“Bunda, hati-hati ya! Jaga anak kita!” pinta
Yeriko sambil mengecup kening Yuna.
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia balas
mengecup bibir Yeriko dan bergegas turun dari mobil.
Yeriko menatap tubuh Yuna yang melangkah
perlahan memasuki gedung kantornya. Ia merasa sedikit khawatir membiarkan Yuna
pergi bekerja, namun ia juga harus menghormati keputusan istrinya.
Yuna terus tersenyum sambil melangkahkan
kakinya. Di lobi, ia bertemu dengan Icha yang juga baru masuk.
“Hai, Cha!” sapa Yuna ceria. Sudah beberapa
hari ia tidak masuk kerja dan membuat perasaannya sangat senang saat bisa
kembali bekerja.
“Hai, Yun. Udah bisa masuk kerja?”
Yuna menganggukkan kepala. Mereka melangkah
beriringan menuju ruang kerja mereka.
Saat jam istirahat tiba, Yuna dan Icha duduk
berdampingan di kantin sambil menikmati makan siang.
“Eh, semalam si Lutfi cerita, kalian abis
dari peternakan lele?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Dapet telur lelenya?”
Yuna mengangguk lagi. “Kesel dia sama aku.”
“Kesel kenapa?” tanya Icha.
“Itu telur lele kan dapetnya banyak banget.
Terus, aku nggak habisin. Eh, dianya kesel soalnya dia udah ikut kotor-kotoran
demi dapetin itu.”
“Terus?”
“Ujung-ujungnya dia makan juga, hahaha.”
“Astaga! Lutfi tuh emang kayak gitu.”
“Hubungan kamu sama dia baik-baik aja kan?”
tanya Yuna.
Icha menganggukkan kepala.
“Bagus, deh. Aku mau semuanya bahagia.”
Icha tersenyum menatap Yuna. “Gimana si
Yeriko? Protective banget ke kamu?” tanya Icha.
Yuna menganggukkan kepala. “Pastinya. Dia
sampe ngubah semua dekorasi rumah buat aku biar tetep aman.”
“Serius?”
Yuna mengangguk.
“Uh, sweet banget sih dia.”
“Iya. Karena kami sudah menanti kehadiran
anak ini begitu lama. Pastinya dia nggak mau terjadi apa-apa.”
Icha tersenyum kecil. “Tadi dia chat aku.”
“Dia siapa?”
“Suami kamu?”
“Kok, bisa?”
“Selalu nanyain kamu. Nih!” Icha menyodorkan
ponselnya, menunjukkan beberapa chat dari Yeriko yang selalu menanyakan keadaan
istrinya.
Yuna tersenyum membaca chat yang ada di ponsel Icha. “Dia itu
khawatir banget. Secara, aku di sini kayak masuk kandang singa. Untungnya,
Bellina masih di rumah sakit. Jadi aku bisa lebih tenang, nggak ada yang ngajak
berantem.”
Icha tersenyum kecil melihat wajah bahagia
yang tergambar di wajah Yuna. Ia merasa bukan hanya bibir Yuna yang tersenyum,
matanya, pipinya dan seluruh tubuhnya ikut menyiratkan kebahagiaan.
“Apa yang sudah kamu lakuin ke menantu saya,
hah!?” Mega tiba-tiba sudah ada di samping Yuna.
Yuna menengadahkan kepalanya menatap Mega. Ia
tak menyangka kalau mamanya Wilian akan menghampiri dan langsung memakinya di
depan banyak orang.
“Aku nggak ngelakuin apa-apa,” jawab Yuna
santai.
“Masih nggak mau ngaku? Kamu udah bunuh cucu
saya!” sentak Mega geram. Emosinya semakin meningkat karena Yuna menanggapinya
dirinya sangat santai.
“Tante, jangan sembarangan nuduh ya!” Yuna
bangkit dari tempat duduk dan berhadapan langsung dengan Mega.
“Aku nggak nuduh sembarangan. Bellina sendiri
yang bilang kalo kamu yang dorong dia sampai jatuh.”
“Bellina yang sengaja menjatuhkan dirinya di
tangga!” sahut Yuna tak mau kalah.
“Nggak mungkin! Nggak mungkin dia membunuh
anaknya sendiri.”
“Kenyataannya begitu, aku bahkan nggak
menyentuh dia sedikitpun! Dia yang bunuh anaknya sendiri.”
“Nggak mungkin Bellina bunuh anaknya
sendiri!” Mega masih tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Yuna. Ia lebih
mempercayai ucapan Bellina yang terlihat histeris karena kehilangan anak
kandungnya sendiri.
“Kita lihat aja nanti!” Yuna semakin
menantang Mega. “Aku nggak akan ngebiarin Bellina fitnah aku kayak gini!”
“Kamu!? Udah salah masih aja berani
ngelawan,” sahut Mega geram.
“Aku nggak salah! Makanya aku berani
ngelawan. Sampai kapan pun, aku nggak akan mengakui kesalahan yang nggak pernah
aku lakuin!” sentak Yuna.
“Anak kurang ajar!” Mega langsung berusaha
menyerang Yuna.
Dengan cepat, Icha langsung melindungi Yuna
dari serangan Mega. “Awas, Yun!” seru Icha.
“Kamu siapa? Berani ngelawan saya, hah? Nggak
tahu saya ini siapa?”
“Maaf, Nyonya. Saya memang cuma karyawan
biasa. Tapi, Nyonya tetap tidak bisa berbuat semena-mena seperti ini.” Icha
menatap wajah Mega. Ia mencoba memberanikan diri untuk melawan Nyonya Besar
pemilik perusahaan tersebut.
“Oh, jadi kamu mau belain dia? Kamu udah
bosan kerja di sini, hah!?”
Icha terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab
apa. Ia hanya tidak ingin kalau Mega melukai Yuna.
“Kamu nggak usah ikut campur urusan saya!”
sentak Mega sambil mendorong tubuh Icha.
BRAAK ...!
Tubuh Icha terhuyung dan langsung membentur
beberapa meja dan kursi yang berjejar di dekatnya. “Aw ...!” rintih Icha sambil
memegang kepalanya yang terbentur meja.
“Icha!” seru Yuna sambil menghampiri Icha
yang tersungkur di lantai. Ia langsung menengadahkan kepalanya menatap Mega.
“Tante tega banget ngelukain orang lain. Sama aja kayak Bellina!” sentak Yuna.
“Kamu yang duluan membunuh cucu saya. Ini
belum seberapa!” sahut Mega.
“Aku nggak akan ngelepasin Tante kalau sampai
terjadi sesuatu sama Icha!” tutur Yuna sambil membantu Icha bangkit dari
duduknya.
Icha memijat keningnya yang berdenyut.
Pandangannya semakin buram dan ia bahkan tidak bisa melihat Yuna yang berada di
hadapannya.
“Icha!?” seru Yuna saat Icha kembali terjatuh
dan tak sadarkan diri. “Tolong!” seru Yuna histeris. Ia sangat mengkhawatirkan
keadaan Icha.
Beberapa karyawan langsung menghampiri Icha
dan Yuna. Pak Heri langsung membopong Icha keluar dari kantin.
“Bawa ke rumah sakit!” perintah Yuna sambil
menatap darah segar yang ada di tangannya. Tangan Yuna gemetaran sambil menatap
tajam ke arah Mega.
Mega ikut tertegun melihat darah segar yang
ada di tangan Yuna.
“Kalian bener-bener keluarga yang kejam!”
tutur Yuna penuh amarah. “Kami nggak pernah melukai kalian sedikitpun. Kalian
nggak pernah berhenti melukai kami.” Yuna langsung melangkahkan kakinya
mengejar Icha yang dibawa masuk ke dalam taksi oleh Pak Heri.
“Biar aku aja yang bawa Icha ke rumah sakit!”
Yuna langsung masuk ke dalam taksi. “Cepetan, Pak!” perintahnya pada supir
taksi.
“Pak Heri, makasih ya!” Yuna menatap Pak Heri
yang berdiri di sisi taksi.
Pak Heri mengangguk. “Hati-hati di jalan!”
Yuna mengangguk. Ia menutup kaca mobil dan
bergegas pergi meninggalkan halaman kantor untuk menuju ke rumah sakit.
Semua karyawan menyaksikan kejadian ini.
Termasuk Juan yang diam-diam tersenyum sinis melihat Icha dan Yuna terluka.
Walau ada beberapa orang yang tidak menyukai
Yuna, tapi masih lebih banyak yang menaruh simpati pada Yuna. Di mata semua
karyawan, Yuna sangat baik dan perhatian. Mereka masih tidak mengerti kenapa
keluarga Wijaya begitu membenci Yuna. Walau dalam hati ingin membela Yuna,
mereka tidak punya keberanian untuk melawan pemilik perusahaan.
Sepanjang perjalanan, Yuna sangat gelisah. Ia
langsung memberitahu Lutfi dan Yeriko soal kejadian yang menimpa dirinya dan
Icha.
Begitu sampai di rumah sakit, Icha langsung
masuk ke ruang IGD. Petugas medis langsung memberikan pertolongan dengan cepat.
Memasang selang infus ke tangan Icha dan mengobati luka yang ada di kepala
Icha.
Yuna mondar-mandir di depan pintu IGD, ia
sangat berharap kalau Icha baik-baik saja. Beberapa menit kemudian, Yeriko dan
Lutfi datang menghampiri Yuna.
“Kamu nggak papa?” tanya Yeriko langsung
menggenggam kedua pundak Yuna dan memperhatikan seluruh tubuh Yuna dari
ujung kepala sampai ke ujung kaki.
“Aku nggak papa. Tapi Icha ...” Mata Yuna
tertuju pada Lutfi yang berdiri di sebelah Yeriko. “Maaf, gara-gara aku ...
Icha jadi kayak gini lagi,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.
Lutfi menghela napas. “Nggak usah menyalahkan
diri kamu sendiri!” pintanya. “Semoga aja Icha nggak papa.”
Yuna mengangguk kecil. Hatinya tetap saja
gelisah karena belum mendapat kabar tentang keadaan Icha saat ini.
Yeriko menatap bercak darah yang menempel di
kemeja putih milik Yuna. Ia bisa memahami kekhawatiran dalam benak Yuna. Ia
langsung merengkuh Yuna ke dalam pelukannya. “Semua akan baik-baik aja!”
bisiknya memenangkan Yuna.
“Icha terluka lagi karena belain aku,” tutur
Yuna lirih.
Yeriko menarik napas panjang. Ia merasa kalau
tempat kerja Yuna bukanlah tempat yang aman. Jika bukan Icha, sudah pasti
istrinya yang terbaring di atas brankar saat ini.
“Tempat kerja kamu bener-bener mengerikan.
Lebih baik, kamu berhenti kerja!” pinta Yeriko. “Ini demi anak kita.”
Yuna mengangguk. Kali ini ia tidak akan
membantah perintah Yeriko. Ia juga harus melindungi anak yang ada di dalam
kandungannya. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada janinnya. Ia sudah berusaha
keras mendapatkan seorang anak dan juga akan berusaha keras melindungi anaknya.
Lima belas menit kemudian, seorang perawat
keluar dari ruang IGD dan memberitahukan kalau keadaan Icha baik-baik saja.
Mereka langsung masuk ke dalam bangsal untuk melihat keadaan Icha.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment