“Mbak,
Mama di rumah?” tanya Yeriko pada salah satu pelayan begitu ia masuk ke dalam
rumah mamanya.
“Nyonya lagi ke luar kota,” jawab pelayan yang ditanya
tersebut.
“Oh ya? Kapan berangkatnya?”
“Baru tadi pagi.”
Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna yang berdiri di
sebelahnya. “Kita telat.”
Yuna tertawa kecil. “Nggak papa. Bisa ke sini lagi besok
atau lusa.”
Yeriko mengangguk. “Kakek di mana, Mbak?” tanya Yeriko
lagi.
“Di halaman belakang.”
Yeriko langsung menggenggam telapak tangan Yuna dan
mengajaknya menemui kakek.
“Pagi, Kek ...!” sapa Yeriko saat melihat kakeknya sedang
bersantai di tepi kolam renang yang ada di belakang rumahnya.
“Pagi ...!” balas Kakek Nurali sambil berbalik menatap
Yuna dan Yeriko. “Tumben ke sini jam segini. Kalian nggak kerja?”
“Kami baru pulang dari dokter,” jawab Yeriko sambil duduk
di salah satu kursi.
“Siapa yang sakit?”
“Nggak ada. Cuma mau periksa rutin program kehamilan
Yuna.”
“Gimana hasilnya?” tanya Kakek Tarudi.
Yeriko tersenyum sambil menoleh ke arah Yuna. “Bagus.”
Yuna terus tersenyum, ia menunggu suaminya mengucapkan
kabar baik perihal kehamilannya.
“Mmh ... Kek, kami mau ngomong sesuatu.”
Nurali memerhartikan wajah Yeriko dan Yuna. “Ngomong
aja!” perintahnya.
Yeriko kembali menatap Yuna. Ia langsung menggenggam erat
tangan Yuna yang duduk di sampingnya. “Kami ...”
Nurali menatap serius, menunggu Yeriko mengatakan sesuatu
untuknya.
“Kami akan segera memiliki anak,” tutur Yeriko pelan
sambil tersenyum.
Nurali langsung tersenyum lebar. “Kamu sudah hamil?”
tanyanya sambil menatap Yuna.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Akhirnya ... kita akan punya pewaris juga!” Nurali
terlihat sangat bahagia. Ia langsung memanggil seorang ajudan agar
menghampirinya.
“Ada apa, Pak?”
“Mulai hari ini, kamu harus mengawal Nyonya Muda ke mana
pun dia pergi!” perintah Nurali.
Yuna membelalakkan matanya. “Kek, aku nggak perlu
dikawal. Setiap hari, Yeriko selalu jagain aku.”
“Kakek bukan jagain kamu. Tapi jagain anak yang ada di
dalam perut kamu itu,” sahut Nurali.
GLEG!
“Aku terlalu kepedean kalo kakek bakal perhatiin aku,”
batin Yuna sambil menahan tawa. Ia sadar kalau semua perhatian kini tertuju
pada anak yang di dalam kandungannya.
Yeriko
tertawa kecil melihat reaksi Yuna. “Kek, Yuna nggak terlalu butuh pengawal. Ada aku, ada
Lutfi, Chandra dan Riyan. Aku minta satu pelayan aja yang khusus melayani
keperluan Yuna!”
“Baiklah.” Nurali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kakek
akan kirim pelayan ke rumah kalian.”
“Yer, nggak usah berlebihan. Udah ada Bibi War di rumah.
Lagipula, aku nggak banyak kegiatan,” bisik Yuna di telinga Yeriko.
“Udah, kamu terima aja! Nggak boleh nolak!” balas Yeriko
berbisik.
“Kalian temani Kakek makan siang!” pinta Nurali.
Yeriko dan Yuna mengangguk. Mereka menikmati makan siang
bersama di rumah besar keluarga Hadikusuma.
Usai makan siang bersama kakek, Yuna dan Yeriko bergegas
kembali ke rumah.
“Yer, aku mau nemuin Bellina.”
“Mau ngapain?”
“Aku harus buktiin ke semua orang kalo aku nggak salah.”
Yeriko menarik napas dalam-dalam. “Kamu istirahat aja di
rumah. Masalah Bellina, biar aku yang selesaikan.”
“Serius?”
Yeriko mengangguk. Ia melajukan mobilnya menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, Yeriko langsung menggendong Yuna
naik ke kamar dan merebahkan tubuh Yuna di atas kasur. “Kamu tidur aja, ya!
Nggak boleh turun dari kamar sendirian!”
Yuna mengangguk kecil. Ia merasa Yeriko terlalu
berlebihan memerhatikannya.
Yeriko tersenyum sambil mengusap lembut kepala Yuna. “Aku
pergi keluar dulu. Semua keperluan kamu bakal disiapin sama Bibi War. Kamu
nggak boleh keluar dari kamar ini tanpa izin dari aku!” pinta Yeriko.
Yuna mengangguk. Ia menenggelamkan tubuhnya ke dalam
selimut. Fix, kali ini ia benar-benar seperti seekor kelinci yang terkurung di
dalam kandang.
Yeriko bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai
bawah.
“Bi ...!” panggil Yeriko sambil mencari sosok Bibi War.
“Ya, Mas!”
“Tolong jagain Yuna! Jangan sampai turun sendiri. Tangga
berbahaya buat dia.”
Bibi War menganggukkan kepala.
“Sore ini, ada pengawal sama pelayan yang datang. Mereka
bakal jagain Yuna. Oh ya, telur lelenya udah dapat?” tanya Yeriko sambil
melangkah menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil satu buah apel dari
dalamnya.
“Baik, Mas.” Bibi War terus mengikuti langkah Yeriko
sambil mendengarkan beberapa instruksi dari Yeriko.
“Oh ya, tolong hubungi design interior buat ngubah semua
desain ruangan jadi non-slip!” perintah Yeriko.
“Baik, Mas.”
“Bibi masih punya nomor designer-nya kan?”
Bibi War menganggukkan kepala.
“Jangan sampai ada lantai yang licin! Guci-guci ini
dikumpulkan aja di gudang dulu!” perintah Yeriko.
Bibi War menganggukkan kepala.
Yeriko mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Matanya tertuju pada lampu hias kristal yang tergantung di langit-langit
rumahnya. “Oh ya, lampu kayak gini dilepas aja!” perintah Yeriko.
Bibi War menganggukkan kepala.
Yeriko memastikan semua ruangan di rumahnya bisa aman
untuk Yuna.
“Bi, aku masih ada urusan. Aku keluar dulu. Pastikan
desainer interior bisa datang sore ini juga!”
Bibi War menganggukkan kepala. Ia tak menyangka kalau
Yeriko begitu antusias menyambut kehamilan Yuna dan sangat menjaganya.
“Oke. Sementara itu dulu. Aku pergi dulu!” pamit Yeriko.
Ia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.
Yeriko langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit
untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi antara istrinya dengan
sepupunya tersebut.
Sementara itu, Yuna terus berguling-guling seorang diri
di tempat tidurnya.
“Kenapa keluar nggak ajak aku? Aku bosan di kamar terus
begini,” gumam Yuna. Ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju pintu.
“Selamat sore, Nyonya!” sapa gadis muda yang sudah
berdiri di depan pintu kamar Yuna dengan seragam khas yang sudah tidak asing
lagi di matanya. Pelayan di rumah mama mertuanya.
Yuna mengerutkan dahi. Di sebelah pelayan tersebut
berdiri seorang pria yang tegap dan kekar, ia mengenali pria tersebut sebagai
ajudan kakek Nurali.
Yuna melangkah mundur perlahan dan kembali menutup pintu
kamarnya. “Astaga! Aku bener-bener dijagaian? Aku ini cuma hamil, bukan
tahanan!” seru Yuna kesal.
Yuna menarik napas dalam-dalam. Yeriko tidak akan menarik
pelayan itu kembali. Ia tetap saja harus menerima dilayani oleh pelayan
keluarga.
Tok ... tok ... tok ...!
Yuna langsung menoleh ke arah pintu.
“Mbak, ini Bibi.”
“Masuk, Bi!” perintah Yuna.
Bibi War membuka pintu. Ia melangkah masuk bersama
seorang pelayan di belakangnya.
“Mbak, ini Bibi buatkan susu.”
“Makasih, Bi!” tutur Yuna sambil tersenyum.
“Oh ya, ini pelayan kecil yang akan melayani Mbak Yuna.
Namanya Sari. Mas Yeri melarang Mbak Yuna naik turun tangga. Kalau ada perlu
apa pun, biar Bibi dan Sari yang siapin.”
Yuna menganggukkan kepala. “Apa dia harus berdiri di
depan pintu kamarku selama dua puluh empat jam?”
Bibi War menggelengkan kepala.
“Kami hanya ke sini saat Tuan Muda tidak ada di rumah.
Kami akan kembali ke rumah besar setelah Tuan Ye kembali.” Sari menjelaskan.
“Oh.” Yuna tetap tidak bisa mengelak kalau ia kini
menjadi seorang menantu keluarga kaya yang hampir semuanya dijaga dan dilayani.
Terlebih, ada bayi di dalam perutnya. Ia merasa kalau keluarga Hadikusuma
memperlakukannya terlalu berlebihan.
“Aku belum butuh apa-apa, Bi. Kalian bisa keluar dari
kamarku dan beristirahat!” pinta Yuna.
Bibi War dan Sari menganggukkan kepala.
“Oh ya, nggak perlu dijagain di depan pintu ya!” perintah
Yuna. “Aku nggak akan keluar kamar sampai Yeriko pulang. Jadi, kalian nggak
perlu khawatir.”
Semua orang menganggukkan kepala dan langsung bergegas
pergi meninggalkan kamar Yuna.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment