“Bel,
aku butuh penjelasan dari kamu!” pinta Yuna sambil melangkahkan kakinya
mendekat ke ranjang Bellina.
Bellina
menggelengkan kepala. “Kamu yang harus kasih penjelasan ke aku. Kenapa kamu
dorong aku, Yun? Kamu iri karena aku udah hamil dan kamu nggak bisa punya anak?
Kamu jahat, Yun!” seru Bellina sambil menangis.
“Cukup,
Bel! Kamu udah keterlaluan. Hapus air mata buaya kamu ini!” sahut Yuna tak mau
kalah. “Kamu yang udah menjatuhkan diri kamu sendiri. Kamu yang udah bunuh anak
kamu sendiri.”
Bellina
menggelengkan kepala. “Kamu pikir aku bodoh sampai membunuh anakku sendiri?”
“Kenyataannya
memang kayak gitu. Kamu bodoh dan kejam, Bel. Anak itu nggak salah sama sekali.
Kamu sampai mengorbankan dia cuma buat fitnah aku kayak gini?”
“Aku
nggak fitnah, Yun. Kamu udah dorong aku dan masih nggak mau ngaku!” sentak
Bellina.
Lian
langsung menghampiri Bellina dan berusaha menenangkan istrinya tersebut.
“Li,
dia udah bunuh anak kita!” tutur Bellina sambil menangis. “Kamu harus balasin
dendam anak kita! Kamu nggak boleh ngebiarin pembunuh ini berkeliaran dengan
bebas!”
Lian
menarik napas dalam-dalam, ia mulai terpengaruh dengan ucapan Bellina.
“Yun,
lebih baik kamu pergi dari sini!” pinta Lian. “Kita selesaikan urusan ini di
kantor polisi.”
Yuna
membelalakkan matanya. “Li, kamu nggak percaya sama aku? Aku nggak mungkin
mencelakai Bellina sampai seperti ini.”
Yeriko
merangkul Yuna dan berusaha menenangkan istrinya.
“Kalau
sampai kalian laporin aku ke polisi, aku bakal lawan kalian. Aku nggak terima
difitnah kayak gini.”
“Aku
nggak fitnah kamu. Kamu yang nggak mau ngaku kalo kamu udah bunuh anak aku!”
seru Bellina.
“Aku
nggak bunuh anak kamu. Aku bahkan nggak dorong kamu sama sekali. Kamu yang
bunuh kamu sendiri, Bel. Kamu bener-bener keji sama anak kamu sendiri. Dia
nggak salah apa-apa. Suatu saat, anak itu bakal menuntut balas atas perbuatan
ibunya sendiri. Seharusnya, dia berhak buat lahir ke dunia ini!”
Lian
dan Yeriko terdiam mendengar ucapan Yuna.
Yeriko
sangat mempercayai istrinya, ia tahu kalau Yuna tidak bersalah.
Lian
juga sama, ia percaya semua ucapan istrinya dan membuatnya membenci Yuna karena
telah membuat dia kehilangan anaknya. Namun, kalimat yang baru saja keluar dari
mulut Yuna benar-benar membuatnya bimbang.
“Kamu
yang udah bunuh anak aku!” seru Bellina histeris sambil melempar bantal ke arah
Yuna.
Yeriko
langsung menghalau bantal yang dilemparkan oleh Bellina dan melindungi tubuh
Yuna. “Kamu nggak papa?” Yeriko menoleh ke arah Yuna yang berdiri di
belakangnya.
“Aku
nggak papa.”
Yeriko
menatap tajam ke arah Bellina. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian. Aku
nggak akan membiarkan kalian terus-menerus memfitnah Yuna sekejam ini. Aku
pasti bisa dapetin bukti kalau Yuna nggak bersalah. Lebih baik, kalian siapin
pengacara untuk membela kebohongan Bellina!”
Bellina
ingin sekali menyerang Yeriko. Namun, Lian menahannya karena kondisinya yang
masih dalam perawatan.
“Awas
kalian!” seru Bellina.
Yeriko
tersenyum kecil sambil merangkul pinggang Yuna. “Kita pulang sekarang! Semua
ini, biar diurus sama Riyan dan pengacara keluargaku,” tuturnya lembut.
Bellina
semakin membenci Yuna yang mendapatkan dukungan dari banyak orang. Ia sudah
berkorban seperti ini dan masih saja kalah dengan Yuna. Seharusnya, semua orang
percaya padanya dan membenci Yuna. Tapi Yuna tetap saja mendapatkan pembelaan
dari orang lain dan membuatnya semakin iri dengan kehidupan Yuna.
Di
perjalanan, Yuna terus termenung. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Bellina
tega membuatnya seperti ini. Fitnahnya kali ini benar-benar membuat hatinya
terluka. Saat kejadian, tidak ada satu orang pun yang melihatnya. Ia bisa saja
terjerat kasus hukum jika tidak memiliki banyak bukti untuk membela dirinya
sendiri.
“Bunda,
mau makan apa?” tanya Yeriko lembut sambil menoleh ke arah Yuna yang duduk di
sampingnya.
Yuna
tak bereaksi, ia sibuk dengan pergulatan batinnya sendiri. Ia sangat takut jika
benar-benar harus menghabiskan waktunya di penjara dalam keadaan hamil. Apakah
Yeriko benar-benar bisa melindunginya dari ini semua?
Yeriko
menarik napas dan menepikan mobilnya perlahan.
“Bunda
...!” panggil Yeriko lembut sambil menyentuh punggung tangan Yuna.
“Eh!?
Kenapa?” Lamunan Yuna terbuyar, ia langsung menoleh ke arah Yeriko.
“Mau
makan apa?” tanyanya lembut.
“Apa
aja,” jawab Yuna dengan tatapan kosong.
Yeriko
menggenggam erat tangan Yuna. “Masih mikirin Bellina?”
Yuna
mengangguk kecil. “Aku takut ...”
“Takut
apa? Ayah pasti melindungi Bunda. Nggak akan ada yang bisa melukai kamu. Bunda
percaya sama Ayah!”
“Tapi
... gimana kalau aku nggak bisa membuktikan kalo aku nggak salah? Bellina
pinter banget bohong. Aku takut ...”
“Bunda
nggak usah takut!” pinta Yeriko. “Pengacara keluargaku, bukan pengacara
sembarangan. Dia sudah memenangkan banyak kasus di dalam dan di luar negeri.
Bunda nggak usah terlalu memikirkan hal ini. Kebenaran akan selalu menang!”
Yuna
tersenyum sambil menatap Yeriko. Ia merasa sedikit tenang.
“Mau
makan apa?” tanya Yeriko sekali lagi.
“Telur
lele.”
DEG!
Yeriko
mengerjapkan matanya. Ia belum bisa memenuhi keinginan istrinya yang sedang
hamil dan membuatnya merasa menjadi pria paling payah di dunia. Hanya telur
lele, ia tak sanggup memberikan untuk istri tercintanya.
Yuna
menggigit bibir mendapati ekspresi Yeriko. “Ya udah, makan yang lain aja.”
Yeriko
tersenyum kecut. “Kita makan yang lain dulu siang ini. Nanti, aku carikan lagi
sampai dapat.”
Yuna
mengangguk kecil. Mereka bergegas menuju salah satu restoran terdekat untuk
makan siang bersama.
“Mama
udah balik atau belum dari luar kota?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna saat
mereka sudah berada di meja makan.
Yuna
menggelengkan kepala. “Belum.”
“Kamu
udah kasih tahu Mama kalau kamu hamil?”
Yuna
menggeleng lagi. “Bukannya, kamu yang mau kasih tahu mama sendiri?”
“Oke.
Nanti, aku aja yang kasih tahu Mama kalau dia udah balik.”
Yuna
menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah pelayan yang sedang menata makanan
yang mereka pesan di atas meja.
“Kamu
cuma makan salad doang?” tanya Yuna.
Yeriko
menganggukkan kepala.
Yuna
tertawa kecil. “Tadi pagi, kamu cuma makan roti doang. Ntar lemes kalo nggak
makan protein. Cobain ini sedikit aja!” pinta Yuna sambil menyodorkan potongan
daging ke mulut Yeriko.
Yeriko
membelalakkan matanya. Aroma amis pada daging begitu menyengat di hidungnya.
Seisi perutnya bergejolak dan ia tak sanggup menahan rasa mual.
“Uweek
...!” Yeriko menutup mulutnya.
“Kamu
kenapa? Sakit?” tanya Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi
perut yang ia makan tadi pagi.
Yuna
mengikuti langkah Yeriko dan menunggunya di depan pintu kamar mandi. Ia mulai
gelisah saat mendengar suara Yeriko muntah beberapa kali. Ia langsung menoleh
ke arah pintu kamar mandi yang terbuka.
“Kamu
nggak papa?” tanya Yuna.
Yeriko
langsung merangkul tubuh Yuna. “Kenapa sekarang aku nggak bisa nyium bau ikan
atau daging? Kamu yang hamil, kenapa aku yang mual-mual?” gumam Yeriko.
Yuna
tertawa kecil sambil memapah tubuh Yeriko. “Kamu beneran ngidam buat aku?”
“Kamu
yang ngidam telur lele. Bukan aku!” sahut Yeriko.
“Tapi,
kamu yang mual-mual kayak gini. Aku nggak ngerasain apa-apa.”
Yeriko
menarik napas panjang sambil menatap perut Yuna. “Anak ini, baru muncul sudah
ngerjain ayahnya. Lihat aja kalau sudah lahir, Ayah pasti bikin perhitungan
sama kamu!” dengus Yeriko sambil menunjuk perut Yuna.
“Perhitungan
banget sama anak sendiri!” sahut Yuna sambil menahan tawa.
Yeriko
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak habis pikir, kenapa bisa kayak gini?”
“Udah,
terima aja!” sahut Yuna sambil menahan tawa.
“Kamu!?
Seneng juga ngerjain aku? Anak sama Bundanya sama aja, sekongkol ngerjain Ayahnya, hah!?”
Yuna
tergelak menatap Yeriko.
Yeriko
tersenyum kecil, ia bahagia melihat istrinya bisa tertawa. Banyak tekanan yang
harus diterima Yuna akhir-akhir ini. Ia khawatir akan memengaruhi kondisi janin
yang dikandung oleh Yuna. Membuatnya tertawa di tengah-tengah masalah yang
sedang mereka hadapi tidaklah mudah.
“Yun,
aku rela harus muntah setiap hari asal kamu baik-baik aja,” batin Yeriko sambil
menatap Yuna. Mereka kembali ke meja makan. Sebisa mungkin, Yeriko menjauh dari
makanan yang mengandung ikan agar ia tidak merasa mual.
Yuna
merasa, olahan makanan di restoran tersebut sudah sangat baik. Bau amis ikan
dan daging tidak begitu terasa. Namun, penciuman Yeriko saat ini sangat
sensitif. Ia juga harus menjaga Yeriko agar tetap sehat dan tidak membuat
aktivitasnya terhambat karena perubahan selera makan.
(( Bersambung ... ))
Duh, yang ngidam sebenarnya siapa sih? Kok, dua-duanya?
Gimana keseruan cerita selanjutnya ya?
Baca terus ya, jangan lupa kasih review biar tulisan aku bisa lebih baik
lagi.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi


0 komentar:
Post a Comment