“Yan, kamu selidiki dokter itu!” perintah
Yeriko saat melihat dokter Heru keluar dari ruang rawat Bellina. Teriakan
histeris Bellina terdengar di telinganya saat ia hampir meninggalkan koridor
rumah sakit. Membuat Yeriko semakin yakin kalau ada hal yang sengaja
disembunyikan oleh Bellina.
“Baik, Pak Bos!” Riyan menganggukkan kepala.
Yeriko mulai melangkah perlahan meninggalkan
koridor. “Riz, menurut kamu gimana?”
“Menurut saya, Nyonya Yeriko memang tidak
bersalah.”
Yeriko tersenyum kecil. “Cuma dengan
pertanyaan seperti itu, kamu sudah bisa menyimpulkan kalau istri saya memang
tidak bersalah?”
“Ibu Bellina terlihat sangat ketakutan saat
ia mengatakan kebohongan. Berbeda dengan Nyonya Ye yang terlihat begitu tenang.
Lagipula, di saat orang mengalami kecelakaan. Dia baru akan berteriak ketika ia
menyadari dirinya dalam bahaya. Bukan berteriak dulu, baru dia terjatuh.
Jelas-jelas, Ibu Bellina memang mengada-ngada. Tapi, kita tetap harus
mendapatkan bukti pengakuan dia. Karena ...”
“Karena apa?”
“Tidak ada saksi mata yang melihat secara
langsung kejadian ini. Jalan satu-satunya adalah membuat Bellina mengakui
kebenaran yang terjadi.”
Yeriko manggut-manggut. Ia mulai memikirkan
rencana untuk menjerat Bellina dan membuatnya merasakan penderitaan secara
perlahan.
“Yan, bisa selidiki ini sampai selesai ‘kan?”
tanya Yeriko sambil terus melangkahkan kakinya bersama Riyan dan Fariz.
“Siap, Pak Bos!”
“Oh ya, tolong bantu prosedur
pengunduran dirinya Yuna!”
“Baik, Pak Bos!”
Mereka bergegas meninggalkan rumah sakit. Di
bibir Yeriko, terukir senyuman yang sulit untuk diartikan.
Sesampainya di rumah, Yeriko langsung
menghampiri Yuna yang duduk di ruang keluarga sambil mengerjakan sesuatu.
“Bikin apa?” tanya Yeriko.
Yuna langsung memutar kepalanya. Ia bangkit
dari lantai dan langsung menghadap Yeriko. “Udah pulang? Nggak kedengaran
suaranya.”
Yeriko tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna.
“Kamu terlalu serius, lagi bikin apa sih?” tanyanya sambil duduk di lantai yang
dilapisi karpet bulu. Ia menatap bingkai foto yang ada di atas meja.
Yuna tersenyum, ia duduk di samping Yeriko.
“Aku lagi bingkai undangan kita.”
“Undangan?” Yeriko mengernyitkan dahi.
Yuna menganggukkan kepala sambil menunjukkan
undangan pernikahan mereka yang sudah terbingkai indah.
Yeriko tersenyum kecil. “Kenapa kamu bingkai
undangan? Biasanya, yang dibingkai itu kan mahar.” Ia mencomot potongan buah
yang ada di atas meja dan melahapnya.
“Mmh ... kamu kan belum kasih aku mahar.”
“Uhuk ... uhuk ...!”
“Eh, kenapa? Kalo makan hati-hati!” Yuna
langsung mengambil tisu, membantu membersihkan mulut Yeriko dan menyodorkan air
minum kepada suaminya itu.
“Mahar sama mas kawin apa bedanya?” tanya
Yeriko sambil membersihkan mulutnya.
“Sama. Hehehe.”
“Aku kan udah kasih waktu nikah.”
Yuna menggigit bibirnya. “Iya, tapi udah aku
pake. Gimana dong?”
Yeriko tersenyum kecil. “Ya, nggak papa. Mas
kawin aku kasih emang buat kamu pake.”
Yuna memonyongkan bibirnya.
“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menahan tawa,
mengingat mas kawin yang ia berikan untuk Yuna.
Yuna mengerutkan hidung sambil memukul bahu
Yeriko. “Kamu ngasih aku mas kawin cuma dua belas ribu. Aku pas lagi nggak ada
duit, aku pake buat beli pulsa. Lagian, kamu bisa masukin ayah ke ruang VVIP,
tapi ngasih mas kawin cuma dua belas ribu.”
Yeriko menahan tawa sambil melirik Yuna yang
duduk di sampingnya. “Nggak boleh ngeluh! Sebagai istri yang baik, harus
menerima berapa pun yang dikasih sama suami kamu.”
Yuna memonyongkan bibirnya.
Yeriko tergelak melihat ekspresi wajah Yuna.
“Waktu itu, aku nggak ada persiapan sama sekali buat nikahin kamu. Di dompet
aku, cuma ada uang segitu.”
“Orang kaya, tapi isi dompet cuma dua belas
ribu. Nggak malu sama itu dompet yang harganya jutaan?” canda Yuna.
Yeriko tertawa. Ia langsung menjepit kepala
Yuna dan menciumi kepalanya, gemas dengan tingkah Yuna.
Yuna tertawa kecil sambil memeluk erat tubuh
Yeriko.
“Mmh ... kalo seandainya, aku cuma kuli yang
nafkahin kamu dengan uang dua belas ribu setiap hari, apa kamu masih mau jadi
istriku?”
Yuna menengadahkan kepalanya menatap wajah
yeriko. “Aku sayang sama kamu bukan karena uang. Apa pun yang kamu kasih, aku
terima dengan bahagia. Lagipula, kita bisa berjuang sama-sama dari nol.
Bukannya lebih indah seperti itu?”
Yeriko tersenyum. Ia mengecup bibir Yuna dan
memeluk tubuhnya erat-erat. Ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan istri
yang baik hati.
Yuna tersenyum bahagia saat Yeriko
bermanja-manja dengannya. “Acara pernikahan kita sudah dekat. Aku ...”
“Nggak usah gelisah mikirin pernikahan!”
pinta Yeriko. “Mama udah ngatur semuanya dengan baik.”
“Iya, sih. Tapi aku masih khawatir kalau pas
acara ada masalah. Abisnya, di antara kita masih ada banyak banget orang yang
mau hubungan kita putus. Refi yang jelas-jelas masih ngejar kamu. Lian, Andre
dan ...”
“Argh, jangan dipikirin!” pinta Yeriko kesal.
Ia tidak menyukai Yuna yang selalu memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Aku nggak mikirin, tapi kepikiran.”
“Kamu tenang aja!” pinta Yeriko. “Acara pesta
pernikahan kita tertutup. Nggak sembarangan orang bisa masuk. Lagian, Mama cuma
undang seratus orang aja. Mama juga sudah siapin keamanan dengan baik. Kamu
nggak usah khawatir! Oke?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa
tenang mendengar ucapan Yeriko.
“Oh ya, soal Bellina ...”
“Gimana?” Yuna sangat antusias mendengar
kabar terbaru tentang masalahnya dengan Bellina.
“Aku jamin dia nggak akan lapor ke polisi.”
“Beneran?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Semua bisa
diselesaikan secara kekeluargaan.”
“Kamu minta maaf sama Bellina?” Yuna langsung
merengut menatap Yeriko.
Yeriko menggelengkan kepala. “Apa aku
kelihatan serendah itu?”
Yuna meneliti wajah Yeriko. Ia mencoba
mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh suaminya itu. “Terus, kenapa
dia tiba-tiba nggak lapor polisi?”
Yeriko tersenyum menanggapi ucapan Yuna.
“Bilang, kamu lagi ngerencanain apa?”
“Aku udah punya rencana yang bagus.”
“Apa?”
“Kamu nggak perlu tahu.”
“Kenapa?”
“Kamu fokus urus anak kita sampai dia lahir
ya!” pinta Yeriko. “Urusan lain, biar aku yang selesaikan.”
“Kamu nggak pake kekerasan, kan?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku nggak akan
mengotori tanganku sendiri.”
“Terus?” Yuna masih terus saja bertanya.
Yeriko menarik napas dalam-dalam. Ia
meliukkan tubuhnya dan bangkit dari lantai. “Aku lapar. Mau mandi dulu,”
jawabnya sambil melangkah pergi.
“Ha!?” Yuna membuka mulutnya lebar-lebar. Ia
bangkit dan mengejar langkah Yeriko karena ia masih penasaran dengan apa yang
dilakukan Yeriko di belakangnya.
Yeriko langsung berbalik begitu mendengar
langkah kaki Yuna mengikutinya. “Kamu lagi hamil muda, jangan lari-lari!”
“Jawab dulu pertanyaanku!” pinta Yuna.
“Nanti aku jawab. Aku mandi dulu!”
“Iih ... sekarang!” rengek Yuna manja.
Yeriko menatap Yuna tanpa ekspresi. Ia
berkacak pinggang sambil memerhatikan istrinya.
Tatapan Yeriko membuat Yuna tidak berani lagi
bertanya. Ia berbalik dan melangkah kembali ke ruang keluarga.
Yeriko tersenyum kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Baru mau ngasih tahu. Baguslah kalo nggak
tanya lagi, hihihi” batin Yeriko sambil menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment