Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 264 || Bukan Aku yang Bunuh || a Romance Novel by Vella Nine

 


Sejak kejadian pertengkaran Yuna dan mamanya Wilian, Yeriko tidak mengizinkan Yuna kembali masuk ke perusahaan tersebut. Yuna menghabiskan waktunya hanya di dalam rumah. Ia hanya keluar dari rumah bersama dengan Yeriko.

“Yan, kamu nggak temenin Bapak di kantor?” sapa Yuna sambil menghampiri Riyan yang sedang duduk di serambi rumah.

“Eh, Nyonya Muda?” Riyan langsung bangkit dari duduknya. “Pak Bos yang nyuruh saya standby di sini temenin Nyonya Muda. Nyonya mau jalan ke luar?”

Yuna menggelengkan kepala.

“Kalau Nyonya Muda mau keluar, saya bisa temenin.”

“Nggak usah,” jawab Yuna santai. “Kamu kenapa manggil aku Nyonya Muda terus?”

“Eh!?”

“Panggil aku Yuna aja!” perintah Yuna.

“Tapi ... ” Riyan kebingungan. Ia tidak mungkin lancang kepada istri bosnya. “Nyonya jangan mempersulit saya. Kalo Pak Bos tahu, saya bisa dipecat. Masa sama istrinya Bos, saya panggil nama?”

Yuna menatap wajah Riyan yang terlihat gelisah. Ia tidak tega jika sikapnya benar-benar menyulitkan Riyan. “Hmm ... okelah kalo emang harus begitu.”

 

Riyan langsung tersenyum lebar. “Makasih, Nyonya Muda.”

 

Yuna tertawa kecil. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Riyan. Riyan memakinya begitu saja. Sekarang, Riyan begitu hormat padanya. Dunia benar-benar cepat berubah.

 

“Yan, di rumah ini ada Bibi War dan satpam juga. Kamu nggak perlu sampai mengorbankan kerjaan kamu. Lebih baik, kamu kembali ke perusahaan!” pinta Yuna. “Dia lebih butuh kamu.”

 

“Pak Bos nyuruh saya ke sini. Semua pekerjaan kantor sudah diurus sama sekretaris.”

 

Yuna menghela napas. Kali ini,  Yeriko benar-benar memperlakukan dirinya seperti tawanan yang harus dijaga dua puluh empat jam.

 

“Mbak, ini buah untuk  Mbak Yuna.” Bibi War menghampiri Yuna sambil menyodorkan piring berisi potongan buah-buahan.

 

“Makasih, Bi!” Yuna meraih piring tersebut dan duduk di teras rumah bersama Riyan.

 

“Yan, aku bosen di rumah. Kamu bisa antar aku lihat ayah?”

 

“Eh!? Maaf, Nyonya. Saat ini, Pak Adjie sedang mendapatkan terapi secara intensif. Lebih baik, Nyonya Muda jangan jenguk beliau dulu. Kalau sudah waktunya, Nyonya bisa jenguk beliau.”

 

“Mmh ...” Yuna menggigit bibirnya.

 

“Nyonya Muda tenang aja. Pak Adjie perkembangannya sangat baik.”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia sangat percaya kalau suaminya akan memberikan perawatan terbaik untuk ayahnya.

 

 

...

 

 

Di tempat lain, Bellina terus menerus diselimuti kesedihan karena kehilangan anaknya. Ia berjalan lunglai menyusuri koridor rumah sakit.

 

“Ooee ...!” Terdengar suara tangisan bayi dari setiap sudut ruangan. Bellina langsung mengedarkan pandangannya.

 

 

Ooee ...!

 

Suara bayi itu terdengar jelas keluar dari dinding yang ia sentuh.

 

Bellina melepas telapak tangannya dari dinding yang mengajaknya bicara. Suara tangisan bayi terus keluar dari dinding ruangan, dari langit-langit dan dari lantai yang ia pijak.

 

“Ma ...!” Panggilan kecil dari belakangnya membuat Bellina memutar kepala. Menatap sosok anak kecil yang berdiri di ujung koridor. Anak itu menangis menatap Bellina.

 

Bellina menutup mulutnya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Anak kecil itu menatap pilu ke arahnya.

 

“Ma ...!”

 

Bellina melangkah perlahan mendekati anak tersebut.

 

“Ma, kenapa aku nggak boleh hidup?”

 

Bellina menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap gadis mungil tersebut. Ia berusaha meraih tangan gadis mungil tersebut. Namun, kilat tiba-tiba menyambar gadis kecil itu.

 

“Aaargh ...! Mama, tolong aku! TOLONG ...!” Suara gadis itu melengking hingga tak terdengar lagi bersamaan dengan tubuhnya yang menghilang.

 

Bellina masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia tidak bisa menolong anaknya sendiri.

 

“Nggak, Nggak mungkin!” gumamnya sambil terisak. Tubuhnya lemah dan merosot ke lantai. “Nggak mungkin!”

 

“AARGH ...!” Bellina berteriak histeris.

 

“Bel, Bellina!” Tiba-tiba sebuah telapak tangan besar bertengger di bahu Bellina.

 

Bellina langsung membuka mata. Ia melihat Wilian sudah ada di hadapannya.

 

“Kamu nggak papa?” tanya Lian saat melihat Bellina terbangun dari tidurnya.

 

“Aku cuma mimpi?” Napas Bellina tersengal. Keringat deras keluar dari ujung-ujung anak rambut Bellina.

 

Lian mengangguk. Ia memeluk Bellina yang terlihat sangat ketakutan. Melihat kegelisahan yang tersirat dari wajah Bellina akhir-akhir ini. Membuat ia yakin kalau Yuna memang tidak bersalah.

“Kamu nggak papa?” tanya Lian.

“Aku nggak papa. Aku cuma mimpiin anak kita.”

“Mimpi gimana?”

Bellina tidak berani menjawab pertanyaan Bellina. Ia menyembunyikan rapat-rapat apa yang sebenarnya terjadi pada kandungannya.

“Bel ...!?”

“Aku haus.”

Lian langsung mengambilkan air minum untuk Bellina.

Bellina menghabiskan satu gelas air minum hanya dalam beberapa tegukan.

Sikap Bellina, benar-benar membuat Lian curiga. Tapi, otaknya masih tak mampu berpikir dengan jernih. Ia tidak tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Ia ingin mempercayai kalau Yuna tidak bersalah. Tapi ia lebih tidak percaya lagi kalau Bellina tega membunuh anaknya sendiri.

“Li, aku bisa minta tolong?”

“Apa?”

“Belikan aku bubur ayam di tempat biasa.”

“Tapi jauh, Bel.”

“Nggak papa. Aku pengen banget. Aku bisa nunggu, kok.”

Lian mengangguk. “Kamu tunggu di sini!” Ia bergegas pergi meninggalkan bangsal untuk mencari makanan yang diinginkan oleh Bellina.

Setelah Lian pergi meninggalkannya, Bellina langsung turun dari ranjang. Ia melangkah perlahan keluar dari ruangan.

 

“Sus, ruangan dokter Heru Purnomo di mana ya?” tanya Bellina sambil mencegat perawat yang berpapasan dengannya.

 

“Mbaknya jalan aja terus. Di ujung koridor belok kanan. Di pintu ada tulisan dr. Heru Purnomo.”

 

“Oke. Makasih, Sus!”

 

Perawat itu mengangguk dan bergegas pergi.

 

Bellina segera melangkah menuju ruangan dokter yang ingin ia temui.

 

“Siang, Dok!” sapa Bellina begitu ia masuk ke dalam ruangan dokter tersebut.

 

Dokter tersebut mendongakkan kepala karena Bellina tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.

 

“Siang!” balas dokter tersebut dengan ramah. “Silakan duduk!”

 

Bellina mengangguk, ia duduk di kursi, tepat di hadapan dokter tersebut.

 

“Gimana? Sudah enakan?” tanya dokter tersebut.

 

Bellina mengangguk.

 

“Ada apa cari saya sampai ke sini? Seharusnya, kamu masih istirahat.”

 

“Ada yang ingin saya tanyakan soal anak saya,Dok.”

 

Dokter tersebut menghela napas kecewa. “Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkan anak kamu. Anak itu benar-benar malang. Seharusnya, anak itu bisa terlahir dengan baik dan sehat.”

 

“Maksud dokter? Bukannya anak itu sudah meninggal di dalam kandungan?”

 

“Siapa yang bilang begitu?” Dokter tersebut balik bertanya.

 

“Dokter saya sebelumnya, mengatakan kalau bayi itu sudah meninggal di dalam kandungan.”

 

“Bayi itu masih hidup dan kelihatan sehat. Saat kami mengeluarkannya, bayi itu masih dalam keadaan bernyawa. Hanya saja, sudah terlambat menyelamatkannya.”

 

Bellina terdiam. Pernyataan dokter tersebut membuat dirinya sangat sakit. Seluruh dunianya hancur. “Gimana bisa masih hidup? Bukannya dia udah meninggal duluan? Nggak mungkin! Nggak mungkin!” gumam Bellina sambil menggelengkan kepalanya.

 

Dokter tersebut terus memerhatikan Bellina yang terlihat sangat gelisah.

 

“Nggak mungkin aku bunuh anakku sendiri?” racaunya sambil bangkit dari tempat duduk. “Anak itu sudah mati, bukan aku yang bunuh dia.” Ia melangkah lunglai keluar dari ruangan dokter Heru.

 

Bellina terduduk lemas di salah satu kursi tunggu. Ia masih tak percaya dengan apa yang diucapkan dokter yang mengoperasinya. “Aku nggak bunuh dia. Aku nggak bunuh anak aku. Kenapa bisa kayak gini? AARGH ...!” Bellina berteriak histeris. Dunianya tiba-tiba kosong. Sangat kosong. Hingga ia tak bisa mendengar lagi suara lain selain suara dirinya sendiri.

 

(( Bersambung ... ))

It’s time ... membuat Bellina menderita secara perlahan, hihihi.

Terima kasih sudah baca terus sampai di sini. Mohon dukungannya dengan cara kasih review ya.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas