“Pagi, Bunda!” sapa Yeriko saat Yuna baru saja
membuka mata.
Mata Yuna ikut tersenyum seiring dengan
senyuman yang mengembang di bibirnya. “Pagi, Ayah!” balasnya sambil mengusap
pipi Yeriko yang masih berbaring di sisinya.
Yuna menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya
dan bangkit perlahan.
“Mau ke mana?” tanya Yeriko.
“Mau mandi.”
“Tunggu!” pinta Yeriko sambil melompat turun
dari tempat tidurnya. “Tunggu dulu di sini!” Ia melangkah mundur dan langsung
masuk ke dalam kamar mandi.
Yuna tertawa kecil. “Kenapa sih tuh orang?”
gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Beberapa menit kemudian, Yeriko kembali
menghampiri Yuna. Ia langsung menggendong tubuh Yuna dan membawanya masuk ke
dalam kamar mandi.
“Ini terlalu berlebihan. Kamu mau gendong aku
setiap hari kayak gini?” tanya Yuna saat Yeriko menurunkan tubuh Yuna.
“Lantai kamar mandi masih licin. Aku nggak akan
ngebiarin kamu bergerak sendirian. Hari ini, design interior bakal ngubah semua
ruangan supaya nggak berbahaya buat kamu bergerak,” tutur Yeriko sambil
membantu melepaskan pakaian Yuna.
“Semua lantai ruangan bakal aku lapisi parket
kayu solid supaya nggak terlalu licin saat kamu jalan. Tangga juga akan
dilapisi karpet, lantai kamar mandi harus dipasangi Ring Mat Interlock supaya
kamu nggak kepeleset,” lanjut Yeriko lagi. Ia langsung mengangkat tubuh Yuna
dan memasukkannya ke dalam bathtub.
Yuna hanya tersenyum sambil terus menatap wajah
Yeriko yang sangat serius.
“Aku pastikan semuanya aman buat kamu
bergerak.”
Yuna mengangguk. Ia tidak bisa membantah sikap
suaminya yang tiba-tiba sangat protektif terhadap dirinya. Ia merasa
diperlakukan sangat istimewa.
Usai mandi, mereka bersama-sama mengganti
pakaian.
“Kamu yakin mau ketemu Bellina hari ini?” tanya
Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala. “Aku nggak salah.
Aku nggak mau disalahkan kayak gini. Bellina harus ngakuin perbuatannya kalo
dia yang bunuh anaknya sendiri.”
Yeriko tersenyum sambil menoleh ke arah Yuna.
Ia memakai sweater rajut buatan tangan istrinya. Matanya tiba-tiba tertuju pada
kaki Yuna yang telah mengenakan high heels.
“Lepas sepatunya!” perintah Yeriko.
“Eh!?” Yuna melongo beberapa saat.
Yeriko membuka lemari kaca yang berisi semua
sepatu Yuna dan dirinya. Ia mengambil satu flat shoes milik Yuna. Menghampiri
Yuna dan mengganti sepatu Yuna dengan sepatu flat shoes.
Yuna tersenyum kecil. Ia tidak bisa
berkata-kata setiap kali Yeriko memerhatikan detail penampilan dan apa pun yang
ada di sekitarnya.
“Jangan pakai high heels!” pinta Yeriko. “High
heels bahaya buat kamu.”
Yuna mengangguk. Ia meraih tas tangannya dan
bergegas keluar dari kamar bersama Yeriko.
Yeriko masih saja khawatir dengan Yuna, ia
menggendong istrinya turun dari kamar menuju meja makan untuk sarapan bersama.
Usai sarapan, mereka bergegas menuju rumah
sakit tempat Bellina mendapatkan perawatan.
Yuna menarik napas dalam-dalam saat mobil
Yeriko sudah berhenti di halaman parkir rumah sakit.
“Kamu yakin mau ketemu sama Bellina?” tanya
Yeriko yang bisa menangkap kegelisahan yang tergambar dari wajah Yuna.
Yuna menganggukkan kepala.
“Aku nggak mau kamu jadi stres karena masalah
kamu dengan Bellina ini.”
Yuna tersenyum. “Nggak papa, semua akan
baik-baik aja. Aku cuma butuh penjelasan dari Bellina.”
“Oke.” Yeriko melepas safety belt dan bergegas
keluar dari mobil. Ia terus menggenggam tangan Yuna sampai ke depan ruang rawat
Bellina.
Tok ... tok ... tok ...!
Yuna mengetuk pintu perlahan. Tak lama
kemudian, Melan membukakan pintu untuk Yuna.
“Mau ngapain ke sini?” tanya Melan ketus.
“Kami mau jenguk Bellina,” jawab Yuna sambil
meremas tempat parsel buah yang ia bawa.
“Bellina nggak mau ketemu sama kalian,” sahut
Melan, ia langsung menutup pintu tanpa mau mendengarkan ucapan Yuna berikutnya.
Yuna terdiam, ia menoleh ke arah Yeriko.
Yeriko tersenyum dan langsung mengelus pundak
Yuna. “Sabar ya!” bisiknya.
Yuna mengangguk, ia bertekad untuk menunggu
sampai Bellina bersedia untuk menemui dirinya.
“Siapa, Ma?” tanya Lian saat mendengar mama
mertuanya meracau tak jelas.
“Yuna,” jawabnya kesal.
“Aku nggak mau ketemu sama dia, jangan biarin
dia masuk ke sini!” pinta Bellina.
“Iya, Mama sudah tahu. Mama nggak akan izinin
dia masuk ke ruangan ini.”
Bellina tersenyum menatap ibunya. Ia kemudian
menoleh ke arah Lian yang duduk di sampingnya. “Aku nggak mau ketemu sama
pembunuh anakku, dia sudah membunuh anak kita,” tuturnya dengan mata
berkaca-kaca.
Lian langsung merengkuh kepala Bellina ke
pelukannya. “Semua akan baik-baik aja,” tuturnya. Ia tidak yakin kalau Yuna
yang sengaja mendorong istrinya jatuh dari tangga. Beberapa hari lalu, Yuna
bahkan memintanya untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Tidak mungkin Yuna
melakukan perbuatan sekeji itu.
Bellina terisak dalam pelukan Lian. “Li, aku
udah kehilangan anakku. Yuna tega banget ngelakuin ini. Padahal, aku sudah
berusaha berubah dan minta maaf ke dia. Dia malah memperlakukan aku kayak
gini.”
“Sudahlah. Jangan terlalu sedih!” pinta Lian
sambil mengusap punggung Bellina dengan lembut. “Soal anak, kita bisa bikin
lagi. Yang penting, kamu sudah selamat dan baik-baik aja.”
Bellina menganggukkan kepala. Bibirnya
menyunggingkan senyuman kecil di bawah air mata yang menetes deras. Kini, Lian
mulai memberikan banyak perhatian kepadanya dan akan membenci Yuna karena telah
membunuh anaknya. Ia merasa, pengorbanannya kali ini benar-benar sepadan dengan
hasilnya.
“Li, Mama pulang dulu. Nanti sore, Mama ke sini
lagi.” Melan berpamitan dengan Lian dan Bellina.
Lian menganggukkan kepala. “Mau aku antar, Ma?”
“Nggak usah, Mama udah pesan taksi.”
Lian mengangguk kecil. “Hati-hati, Ma!”
Melan mengangguk dan bergegas keluar dari ruang
rawat Bellina.
Yuna yang duduk di kursi tunggu langsung
menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Ia bangkit begitu melihat Melan
keluar dari ruangan tersebut.
“Kamu masih di sini?” sapa Melan kesal.
“Tante, aku beneran harus ketemu Bellina.”
“Bellina nggak mau ketemu sama kamu. Lebih
baik, kamu pergi dari sini. Masalah ini kita selesaikan di kantor polisi
nanti.”
Yeriko geram dengan sikap Melan. “Tante, Yuna
sama sekali nggak bersalah. Aku pasti bisa bikin kalian yang masuk penjara
karena sudah menuduh Yuna tanpa bukti!” tegas Yeriko.
“Silakan!” sahut Melan tanpa menoleh ke arah
Yuna dan Yeriko. Ia langsung melangkah pergi penuh percaya diri. Ia yakin,
keluarganya bisa menjebloskan Yuna ke penjara karena perbuatannya.
Yeriko benar-benar geram dengan sikap Melan. Ia
melihat keluarga Bellina benar-benar mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan
bagaimana Yuna melalui hari-harinya sebelas tahun yang lalu bersama dengan
keluarga ini.
Yuna menatap pintu ruang rawat, ia melangkah
perlahan menghampirinya dan langsung meraih gagang pintu.
“Kamu yakin?” tanya Yeriko sambil menahan
lengan Yuna.
Yuna menganggukkan kepala. Ia membuka pintu
ruangan tersebut perlahan dan melangkah masuk.
Yeriko terus menggenggam tangan Yuna, ia tidak
akan membiarkan Yuna menghadapinya seorang diri. Ia akan melakukan segala cara
untuk membuktikan kalau Yuna tidak bersalah.
Bellina langsung menatap tajam ke arah Yuna
begitu melihat Yuna masuk ke dalam ruangannya. Matanya dipenuhi aura hitam
kebenciannya terhadap Yuna dan suaminya.
“Kenapa dia bisa masuk ke sini?” tanya Bellina
pada Lian yang duduk di sampingnya.
Lian langsung menoleh ke arah Yuna dan tidak
bisa berkata-kata. Ia tidak tahu harus memilih percaya pada Yuna atau Bellina.
Keduanya, benar-benar membuat hatinya sangat bimbang. Ia tidak ingin
menyalahkan Yuna begitu saja tanpa bukti yang jelas. Namun ...?
“Usir dia dari ruangan ini!” pinta Bellina
histeris. “Aku nggak mau lihat wajah pembunuh anakku!”
Yuna membelalakkan matanya. Ia benar-benar
tidak terima dengan ucapan Bellina kali ini. Ia bukan seorang pembunuh seperti
yang dituduhkan oleh Bellina.
Lian berjalan perlahan menghampiri Yuna. “Yun,
bisa keluar dulu!” pintanya. Masalah ini, bisa kita bicarakan setelah Bellina
benar-benar membaik,” tuturnya pelan.
Yuna menggelengkan kepala. Ia tidak ingin
menunda masalah ini dan membuat Bellina terus memfitnahnya semakin keji.
“Aku cuma butuh waktu sebentar buat ngomong
sama Bellina. Please ...!” pinta Yuna.
Lian terdiam, ia menatap wajah Bellina sejenak.
Ia memberikan kesempatan untuk Yuna dan Bellina saling bicara.
(( Bersambung ...))
Hai, maaf kalo aku masih terus menghadirkan tokoh antagonis dan bikin
kalian kecewa. Soalnya, untuk menjadi Hero nggak bisa lepas dari konflik dengan
tokoh antagonisnya. Apa pun masalahnya, Perfect Hero harus selalu melindungi
orang yang dia cintai. So, ambil hikmahnya. Yang jahat pasti akan kalah, kok.

0 komentar:
Post a Comment