Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 258 || Give Me a Clarity

 


“Pagi, Bunda!” sapa Yeriko saat Yuna baru saja membuka mata.

 

Mata Yuna ikut tersenyum seiring dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. “Pagi, Ayah!” balasnya sambil mengusap pipi Yeriko yang masih berbaring di sisinya.

 

Yuna menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan bangkit perlahan.

 

“Mau ke mana?” tanya Yeriko.

 

“Mau mandi.”

 

“Tunggu!” pinta Yeriko sambil melompat turun dari tempat tidurnya. “Tunggu dulu di sini!” Ia melangkah mundur dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.

 

Yuna tertawa kecil. “Kenapa sih tuh orang?” gumamnya sambil menggelengkan kepala.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko kembali menghampiri Yuna. Ia langsung menggendong tubuh Yuna dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi.

 

“Ini terlalu berlebihan. Kamu mau gendong aku setiap hari kayak gini?” tanya Yuna saat Yeriko menurunkan tubuh Yuna.

 

“Lantai kamar mandi masih licin. Aku nggak akan ngebiarin kamu bergerak sendirian. Hari ini, design interior bakal ngubah semua ruangan supaya nggak berbahaya buat kamu bergerak,” tutur Yeriko sambil membantu melepaskan pakaian Yuna.

 

“Semua lantai ruangan bakal aku lapisi parket kayu solid supaya nggak terlalu licin saat kamu jalan. Tangga juga akan dilapisi karpet, lantai kamar mandi harus dipasangi Ring Mat Interlock supaya kamu nggak kepeleset,” lanjut Yeriko lagi. Ia langsung mengangkat tubuh Yuna dan memasukkannya ke dalam bathtub.

 

Yuna hanya tersenyum sambil terus menatap wajah Yeriko yang sangat serius.

 

“Aku pastikan semuanya aman buat kamu bergerak.”

 

Yuna mengangguk. Ia tidak bisa membantah sikap suaminya yang tiba-tiba sangat protektif terhadap dirinya. Ia merasa diperlakukan sangat istimewa.

 

Usai mandi, mereka bersama-sama mengganti pakaian.

 

“Kamu yakin mau ketemu Bellina hari ini?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku nggak salah. Aku nggak mau disalahkan kayak gini. Bellina harus ngakuin perbuatannya kalo dia yang bunuh anaknya sendiri.”

 

Yeriko tersenyum sambil menoleh ke arah Yuna. Ia memakai sweater rajut buatan tangan istrinya. Matanya tiba-tiba tertuju pada kaki Yuna yang telah mengenakan high heels.

 

“Lepas sepatunya!” perintah Yeriko.

 

“Eh!?” Yuna melongo beberapa saat.

 

Yeriko membuka lemari kaca yang berisi semua sepatu Yuna dan dirinya. Ia mengambil satu flat shoes milik Yuna. Menghampiri Yuna dan mengganti sepatu Yuna dengan sepatu flat shoes.

 

Yuna tersenyum kecil. Ia tidak bisa berkata-kata setiap kali Yeriko memerhatikan detail penampilan dan apa pun yang ada di sekitarnya.

 

“Jangan pakai high heels!” pinta Yeriko. “High heels bahaya buat kamu.”

 

Yuna mengangguk. Ia meraih tas tangannya dan bergegas keluar dari kamar bersama Yeriko.

 

Yeriko masih saja khawatir dengan Yuna, ia menggendong istrinya turun dari kamar menuju meja makan untuk sarapan bersama.

 

Usai sarapan, mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Bellina mendapatkan perawatan.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam saat mobil Yeriko sudah berhenti di halaman parkir rumah sakit.

 

“Kamu yakin mau ketemu sama Bellina?” tanya Yeriko yang bisa menangkap kegelisahan yang tergambar dari wajah Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Aku nggak mau kamu jadi stres karena masalah kamu dengan Bellina ini.”

 

Yuna tersenyum. “Nggak papa, semua akan baik-baik aja. Aku cuma butuh penjelasan dari Bellina.

 

“Oke.” Yeriko melepas safety belt dan bergegas keluar dari mobil. Ia terus menggenggam tangan Yuna sampai ke depan ruang rawat Bellina.

 

 

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

 

 

Yuna mengetuk pintu perlahan. Tak lama kemudian, Melan membukakan pintu untuk Yuna.

 

“Mau ngapain ke sini?” tanya Melan ketus.

 

“Kami mau jenguk Bellina,” jawab Yuna sambil meremas tempat parsel buah yang ia bawa.

 

“Bellina nggak mau ketemu sama kalian,” sahut Melan, ia langsung menutup pintu tanpa mau mendengarkan ucapan Yuna berikutnya.

 

Yuna terdiam, ia menoleh ke arah Yeriko.

 

Yeriko tersenyum dan langsung mengelus pundak Yuna. “Sabar ya!” bisiknya.

 

Yuna mengangguk, ia bertekad untuk menunggu sampai Bellina bersedia untuk menemui dirinya.

 

“Siapa, Ma?” tanya Lian saat mendengar mama mertuanya meracau tak jelas.

 

“Yuna,” jawabnya kesal.

 

“Aku nggak mau ketemu sama dia, jangan biarin dia masuk ke sini!” pinta Bellina.

 

“Iya, Mama sudah tahu. Mama nggak akan izinin dia masuk ke ruangan ini.”

 

Bellina tersenyum menatap ibunya. Ia kemudian menoleh ke arah Lian yang duduk di sampingnya. “Aku nggak mau ketemu sama pembunuh anakku, dia sudah membunuh anak kita,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Lian langsung merengkuh kepala Bellina ke pelukannya. “Semua akan baik-baik aja,” tuturnya. Ia tidak yakin kalau Yuna yang sengaja mendorong istrinya jatuh dari tangga. Beberapa hari lalu, Yuna bahkan memintanya untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Tidak mungkin Yuna melakukan perbuatan sekeji itu.

 

Bellina terisak dalam pelukan Lian. “Li, aku udah kehilangan anakku. Yuna tega banget ngelakuin ini. Padahal, aku sudah berusaha berubah dan minta maaf ke dia. Dia malah memperlakukan aku kayak gini.”

 

“Sudahlah. Jangan terlalu sedih!” pinta Lian sambil mengusap punggung Bellina dengan lembut. “Soal anak, kita bisa bikin lagi. Yang penting, kamu sudah selamat dan baik-baik aja.”

 

Bellina menganggukkan kepala. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil di bawah air mata yang menetes deras. Kini, Lian mulai memberikan banyak perhatian kepadanya dan akan membenci Yuna karena telah membunuh anaknya. Ia merasa, pengorbanannya kali ini benar-benar sepadan dengan hasilnya.

 

“Li, Mama pulang dulu. Nanti sore, Mama ke sini lagi.” Melan berpamitan dengan Lian dan Bellina.

 

Lian menganggukkan kepala. “Mau aku antar, Ma?”

 

“Nggak usah, Mama udah pesan taksi.”

 

Lian mengangguk kecil. “Hati-hati, Ma!”

 

Melan mengangguk dan bergegas keluar dari ruang rawat Bellina.

 

Yuna yang duduk di kursi tunggu langsung menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Ia bangkit begitu melihat Melan keluar dari ruangan tersebut.

 

“Kamu masih di sini?” sapa Melan kesal.

 

“Tante, aku beneran harus ketemu Bellina.”

 

“Bellina nggak mau ketemu sama kamu. Lebih baik, kamu pergi dari sini. Masalah ini kita selesaikan di kantor polisi nanti.”

 

Yeriko geram dengan sikap Melan. “Tante, Yuna sama sekali nggak bersalah. Aku pasti bisa bikin kalian yang masuk penjara karena sudah menuduh Yuna tanpa bukti!” tegas Yeriko.

 

“Silakan!” sahut Melan tanpa menoleh ke arah Yuna dan Yeriko. Ia langsung melangkah pergi penuh percaya diri. Ia yakin, keluarganya bisa menjebloskan Yuna ke penjara karena perbuatannya.

 

Yeriko benar-benar geram dengan sikap Melan. Ia melihat keluarga Bellina benar-benar mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Yuna melalui hari-harinya sebelas tahun yang lalu bersama dengan keluarga ini.

 

Yuna menatap pintu ruang rawat, ia melangkah perlahan menghampirinya dan langsung meraih gagang pintu.

 

“Kamu yakin?” tanya Yeriko sambil menahan lengan Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia membuka pintu ruangan tersebut perlahan dan melangkah masuk.

 

Yeriko terus menggenggam tangan Yuna, ia tidak akan membiarkan Yuna menghadapinya seorang diri. Ia akan melakukan segala cara untuk membuktikan kalau Yuna tidak bersalah.

 

Bellina langsung menatap tajam ke arah Yuna begitu melihat Yuna masuk ke dalam ruangannya. Matanya dipenuhi aura hitam kebenciannya terhadap Yuna dan suaminya.

 

“Kenapa dia bisa masuk ke sini?” tanya Bellina pada Lian yang duduk di sampingnya.

 

Lian langsung menoleh ke arah Yuna dan tidak bisa berkata-kata. Ia tidak tahu harus memilih percaya pada Yuna atau Bellina. Keduanya, benar-benar membuat hatinya sangat bimbang. Ia tidak ingin menyalahkan Yuna begitu saja tanpa bukti yang jelas. Namun ...?

 

“Usir dia dari ruangan ini!” pinta Bellina histeris. “Aku nggak mau lihat wajah pembunuh anakku!”

 

Yuna membelalakkan matanya. Ia benar-benar tidak terima dengan ucapan Bellina kali ini. Ia bukan seorang pembunuh seperti yang dituduhkan oleh Bellina.

 

Lian berjalan perlahan menghampiri Yuna. “Yun, bisa keluar dulu!” pintanya. Masalah ini, bisa kita bicarakan setelah Bellina benar-benar membaik,” tuturnya pelan.

 

Yuna menggelengkan kepala. Ia tidak ingin menunda masalah ini dan membuat Bellina terus memfitnahnya semakin keji.

 

“Aku cuma butuh waktu sebentar buat ngomong sama Bellina. Please ...!” pinta Yuna.

 

Lian terdiam, ia menatap wajah Bellina sejenak. Ia memberikan kesempatan untuk Yuna dan Bellina saling bicara.

 

 

 

(( Bersambung ...))

 

Hai, maaf kalo aku masih terus menghadirkan tokoh antagonis dan bikin kalian kecewa. Soalnya, untuk menjadi Hero nggak bisa lepas dari konflik dengan tokoh antagonisnya. Apa pun masalahnya, Perfect Hero harus selalu melindungi orang yang dia cintai. So, ambil hikmahnya. Yang jahat pasti akan kalah, kok.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas