Perselisihan
antara Yuna dan Bellina, meninggalkan luka yang mendalam di hati Yuna.
Yeriko,
memilih membatalkan rapat penting untuk perusahaannya dan membawa istrinya
keluar. Menemaninya jalan-jalan agar suasana hati Yuna bisa menjadi lebih baik
lagi. Kali ini, ia mengajak Yuna ke salah satu toko buku untuk mencari bahan
bacaan seputar kehamilan dan bayi. Sebagai calon orang tua, mereka harus
mempersiapkan diri dan belajar banyak hal.
“Ayah
banyak kerjaan di kantor?” tanya Yuna. Ia memerhatikan suaminya selalu sibuk
dengan ponselnya.
Yeriko
menggelengkan kepala. “Ada Riyan yang sudah meng-handle semuanya.”
“Kalau
emang sibuk, pergi ke kantor aja! Daripada gelisah kayak gini.”
Yeriko
menggeleng. “Nggak ada hal lain yang bikin aku gelisah selain kamu.”
“Aku
baik-baik aja, kok.” Yuna tersenyum ke arah Yeriko.
Yeriko
balas tersenyum. “Aku tahu kalo kamu nggak baik-baik aja.”
Yuna
tersenyum kecil. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada buku-buku yang ada di
hadapannya. Sulit sekali menyembunyikan perasaannya saat ini.
Yeriko
tersenyum sambil menyodorkan buku ke hadapan Yuna. “Ibu hamil nggak boleh
stres! Masalah kemarin, aku sudah bicarakan dengan pengacara. Kalau Bellina
beneran bawa kasus ini ke polisi, dia bersiap untuk bertarung di pengadilan.
Bersantailah, semua akan baik-baik aja!” Ia merengkuh kepala Yuna ke dalam
pelukannya.
“Lebih
baik, kamu fokus memerhatikan perkembangan anak kita. Hal lain, percayakan sama
suami kamu!”
Yuna
mengangguk, ia tersenyum lega. Suaminya sangat hebat, selain cerdas, juga
memiliki kekuatan. Ia yakin, Yeriko akan mampu menyelesaikan semuanya dengan
mudah. Seharusnya, ia memang mengerahkan seluruh hidupnya untuk mempersiapkan
kehidupan janin yang sedang ia kandung.
“Huft
...!” Yuna menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mengambil
beberapa buku dan membawanya menuju kasir.
“Itu
aja yang dibeli?” tanya Yeriko.
Yuna
mengangguk.
Yeriko
segera membayar buku yang dibeli Yuna. Ia terus memegang erat tangan Yuna ke
mana pun mereka melangkah.
Usai
menemani Yuna ke toko buku, mereka bergegas kembali ke rumah.
Rumah
Yeriko sangat berantakan di sana-sini. Ada banyak pekerja yang sedang mengubah
seluruh dekorasi rumahnya.
“Mas,
berapa lama lagi selesainya?” tanya Yeriko sambil menghampiri designer yang
sedang mengawasi beberapa pekerjanya.
“Kami
usahakan sore ini juga sudah rapi.”
“Oke.”
Yeriko manggut-manggut. Ia menoleh ke arah Yuna yang berdiri di sampingnya.
“Kita
pergi dulu!” ajaknya sambil membukakan pintu mobil untuk Yuna.
“Ke
mana?”
“Ntar
juga tahu. Masuk!” perintah Yeriko sambil menatap Yuna.
Yuna
tersenyum dan kembali masuk ke dalam mobil.
Yeriko
menutup pintu dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia langsung membawa
mobilnya menuju jalan raya. Ia langsung menelepon Chandra dan Lutfi yang sudah
kembali dari liburannya.
“Lut,
kamu di mana?” tanya Yeriko lewat sambungan telepon.
“Di
rumah.”
“Chandra
di situ juga?”
“Iya.
Kenapa?”
“Aku
share lokasi. Langsung ke sana ya! Emergency!” pinta Yeriko.
“Hah!?
Ada masalah apa?” tanya Lutfi.
“Nggak
usah banyak tanya! Langsung ke sana aja! Ntar aku kasih tahu kalau sudah sampai
di sana. Nggak pake lama!”
“Iya.
Ini langsung ke sana.”
Yeriko
tersenyum sambil mematikan panggilan teleponnya.
“Kita
mau ke mana sih?” tanya Yuna sambil mengedarkan pandangannya. Jalanan yang ia
lewati sangat asing baginya.
“Cari
makanan buat Bunda.”
“Jauh
banget?”
“Bunda
yang minta aneh-aneh,” jawab Yeriko sambil menepikan mobilnya di salah satu
rumah yang berada jauh dari pusat kota.
“Siang,
Pak Bos!” sapa Riyan yang sudah menunggu kedatangan Yuna dan Yeriko.
“Loh,
kamu di sini?” tanya Yuna.
Riyan
menganggukkan kepala.
“Ini
ada apa sih? Kenapa tiba-tiba bawa aku ke sini?”
“Pak
Bos yang nyuruh nyarikan tambak ikan lele yang paling besar. Aku dapat cuma di
sini.”
Yuna
menahan tawa, ia langsung menoleh ke arah Yeriko. “Kamu beneran mau cari telur
lele?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Selamat
siang, Pak!” sapa seorang pria setengah baya yang menggunakan kaos oblong dan
sarung berwarna hijau lumut. “Saya yang punya kolam ikan di sini. Bapak mau
cari ikan?” tanyanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Yeriko.
Yeriko
mengangguk dan langsung membalas uluran tangan bapak tersebut.
“Ada
ikan yang lagi bertelur?” tanya Yeriko.
“Bertelur?”
Riyan
menganggukkan kepala. “Tolong, Pak! Nyonya Muda lagi hamil dan pengen makan
telur lele.”
“Mmh
... duh, gimana ya?”
“Gimana
apanya ya?” Yeriko mengernyitkan dahi.
“Anu,
Pak. Anu ... mmh, lele yang di kolam pemijahan baru pada menetas tadi pagi.”
“APA!?”
Yeriko dan Riyan berseru bersamaan.
“Apa
nggak ada ikan lele yang masih bertelur? Masa iya semuanya menetas barengan?”
tanya Yeriko kesal.
“Iya,
Pak. Untuk indukan sudah menetas semua.”
“Ada
berapa banyak ikan lele di sini?” tanya Yeriko.
“Ada
sekitar lima puluh ribu ekor.”
“Lima
puluh ribu nggak ada yang bertelur satu pun? Nggak mungkin!” sahut Yeriko
sambil menggaruk kesal kepalanya yang tidak gatal.
“Kemungkinan
ada. Tapi, kami belum melakukan seleksi lagi. Karena, lelenya akan kami panen
sore ini untuk didistribusikan ke beberapa pasar.”
Yeriko
mengernyitkan dahi sambil berkacak pinggang.
Yuna
merasa bersalah karena keinginannya telah menyulitkan Yeriko.
“Ay,
kalo emang nggak ada sekarang, nggak papa, kok. Aku juga nggak pengen-pengen banget.”
“Nggak
pengen banget tapi nanyain terus setiap hari,” sahut Yeriko mulai emosi.
“Pak,
saya beli semua ikan yang ada di kolam ini!” seru Yeriko kesal.
“Semua!?”
Pria setengah baya itu mengernyitkan dahinya. “Tapi, Pak ... nggak semua ikan
sudah bisa bertelur. Masih ada banyak ikan yang kecil-kecil. Saya yakin belum
ada telurnya.”
“Pak,
saya nggak mau ribet. Saya bayar semua ikan yang ada di sini. Nggak boleh
dijual ke orang lain!” tegas Yeriko. “Saya cuma mau telurnya.”
“Baik,
Pak. Bisa aja. Tapi, saya belum manggil orang saya ke sini karena jadwal
panennya masih nanti sore. Mereka masih kerja di kebun,” tutur Bapak pemilik
kolam.
Yeriko
langsung memutar kepalanya begitu melihat lamborghini merah menuju ke arahnya. “Bala bantuan datang,” ucap Yeriko sambil tersenyum.
Lutfi
dan Chandra langsung berlari menghampiri Yeriko.
“Ada
apa, Yer?” Chandra terlihat sangat panik.
“Kakak
Ipar nggak papa kan?” tanya Lutfi sambil menatap Yuna dari ujung rambut sampai
ke ujung kaki.
Yeriko
terdiam sejenak sambil menatap kedua sahabatnya. Ia tersenyum jahil.
Chandra
dan Lutfi terdiam menanggapi senyuman Yeriko kali ini. Sepertinya, kali ini
mereka bukan untuk menyelamatkan orang lain dari bahaya. Tapi memasukkan diri
mereka sendiri ke dalam bahaya.
“Bantu
tangkap ikan!” perintah Yeriko.
“APA!?”
Lutfi dan Chandra membelalakkan matanya.
“Kamu
jangan bercanda, Yer!” sahut Lutfi. “Tuan Muda kayak aku gini disuruh nangkap
ikan lele? Mau ditaruh mana mukaku?”
“Taruh
di kaki!” sahut Yeriko kesal.
Yuna
menahan tawa mendengar reaksi Yeriko.
Chandra
berpikir sejenak. Menangkap ikan bukan hal yang sulit baginya. Hanya saja,
pakaian formal yang sedang ia kenakan sangat tidak cocok untuk momen ini.
“Yer, kenapa nggak bilang dari awal? Aku pake baju kayak gini.”
“Ah,
nggak usah banyak alasan! Ntar aku ganti baju kalian sama yang baru,” sahut
Yeriko.
Lutfi
gelagapan. “Kenapa tiba-tiba nyuruh kami nangkap ikan lele? Di pasar juga
banyak yang jual.”
“Kakak
Ipar kalian ngidam. Minta telur lele. Kalian carikan lele yang bertelur
sekarang juga!” perintah Yeriko.
“Hah!?
Kakak Ipar sudah hamil?” tanya Lutfi sangat antusias sambil menatap Yuna. “Oke.
Oke. Aku bakal carikan telur lelenya!” Lutfi tertawa bahagia sambil mengelus
perut Yuna.
“E-eh.
Siapa suruh pegang-pegang!” Yeriko menepis tangan Lutfi.
“Astaga!
Cuma mau megang keponakanku doang,” sahut Lutfi. Ia terlihat sangat bersemangat
saat mengetahui Yuna sudah mengandung anak Yeriko.
“Cepet
ke kolam sana!” perintah Yeriko. “Bapak ini yang mau nunjukin ke kalian. Awas
kalo sampe nggak dapet ikannya!”
Chandra
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yer, aku bedain Yuna lagi hamil atau
nggak, aku nggak bisa. Apalagi disuruh nyari lele yang bertelur. Anakmu
bener-bener mau nyiksa kami.”
Yeriko
tertawa kecil. “Anakku harus kuat kayak ayahnya. Jangan sampai dia ditindas
sama kalian.”
Chandra
menggeleng-gelengkan kepala. “Kalo bukan karena Yuna hamil. Aku nggak bakal mau
masuk kolam!” Ia kesal dan langsung melepas sepatunya.
Yuna
dan Yeriko tertawa kecil.
Lutfi dan yang lainnya melangkah menuju kolam-kolam ikan permanen berukuran 3x4
meter yang berjejar rapi.
Sementara, Yuna dan Yeriko duduk berdampingan sambil mengamati Lutfi, Chandra dan
Riyan dari
kejauhan.
(( Bersambung ...))
Oke Fix, Yeriko nggak mau menderita sendirian. Dia bawa
dua sahabatnya buat ngerasain penderitaan juga. Hahaha ...
Gimana keseruan cerita selanjutnya ya?

0 komentar:
Post a Comment