya lagi, hihihi” batin Yeriko sambil menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

 

(( Bersambung ... ))

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas