Sejak kejadian pertengkaran Yuna dan mamanya Wilian, Yeriko
tidak mengizinkan Yuna kembali masuk ke perusahaan tersebut. Yuna
menghabiskan waktunya hanya di dalam rumah. Ia hanya keluar dari rumah bersama
dengan Yeriko.
“Yan, kamu nggak temenin Bapak di kantor?”
sapa Yuna sambil menghampiri Riyan yang sedang duduk di serambi rumah.
“Eh, Nyonya Muda?” Riyan langsung bangkit
dari duduknya. “Pak Bos yang nyuruh saya standby di sini temenin Nyonya Muda.
Nyonya mau jalan ke luar?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Kalau Nyonya Muda mau keluar, saya bisa
temenin.”
“Nggak usah,” jawab Yuna santai. “Kamu kenapa
manggil aku Nyonya Muda terus?”
“Eh!?”
“Panggil aku Yuna aja!” perintah Yuna.
“Tapi ... ” Riyan kebingungan. Ia tidak
mungkin lancang kepada istri bosnya. “Nyonya jangan mempersulit saya. Kalo Pak
Bos tahu, saya bisa dipecat. Masa sama istrinya Bos, saya panggil nama?”
Yuna menatap wajah Riyan yang terlihat
gelisah. Ia tidak tega jika sikapnya benar-benar menyulitkan Riyan. “Hmm ...
okelah kalo emang harus begitu.”
Riyan langsung tersenyum lebar. “Makasih,
Nyonya Muda.”
Yuna tertawa kecil. Ia teringat saat pertama
kali bertemu dengan Riyan. Riyan memakinya begitu saja. Sekarang, Riyan begitu
hormat padanya. Dunia benar-benar cepat berubah.
“Yan, di rumah ini ada Bibi War dan satpam
juga. Kamu nggak perlu sampai mengorbankan kerjaan kamu. Lebih baik, kamu
kembali ke perusahaan!” pinta Yuna. “Dia lebih butuh kamu.”
“Pak Bos nyuruh saya ke sini. Semua pekerjaan
kantor sudah diurus sama sekretaris.”
Yuna menghela napas. Kali ini, Yeriko
benar-benar memperlakukan dirinya seperti tawanan yang harus dijaga dua puluh
empat jam.
“Mbak, ini buah untuk Mbak Yuna.” Bibi War menghampiri Yuna sambil
menyodorkan piring berisi potongan buah-buahan.
“Makasih, Bi!” Yuna meraih piring tersebut
dan duduk di teras rumah bersama Riyan.
“Yan, aku bosen di rumah. Kamu bisa antar aku
lihat ayah?”
“Eh!? Maaf, Nyonya. Saat ini, Pak Adjie
sedang mendapatkan terapi secara intensif. Lebih baik, Nyonya Muda jangan
jenguk beliau dulu. Kalau sudah waktunya, Nyonya bisa jenguk beliau.”
“Mmh ...” Yuna menggigit bibirnya.
“Nyonya Muda tenang aja. Pak Adjie
perkembangannya sangat baik.”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia sangat
percaya kalau suaminya akan memberikan perawatan terbaik untuk ayahnya.
...
Di tempat lain, Bellina terus menerus
diselimuti kesedihan karena kehilangan anaknya. Ia berjalan lunglai menyusuri
koridor rumah sakit.
“Ooee ...!” Terdengar suara tangisan bayi
dari setiap sudut ruangan. Bellina langsung mengedarkan pandangannya.
Ooee ...!
Suara bayi itu terdengar jelas keluar dari
dinding yang ia sentuh.
Bellina melepas telapak tangannya dari
dinding yang mengajaknya bicara. Suara tangisan bayi terus keluar dari dinding
ruangan, dari langit-langit dan dari lantai yang ia pijak.
“Ma ...!” Panggilan kecil dari belakangnya
membuat Bellina memutar kepala. Menatap sosok anak kecil yang berdiri di ujung
koridor. Anak itu menangis menatap Bellina.
Bellina menutup mulutnya. Ia tak percaya
dengan apa yang ia lihat. Anak kecil itu menatap pilu ke arahnya.
“Ma ...!”
Bellina melangkah perlahan mendekati anak
tersebut.
“Ma, kenapa aku nggak boleh hidup?”
Bellina menggeleng-gelengkan kepala sambil
menatap gadis mungil tersebut. Ia berusaha meraih tangan gadis mungil tersebut.
Namun, kilat tiba-tiba menyambar gadis kecil itu.
“Aaargh ...! Mama, tolong aku! TOLONG ...!”
Suara gadis itu melengking hingga tak terdengar lagi bersamaan dengan tubuhnya
yang menghilang.
Bellina masih tak percaya dengan apa yang ia
lihat. Ia tidak bisa menolong anaknya sendiri.
“Nggak, Nggak mungkin!” gumamnya sambil
terisak. Tubuhnya lemah dan merosot ke lantai. “Nggak mungkin!”
“AARGH ...!” Bellina berteriak histeris.
“Bel, Bellina!” Tiba-tiba sebuah telapak
tangan besar bertengger di bahu Bellina.
Bellina langsung membuka mata. Ia melihat
Wilian sudah ada di hadapannya.
“Kamu nggak papa?” tanya Lian saat melihat
Bellina terbangun dari tidurnya.
“Aku cuma mimpi?” Napas Bellina tersengal.
Keringat deras keluar dari ujung-ujung anak rambut Bellina.
Lian mengangguk. Ia memeluk Bellina yang
terlihat sangat ketakutan. Melihat kegelisahan yang tersirat dari wajah Bellina
akhir-akhir ini. Membuat ia yakin kalau Yuna memang tidak bersalah.
“Kamu nggak papa?” tanya Lian.
“Aku nggak papa. Aku cuma mimpiin anak kita.”
“Mimpi gimana?”
Bellina tidak berani menjawab pertanyaan
Bellina. Ia menyembunyikan rapat-rapat apa yang sebenarnya terjadi pada
kandungannya.
“Bel ...!?”
“Aku haus.”
Lian langsung mengambilkan air minum untuk
Bellina.
Bellina menghabiskan satu gelas air minum
hanya dalam beberapa tegukan.
Sikap Bellina, benar-benar membuat Lian
curiga. Tapi, otaknya masih tak mampu berpikir dengan jernih. Ia tidak tahu
siapa yang sebenarnya bersalah. Ia ingin mempercayai kalau Yuna tidak bersalah.
Tapi ia lebih tidak percaya lagi kalau Bellina tega membunuh anaknya sendiri.
“Li, aku bisa minta tolong?”
“Apa?”
“Belikan aku bubur ayam di tempat biasa.”
“Tapi jauh, Bel.”
“Nggak papa. Aku pengen banget. Aku bisa
nunggu, kok.”
Lian mengangguk. “Kamu tunggu di sini!” Ia
bergegas pergi meninggalkan bangsal untuk mencari makanan yang diinginkan oleh
Bellina.
Setelah Lian pergi meninggalkannya, Bellina
langsung turun dari ranjang. Ia melangkah perlahan keluar dari ruangan.
“Sus, ruangan dokter Heru Purnomo di mana
ya?” tanya Bellina sambil mencegat perawat yang berpapasan dengannya.
“Mbaknya jalan aja terus. Di ujung koridor
belok kanan. Di pintu ada tulisan dr. Heru Purnomo.”
“Oke. Makasih, Sus!”
Perawat itu mengangguk dan bergegas pergi.
Bellina segera melangkah menuju ruangan
dokter yang ingin ia temui.
“Siang, Dok!” sapa Bellina begitu ia masuk ke
dalam ruangan dokter tersebut.
Dokter tersebut mendongakkan kepala karena
Bellina tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.
“Siang!” balas dokter tersebut dengan ramah.
“Silakan duduk!”
Bellina mengangguk, ia duduk di kursi, tepat
di hadapan dokter tersebut.
“Gimana? Sudah enakan?” tanya dokter
tersebut.
Bellina mengangguk.
“Ada apa cari saya sampai ke sini?
Seharusnya, kamu masih istirahat.”
“Ada yang ingin saya tanyakan soal anak
saya,Dok.”
Dokter tersebut menghela napas kecewa.
“Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkan anak kamu. Anak itu benar-benar
malang. Seharusnya, anak itu bisa terlahir dengan baik dan sehat.”
“Maksud dokter? Bukannya anak itu sudah
meninggal di dalam kandungan?”
“Siapa yang bilang begitu?” Dokter tersebut
balik bertanya.
“Dokter saya sebelumnya, mengatakan kalau
bayi itu sudah meninggal di dalam kandungan.”
“Bayi itu masih hidup dan kelihatan sehat.
Saat kami mengeluarkannya, bayi itu masih dalam keadaan bernyawa. Hanya saja,
sudah terlambat menyelamatkannya.”
Bellina terdiam. Pernyataan dokter tersebut
membuat dirinya sangat sakit. Seluruh dunianya hancur. “Gimana bisa masih
hidup? Bukannya dia udah meninggal duluan? Nggak mungkin! Nggak mungkin!” gumam
Bellina sambil menggelengkan kepalanya.
Dokter tersebut terus memerhatikan Bellina
yang terlihat sangat gelisah.
“Nggak mungkin aku bunuh anakku sendiri?”
racaunya sambil bangkit dari tempat duduk. “Anak itu sudah mati, bukan aku yang
bunuh dia.” Ia melangkah lunglai keluar dari ruangan dokter Heru.
Bellina terduduk lemas di salah satu kursi
tunggu. Ia masih tak percaya dengan apa yang diucapkan dokter yang
mengoperasinya. “Aku nggak bunuh dia. Aku nggak bunuh anak aku. Kenapa bisa
kayak gini? AARGH ...!” Bellina berteriak histeris. Dunianya tiba-tiba kosong.
Sangat kosong. Hingga ia tak bisa mendengar lagi suara lain selain suara
dirinya sendiri.
(( Bersambung ... ))
It’s time ... membuat Bellina menderita secara perlahan, hihihi.
Terima kasih sudah baca terus sampai di sini. Mohon dukungannya dengan cara
kasih review ya.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment