Jheni dan Icha bergegas pergi ke rumah Yuna setelah
pulang bekerja. Mereka masih tidak mengerti kenapa Yuna tiba-tiba meminta
mereka datang ke rumah secepatnya.
“Sore, Bi!” sapa Jheni pada Bibi War yang sedang menyiram
tanaman di halaman rumah.
“Sore ...!” balas Bibi War. “Mau ketemu Mbak Yuna?”
Jheni dan Icha menganggukkan kepala.
“Sar, tolong antarkan dua Mbak ini ke kamar Nyonya!” Bibi
War berteriak ke arah rumah.
Sari langsung keluar dari rumah, ia menyapa Jheni dan
Icha dengan ramah dan membawa keduanya naik ke kamar Yuna.
“Yun, ini ada apa sih? Nggak biasanya rumah kamu dijagain
orang banyak. Nggak ada masalah kan?” tanya Jheni saat ia sudah berada di dalam
kamar Yuna.
Yuna menggelengkan kepala.”Nggak ada apa-apa. Yeriko aja
berlebihan jagain aku.”
“Eh!? Emang ada apa?”
Yuna tersenyum sambil menatap Icha dan Jheni. “Aku punya
kejutan buat kalian.”
“Apa itu?” tanya Jheni, ia dan Icha saling pandang.
Yuna tersenyum dan menyodorkan kertas hasil pemeriksaan.
“Astaga! Ini beneran, Yun?” tanya Jheni, ia masih tidak
percaya dengan apa yang ia baca.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu beneran hamil? Akhirnya ... aku bakal punya
keponakan!” seru Icha. Ia dan Jheni melompat kegirangan dan langsung memeluk
tubuh Yuna.
“Usaha kamu nggak sia-sia, Yun. Akhirnya, bakal punya
anak juga.” Jheni terus tersenyum mendengar kabar bahagia ini.
Yuna tersenyum bahagia. “Iya. Makanya, Yeriko protective
banget sekarang. Aseelii, aku nggak boleh keluar dari kamar.”
“Hah!? Cuma hamil nggak boleh keluar dari kamar?” tanya
Jheni.
“Dia bilang, tangga berbahaya buat aku. Soalnya, Bellina
baru aja jatuh dari tangga dan akhirnya keguguran.”
“What!?
Serius kalo si Belli itu keguguran?”
“Iya, Jhen. Di kantor juga beritanya udah nyebar kalau Bu
Belli keguguran.”
“Kapok! Rasain tuh iblis betina akhirnya kena batunya,”
tutur Jheni kesal.
“Beneran udah sampe kantor beritanya, Cha?” tanya Yuna.
Icha menganggukkan kepala.
“Ada berita apa lagi?” tanya Yuna penasaran.
Icha terdiam sejenak. “Eh, nggak ada apa-apa. Cuma itu
doang.”
“Nggak bawa-bawa namaku?” tanya Yuna lagi.
Icha menggelengkan kepala.
“Emang kenapa, Yun?” Jheni justru penasaran mendengar
pertanyaan Yuna. “Ada hubungannya sama kamu?”
Yuna mengangguk.
“Serius?” Jheni dan Icha bertanya bersamaan.
“Iya. Mereka ngundang aku buat makan malam. Katanya sih
mau minta maaf, sekalinya malah jebak aku,” tutur Yuna.
“Jebak gimana?”
“Bellina itu pura-pura jatuh di tangga. Terus, dia nuduh
aku yang dorong dia. Jahat banget kan?” jelas Yuna.
“Gila tuh Bellina. Dia sampe ngorbanin anaknya cuma buat
fitnah kamu?” sahut Jheni kesal. “Asli, itu mah dia sengaja bunuh anaknya.”
“Keji banget sih, Bellina?” tanya Icha.
“Iya, Cha. Makanya, Yeriko protective banget sama aku
waktu tahu aku hamil.”
“Bener juga sih suami kamu itu,” sahut Jheni.
“Tapi nggak kayak gini juga kali, Jhen. Aku berasa kayak
lagi dipenjara di rumah sendiri,” celetuk Yuna.
Jheni tertawa kecil. “Kamu beruntung karena punya suami
yang baik, penyayang dan perhatian banget. Harusnya kamu seneng diperhatiin
kayak gini.”
“Hmm ... iya juga, sih.”
“Udah, terima aja jadi ratunya Bos Ye!” perintah
Jheni. “Semua cewek pengen kali diperhatiin kayak gini.”
“Eh, kamu ngidam atau nggak?” tanya Icha.
“Nggak, sih.”
“Nggak mual-mual?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Nggak pengen makan sesuatu?”
“Pengen makan telur lele digoreng. Sampe sekarang belum
dapet. Bantu cariin!” pinta Yuna manja.
“Hah!?” Jheni dan Icha membelalakkan matanya.
“Yun, kalo ngidam berkelas dikit!” sahut Jheni. “Minta
pesawat jet, kek. Suami kamu kan kaya raya.”
“Itu mah bukan ngidam, emang emaknya aja yang kepengen,”
sahut Yuna sambil tertawa.
“Sesekali kerjain Yeriko, Yun. Aku pengen tahu gimana
reaksi dia kalau kamu pengen sesuatu yang susah didapat.”
“Jangan, Jhen! Nyari telur lele belum dapet aja dia udah
kayak mau nangis gitu. Nggak tega aku ngerjain dia.”
“Sebagai calon ayah, dia harus menunjukkan kegigihan dan
perjuangannya. Harus dites dulu, beneran sayang atau nggak sama anaknya?”
“Sayangnya Yeriko ke aku dan anaknya nggak perlu di tes,
Jhen. Harusnya kamu yang ngetes sayangnya Chandra ke kamu. Hahaha.” Yuna
tergelak sambil menatap Jheni.
“Jahat kamu, Yun!” dengus Jheni sambil memonyongkan
bibirnya.
“Eh, aku jadi kepikiran ngerjain Yeriko. Soalnya, dia
kadang lucu banget kalo dikerjain,” tutur Yuna.
“Yee ... katanya nggak mau ngerjain?” sahut Jheni.
Yuna terkekeh. “Iya, nggak tega sih sebenarnya. Eh,
kalian jadi berangkat besok?”
Jheni menganggukkan kepala.
“Jangan lupa oleh-oleh ya!” pinta Yuna.
“Oleh-oleh
apaan? Orang masih di Indonesia.”
“Bawain
Pempek!” pinta Yuna.
“Nggak
janji,” sahut Jheni.
“Yaelah, nggak kasihan amat sama ibu hamil,” celetuk
Yuna.
Jheni langsung menatap tajam ke arah Yuna. “Kamu tuh
emang demen makan. Hamil jadi alasan. Padahal emang emaknya yang kepengen.
Bukan bayinya.”
“Iih ... tega banget sih?”
“Iya, iya. Nanti aku bawain!” sahut Jheni.
“Nah, gitu dong!”
“Yun, kita nggak bisa lama-lama di sini. Soalnya, mau
siap-siap berangkat besok pagi. Kita pulang dulu ya!” pamit Jheni.
“Yah, aku kesepian di sini.”
“Ini udah sore banget. Palingan, Yeriko bentar lagi
balik. Lagian aku lihat, ada banyak pelayan dan penjaga di rumah ini.” Jheni
bangkit dari duduknya.
“Istirahat yang baik ya, Yun. Jangan sampai kecapean.
Pokoknya, harus jagain keponakan aku dengan baik!” pinta Icha.
“Iya ... kalian ini ikutan cerewet juga,” sahut Yuna.
“Harus cerewet sama calon Mama muda yang suka ngeyel kalo
dikasih tahu!” dengus Jheni sambil tertawa kecil. “Kita balik dulu, Ya!
Bye-bye!” Ia melambaikan tangan dan bergegas keluar dari rumah Yuna.
Tepat di depan pintu keluar, mereka berpapasan dengan
Yeriko yang baru saja datang.
“Kalian di sini? Udah lama?” sapa Yeriko sambil menatap
Jheni dan Icha.
Jheni mengangguk sambil tersenyum. “Selamat ya! Yang
sebentar lagi bakal jadi ayah,” tuturnya.
Yeriko tersenyum. “Makasih, Jhen!”
Jheni menganggukkan kepala.
“Kalian
nggak mau main dulu?”
“Kita udah lama di sini. Lagian, aku sama Icha mau
packing. Besok pagi mau berangkat.”
“Ke mana?” tanya Yeriko.
“Ke Sumatera. Icha sama Lutfi ke Bali.”
“Biasanya, Lutfi ke Bali cuma sehari doang. Perlu
persiapan segala?”
Icha tersenyum menanggapi pertanyaan Yeriko. “Aku baru
pulang kerja juga. Belum mandi. Jadi, nggak bisa lama-lama di sini.”
“Oh. Oke. Hati-hati di jalan!”
Jheni dan Icha tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Mereka bergegas keluar dari rumah Yeriko dan kembali ke rumah masing-masing.
Yeriko tersenyum, ia merasa sangat bahagia karena
sahabat-sahabat Yuna juga memberikan dukungan.
“Bi, Yuna masih di kamar?” tanya Yeriko.
Bibi War mengangguk.
Salah seorang ajudan langsung menghampiri Yeriko dan
membantu membawakan paper bag yang ada di tangan Yeriko tanpa diminta.
Yeriko bergegas naik ke kamarnya. Ia langsung menyuruh
ajudan meletakkan beberapa paper bag yang ia bawa ke atas sofa.
“Dari mana aja?” tanya Yuna sambil membantu Yeriko
melepas jaketnya.
“Abis dari rumah sakit nemuin Bellina.”
“Terus?”
“Bellina nggak mau ketemu sama aku.”
“Hmm ... ya udah, besok aja ke sana lagi bareng aku
juga.”
Yeriko menganggukkan kepala sambil melepas pakaiannya dan
menggantinya dengan handuk mandi.
“Aku mandi dulu. Aku beliin beberapa baju hamil buat
kamu. Cobain ya!” pinta Yeriko sambil menunjuk beberapa paper bag yang ada di
atas sofa.
Yuna mengangguk. Ia tersenyum sambil menatap punggung
Yeriko yang tenggelam di balik pintu kamar mandi. Ia bergegas menghanpiri sofa
dan melihat isi paper bag satu persatu.
“Banyak banget?”
Yuna tersenyum bahagia melihat banyak baju hamil. Ia tak
menyangka kalau Yeriko begitu memerhatikan setiap detail kebutuhan
kehamilannya.
((
Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment